Zagreb: Terlukalah, Meski Sekali

 Zagreb: Terlukalah, Meski Sekali

Zagreb, an old city with wounds (personal documentation)

 
Patah hati adalah pengalaman yang menyejajarkan semua orang, apa pun latar belakangnya.

Oleh Benny Arnas

Saya tiba di kota itu pada pagi yang malas bangun. Kabut masih menggantung rendah di atas jalan tol ketika mobil Blablacar yang saya tumpangi perlahan memasuki tepian Ribnjak. Hari itu, awal Maret 2023, kunjungan kedua saya ke tempat yang empat tahun lalu menyambut dengan matahari musim semi yang hangat. Kali ini, Zagreb tampak pucat, seolah mengingatkan saya bahwa meskipun tuan rumah memang menunggu, namun ia tidak wajib menyuguhkan sambutan yang sama.

***

Mendengar Dragan …

Perjalanan dari Bled menempuh waktu hampir tiga jam. Sang sopir, seorang pria berwajah keras bernama Dragan, menjemput saya di halte dekat danau. Sebelum menjemput, ia mengirim pesan: “Mobilku BMW tua. Kalau tak keberatan, duduk di depan saja. Kaki belakang rusak sedikit.” Saya menuruti tanpa banyak tanya. Saya memasukkan ransel ke bagasi, memperhatikan perawakannya yang menua, mungkin mendekati enam puluh.

Sepanjang perjalanan, ia nyaris tak berbicara, kecuali ketika kami menepi di pom bensin di Ljubljana untuk membeli kopi. “Coba kopi bosnia ini,” katanya pelan, menyerahkan cangkir kertas pada saya, ketika saya mengatakan bahwa saya tidak tertarik mampir di ibu kota Slovenia itu karena saya belum menemukan narasumber yang akan memberi saya banyak informasi tentang yahudi Polandia yang menjadi eksil di negara ini. Aroma robusta panggang memenuhi kabin mobil. Laki-laki yang memperkenalkan diri bernama Dragan itu menyalakan rokoknya, menatap kabut dengan mata yang seperti menembus jauh ke satu masa di belakang sana.

Mobil melaju lagi, menyisakan bunyi mesin tua yang mengaduh pelan. Di luar jendela, pemandangan kota tua yang hijau basah perlahan digantikan ladang terbuka. Rumah-rumah beratap merah tersebar acak di kejauhan. Saya sempat hendak melanjutkan novel yang tertunda di laptop yang baru saya buka, ketika Dragan mendadak bersuara.

“Kau tahu, dulu jalan ini penuh tank.”

“Tank?” Tangan saya refleks menutup laptop.

“Perang,” jawabnya pendek.

Kata itu seperti palu memukul ruang hening di antara kami. Saya menatap wajahnya. Rahang keras, mata sayu, pipi berkeriput yang entah bagaimana memancarkan suara lain yang tak terucapkan. Ia melanjutkan tanpa menoleh.

“Tahun 1991. Saya masih 24. Dikirim ke garis depan. Osijek. Kau tahu Osijek?”

Saya mengangguk pelan meski tak yakin letaknya. Nama-nama kota di Balkan berputar di kepala saya seperti bidak catur di papan yang kabur. Ia bercerita tentang malam-malam panjang yang pecah oleh sirene dan dentuman meriam. Tentang pagi-pagi yang bau mesiu. Tentang temannya yang mati dalam pelukannya dengan dada terbuka seperti tanah basah habis dicangkul. Tentang hujan musim gugur yang mengguyur parit perlindungan hingga tentara harus menembak sambil berendam di lumpur.

Saya mendengarkan sambil menatap ke luar jendela. Danau Bled yang magis tadi pagi mendadak kehilangan cahaya. Masih teringat menara gereja kecil yang menembus kabut, seolah menegaskan doa selalu menemukan jalan pulang. Namun, bersama lelaki tua dengan luka-luka perang yang tak pernah benar-benar kering ini, Bled terasa seperti potret berwarna yang ditaruh di ruang gelap. Indah tapi tak berdaya.

“Setelah perang,” lanjutnya, “kami pulang. Tapi rumah sudah bukan rumah lagi. Begitu juga kami.”

Setelah perang, kami pulang. Tapi rumah sudah bukan rumah lagi. Begitu juga kami.

Dragan

Kali ini ia menoleh pada saya. Matanya kosong, seperti menatap sesuatu di belakang bahunya. Saya menunduk, meneguk kopi Bosnia yang pahit, menahan aromanya yang menampar indra. Barangkali begitulah rasa perang: pahit, hangat, menempel di lidah, menolak dilupakan.

Mobil melambat memasuki kawasan perkotaan. Tram berwarna biru melintas pelan di rel tengah. Orang-orang menunggu di halte, menenteng tas belanja, menatap langit pucat. Di kejauhan menara kembar katedral menembus kabut, menciptakan siluet runcing yang menegaskan wilayah ini pernah dikuasai kerajaan besar dan jatuh berulang kali dalam sejarah yang melelahkan.

Kami menepi di trotoar dekat alun-alun pusat kota. Dragan mematikan mesin, menatap ke depan beberapa saat sebelum menoleh dan tersenyum kecil.

“Terima kasih sudah mendengarkan,” katanya.

Saya menjejakkan kaki di trotoar. Ia membantu menurunkan kopor, menepuk bahu saya pelan, lalu pergi begitu saja. Punggungnya perlahan menghilang di tikungan jalan. Bau rokok dan kopi bosnia masih tertinggal di indra penciuman saya.

Di sekitar, pejalan kaki menapaki batu-batu trotoar yang dingin. Gedung-gedung Austro-Hungaria berdiri menua dengan cat krem kusam dan jendela kayu besar yang tak kalah renta. Udara pagi menusuk pipi. Tram biru lain datang, melaju dengan suara lembut di atas rel besi, seolah membawa penumpang melintasi waktu dan luka-lukanya.

Saya menarik kopor, melangkah menuju hostel, menatap menara kembar katedral yang menembus kabut pagi. Entah mengapa, langkah saya terasa lebih berat dari biasanya. Bukan karena kopor, tapi karena cerita-cerita luka yang menempel di udara kota ini—menempel pada setiap batu bangunan, setiap wajah yang menatap kosong, setiap tram biru yang melintas dengan diam.

Ketika membuka peta digital untuk mendapatkan jalur jalan kaki yang lebih dekat ke penginapan, saya menyadari satu hal: ada kota-kota yang menawarkan kita mimpi, ada pula kota yang menawarkan kita cermin. Tempat ini, bukan tempat untuk melupakan. Ia adalah ruang di mana luka tak pernah benar-benar disembuhkan. 

Saya terus berjalan menapaki batu-batu trotoar, membiarkan roda kopor menimbulkan bunyi berirama. Rasanya seperti mengetuk pintu masa lalu kota ini satu per satu. Bau roti panggang dari kafe kecil di sudut jalan bercampur dengan aroma tembakau, menyergap pagi yang masih menggigil. Di bawah jendela apartemen tua, seorang perempuan paruh baya merapikan pot geraniumnya. Matanya menatap kosong pada bunga merah yang seolah mengingatkan dirinya pada masa yang entah kapan.

Saya berhenti sejenak di dekat halte tram. Seorang pria berjas abu-abu berdiri menunduk menatap layar ponselnya. Di sampingnya, seorang nenek berkerudung hitam memegang tas belanja kain dengan pola bunga kecil. Mata mereka sama-sama menatap kosong, menunggu kendaraan biru yang akan membawa mereka pergi entah ke mana. Wajah mereka tak memancarkan tergesa, seperti telah memahami hidup tak perlu terlalu cepat.

Di ujung halte, poster besar terpampang pada dinding toko roti: potret hitam putih tentara muda yang menatap kamera dengan senyum tipis. Saya mendekat, membaca tulisan kecil di bawah foto. “Mengenang para pejuang kemerdekaan yang gugur dalam Perang Tanah Air.” Saya menatap matanya lebih lama. Dalam foto itu, ia tampak bangga, matanya memancarkan harapan, mungkin ia membayangkan masa depan negaranya akan sebaik keyakinan yang menegakkan punggungnya di foto tersebut. Namun kita tahu, perang tak pernah memberi kemenangan utuh. Kemenangan hanya nama lain dari kehilangan orang lain.

Langkah saya kembali terayun. Di samping katedral, tenda-tenda putih menjajakan bunga, madu, dan keju. Penjualnya sibuk menyusun dagangan. Mereka tampak biasa saja, seolah hidup mereka tak pernah terusik perang. Tapi saya tahu, perang tak selalu menampakkan bekasnya di permukaan. Luka-luka itu menempel di saraf diam, menunggu ditarik oleh cerita atau bau kopi bosnia seperti pagi tadi.

Saya masuk ke lorong kecil, melewati grafiti yang menutupi separuh dinding bata merah. Ada tulisan besar: “No more brother wars.” Tak ada yang menoleh ketika saya berhenti membaca. Barangkali kata-kata itu sudah terlalu akrab untuk diacuhkan. Atau terlalu sakit untuk dilihat terus-menerus.

Sambil melangkah menuju hostel yang tersembunyi di antara toko buku dan kafe tua, saya bertanya pada diri sendiri, berapa banyak luka yang dibutuhkan manusia untuk mengerti arti tumbuh. Di tempat ini, sepertinya luka bukan sekadar peristiwa traumatis, melainkan artefak budaya yang diwariskan generasi ke generasi. Seperti tembok-tembok bangunan Austro-Hungaria yang tetap berdiri meski catnya terkelupas dan batu-batunya berlumut. Luka menjadi sesuatu yang diawetkan, bukan untuk dikenang dengan dendam, tapi untuk dipahami bahwa sejarah tak pernah benar-benar selesai.

Saya menghela napas panjang ketika menatap langit yang mulai cerah. Kabut perlahan menyingkir, menampakkan menara-menara gereja dan bangunan barok berwarna pastel yang menua dengan elegan. Ada keindahan yang rapuh dalam setiap detail kota ini. Keindahan yang lahir bukan dari kehendak untuk menjadi cantik, melainkan karena keterpaksaan untuk bertahan. Dan di sinilah, bagi saya, kota ini menjadi guru tanpa suara.

Saya melanjutkan langkah, menahan desir hangat di dada yang entah kenapa muncul tiba-tiba. Mungkin, seperti kata Dragan tadi, rumah tak lagi sama setelah kita pulang. Mungkin juga, kota ini hanya ingin berbisik: bahwa kehilangan adalah bagian dari hidup, dan untuk tetap waras, kita perlu belajar menerima patah, persis seperti gedung-gedung tua ini yang menua bersama retakan-retakannya.

Kopi, Tentara, dan Menuliskan Kepedihan

Saya duduk di bangku kayu taman di belakang sebuah gedung neo-klasik yang disulap menjadi galeri seni. Di depan saya, pohon-pohon chestnut menua dengan daun-daun lebat yang meneduhi jalan setapak. Aroma prigorska pogača–roti yang dibuat dengan campuran tepung, ragi, minyak, telur, gula, susu, dan garam.–yangbaru saya beli dari kafe kecil di sudut jalan, memberi efek menenangkan. Setelah dua gigitan memberi sensasi gurih yang lama lengket di lidah sehingga beberapa teguk kopi bosnia yang saya seruput dengan Dragan tadi menguap di langit-langit mulut, saya sepertinya butuh cappucino.

Pagi itu belum benar-benar hangat. Kabut tipis menari di antara batang pohon. Saya menyeruput cappucinoperlahan, menahan agar panasnya tidak melukai lidah.

Tak jauh dari bangku saya, seorang pria berseragam loreng duduk di atas kursi besi hitam. Ia tampak berusia awal 40-an, dengan dagu kokoh dan mata coklat tua yang menatap jauh ke depan, seakan menembus pepohonan dan gedung-gedung tua di belakangnya. Kopi kaleng ada di genggamannya. Tangannya besar dan bersih, kukunya terpotong rapi. Saya menatapnya beberapa detik, merasa ada yang istimewa dalam ketenangan wajahnya.

Saya mengangkat gelas kertas saya, menawar sapaan tanpa suara. Ia menoleh, lalu mengangkat kaleng kopinya, membalas isyarat. Kami tersenyum kecil, lalu kembali menatap jalan setapak. Sesekali suara burung merpati yang beterbangan memecah keheningan pagi. Saya membayangkan, jika ini film, adegan kami berdua hanya akan diiringi musik orkestra pelan, menegaskan keheningan yang bicara lebih keras daripada dialog.

Sekitar lima menit kami diam. Hingga ia menoleh dan berbicara pelan dalam bahasa Inggris dengan aksen Slavik yang khas. “Kopi yang enak.”

Tentu saja saya menoleh.

“Tapi terlalu pahit untuk pagi yang damai.”

Saya masih menoleh, kali ini dengan tersenyum. “Kadang, yang pahit justru membuat kita merasa hidup,” kata saya.

Ia tertawa pelan. Tawa yang kaku, tapi hangat, seperti hendak mengeluarkan segala dari dadanya, dari masa lalunya …. “Benar,” katanya sambil menatap kaleng kopi di tangannya. “Dulu, waktu latihan militer, kopi sachet murahan pun terasa nikmat. Sekarang, setelah semua reda, kopi mahal pun tidak selalu menenangkan.”

Dulu, waktu latihan militer, kopi sachet murahan pun terasa nikmat. Sekarang, setelah semua reda, kopi mahal pun tidak selalu menenangkan.”

Luka

Saya menatapnya lebih dalam. “Kamu tentara aktif?”

Ia mengangguk. “Masih. Tapi hanya tugas administratif. Dulu saya ikut di lapangan, Bosnia, Kosovo, kemudian pulang dan bertugas di negara sendiri.”

Ada jeda. Saya hanya menatapnya dengan mata penuh tanda tanya, menunggu jika ia ingin bercerita lebih jauh.

“Di akademi militer, para senior kami selalu bercerita tentang bagaimana negara ini dulu adalah satu tanah air besar,” lanjutnya pelan. “Kami tumbuh dengan cerita tentang bagaimana negara itu hancur oleh orang-orang yang tidak tahan dengan perbedaan. Cerita tentang pertempuran, pembantaian, dan rumah-rumah yang terbakar.”

Ia meneguk kopinya, menatap kalengnya lama. “Tapi yang paling menakutkan bukan perang, melainkan hari-hari setelahnya. Bagaimana orang-orang berjalan di puing, memungut sisa kehidupannya, berusaha melanjutkan hidup tanpa satu pun yang tetap sama.”

Saya mendengarkan dengan seluruh kesadaran saya. Bau kopi dan dedaunan pagi itu seolah menjadi latar pendukung untuk kesaksian yang berat ini. Di hadapan saya, duduk seorang manusia yang menyimpan luka tak kasat mata, luka yang tak pernah sepenuhnya pulih. Luka yang diwariskan dalam cerita, dalam cara mendidik anak-anak mereka, dalam cara menatap masa depan dengan waspada.

“Kamu tahu,” katanya, menoleh pada saya. “Di akademi, kami diajarkan taktik perang, strategi, dan kepemimpinan. Tapi tak ada satu pun pelajaran tentang bagaimana hidup setelah perang. Tidak ada pelajaran tentang bagaimana memaafkan musuh yang membunuh sahabatmu. Tidak ada kelas tentang bagaimana memaafkan dirimu sendiri karena gagal melindungi mereka.”

Saya menatap matanya. Ia menatap ke depan, kosong. Ada garis-garis halus di sudut matanya, seperti aliran sungai kecil yang lama mengering. Saya tahu ia tidak sedang berbicara pada saya, melainkan pada sesuatu yang jauh di dalam dirinya, mungkin pada anak muda berseragam yang dulu mengangkat senjata dengan yakin, sebelum mengetahui bahwa kemenangan hanya nama lain dari kehilangan orang lain.

“Kamu menyesal pernah jadi tentara?” tanya saya pelan.

Ia diam lama. Seekor merpati hinggap di bangku di antara kami, menoleh, lalu terbang lagi. Angin berembus pelan, menggoyang daun-daun chestnut hingga menimbulkan suara rintik yang menenangkan.

“Tidak,” katanya akhirnya. “Tanpa perang, saya tidak akan pernah mengerti apa itu damai.”

Ia berdiri, merapikan jaket lorengnya. “Dan kamu?” katanya sambil menatap saya. 

“Saya penulis.”

“Teruslah menulis.”

Saya tertawa. “Nasihat yang aman. Benny!” Saya menyodorkan tangan.

“Luka.” Ia menyambut tawaran saya. “Kamu tidak terbiasa tinggal di negara dingin?” 

Saya tahu ia agak terkejut mendapati telapak tangan saya yang dingin. Saya mengangguk. Saya tak ingin mengakui bahwa saya mendadak gugup ketika mendengar namanya. 

“Saya serius,” Luka menyeringai. “Aku dulu punya tentara yang menjadi juru tulis atas surat-surat kami yang panjang untuk keluarga. Kami meminta bantuannya bukan kepandaiannya menulis indah, tapi karena di usia muda, sebagian besar tentara sudah tremor. Pelatihan mengajarkan kami tentang menyerang dan bertahan, bukan melukiskan kekejaman dan kepedihan ke dalam kata-kata. Padahal … menulis itu sangat penting.”

“Kamu serius sekali dengan penghargaanmu pada menulis, Luka?”

Luka mengangguk. “Karena menulis adalah satu-satunya cara agar generasi berikutnya tak perlu belajar dari perang.”

Ia berjalan meninggalkan bangku, langkahnya mantap meski pelan. Saya menatap punggungnya lama, hingga hilang di balik pagar besi taman. “Hati-hati,” kata saya, seakan-akan berharap dia akan berpamitan dengan sopan–dengan meninggalkan kata-kata.

Luka tersenyum. Hanya tersenyum. “Terima kasih untuk percakapannya, Benny.” Lalu ia benar-benar pergi.

Di belakangnya, saya menatap punggungnya yang tegap seraya meneguk sisa kopi  yang sudah dingin. Udara pagi mulai menghangat, menampakkan keindahan kota yang menua bersama luka-lukanya. Saya teringat kata-kata seorang sosiolog: Di tempat yang pernah hancur, manusia belajar cara membangun dengan kesadaran bahwa semua bisa runtuh lagi.

Dan di sini, pada bangku taman di kota tua ini, saya belajar bahwa kopi pahit di pagi hari ternyata tak seberapa dibandingkan pahitnya luka yang ditinggalkan sejarah. Namun di balik kepahitan itu, ada rasa hangat yang menenangkan: rasa bahwa kita masih hidup untuk menyesapnya.

Museum Patah Hati dan Ritual Melepaskan

Langit mendung menggantung siang itu. Jalan-jalan berbatu terasa licin oleh hujan gerimis semalam. Saya berjalan menapaki jalan setapak menanjak yang membawa saya pada sebuah bangunan tua bercat putih dengan papan nama hitam sederhana. Di pintu masuk, terpampang tulisan Museum of Broken Relationships.Tulisan yang empat tahun lalu, ketika kali pertama mengunjungi Zagren, saya baca dalam hati dengan menyebutnya Museum Patah Hati.

Di dalam, lampu-lampu redup memandikan ruangan dengan suasana sendu. Lantai kayu menimbulkan suara berderit pelan setiap kali saya melangkah, seolah lantai itu pun ikut merasakan beratnya kenangan yang dibawa pengunjung. Di sudut ruang pertama, tergantung kalimat: What to do with the objects that outlive love?

Saya berhenti sejenak. Kalimat itu seperti menampar. Kita kerap lupa, patah hati bukan hanya urusan air mata atau kata-kata rindu yang tertahan, melainkan juga tentang barang-barang yang ditinggalkan: cangkir kopi yang tak lagi berpasangan, tiket kereta yang tak jadi digunakan, atau surat-surat yang batal dikirim. Museum ini menyimpan semua itu, bukan sekadar benda, melainkan juga luka yang membusuk jika tak diikhlaskan.

Di rak kaca pertama, terpajang boneka kelinci berwarna putih. Di bawahnya tertulis: Diberikan padaku oleh kekasih pertamaku. Dia pergi menikahi wanita pilihan ibunya. Boneka ini menemaniku menangis berbulan-bulan. Saya menatap boneka itu lama, membayangkan pemiliknya. Apa yang ia rasakan saat menyerahkan boneka ini pada museum? Lega, atau justru semakin sakit?

Saya berjalan perlahan, membaca satu per satu kisah di bawah barang-barang itu. Ada gelas bir retak yang dilem kembali, kalung mutiara palsu, bahkan helm motor berwarna merah muda. Semua cerita hampir sama: pertemuan, kehangatan, kemudian pengkhianatan atau kepergian. Barang-barang itu saksi bisu bagaimana manusia begitu pandai memupuk harap, lalu begitu cepat menjatuhkan sesamanya dalam kehilangan.

Di tengah ruang, seorang perempuan berambut ikal sebahu sedang menata kartu-kartu pos yang dijual di toko museum. Namanya Olinka Vištica, salah satu pendiri museum ini, bersama Dražen Grubišić. Saya menunggu hingga ia selesai menata, lalu menghampirinya.

“Maaf, saya mengirimi Anda surel berkali-kali, tapi saya tak kunjung mendapat balasan?” tanya saya pelan.

Ia menoleh. “Oh ya?” Dahinya mengerenyit. “Ah, saya terlalu sibuk mengurusi luka-luka.” Ia kini tersenyum. “Silakan. Apa yang bisa saya bantu. Kita bisa bicara santai, ‘kan?” tawarnya.

Tentu saja saya mengangguk.

“Kunjungan pertama atau …?”

“Musim semi 2019 saya pernah ke sini.”

“Wow!”

“Tapi saya tak bisa menikmati kunjungan itu. Saya juga tak sempat menyapa Anda. Karena saya bersama rombongan yang … tampaknya tidak punya luka-luka yang harus dilepaskan.”

Oli–begitu ia minta dipanggil–tertawa. Saya pun tertawa.

“Sepulang dari perjalanan itu. Tepatnya ketika saya dan rombongan tiba di Plivitce keeesokan harinya, saya mulai berpikir. Saya akan kembali. Seorang diri.”

Ia mengangguk, menatap mata saya dalam, seolah memastikan saya serius. “Museum ini lahir dari gagasan sederhana. Saat saya dan Dražen berpisah, kami bertanya, apa yang akan kita lakukan dengan semua benda pemberian satu sama lain? Kami tak ingin membuangnya begitu saja. Lalu muncul ide: bagaimana jika kita buat pameran kecil? Ternyata banyak teman juga ingin menitipkan benda-benda mereka. Dari situlah museum ini lahir,” terangnya seperti sudah tahu, itu adalah informasi dasar dan utama yang akan ia bagikan kepada orang-orang yang tertarik atau sekadar ingin tahu tentang Museum Patah Hati.

Saya mengangguk, menahan desir hangat di dada. Melepaskan memang tidak selalu berarti melupakan. Kadang, melepaskan justru merawat kenangan dengan cara menaruhnya di ruang yang pantas, agar kita tak lagi mengusungnya ke mana-mana.

“Menurutmu,” tanya saya, “apa yang membuat museum ini begitu populer?”

Ia tersenyum.  “Tanyakan itu kepada mereka yang datang, Benn.”

“Apakah mungkin karena semua orang pasti pernah patah hati? Dan kita ingin percaya bahwa luka itu punya tempat untuk ditinggalkan. Tidak hanya di dalam hati kita.”

“Kamu sepertinya sudah bisa menjawabnya sendiri.” Ia menahan tawa.

Saya menatap wajah Olinka yang teduh. Ada kebijaksanaan di matanya. Mungkin karena ia sudah mendengar ribuan cerita patah hati, membacanya, dan menatanya menjadi pameran yang menyadarkan kita: kita tidak sendiri. Patah hati adalah pengalaman yang menyejajarkan semua orang, apa pun latar belakangnya.

“Nikmatilah museum ini. Saya harap, di kunjungan kali ini kamu bisa mengkhidmati segala luka di sini. Bukan untuk kamu bawa pulang, tapi kamu sarikan jadi pelajaran.” Lalu perempuan itu meninggalkan saya. Ia menyapa beberapa pengunjung yang sudah menunggu di belakangnya dari tadi.

Saya berjalan kembali menelusuri ruangan, membaca kisah demi kisah. Ada sepatu hak tinggi berwarna emas dengan tulisan: Aku memakainya di pesta pernikahanmu. Kau menari dengan istrimu, aku menari dengan kesakitanku.

Ada juga tali tambang setebal dua jari. Di bawahnya tertulis: Aku ingin bunuh diri ketika dia pergi. Tapi kupilih mengirimkan tali ini ke museum. Kini aku hidup dan mencintai orang lain.

Saya menahan napas. Museum ini bukan sekadar ruang pamer, melainkan altar pengakuan luka. Tempat orang-orang menaruh aib emosional mereka tanpa dihakimi. Museum ini mengajarkan saya satu hal: seseorang tak akan pernah benar-benar pulih dari luka, tapi ia bisa berdamai jika ia berhenti menyangkal bahwa ia terluka.

Seseorang tak akan pernah benar-benar pulih dari luka, tapi ia bisa berdamai jika ia berhenti menyangkal bahwa ia terluka.

Museum of Broken Relationships

Di ujung ruangan, sebelum pintu keluar, terpajang cermin besar dengan kutipan dari Milan Kundera: The heavier the burden, the closer our lives come to the earth, the more real and truthful they become. Saya menatap pantulan diri sendiri lama. Apa saja beban yang selama ini saya pikul? Dari siapa saja luka-luka itu berasal? Dan kepada siapa saya menyerahkannya?

Setelah gagal mendapatkan kesempatan bicara dengan Olinka untuk sekadar pamit, saya keluar dari museum dengan langkah pelan. Hujan telah reda. Jalanan basah memantulkan cahaya lampu-lampu taman yang mulai menyala. Saya menatap langit senja yang kelabu, dan untuk pertama kalinya hari itu, saya merasa lega. Lega, karena saya tahu luka apa pun, jika diakui keberadaannya, bisa diubah menjadi kekuatan untuk melanjutkan hidup.

Barang-Barang yang Menolak Dilupakan

Bakda Zuhur waktu Zagreb, saya duduk di bangku taman kecil di samping museum. Sambil menghabiskan fritule, saya menatap bangunan putih dengan jendela kaca tinggi itu. Roti manis berbentuk bola kecil yang digoreng, mirip dengan donat ini, rasanya agak aneh di lidah saya. Apakah hal itu dipengaruhi oleh keanehan yang meliputi saya sepanjang pagi hingga siang tadi di museum tadi? Ya, rasanya aneh, bagaimana bisa ada sebuah tempat yang dibangun oleh sepasang “korban’ patah hati untuk merayakan perpisahan mereka: memuat ratusan bahkan ribuan patah hati dari orang-orang berbeda belahan dunia. Aneh. Tapi ada. 

Saat masih di dalam, saya mencatat beberapa kisah yang menempel di benak saya, seperti tempelan kertas post-it di meja kerja yang menuntut dibaca ulang. Seorang pria dari Serbia menyumbangkan sepatu dansa ibunya. Sepatu itu, katanya, pernah membuat ibunya menari dengan riang di pesta pernikahannya, sebelum malam itu berubah menjadi neraka. Sang ibu dipukuli suaminya di malam pertama pernikahan. Sepatu itu menjadi saksi bagaimana mimpi seorang gadis tentang rumah tangga hancur, bahkan sebelum ia sempat tidur di ranjang pengantin.

Ada pula seorang perempuan dari Kanada yang menyerahkan tabung kecil berisi abu rokok bekas kekasihnya. Mereka berpisah karena kekasihnya memilih kembali pada mantan istri demi anak-anak mereka. Abu rokok itu, tulisnya, adalah sisa percakapan terakhir mereka di balkon apartemen, ketika hujan salju turun pelan dan mereka tahu tidak akan pernah lagi duduk bersama seperti itu.

Barang-barang itu menolak dilupakan. Museum ini membuktikan, bahwa kita manusia punya cara aneh untuk merawat luka: bukan dengan membuang, melainkan dengan menyimpannya di ruang yang aman, agar ia tak terus menghantui rumah dan tidur kita.

Saya menatap lama museum itu dari bangku taman di seberang jalan setelah tiga teguk air mineral mengusir remah-remah fritule yang berserakan di tenggorokan. Ya, rasanya saya harus menuntaskan satu lorong terakhir. Saya harus kembali.

Di dalam, terpajang gaun pengantin berenda putih. Ceritanya singkat: Aku membelinya dua bulan sebelum pernikahan. Seminggu sebelum hari H, dia pergi dengan wanita lain. Aku simpan gaun ini tujuh tahun. Lalu aku sadar, dia tak akan pernah kembali. Dan aku tak ingin dia kembali.

Saya berdiri lama di depan gaun itu. Tujuh tahun. Bayangkan, tujuh tahun bersama sepotong kain tak terpakai, menempati lemari, menempati hati, menempati doa-doa dan makian. Sampai akhirnya ia menyerahkannya ke sini, seolah berkata pada dirinya sendiri: cukup sudah.

Museum ini memiliki ribuan koleksi sejak pertama kali berdiri tahun 2006. Konsepnya pernah dibawa keliling dunia. Seoul, San Francisco, London, Buenos Aires, Berlin. Olinka Vištica dan Dražen Grubišić menyiapkan tim khusus untuk menyeleksi dan mengelola setiap barang yang disumbangkan. Setiap barang dikurasi, lalu diminta narasi tertulisnya, sebab museum ini bukan tentang barang, melainkan kisah.

Di ruang tengah, seorang staf museum sedang menata ulang etalase. Saya berdiri agak jauh, mengamati caranya menata barang-barang itu dengan teliti. Ia menata bukan seperti penjaga toko menata dagangan, melainkan seperti seorang pendeta menata altar: penuh penghormatan.

Saya teringat kisah suku Kuna di Panama. Dalam budaya mereka, patah hati dirawat dengan ritual purba. Barang-barang kenangan dibakar dalam upacara malam purnama. Mereka percaya, luka yang tidak dilepas akan menjadi racun bagi tubuh. Museum ini, bagi saya, adalah versi modern dari ritual itu. Alih-alih dibakar, barang-barang ditata rapi dan dijadikan bagian dari kisah kemanusiaan yang lebih besar.

Saya menelusuri lorong terakhir. Di sana tergantung lampu neon kecil bertuliskan: Love is a battlefield. Saya menatapnya sambil menahan senyum. Ungkapan itu klise, tapi di museum ini, kata-kata itu menemukan rumahnya.

Setiap orang yang menyumbang barang ke museum ini, menurut Olinka, akan menerima surat ucapan terima kasih. Mereka dipersilakan datang melihat barang mereka dipamerkan, atau membiarkannya menjadi anonim selamanya.

Saya membayangkan, andai saya menyumbangkan sesuatu di sini, apa yang akan saya pilih? Anonim, atau justru ingin dunia tahu bahwa saya pernah terluka?

Saya menatap tangan saya sendiri, membayangkan benda apa saja yang pernah saya genggam dengan rasa cinta, lalu berubah menjadi kenangan pahit. Surat tulisan tangan dari teman yang dulu menolak saya, kaos hitam hadiah dari seorang kawan yang kini membenci saya, bahkan buku-buku tertentu yang tak lagi bisa saya baca karena menorehkan rasa kehilangan pada tiap lembarnya.

Museum ini tidak pernah menghakimi alasan orang-orang menyumbang. Karena sesungguhnya, kita semua punya standar luka sendiri. Ada yang menganggap ditinggalkan pacar hal kecil, tapi bagi orang lain, itu mematahkan separuh hidupnya. Ada yang menganggap perceraian hanya administrasi KUA, bagi yang lain, itu akhir dari harga diri dan eksistensi.

Saya berjalan keluar ketika angin dingin menerpa wajah. Saya menatap langit senja yang masih sama kelabunya seperti saat saya masuk tadi. Namun entah mengapa, kali ini mendung itu terasa menenangkan. Seperti museum yang menenangkan luka manusia. Bukan dengan menasihati untuk melupakan, melainkan dengan menyediakan ruang untuk menaruh semua itu.

Di depan museum, sepasang turis muda sedang berfoto selfie dengan latar tulisan Broken Relationships. Mereka tampak tertawa. Entah mereka paham atau tidak, bahwa tempat yang mereka jadikan latar foto itu sesungguhnya adalah ruang pengakuan paling sunyi tentang cinta dan kehilangan.

Saya berjalan perlahan, menuruni tangga batu menuju jalan utama. Ada desir kecil di hati, semacam rasa lega, seperti baru saja melepaskan beban. Saya menatap jemari sendiri sekali lagi, menimbang-nimbang barang apa yang layak saya lepaskan, bukan karena membenci kenangan di dalamnya, melainkan karena saya ingin hidup lebih ringan.

Dan mungkin, museum ini, meski tak menyembuhkan, telah menunjukkan satu jalan: bahwa luka, jika diakui dan ditempatkan di ruang yang tepat, tak lagi melukai. Ia hanya akan menjadi cerita, bagian dari kita yang menua dengan damai.

Menambal Luka dengan Sepatu Lari

Pagi ketiga, sebelum matahari terbit sempurna, saya keluar dari penginapan dengan sepatu lari, trening panjang hitam, dan jaket tipis. Udara dingin mengusapwajah, menusuk tulang, menegaskan bahwa awal musim dingin mulai menampakkan taringnya. Jalanan masih sepi. Lampu-lampu kota berpendar kuning, menimpa trotoar basah sisa gerimis semalam.

Saya mulai berlari perlahan, menapaki jalur pejalan kakiyang membelah taman-taman kota, menyeberangi jembatan tua yang menatap sungai mengalir tenang di bawahnya. Lima tahun lalu, saya nyaris tak percaya bisa berlari. Napas saya pendek, lutut saya rapuh, pikiran saya terlalu bising dengan alasan untuk berhenti, dan … saya terlalu asyik dengan kata-kata yang melompat dalam kepala dan layar laptop yang dengan tangan terbuka selalu setia menampungnya. Tapi itu dulu. 

Hari itu, peralihan antara musim dingin dan musim semi di jantung Eropa Tengah, langkah kaki saya mantap. Empat tahun terakhir, lari menjadi ritual yang menambal luka-luka lama. Setiap langkah seolah menegaskan bahwa tubuh ini masih sanggup menanggung beban hidup, betapapun beratnya. Dulu, ketika di sekolah saya dirisak karena kemiskinan, baju seragam saya yang kumal, celana pendek merah SD saya yang sedikit robek di salah satu ujungnya, dan sepatu hitam bolong dan sedikit menganga, sering dijadikan bahan olok-olok. Ada lagi, nilai Matematika saya yang jauh  di bawah rata-rata, membuat luka masa kecil itu makin basah dan selalu sukar mengering tiap kali hadir dalam ingatan ketika dewasa. Saya selalu ingat, teman-teman yang bilang saya pendek, miskin, dan bodoh. Saya percaya itu, untuk waktu yang lama.

Saya menghabiskan masa sekolah dengan menunduk, berbicara seperlunya, menahan lapar jika tak membawa bekal. Saya ingin sekali menghabiskan waktu di perpustakaan, tapi di SD, ruangan itu selalu terkunci karena petugasnya begitu khawatir buku-bukunya akan kami curi.

Di kampus, keadaan tak banyak berubah. Saya sering menghindar ketika teman-teman mengajak mendaki gunung atau menjelajah air terjun. Bukan karena tak sanggup menandingi ketahanan fisik mereka, tapi petualangan selalu diakhiri dengan perayaan ini-itu dan saya selalu tak punya cukup uang untuk patungan. Sebagian tahu kalau itu adalah masalah saya, tapi memilih tak peduli. Sementara yang tak tahu, menganggap saya terlalu pelit atau lemah. Ah, terserah. Akhirnya, saya lebih memilih aktif di organisasi dakwah kampus, latihan nasyid, atau sesekali duduk di sudut kantin dan masjid kampus, membaca atau menulis puisi di buku catatan yang kertasnya mulai coklat dimakan waktu. Saya bergabung dengan organisasi jurnalistik, namun saya tak berkontribusi. Belakangan saya tahu, renjana saya pada narasi, bukan berita. Saya menyukai cerita, bukan data.

Hari ini, di kota tua ini, saya berlari melewati bangunan-bangunan bergaya Austro-Hungaria. Pilar-pilar tinggi, jendela lebar berbingkai kayu tua, dan balkon kecil dengan bunga-bunga geranium menatap langkah saya dengan keheningan yang bijak. Saya menyeberang taman utama. Di sana, pohon-pohon mapel menggugurkan daun-daun oranye yang menumpuk bagai karpet hangat di atas tanah basah.

Kilometer keenam, nafas saya mulai berat, tapi langkah tak mau berhenti. Lari bagi saya bukan hanya tentang olahraga, tapi juga tentang menantang diri. Tentang menaklukkan suara kecil dalam kepala yang terus berbisik, “Berhenti saja. Lagi pula sudah lewat 5 kilometer. Mana cuaca dingin lagi. 5 derajat cui!”

Saya berlari menuju tugu peringatan Perang Dunia I. Di sana, nama-nama tentara yang gugur diukir pada batu granit hitam. Saya berhenti sejenak, menatap nama-nama itu. Luka-luka mereka abadi, tak lagi menuntut kesembuhan. Tapi luka saya, luka kita semua yang masih hidup, menuntut kita untuk terus berjalan, menolak menyerah, menolak menua hanya dengan penyesalan.

Kilometer kedelapan, saya menuruni jalur pejalan kakimenuju sungai yang membelah kota. Kabut tipis menari di atas air. Langit perlahan berubah warna, dari kelabu menjadi jingga muda. Seekor anjing golden retriever berlari menyalip saya, lidahnya terjulur, matanya bersinar riang. Pemiliknya berlari perlahan di belakang, sambil tersenyum pada saya. Kami saling mengangguk, saling memahami bahwa pagi ini, kami sama-sama menjemput hidup dengan cara paling jujur: bergerak.

Kilometer kesembilan, kaki saya mulai pegal. Tangan saya dingin. Tapi hati saya hangat. Saya menatap gedung opera dari kejauhan, menara jam yang mulai menua, serta trem tua berwarna biru yang melintas pelan di relnya, mengantarkan orang-orang pergi bekerja. Di sini, semua terasa biasa, tapi bagi saya pagi ini adalah kemenangan.

Kilometer kesepuluh, saya berhenti di depan katedral tua yang menara kembarnya menggaruk langit pagi. Napas saya tersengal. Jaket saya basah oleh keringat. Tangan saya gemetar oleh dingin. Tapi dada saya terasa lapang.

Saya menatap menara katedral yang tinggi menjulang. Arsitekturnya gothik, dibangun berabad-abad lalu, menanggung perang, gempa, kebakaran, dan restorasi tak terhitung. Tapi ia tetap berdiri. Luka-lukanya dipugar, diperbaiki, disulam dengan batu-batu baru. Ia tak pernah menolak tambalan itu. Sebab menolak berarti merelakan runtuh. Dan bagi sebuah menara, runtuh berarti kehilangan arti keberadaannya.

Begitu pula manusia. Luka tak pernah menghilang. Luka hanya berganti rupa menjadi kekuatan, jika kita mau menambalnya dengan langkah-langkah baru. Dan pagi itu, langkah-langkah saya menambal begitu banyak luka: kemiskinan, ejekan, kegagalan, ketakutan, juga kesepian panjang yang selalu terasa di malam hari.

Saya menarik napas panjang. Bau pogačdan kopi dari kafe di seberang jalan menyapa hidung. Lampu-lampu jalan mulai redup, digantikan sinar matahari yang menembus celah bangunan tua. Saya berjalan perlahan menuruni tangga katedral, menatap sepatu lari saya yang basah oleh embun. Saya selalu ingat dan percaya, ketika dalam kecepatan, energi alfa menjadi-jadi! 

Jadi, sangat tak mungkin saya melewatkan Zagreb, yang tak pernah berhenti menata hatinya, untuk tidak lari: mengkhidmatinya, mengirup aroma masa lalunya, sebelum pulang dengan gembira untuk menuliskan cerita demi cerita, meskipun saya hanya membawa sepatu kets biasa, bukan sepatu lari. Duh!

Karena hidup, pada akhirnya, bukan tentang melupakan luka, melainkan tentang menambalnya agar kita bisa terus berjalan, menua, dan menuliskan kisah-kisah kecil kita sebelum dunia melupakan nama kita sama sekali.

Saya pandangi lagi New Balance yang baru saja saya ikat talinya. Sepatu itu tak mahal. Harganya hanya sepertiga sepatu lari profesional. Tapi ia setia menapak setiap kilometer perjalanan saya, di mana pun saya berada. Ia tak peduli apakah jalan itu trotoar di kota Eropa, tanah becek di kampung, atau aspal panas di tengah kota besar. Sepatu itu hanya tahu satu hal: berlari adalah cara terbaik untuk membiasakan diri dalam kecepatan. Baik sebagai energi kreatif ataupun situasi yang mendesak untuk dibereskan.

Saya tersenyum pada diri sendiri. Hari itu, saya merasa telah menambal sedikit luka lama. Mungkin besok, luka itu akan robek lagi oleh kenyataan hidup. Tapi besok juga, saya akan kembali berlari, menambalnya dengan langkah-langkah baru.

Karena hidup, pada akhirnya, bukan tentang melupakan luka, melainkan tentang menambalnya agar kita bisa terus berjalan, menua, dan menuliskan kisah-kisah kecil kita sebelum dunia melupakan nama kita sama sekali.(*)

Zagreb, 2024–Bengkulu, 2025

Benny Arnas

https://bennyarnas.com

Penulis & Pegiat Literasi

5 Comments

  • Banyak pelajaran penting yang diambil dari sejarah, benar kata Soekarno dalam kutipannya, “JASMERAH (Jangan sekali-kali melupakan Sejarah).” Keren tulisannya bang✨

  • Tulisan ini begitu hidup dan menyentuh. Narasi yang dalam, puitis, dan penuh empati—membuat saya merasa hadir di sana, menyaksikan luka, tetapi juga keteguhan manusia di tengah krisis. Luar biasa. Keren sekali Bang Benny 🥹⭐️

    • Tulisan tentang luka mengajarkan bahwa Luka itu bukan sebuah kata yang harus kita lupakan, tetapi menjadi kata yang penuh makna bahwa Luka mengajarkan kitabsetiap proses nya menjadi lebih baik..
      Terima kasih bang Ben 🙏🏻

  • Tulisan ini membawa saya masuk sampai dalam. Setiap kata tidak hanya menjelma pada kelindan imajinasi di kepala, namun juga rasa yang penuh. Dada yang sesak. Hati yang luruh.
    Teruslah menulis Bang Benny….

  • Dan ternyata memeluk luka kasta tertinggi bagi orang yang terluka. Diperlukan kekuatan yang lebih dahsyat dari sekedar menghapus luka.
    Berdamai dengan keadaan.

    Terimakasih untuk tulisan yang luar biasa 🙏

Leave a Reply to Melvi Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *