Punya Banyak Buku, Buat Apa?
Oleh Benny Arnas
Pada 2017 saya memutuskan ‘menutup’ perpustakaan pribadi. Saya memindahkan 90% koleksinya ke perpustakaan komunitas yang saya kelola, Benny Institute. Dengan manajemen perpustakaan yang jauh dari ketertataan, saya mengambil keputusan berani itu. Saya tahu, di perpustakaan terbuka itu, keamanan dan keselamatan koleksi saya terancam tiap saat. Selain daftar hadir, perpustakaan itu tak memiliki perangkat formal sebagaimana perpustakaan umumnya; buku yang terkodifikasi, kartu anggota, dan lain-lain. Saya sengaja melakukannya untuk alasan fleksibilitas, sesuai visi perpustakaan yang saya buka sejak 2012 ini: Books for Life.
Saya termasuk orang yang gemar berfoto/memfoto buku yang sedang saya baca atau aktivitas saya yang lain dengan latar rak buku perpustakaan pribadi saya. Entah, keberadaan buku dalam foto-foto unggahan saya kok, rasanya keren aja gitu. Meski tidak ada aturan tertulis yang saya tempel di dekat rak buku bahwa sesiapa dilarang meminjam buku, tapi saya biasanya menunjukkan keberatan kepada mereka yang bermaksud membawa-baca buku-buku tersebut ke rumah mereka. Saya, entah, mudah sekali berprasangka bahwa buku saya takkan dibacanya, atau kalaupun dibaca pastilah memakan waktu yang tidak sebentar sebab mereka tidak menjadikan membaca buku sebagai agenda prioritas atau sesuatu yang teragendakan dalam hidup. Saya sangat ‘malas’ dan kesal dengan semua itu. Ya, perasaan itu muncul, seakan-akan prasangka (buruk) saya itu adalah benar adanya. Padahal ia baru asumsi. Belum terbukti!
Pada titik itu, buku, telah membuat saya menjadi pribadi yang pelit, mudah melempar prasangka tak baik, dan memperlakukannya nyaris sama dengan tabiat istri saya menjaga koleksi tupperware-nya. Padahal apalah, cuma wadah makanan-minuman gitu. Padahal apalah, buku, ‘kan, cuma kumpulan huruf yang tercetak di atas kertas. Ya, cuma kertas, tas, tas!
Benny Arnas
Dua tahun lalu, saya menyadari kalau ternyata sebagian besar koleksi saya belum saya baca. Meski telah memiliki agenda membaca (satu buku per pekan harus saya khatamkan), ternyata buku-buku itu terlalu banyak, seperti beranak-pinak, sementara waktu seperti timbangan di pasar yang gemar mengurangi keberadaannya tanpa saya sadari.
“Buat apa tumpukan buku masih berplastik dan berdebu itu?” celetuk istri saya suatu hari.
Saya diam. Saya agak kesal juga dengan kata-katanya. Lha, kayak nggak tahu kalau lakinya penulis aja.
“Kan pas si fulan, fulani, dan fulano mau minjam itu kemarin kenapa nggak dikasih aja, Yah? Pasti sudah selesai mereka bacanya,” lanjutnya.
“Lha kalau ilang?” balas saya, seperti sedang menyerang balik.
“Ya ilang! Memang ilang tuh buku, hidupmu bakal miskin mendadak? Lagian mending dibaca siapa pun, bermanfaat bagi siapa pun, daripada jadi barang antik. Lagian vas bunga kaca mending pecah daripada jadi aksesori ruang tamu yang saban detik dicemaskan keselamatannya!” Kali ini suara yang lain mencecar-cecar kepala saya. Iya, itu bukan suara istri saya. Oh, bagaimana mungkin buku-buku itu bernilai sama dengan hiasan ruang tamu!
Buku, hari ini, saya maknai sebagai salah satu benda yang menjembatani kita menjadi baik dalam berilmu. Ya, menjadi baik. Itulah cita-cita purna bagi tiap manusia. Baik dalam berilmu, baik dalam bermuamalah, baik dalam berkreativias, baik dalam …. Ah, menjadi baik itu pun ternyata bisa saja dibuat banyak varian, banyak genre. Namun, menjadi “Baik-Nirgenre” itu, menurut saya, adalah keadaan ideal manusia sebagai makhluk sosial, sementara menjadi baik “Lintas Genre” adalah keadaan utopis yang selalu hidup dalam diri kita, termasuk tumbuh subuh dalam diri kolektor buku.
Hari ini, literasi (buku) telah melahirkan eksklusivitas yang berbahaya, yang kerap tak disadari keberadaannya. Mereka yang menggemari buku (termasuk kolektor buku), seakan-akan dicitrakan lebih baik statusnya di antara mereka yang tidak atau belum tentu membaca buku.
Banyak cara, wahana, dan benda yang akan mengantarkan kita menjadi orang baik, buku hanya salah satunya. Bahkan, bila buku, termasuk mengoleksinya, dapat menyuburkan (potensi) kefasikan dan menyingkirkan kehanifan, buku pun bisa ditinggalkan! Bila membaca buku membuatmu jauh dari kemanusiaan, mudah pongah, dan tidak peka dengan lingkungan, ambil jeda. Berhentilah, kalau perlu. Jangan-jangan kamu dipeluk ilusi intelektual yang mengerikan.
Benny Arnas
Saya mengidolakan Pak Suliman, petani kopi yang tinggal tak jauh dari rumah saya. Sikap tenggang rasanya tinggi, ramah, sehingga anak-anak saya senang dan betah bermain di rumahnya. Ia juga sering membagi apa pun yang dimasak di rumahnya dalam porsi yang agak lebih, kepada tetangganya, termasuk kami. “Bapak suka membaca?” tanya saya suatu hari. Dia menggeleng. Saya rasa saya tak perlu memeriksa apakah ia memiliki rak buku di rumahnya atau tidak.****
Judul asli esai ini adalah “Transformasi Perpustakaan Tupperware” (Linggau Pos, 26 Agustus 2020), Pemenang Lomba Esai Media Massa Kemendikbud (2020)
3 Comments
Tulisan bang Ben penuh makna dan hikmah. Bernas semua.
Luar biasa
Karya Abang ; menegur dan mengingatkan
saya bahwa, memiliki buku sebaiknya selalu dibaca dan jng diletakkan saja dan sering pula ‘menyapanya’.
The best