Sapi Sebesar Gajah

 Sapi Sebesar Gajah

ilustrasi: Budiono (Jawa Pos)

Oleh Benny Arnas

Jawa Pos, 7 Juni 2025

“Sejak keluar dari rumah, Nyap sudah heran lihat Om Suk. Kenapa kepala Om Suk kuat sekali memikul sapi sebesar gajah. Om Suk …”

Nyapnyup

*

Nyapnyup mendadak popular setelah bocah lima tahun itu sukses membongkar keberadaan kawanan pembegal yang sering beraksi di jalan utama yang menghubungkan Lubuklinggau-Curup. 

Kisah berawal ketika Marpiselopah membawa putranya ke kantor polisi dan tak ada yang memercayai mereka hanya karena perempuan tiga puluh tahun itu menjadikan igauan anaknya tentang keberadaan para pembunuh suaminya itu sebagai dasar laporan. Ibu-anak itu disuruh pulang. Yang lebih menyakitkan lagi adalah, polisi mengimbuhi “pengusiran itu” dengan kata-kata, “Bujuklah putranya agar mengikhlaskan kepergian ayahnya, Bu. Jangan malah terus Ibu ingatkan dia dengan pembegalan yang ia saksikan itu. Begini jadinya. Kasihan dia sampai terus terbawa tidur.”  

Ketua pengajian ibu-ibu masjid kompleks itu mau meledak. Tapi ingatannya tentang omongan orang-orang yang bilang percuma lapor polisi! tiba-tiba mengiang dan sekarang ia menyesal sudah mengabaikan mereka.

Sampai kemudian Suklikulisu dan istrinya memenuhi undangan membaca yasin di hari ketujuh berpulangnya ayah Nyapnyup—yang tak lain tak bukan adalah imam rutin salat Magrib di masjid kompleks. Melihat kesedihan yang masih bergelayut di wajah tetangganya, Nyonya Suk yang juga anggota di pengajiannya pun menawarkan diri menjadi tempat bercerita.

“Papa bisa ke belakang sebentar?” kata Nyonya Suk, sekeluar dari ruang tengah tempat ibu-ibu berkumpul, beberapa saat setelah yasinan selesai.

“Kalau bukan karena ayahnya Nyapnyup yang jadi korban, aku takkan nelangsa begini, Pak Suk,” Marpiselopah langsung mengadu. “Aku sungguh meragukan kerja polisi yang, hingga hari ketujuh kematian suamiku, tak kunjung memberi tahu kami perkembangan penangkapan kawanan begal itu.”

“Polisi memang nggak bisa diandalkan,” timpal Nyonya Suk.

Suklikulisu melirik istrinya. Ia tak menyangka perempuan yang dikenal kalem itu berani mengatakan itu, meskipun kemudian ingatannya berlabuh pada trauma perempuan itu terhadap aparat berpistol.

“Aku bisa lupa diri kalau mendengar kata polisi, Kak,” katanya tiga belas tahun lalu, beberapa hari sebelum mereka menikah. “Mamaku depresi setelah adikku tidak lulus pantohir Bintara padahal ia sudah menjual satu-satunya kebun karet yang jadi andalan kami buat makan sejak Ayah meninggal sudah dijual demi menyetor ratusan juta kepada oknum yang katanya berpengaruh dalam lingkaran tes itu,” kata-katanya mengandung api dan pisau. 

Tentu saja penulis tak perlu meminta gadis itu bercerita lebih jauh sebab berita kematian adik dari gadis bernama Rubilahrubi karena gantung diri mengisi halaman utama koran lokal dan regional hingga lebih satu pekan. Meskipun begitu ia ingat, kegagalannya dalam tes Bintara tak pernah mengemuka sebagai sebab tragedi itu.

“Kalian tentu tahu, bukan, bagaimana keluarga kami? Bagaimana kami hidup? Bagaimana kami memandang agama sebagai prioritas? Bagaimana Nyapnyup,  Ramadan kemarin, juara membaca surat Annaba meskipun anak lima tahun itu belum bisa membaca?”

“Tidakkah memercayai hal-hal di luar norma agama adalah …” Suklikulisu ragu.

“Aku mengerti maksudmu, Suk,” Marpiselopah menyeka matanya yang mulai berair. “Tapi ini adalah gaib. Percaya pada yang gaib adalah sesuatu yang harus ada dalam diri seorang muslim yang baik, bukan?”

Masalahnya, batin Suklikulisu, aku bukan muslim yang baik itu, Mar. Aku hanya orang biasa. Salat karena kewajiban. Ngaji nggak rutin. Dan masih suka berprasangka buruk, boros, dan sesekali congkak kalau royalti dari rumah produksi yang memfilmkan novel-novelku cair sehingga kami bisa plesiran atau … berkurban sapi babon seperti tahun ini.

“Paling tidak,” Marpiselopah mulai habis akal, “temanilah kami ke Marilang, desa di Curup yang sering Nyapnyup sebut dalam igauannya.”

Jder! Kawanan begal itu memang bermarkas di sudut kebun kopi di utara Marilang. Nyapnyup, yang kala itu dibonceng ayahnya di atas motor, melihat dengan mata kepala sendiri kekejaman mereka.   Anehnya, para pembegal itu membiarkan saja rombongan kecil Suklikulisu memperhatikan mereka dalam jarak dekat, seakan-akan para pembegal itu tak menyadari kehadiran mereka.

Beberapa hari kemudian, setelah Suklikulisu meyakinkan kepolisian, kawanan itu pun diringkus. Nama Nyapnyup masyhur. Banyak orang datang meminta petunjuk, nasihat, pengasihan, azimat, ramalan masa depan, dan lain sebagainya. Tapi bocah itu bergeming. Marpiselopah pun berang, bahkan sampai mengancam akan memenjarakan para pengunjung kalau masih mengganggu ketenangan mereka.

Kini, Nyapnyup sudah sekolah. Kesaktiannya makin diakui. Ia disebut berlidah panas karena dua hari sebelum Pak RT diamankan, ia menyebut ketua kompleks itu menggelapkan dana bansos; penglihatannya juga dianggap melampaui masanya ketika seminggu sebelum Gunung Lijaulijui meletus ia menyarankan para penduduk yang tinggal di lereng untuk mengungsi; dan masih banyak lagi.

Tapi, apa yang Nyapnyup tunjukkan di masjid pagi ini sungguh mengganggu Suklikulisu. Anak laki-laki tujuh tahun itu tertawa sepanjang salat. Memang mulanya laki-laki empat puluh tahun itu menganggap, sebagaimana yang bergeliat dalam kepala jemaah lain, sikap anak ajaib itu karena Suklikulisu salat hari raya tanpa sujud, rukuk, dan duduk tahiyat, sebelum kemudian ia berubah pikiran.

Karena malu keluar rumah sepulang salat, Suklikulisu meminta istrinya memanggil Nyapnyup ke rumah. Perasaannya, ejekan orang-orang kompleks tentang salat dua rakaatnya yang menyerupai salat jenazah tadi belum akan reda (atau jangan-jangan sedang jadi-jadinya!). Ia tak mau jadi bulan-bulannya perundungan mereka yang memanfaatkan kealpaannya. “Beri Papa waktu, Ma.” Hanya itu yang bisa ia katakan ketika istrinya meminta penjelasan tentang keanehan yang terjadi di masjid tadi.

“Kan aku hanya minta Nyapnyup yang datang?” bisik Suklikulisu pada istrinya ketika Marpiselopah mengucap salam. 

“Nyapnyup itu masih anak-anak, Pa. Wajar kalau didampingi ibunya,” istrinya menghela napas. “Jangan bilang kalau Papa juga ingin mengusir Mama dari pertemuan Papa sama anak ajaib itu!”

Karena sudah ada Marpiselopah, melarang sang istri mendengarkan percakapannya dengan Nyapnyup adalah tindakan tak berguna. 

“Cepatlah, Pa,” desak istrinya. “Jangan-aneh! Papa sudah cukup aneh hari ini.”

“Hari ini?” kata Suklikulisu refleks. Nada suaranya lemah. Lebih mirip gumaman.

“Sejak Papa sering cerita sudah bayar uang kurban,” putra sulung mereka, yang masih duduk di kelas 5 SD, bersuara.

“Sejak Papa sering dipuji orang-orang kompleks karena berkurban sapi,” anak kedua menambahkan.

“Sejak kami tahu sapi itu sebesar gajah,” si bungsu yang masih berusia 8 tahun tak mau kalah.

*

“Kata Nyapnyup, Pak Suk yang sepanjang salat tadi hanya berdiri saja itu, bukanlah penyebab ia tertawa,” Marpiselopah buka suara ketika Suklikulisu tampak kesulitan mengutarakan maksud.

Penulis yang sudah menerbitkan 31 buku itu sebenarnya tak sabar ingin mengetahui pemantik tawa-tanpa-henti bocah itu, tapi kerongkongannya mendadak tandus. 

“Om Suk percaya sama Nyap, ‘kan?” Nyapnyup mengonfirmasi ragu-ragu.

“Om Suk-lah yang membawamu ke Marilang waktu itu, ‘kan, Nyap?“ istrinya memutuskan jadi juru bicara. “Jelas dialah orang pertama yang percaya pada karomahmu sebagai anak yang salih, Nyap,” ia kemudian melirik ke Suklikulisu yang sudah bermandi keringat.

“Kami sebenarnya menunggu Pak Suk di halaman masjid karena kata Nyapnyup ia baru akan minta maaf sama Om Suk kalau sudah mengatakan sesuatu,” kata Marpiselopah. “Tapi ternyata Pak Suk juga nggak datang pas sapi babonnya disembelih. Jadi, pas Nyonya Suk mengundang kami ke sini, yaaa pas lah itu.”

Nyonya Suk menoleh ke suaminya yang masih bergeming. 

“Anehnya, kata Nyap, ia pernah melihat sapi kurbannya Pak Suk sebelum dibawa ke halaman masjid tadi.”

Suklikulisu mendongak.

“Om Suk?” Nyapnyup mencari-cari mata Suklikulisu yang serta-merta menunduk. “Sejak kapan Om …”

Semua menunggu. Suklikulisu menelan ludah berkali-kali.

“… melatih kepala Om untuk memikul hewan?”

Mata Suklikulisu membesar. Tak sepatah kata kuasa ia cuatkan.

“Kenapa nanya itu, Nyap?“ Nyonya Suk tak sabaran.

“Sejak keluar dari rumah, Nyap sudah heran lihat Om Suk. Kenapa kepala Om Suk kuat sekali memikul sapi sebesar gajah. Om Suk …”

Nyapnyup

Semua masih menunggu.

“… terus memikul sapi sebesar gajah itu sampai masjid. Pas salaman sama Mang Dayat. Pas ngobrol sama Pak Jumjimunjimun sambil duduk. Pas salat apalagi. Nyap tidak heran kenapa Om Suk nggak rukuk, nggak sujud, atau nggak tahiyat. Karena … kalau gerakan Om Suk banyak gerak, sapi sebesar gajah itu akan jatuh. Seisi masjid pasti heboh.”

Terdengar suara tawa dari ruang tengah. “Nyapnyup ngarang!” Rupanya sedari tadi mereka nguping. Berbeda dengan Marpiselopah dan Nyonya Suk, mereka bersitatap seakan-akan sedang menghadapi masalah yang serius.

“Maaf, Om, sebenarnya aku nunggu-nunggu lho itu sapi sebesar gajahnya jatuh,,” lalu Nyapnyup tertawa keras hingga membuat Suklikulisu memandangnya. Tiga anak laki-laki berlarian ke ruang tamu, sebelum Nyonya Suk sigap meminta mereka menjauh. “Kan seru kalau sapi sebesar gajah itu ngacauin salat pas lebaranan,” rupanya Nyapnyup belum selesai.

Semua hening. Masih hening. Terus hening. Hingga Marpiselopah mengajak anaknya berpamitan, Nyonya Suk masih menunggu konfirmasi suaminya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Sementara Suklikulisu mulai mengkhayal terlalu tinggi: kalau ada ada pilihan kembali ke masa lalu, ia ingin membatalkan tindakannya berkurban sapi setengah ton. “Sepanjang sejarah kurban di kompleks kita, sapinya Pak Suk adalah yang terbesar!” Pujian ketua panitia kurban itu memang kuasa melambungkannya ke awan-gemawan kebanggaan, tapi tak berlangsung lama. Pagi ini: awan itu menjadi air hujan sehingga ia terjun bebas ke Bumi, angslup di genangan lumpur yang kuasa mengisap segala. Tak terkecuali kesombongan, tak terkecuali kesemuan.

Innsbruck, 6 Mei 2025

Cerpen ini merupakan bagian dari semesta cerita sapi yang lainnya: “Sapi Orang Biasa” (basabasi.co., 8 Juli 2022), “Sapi Dua Rakaat” (Republika, 17 Juli 2022), “Sapi Suklikulisu” (Koran Tempo, 2 Juli 2023), dan “Sapi Mencium Gunung Es” (Jawa Pos, 2 Juli 2023)

Benny Arnas

https://bennyarnas.com

Penulis & Pegiat Literasi

3 Comments

  • Super duper…. 👏👏

  • Ceritanya sangat relate dengan kehidupan saat ini, keren.

  • Selalu memukau

Leave a Reply to Hartini Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *