Tags : Cerpen Benny Arnas

Kebusukan

oleh Benny Arnas Suara Merdeka, circa 2011 Kepalanya lengkung pisang tanduk, kedua bola matanya berwarna magenta, telinganya adalah daun sirih yang sudah tua, mulutnya yang berlumur darah akan menampakkan taring yang menyerupai belalai gajah yang baru tumbuh. Anak itu melihat hantu. Katanya, jumlah hantunya banyak sekali. Herannya ia melihat hantu-hantu itu justru bukan di rumah […]Read More

Percakapan Pengantin

Oleh Benny Arnas Koran Tempo, 31 Januari 2010 PERCAKAPAN mereka adalah gayung bersambut sepasang hati yang marun merahnya. Percakapan yang mengetuk gendang telinga penduduk langit. Percakapan sederhana dari sebuah kampung yang tak tertitik dalam peta, tak tertilik oleh sesiapa, pun tak terbetik dalam kabar. Namun, bila para nabi dan istri mereka, para sahabat nabi dan […]Read More

Batubujang

Oleh Benny Arnas Termaktub dalam antologi karya penulis terpilih (Emerging Writers) Ubud Writers & Reders Festival (UWRF) 2010 dengan judul “River Stones” terjemahan terjemahan Toni Polard. Alamakjang, seperti tak berotak saja apa yang berlaku di muka Anas! Ia benar-benar tak habis pikir, bagaimana penduduk menjadi sebegitu bodohnya. Mereka menyemen parit dengan batamerah, bahkan sebagian lebih gawat […]Read More

River Stones

Oleh Benny Arnas It was constantly on Anas’ mind how stupid the local people were. Building drains with clay bricks. Worse still, some of them even used besser blocks. Great! How brainless could they be.  Anas could plainly see what was happening before his very eyes. What do you suppose makes them think they don’t […]Read More

Tamasya

Oleh Benny Arnas Kurungbuka.com, 9 Juli 2023 WAKTU menunjukkan pukul sepuluh pagi. Saya bermaksud turun dari Simawang, daerah yang menjadi tempat Kuliah Kerja Nyata (KKN) kami. Kepala saya mumet karena sejumlah program KKN yang belum bisa dilaksanakan di kampung yang terletak di ketinggian itu. Saya ingin berjalan-jalan di pasar tradisional yang terletak tak jauh dari […]Read More

Sapi Suklikulisu

Oleh Benny Arnas Koran Tempo, 2 Juli 2023   Kisah ini berawal ketika Suklikulisu dan istrinya memenuhi undangan Marpiselopah membaca yasin di hari ketujuh berpulangnya sang suami yang tak lain tak bukan adalah imam salat Magrib di masjid kompleks. Melihat kesedihan yang masih bergelayut di wajah ketua pengajiannya, Nyonya Suk menawarkan diri menjadi tempat bercerita. […]Read More