Sapi Dua Rakaat

Oleh Benny Arnas

Republika, 17 Juli 2022

SETELAH memantaskan dirinya di cermin ruang tengah beberapa kali, Suklikulisu keluar. Di pekarangan, istri dan ketiga putranya yang masih SD sudah menunggu.

“Papa sudah mesan tempat duduk tepat di belakang imam, Ma,” katanya ketika istrinya mempertanyakan alasan mereka harus berangkat ke masjid yang jaraknya hanya empat ratus meter pada pukul 06.15.
“Papa sudah bisa gantiin imam?” tanya putra sulungnya.


Suklikulisu memandang anak 10 tahun itu dengan sebelah mata menyipit.


“Iya, Pa,” putra keduanya yang usianya hanya berjarak satu tahun dari kakaknya menimpali.


“Kalau imamnya berhalangan, makmum di belakangnya yang harus gantiin.”


Waduh, kenapa aku baru tahu!


“Kenapa Papa dapat tempat duduk di sana?”


Istrinya penasaran. Suklikulisu tersenyum lebar. Sebab Papa satu-satunya jamaah yang berkurban sapi di kompleks kita. Ia ingin mengatakan itu, tapi ia tahu istrinya pasti tidak akan bersetuju. Pernah ia menyarankan putra-putranya untuk menghadap Manto, pencatat infak shalat Jumat agar nama mereka diumumkan dengan pelantang suara sebelum shalat pekanan itu dimulai, istrinya menentang keras.

“Apakah kalau diumumin, pahalanya berlipat-lipat, Pa?” katanya dalam nada tinggi—dan masih banyak hal yang Suklikulisu anggap lumrah, tapi dianggap tak patut oleh pasangan hidupnya itu.


“Saya sebenarnya sudah menyiapkan tempat tepat di belakang imam.” Hidayat yang menyambutnya di pintu utama masjid menyalaminya seraya membungkuk. “Tapi karena Pak Jamjimunjimun datang duluan, saya geser sedikit Pak Suk agak ke kanan, nggak papa, kan?”


Suklikulisu tahu, ketua panitia kurban itu tak enak hati dengannya.


Ia tak ingin menodai kemenangan yang sudah dalam genggaman. Ia pun memasang senyum, meskipun tersinggung karena tempatnya diambil anggota DPRD itu dan lega karena beban menggantikan imam kalau kenapa-napa tidak lagi menggelayutinya.


Di dekat mimbar, dalam jubah pakistan biru mudanya, Pak Jamjimunjimun melambaikan tangan kepadanya lalu menepak-nepuk permukaan permadani di samping duduknya. Aku tahu, laki-laki itu bersikap hangat karena ia salut (atau juga minder) kepada seseorang yang bisa berkuban sapi, sementara dia sendiri tidak. Astaghfirullah. Cepat-cepat Suklikulisu mengusap wajahnya.


“Saya berkurban di masjid kantor DPRD,” kata Pak Jamjimunjimun seperti melapor begitu Suklikulisu menyambut uluran tangannya untuk bersalaman. “Sapi juga,” terangnya tanpa diminta. “Beratnya hampir satu ton.”


Suklikulisu tahu bagaimana harus membalas. “Yaaa ini, kan, saya sendiri yang kurban, Pak Dewan.” Ia merapikan ujung sajadah yang baru saja ia bentang di samping Pak Jamjimunjimun. “Maaf kalau cuma sapi yang 45 juta mampunya.” Tentu saja ia tidak sedang merendah. “Kalau patungan kayak anggota dewan mungkin bisa juga dapat yang besar. Beberapa ekor malah.” Ia tertawa lebar. Puas sekali ia mendapati air muka anggota DPRD yang benyai seketika itu.


Suklikulisu harus berterima kasih kepada sang istri yang mendorongnya untuk meningkatkan kurban mereka setelah sepuluh tahun sebelumnya tak pernah absen berkurban kambing.


“Mumpung Allah kasih kita rezeki banyak, Pa,” bujuk perempuan itu. “Siapa tahu Allah kasih rezeki lebih besar. Lagi pula, Mama pengen sekali lho kayak kompleks sebelah. Tiap Lebaran Kurban, ada aja yang ngurbanin sapi.”


“Lho memangnya di kompleks kita belum ada yang berkurban sapi?”


Istrinya menggeleng. “Coba Papa kalau ke masjid, lihat daftar nama jamaah yang berkurban tahun ini di papan pengumuman. Paling atas masih kosong.”


“Paling atas?” kening Suklikulisu berlipat tiga. “Maksud Mama?”


“Paling atas, kan, nama untuk yang berkurban sapi.”


“Paling atas?” Suklikulisu tidak sadar sudah mengulang pertanyaan itu.


“Pa,” istrinya menepuk bahu suaminya yang mendadak bengong. “Jangan karena paling atas itu Papa mau berkurban sapi, ya? Mama….”


“Mama kenapa suudzon?” Suklikulisu tertawa. “Hari ini juga Papa akan nyetor uangnya ke Hidayat.”
Istrinya refleks meneriakkan alhamdulillah dan memeluknya lama sekali.


Tujuh kali takbir pada rakaat pertama membuat rangkaian kisah hidupnya bereuni.


Sebuah surel dari rumah produksi ternama membuatnya tercenung. Ia sedang mencari tahu segala hal tentang pihak yang baru saja mengutarakan maksud untuk memfilmkan novel-novelnya ketika, dari arah dapur, istrinya berteriak kalau kopi sudah habis. “Teh saja ya, Pa?”


Suklikulisu belum menjawab ketika istrinya melanjutkan teriakan; stok beras dan telur yang hanya cukup untuk makan malam.


Ponselnya berdering ketika si bungsu merengek minta dibelikan mobil-mobilan persis punya tetangga mereka, keluarga tauke sawit yang baru pindah dari kabupaten. Lekas ia memberi kode kepada si sulung untuk mengajak adiknya bermain. “Papa ada telepon penting.” Ia mengatakan itu seraya menutup pelantang ponsel.


Harapan bergeliat di kepalanya. Nomor telepon kode Jakarta. Surel tawaran menggiurkan. Tidakkah keduanya seharusnya berhubungan, membuat simpul bernama kabar gembira?


Ya, kabar gembira bagi penulis penuh waktu yang beristrikan ibu rumah tangga adalah napas baru bagi kehidupan mereka. Catat, mereka bukanlah keluarga yang berkekurangan.


Bagi yang mengukur kesejahteraan dari tempat tinggal, kendaraan, pakaian, atau tempat makan yang biasa didatangi, mereka masuk ukuran menengah ke atas. Padahal, kalau pekerjaan menulis biografi atau proyek ghost writing sedang sepi, mereka akan berhitung bahkan untuk sekadar membeli beras satu kilogram pun. Atas itu semua, Suklikulisu ingin sekali memberi tahu siapa pun bahwa ibu rumah tangga itulah yang membuat hidup mereka tidak limbung.


Ya, istrinyalah yang menyarankan ia berinvestasi emas, bukan menabung uang—apalagi di bank konvensional.


“Di pengajian Mama, investasi emas ini terus digalakkan, Pa,” katanya suatu hari. “Bukan saja karena tren nilainya terus naik, tapi juga aman secara legalitas dan syariah.”


Suklikulisu menurut saja.


Ia merasakan benar tuah manajemen keuangan sarjana psikologi itu ketika mereka akhirnya menjual emas mereka—setelah sembilan tahun sejak mereka simpan—untuk membeli lima hektare kebun sawit yang produktif. Hingga hari ini, kebun sawit itu membuat mereka bisa mempertahankan standar dan gaya hidup yang berkecukupan, meskipun harga sawit di pasaran sering main trampolin.


Lima kali takbir pada rakaat kedua menghadiahinya lanskap kejayaan tahun ini. Kontrak tiga novel-filmnya senilai setengah miliar membuat mereka bisa makan enak; tidur nyenyak; ibadah khusyuk; bersedekah nggak mikir-mikir; tak pernah absen infak; ada open donation, tinggal e-banking….


Tapi, di kompleks yang sebagian besar dihuni PNS ini, penghargaan mereka terhadap penulis masih sangat kurang. Yang selalu ia ingat adalah; tiap hajatan, ia tak pernah ditempatkan di barisan depan sebagaimana para anggota DPRD atau kepala dinas atau pejabat pemerintahan lainnya. Ia sempat berpikir, untuk mengubah pandangan itu, ia ingin mengganti BRV mereka dengan Innova atau CRV, tapi istrinya selalu menentang.


Karena kesal, Suklikulisu sempat berpikir akan membalas sikap istrinya dengan menolak permintaan perempuan itu. Ia tentu saja tidak berniat serius. Ya, sekadar memberi tahu bahwa sesekali suaminya ingin didengarkan dan diiyakan kehendaknya—meskipun ia tahu kalau itu kelihatan sangat kekanak-kanakan.


Tapi, permintaan istrinya agar mereka berkurban ketika tabungan mereka mulai menipis, membuatnya mengurungkan niat itu.


“Jangan, Bang!” cegah istrinya ketika ia mengatakan akan mengurbankan dua atau tiga sapi di masjid kompleks.


Tiga sapi dikali 17 juta, hanya 51 juta. Tabungan masih ada sisa.


Apalagi, sebagaimana kata istrinya, Allah takkan membiarkan orang-orang yang berbuat baik, tentu saja termasuk berkurban, dalam kesusahan.


Suklikulisu tak habis akal. Ia pun membeli sapi dengan berat hampir setengah ton. Ia sengaja tak memberi tahu istrinya karena yakin apa yang ia lakukan akan didukung. Meskipun hanya seekor, ini akan terus diingat warga karena mencatat sejarah, hati kecilnya jemawa.


“Kalau Papa sepi job, kita kencangkan ikat pinggang. Jangan pula buru-buru jual emas. Makan nasi kerupuk saja, tak masalah. Asal anak masih bisa sekolah.”


Ia merasa kakinya ditarik paksa hingga ia terjerembap ke sajadahnya. Ia ingin melajukan bogemnya ke Pak Jamjimunjimun kalau saja laki-laki itu tak mengatakan apa yang barusan terjadi.


“Saya memaksa Pak Suk duduk karena khatib akan berkhutbah. Pak Suk kenapa tadi seperti shalat jenazah saja?” Pak Jumjimunjium mendekatkan mulutnya ke telinga Suklikulisu.


Ia tak mengerti. Tapi, tatapan segenap jamaah yang memaku dirinya bertubi-tubi membuatnya gelisah.


“Pak Suk hanya mengangkat tangan berkali-kali ketika takbir.” Lelaki paruh baya itu masih berbisik.


“Maksud, Pak Jum?”


“Ya, Pak Suk nggak rukuk, nggak sujud, nggak duduk tahiyat. Pak Suk ….”


Khotib naik ke mimbar.


“Saya, atau juga jamaah lain, ngira Pak Suk strok. Tapi syukurlah nggak kenapa-napa. Maaf, Pak Suk kenapa tadi?”


Khotib membuka khotbahnya dengan bertakbir.


Suklikulisu sudah membayangkan kegemparan yang akan menyebar setelah shalat hari raya ini. Apa yang harus ia jawab kalau pertanyaan Pak Jamjimunjimun tadi juga dilayangkan jamaah lain. Yang terang, istri dan putra-putranya pasti bertanya. Tidak mungkin keanehan tadi tidak sampai ke telinga mereka.


Sangat tidak mungkin ia mengakui bahwa sejak takbir pertama shalat, kesombongan telah menyeretnya ke padang ilusi kebanggaan. Muslim macam apa yang masih narsis ketika berhadapan dengan Allah? Ia ingin menangis, tapi tak bisa. Ia ingin berteriak, tapi khutbah sedang berlangsung. Ia ingin menyalahkan setan, tapi menjadi dungu bukan pilihannya.


Dan, perasaannya, mata segenap jamaah hanya tertuju kepadanya, bukan kepada khotib. Di halaman masjid, lenguhan sapi diproses rasa malunya menjadi tertawaan yang merundungnya. Kepalanya menyut sertamerta dan sekujur tubuhnya dibasahi air asin.

Lubuklinggau, 18 Juni 2022


Benny Arnas

https://bennyarnas.com

Penulis & Pegiat Literasi

8 Comments

  • Nice blog. Have you ever thought about the precise workings of your Windows operating system? If not, then don’t worry! In the constantly changing world of computing, precision and efficiency are crucial for shaping the user experience. In Windows operating systems, rawaccel is a key focus for enhancing performance. To know more exciting info about raw accel, check out the related info about this.

  • Привет, дорогой читатель!
    Получите российский диплом с гарантированной подлинностью и доставкой по всей стране без предварительной оплаты – просто и удобно!
    dlplomanrussia.com

  • Dengan Maret88, Anda bisa meraih kemenangan yang mudah dan cepat!

  • This was beautiful Admin. Thank you for your reflections.

  • This was beautiful Admin. Thank you for your reflections.

  • This was beautiful Admin. Thank you for your reflections.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *