Sapi Orang Biasa
Benny Arnas
Tidak ada yang istimewa pada diri Yusufisufillah, seorang penjual pentol bakso keliling yang sering menjadi imam salat Magrib cadangan di masjid kompleks itu. Belakangan, pria yatim piatu itu ditahbiskan menjadi “imam tetap” karena mereka yang ditunjuk lebih sering berhalangan. Tapi, tetap, tidak ada yang terlalu istimewa. Kalau Yusufsufillah, misalnya, tidak datang ke masjid di waktu magrib, tah masih ada jemaah lain yang bisa menggantikan. Ya, misalnya. Sekadar misalnya. Sebab, kenyataannya: dengan kereta angin tuanya, pria berkulit sawo matang itu selalu tiba di rumah satu jam sebelum Magrib.
Kereta pentol bakso dengan dua kotak kayu kecil di kiri-kanan boncengan itu memang biasa mangkal di sebuah SMK di dekat jalan utama kota. Tapi begitu jam istrirahat kedua berakhir, bakda Zuhur Yusufsufillah akan mengayuh keretanya ke barat, tempat anak-anak kompleks padat penduduk. Kata mereka—juga ibu mereka, pentol bakso Mang Yusuf menjadi tungguan, selain rasanya gurih dan saus tomatnya kental, penjualnya ramah dan sering ngasih bonus kalau pelanggan membeli banyak.
Yusufsufillah suka anak-anak, apalagi anak laki-laki sebaya Nyapnyup yang baru masuk SD tahun ini. Putra semata wayang hasil pernikahannya dengan Marpiselopah—gadis yang kali pertama memukaunya ketika ia memenangkan MTQ tingkat kota kategori umum sepuluh tahun yang lalu—itu tak pernah telat bangun subuh rajin mengaji setelahnya. Ia yakin, hal itu tak lepas dari kebiasaan istrinya mengaji dan mendengarkan murotal ketika hamil. Ah, perempuan yang spesial, tegas hati kecilnya. Ia ingat, setelah tiga tahun menyukai Marpiselopah dari jauh, Yusufsufillah meminangnya setelah usaha berjualan pentol bakso kelilingnya punya banyak pelanggan. Tak seperti yang ia khawatirkan, kedua orangtua Marpiselopah yang merupakan guru mengaji di masjid langsung mengiyakan.
“Aku tidak menyangka kalau istriku malah pernah bilang bahwa, sebelum aku datang melamar, kedua orangtuanya mengharapkan aku jadi menantu,” nada suara pria berambut ikal itu terdengar antusias. “Nah, sekarang giliran Bang Suk juga yang cerita.”
Suklikulisu melihat ke arloji di tangan kanannya.
“Kalau Bang Suk ada pekerjaan lagi, nanti-nanti saja ceritanya, nggak papa, Bang.”
Penulis yang tahun ini genap berusia 40 tahun itu cengengesan. Ia tak sadar kalau bahasa tubuh yang barusan seharusnya tidak ia tunjukkan kepada lawan bicaranya, meskipun … ia segera menganulir rasa tak enak hatinya mengingat Yusufsufillah adalah tetangga satu kompleks yang sudah lama dikenalnya. Ah, aku saja yang berlebihan, bisik hati kecilnya.
“Atau ini jadwal Bang Suk nulis? Ya nggak Papa. Bang Suk pamit saja sama tuan rumahnya.”
Laki-laki cungkring itu mengagetkan Suklikulisu lagi.
Benar, kata-katanya mengingatkan penulis itu pada beberapa deadline yang harus ia bereskan, tapi karena ini hari Kamis, ia masih punya beberapa hari. Itu juga alasannya sesore ini belum beranjak rumah duka meskipun ia sudah bertemu dengan tuan rumah setengah jam yang lalu. Ya, ia juga ingin ngobrol dengan para tetangga yang datang melayat. Di hari-hari biasa, karena kesibukan masing-masing, jangankan bercengkerama, bertegur sapa pun menjadi sesuatu langka. “Nggak kok, Suf,” Suklikulisu memasang wajah meringis. “Santai saja.”
Dua orang laki-laki menghampiri mereka. Jumjimujimun yang menjabat anggota DPRD untuk kali kedua dan Musmulikaing yang banyak memegang proyek pembangunan jalan di lingkar selatan kota tersenyum lebar dan menyalami Suklikulisu.
“Sudah lama?” tanya Jumjimunjimun sambil menarik kursi untuk bergabung, sebagaimana Musmulikaing yang sudah duduk di kursi yang kosong di samping Suklikulisu..
“Sambil ngobrol sama Yusuf,” Suklikulisu menunjuk Yusuf yang baru saja menarik kembali tangannya yang tidak jadi disalami kedua pejabat yang barusan bergabung itu. “Kenal, ‘kan?” Penulis itu menegaskan. “Tetangga kita yang tinggal dekat portal.”
Kedua lelaki itu tersenyum—walaupun lebih pas disebut menyeringai—ke arah Yusufsufillah. Melihat sikap mereka yang tak enak hati, seakan-akan hendak mencairkan suasana, Yusufsufillah mengulurkan tangan lagi. Kali ini kedua pejabat itu menjabat tangannya.
Percakapan yang mulanya membahas penyebab kematian almarhum dan budi baiknya melipir ke mana-mana. Jumjimunjimun menceritakan bagaimana perjalanan dinasnya mengunjungi kota-kota di Indonesia membuatnya bertemu berbagai adat dan perangai manusia. Musmulikaing tak mau kalah. Setelah memberitahu agendanya di ibu kota beberapa hari lagi, ia menceritakan liku hidupnya sebelum sukses jadi pemborong. “Aku sempat jadi tukang bakso keliling!” serunya lalu tertawa.
Mungkin karena terbawa suasana, yang lain pun tertawa, termasuk Suklikulisu dan Yusufsufillah, sebelum … mereka kemudian terdiam dengan mata terpaku pada tukang pentol bakso keliling itu.
“Semoga nasibku nanti bisa sebaik Pak Musmulikaing ya, Pak,” kata si penjual pentol bakso itu tanpa menunjukkan bahasa tubuh tersinggung sedikit pun.
Ketiga tetangganya itu menatapnya dengan saksama, bagai memastikan bahwa Yusufsufillah tidak sedang bercanda.
“Oh ya,” Yusufsufillah ternyata belum selesai, “katanya Bang Suk mau berkurban sapi tahun ini?”
Aduh! Kenapa kamu membongkarnya, Suf. Meskipun, Suklikulisu tak bisa menyembunyikan kebanggaan dari wajahnya.
“Kemarin saya ketemu Dayat pas salat Magrib,” lanjut Yusufsufillah. “Kata ketua panitia kurban itu, Bang Suk akan membuat kompleks kita untuk pertama kalinya punya hewan kurban sapi!”
Jumjimunjimun dan Musmulikaing saling pandang sebelum memasang air muka terkejut sekaligus gembira di hadapan Suklikulisu. “Yang berat berapa, Suk?” tanya si anggota DPRD. “Atau yang 15 jutaan begitu, ya?” timpal Musmulikaing refleks.
“Sebesar gajah, Pak!” kata Yusufsufillah, nyaris berteriak.
“Ah, berlebihan kamu, Suf!” wajah Suklikulisu merona.
“Wah!” Jumjimunjimun mengulurkan tangan. “Selamat ya, Suk! Kamu memang penulis sukses!”
Musmulikaing juga mengulurkan tangan. “Jadi benar kata orang-orang kalau tiga novelmu yang jadi film itu nilai kontraknya 6 miliar!”
“Astaghfirullah,” Suklikulisu mengurut dada. “Nggak ada itu, Pak,” ia menggeleng. “Nggak sebesar itu, tapi cukuplah buat hidup dan berkurban.”
Laki-laki penjual pentol bakso itu bangkit. “Saya pamit dulu,” kemudian ia menyebut nama ketiga lawan bicaranya seraya menyalami mereka satu per satu dengan sedikit membungkuk. “Saya sudah janji mau ngajak Nyapnyup main sebentar sebelum Magrib. Mari …”
Ketiga lelaki itu memandang Yusufsufillah yang berjalan keluar tenda hingga punggungnya hilang di kelokan pertama kompleks.
“Dia orang yang baik,” kata Suklikulisu seperti bergumam. “Meski pekerja keras, tiap akhir pekan ia libur. Seperti hari Sabtu ini.”
“Sayang sekali nasibnya kurang baik,” Jumjimunjimun berkata pelan. “Tapi saya tetap salut karena ia tidak minder tinggal di kompleks kita yang hampir semua rumahnya sudah direnovasi.”
“Ada yang mau buat program bedah rumah buat si Yusuf?” Musmulikaing tak kehabisan bahan.. “Eh, si Nyapnyup, kata orang-orang, indigo, ya?” laki-laki berperut buncit itu rupanya belum selesai.
Tak ada yang tahu kalau Yusufsufillah berjalan dalam keadaan sakit kepala memikirkan tabungannya yang masih 14 juta. Ya, sepekan lalu ia mendatangi salah satu peternak sapi yang, kata orang-orang, menjual sapi kurban paling murah. Sayang sekali, uangnya kurang satu juga untuk sapi kecil yang layak dikurbankan. “Maaf sekali, Pak,” kata peternak itu. “Bapak kembali saja kalau uangnya cukup,” kata si pemilik peternakan.
Sungguh, Suklikulisu tidak iri dengan Musmulikaing yang bisa mendapat keuntungan 10 miliar tiap kali menggarap proyek atau Jumjimunjimun yang perjalanannya ke berbagai daerah difasilitasi negara. Tidak. Ia merasa sangat iri kepada penulis yang tahun ini mengurbankan sapi seberat setengah ton itu. Allah, batinnya, kapanlah hamba ….
Lalu ia berzikir lagi. Lalu air matanya jatuh.
Di belakangnya, ketiga “lelaki sukses itu” membicarakan ketakberuntungan yang menimpanya dengan pilihan kata menyayangkan. Dari istrinya yang kelihatan lebih kurus dari si suami karena Musmulikaing menganggap perempuan itu terlalu letih menjual nasi gemuk di pasar kelurahan setiap pagi hingga tentang putra semata wayang mereka yang Jumjimunjimun anggap berbeda dari anak kebanyakan: lihai mengaji, tapi sering bertingkah seperti dukun; Suklikulisu sendiri, meski dalam hati sedikit menyayangkan kata-katanya, menganggap kemiskinan menjadi penghalang banyak kebaikan yang mungkin dilakukan. “Keadaan itu membuat Yusufsufillah alih-alih bisa berkurban sapi, kambing pun jauh panggang dari api!” Lalu kedua rekannya tertawa, sementara Suklikulisu sendiri bagai tertelan biji salak: terenyak oleh kelancangannya.
O tidak, bukan semata perasaan sombong yang memerudukkannya ke dalam ketaktahudirian sekaligus membuatnya terjaga dari kefanaan, tapi juga bunyi klakson deretan mobil yang berbaris di belakang BRV marunnya.
“Udah, Pa,” Marpiselopah menepuk punggungnya. “Jangan dibalas emosi. Nggak ngubah apa pun,” lalu ia membuka tutup tumblr dan memberikan botol berisi air rendaman dua potong irisan lemon itu kepada suaminya.
“Kok jalan ke kompleks kita bisa semacet ini, Pa?” tanya putra sulungnya, kesal.
Di hadapan mereka, barisan mobil dan sepeda motor bagai diam di tempat.
Lalu kedua putranya yang lain terlibat spekulasi. Ada yang menebak sebatang pohon besar roboh merentang jalan karena hujan deras beberapa jam yang lalu, ada juga yang menebak telah terjadi kecelakaan antarkendaraan roda empat di jalan menuju kompleks mereka yang sempit.
“Oh ya,” kata istrinya tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel pintarnya, “apakah kira-kira mayatnya Yusuf sudah sampai ke rumahnya ya, Pa?”
Ya, beberapa jam yang lalu, grup WhatsApp kompleks menyiarkan kabar lelayu: Yusufsufillah menjadi korban begal ketika sedang mengendarai sepeda motor sewaan bersama Nyapnyup di jalan raya Marilang, kawasan rawan kejahatan di kabupaten tetangga. Hal yang melegakan: para pembegal hanya mengambil kendaraannya tanpa menyakiti putranya yang ditinggalkan sendirian di tepi jalan.
Lalu, seperti diperintah, pasangan itu saling pandang, bagai mengonfirmasi sesuatu yang membuat bulu kuduk mereka berdiri. Ponsel Suklikulisu berdering. Nama dan foto Musmulikaing memenuhi layar monitornya.
“Kamu di mana, Suk?”
Baru saja penulis 11 novel yang sudah beredar secara nasional itu mau menjawab, pemborong itu nyerocos:
“Apa benar jalan ke kompleks macet sampai tiga kilometer karena banyak yang mau ngelayat tukang pentol bakso itu, Suk?”
Suklikulisu menelan liur. Ia menoleh ke istrinya yang memandangnya penasaran.
“Teman-teman banyak yang bilang begitu. Apa benar, Suk? Aku masih di Jakarta ini, tapi lebaran haji minggu depan aku pulang. Makanya mau nanya sama kamu. Kamu sudah ngelayat, ‘kan?”
Lalu, foto-foto rumah duka yang sesak pelayat, kemacetan mengular yang disebabkannya, orang-orang tak dikenal yang melayat, dan lain-lain, dan lain-lain, bertubi-tubi memenuhi WahtsApp-nya. Tentu saja, tidak ada foto ataupun kabar yang mengungkap kebenaran tak kasat mata: para malaikat menyiapkan seekor sapi sebesar gajah sebagai tunggangan si penjual pentol bakso keliling.
Tunggangan buat ke mana?
Ke taman bunga yang harum, harum sekali, sepanjang masa.
Lubuklinggau, 24-26 Juni 2022
1 Comment
Cerita kita, antara kesedihan ketakadilan duniawi. Dan berita gembira ria abadi. Seperti Aqsha. Antara teraniaya dan semerbak darah suhada berwangi misk.