Sastra dan Firasat: Ketika Cerita Menjadi Peringatan

 Sastra dan Firasat: Ketika Cerita Menjadi Peringatan

Sumber ilustrasi: de_mauraisyah





Fiksi adalah tempat manusia menguji kemungkinan masa depan.

Rebecca Braun

OLEH BENNY ARNAS


Sekitar enam bulan sebelum air bah menyapu Aceh pada Desember 2004, harian Kompas memuat cerpen Azhari berjudul Air Raya. Kisahnya tentang laut yang murka dan manusia yang hidup dengan ketakziman terhadap air—dibaca sekilas seperti alegori ekologi, tapi setelah tsunami datang, banyak orang mengenangnya sebagai firasat yang tak terbaca. 

Sejak manusia mengenal bahasa, cerita selalu menjadi cara untuk menavigasi yang belum terjadi. Sebelum ada peta, manusia punya mitos. Sebelum ada meteorologi, mereka punya kisah tentang murka langit. Sejak itu, bercerita bukan hanya tentang mengingat, tapi juga tentang menebak, mencari pola di balik kekacauan hidup. Bahkan, jauh mendahului sastra, kitab-kitab kuno, dari Mahabharata sampai Al-Qur’an, kerap menyampaikan peringatan melalui kisah. 

Dalam hal ini, apa yang “diramal” Air Raya sebenarnya bukan hal baru. Sejarah kesusastraan penuh dengan teks-teks yang seolah menatap ke depan. 

Mary Shelley, melalui Frankenstein (1818), memeriksa godaan manusia menciptakan kehidupan buatan, dua abad sebelum perdebatan tentang kecerdasan buatan menyeruak.

Di ranah teknologi dan sains. H. G. Wells menulis The World Set Free (1914) tentang bom yang melepaskan energi matahari di tangan manusia, tiga dekade kemudian bom nuklir menjadi kenyataan. 

Jules Verne menulis From the Earth to the Moon (1865), dan seabad kemudian manusia menjejakkan kaki di bulan. Bahkan Arthur C. Clarke mengusulkan teori orbit geostasioner yang menjadi dasar satelit komunikasi. 

George Orwell menulis 1984 (1949) sebagai peringatan terhadap supremasi pengawasan dan manipulasi bahasa. Saat kamera pengintai menjadi bagian kota dan algoritma mengamati perilaku manusia, kalimat Orwell terasa seperti laporan terkini. Sinclair Lewis dalam It Can’t Happen Here (1935) sudah menulis tentang demagogisme populis di Amerika jauh sebelum istilah “post-truth” muncul.

Dalam ranah lingkungan, lewat Silent Spring (1962), karya non-fiksi bergaya sastra, Rachel Carson menulis dengan nada elegi: “A world without birdsong is a world half dead.” Ia memadukan bahasa sains dan rasa duka, dan buku itu mengguncang kesadaran ekologis Barat, memicu regulasi pestisida dan gerakan lingkungan global. Karya ini menjadi contoh nyata bagaimana penulisan yang jeli terhadap data ilmiah menjadi protes sastra terhadap bencana yang akan datang.

Di dunia Arab, Tayeb Salih menulis Season of Migration to the North (1966), novel yang kelak dianggap memprediksi konflik identitas pascakolonial yang menyapu Sudan dan sekitarnya. Dalam novel itu, tokohnya kembali ke desa setelah belajar di Inggris, membawa serta kegelisahan Timur yang menatap Barat dengan kagum sekaligus dendam. Salih menulis, “He was like the sayal bushes in the deserts of the Sudan, thick of bark and sharp of thorn, escaping death because they ask so little of life.” Kalimat yang terasa seperti nubuat tentang masyarakat yang terjepit antara warisan kolonial dan kekerasan baru yang tumbuh dari luka lama.

Sementara itu di Afrika Timur, Ngũgĩ wa Thiong’o menulis Petals of Blood (1977), novel yang memaparkan korupsi pascakemerdekaan Kenya—dua dekade sebelum krisis politik di negara itu pecah secara nyata. 

Dalam sebuah wawancara, Ngũgĩ menyebut bahwa “the act of imprisoning democrats and militant workers reveals many things … the people have seen through their official lies.” Kalimat itu kemudian menjadi nyata ketika pemerintah Kenya memang menangkap para aktivis dan menutup surat kabar independen pada akhir 1980-an.

Dan tentu, Camus tidak sedang menulis nubuat dalam arti literal ketika menulis The Plague (1947) yang menjadi alegori wabah penyakit, melainkan ia sedang menggambarkan siklus ketakutan dan kebebasan. Saat dunia disergap pandemi pada abad ke-21, novel itu dibaca ulang bukan sebagai nubuatan, tapi sebagai peta moral: bagaimana manusia bereaksi saat kehidupan tiba-tiba kehilangan makna.

Tentang fiksi, kritikus sastra Inggris Rebecca Braun, menulis dalam risetnya “Literary Futures: Harnessing Fiction for Futures Work” (2024), sebagai “tempat manusia menguji kemungkinan masa depan.”  

Fenomena seperti ini membuat banyak periset tertarik menelusuri hubungan antara imajinasi sastra dan realitas sosial. Dalam riset “Translating Tayeb Salih’s Novel Season of Migration to the North” (2024), Nawal Abuzwaid dan Raees Unissa menulis bahwa kekuatan novel itu justru terletak pada “kemampuannya menyatukan kesadaran sejarah dan intuisi psikologis yang melampaui fakta-fakta zamannya.” Artinya, penulis tidak sekadar merekam peristiwa, melainkan menangkap pola di balik peristiwa—sebuah bentuk intuisi kultural yang hanya bisa muncul dari kepekaan mendalam.

Dalam riset lain, “Ngũgĩ wa Thiong’o’s Petals of Blood: Visions of Africa” (Osborne-Bartucca, Research in African Literatures, 1995), disebutkan bahwa karya Ngũgĩ mampu “menggambarkan kegagalan masa depan Afrika yang telah dijanjikan,” dan karenanya “berfungsi sebagai peringatan lebih daripada protes.” Jadi, sastra di sini tidak hanya menyuarakan ketidakadilan, tapi juga memberi lanskap etis: bagaimana masa depan mungkin gagal bila kita tak belajar dari luka masa lalu.

Hal ini menunjukkan bahwa “membaca masa depan” dalam sastra bukanlah sihir. Ia adalah kemampuan mengindera perubahan sebelum menjadi statistik. 

Penelitian di bidang “foresight studies” (Braun, Lehane & Roca Lizarazu, 2024) bahkan menegaskan bahwa fiksi mampu memperluas imajinasi kebijakan publik, membantu masyarakat membayangkan krisis iklim, teknologi, dan etika masa depan. 

Dalam bahasa yang lebih lembut, Octavia Butler pernah menulis, “All that you touch, you change. All that you change, changes you.” Ia tidak menubuatkan kiamat, melainkan mengingatkan bahwa setiap tindakan kecil membawa dunia ke arah yang lain.

Margaret Atwood juga menolak sebutan nabi. “I’m not a prophet,” katanya, “I just pay attention.” Karyanya The Handmaid’s Tale (1985) lahir dari pengamatan terhadap sejarah perbudakan, kolonialisme, dan teokrasi. Namun beberapa dekade kemudian, banyak pembaca perempuan di berbagai negara menyebut novel itu sebagai cermin yang memantulkan ancaman hak-hak tubuh mereka sendiri.

Barangkali itu sebabnya setiap kali bencana terjadi, orang kembali mencari teks lama. Mungkin bukan karena penulis tahu masa depan, tapi karena mereka menulis dengan mata yang lebih lebar dari waktu. Mereka mencatat getar-getar kecil yang kita abaikan: air yang meninggi, bahasa yang membusuk, udara yang kehilangan burung.

Di dunia sastra, ukuran kehebatan sebuah karya bukanlah seberapa tepat ia menebak masa depan, melainkan sejauh mana ia mengajarkan kita membaca tanda-tanda kecil yang mungkin menyelamatkan. Bukan sekadar ramalan, tapi kesadaran; bukan sekadar pengetahuan, tapi keberanian untuk bertindak.

Dan mungkin, pada akhirnya, itulah sebabnya kisah selalu mendahului zaman. Bukankah Al-Qur’an, Injil, Taurat, hingga Weda menyampaikan ajaran tertingginya melalui cerita? Nabi-nabi, raja-raja, bangsa-bangsa, perjalanan dan kejatuhan, semuanya, hadir dalam bentuk naratif. 

Cerita-cerita itu melampaui waktu karena di dalamnya berdenyut sesuatu yang tetap: pengalaman manusia yang mencari makna. Di sana, firman dan kisah bersekutu, membuktikan bahwa sejak awal mula, Tuhan pun memilih bercerita untuk menuntun manusia melihat masa depan dirinya sendiri.(*)

Lubuklinggau, 3 November 2025

Daftar Pustaka

Abuzwaid, Nawal & Raees Unissa. Translating Tayeb Salih’s Novel Season of Migration to the North: The Challenge of Culture. International Journal of Language and Literary Studies, Vol. 5, No. 2 (2024).

🔗 https://ijlls.org/index.php/ijlls/article/view/2526

Azhari. “Air Raya.” Kompas, 11 Juli 2004. (Cerpen).

Atwood, Margaret. The Handmaid’s Tale. McClelland and Stewart, 1985.

Braun, Rebecca, Lehane, Owen, & Roca Lizarazu, Maria. Literary Futures: Harnessing Fiction for Futures Work. University of Exeter / Arts and Humanities Research Council (AHRC), 2024.

🔗 https://literaryfutures.exeter.ac.uk

Camus, Albert. The Plague. Gallimard, 1947.

Carson, Rachel. Silent Spring. Houghton Mifflin, 1962.

Clarke, Arthur C. Profiles of the Future: An Inquiry into the Limits of the Possible. Harper & Row, 1962.

Lewis, Sinclair. It Can’t Happen Here. Doubleday, Doran & Company, 1935.

Mahfouz, Naguib. Children of Gebelawi. (Arabic: Awlad Haratina). Dar al-Adab, 1959.

Ngũgĩ wa Thiong’o. Petals of Blood. Heinemann, 1977.

Osborne-Bartucca, Kristen. “Ngũgĩ wa Thiong’o’s Petals of Blood: Visions of Africa.” Research in African Literatures, Vol. 26, No. 2 (1995). JSTOR.

🔗 https://www.jstor.org/stable/3820234

Orwell, George. Nineteen Eighty-Four. Secker & Warburg, 1949.

Pope, Alexander. An Essay on Man. John Wright, 1734.

Salih, Tayeb. Season of Migration to the North. Translated by Denys Johnson-Davies. Heinemann, 1966.

Shelley, Mary. Frankenstein; or, The Modern Prometheus. Lackington, Hughes, Harding, Mavor & Jones, 1818.

Verne, Jules. From the Earth to the Moon. Pierre-Jules Hetzel, 1865.

Wells, H. G. The World Set Free. Macmillan, 1914.

Tambahan Rujukan Pendukung

Butler, Octavia E. Parable of the Sower. Four Walls Eight Windows, 1993.

The Reading Agency. Reading Habits Survey Report. London, 2023.

🔗 https://readingagency.org.uk/resources/

Benny Arnas

https://bennyarnas.com

Penulis & Pegiat Literasi

2 Comments

  • Yap. Jules Verne, Marie E Shelley (Frankenstein, bener nggak nulis nama pengarangnya?). Penulis itu kadang melampaui zamannya.

  • Terima kasih bang ben untuk perspektif ini, semoga semakin banyak orang menyadari bahwa membaca fiksi itu sama pentingnya dengan membaca dunia 😁

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *