Piru: Benarkah Kita Sudah Punya Rumah?

di Gua Kakehan di Negeri Nuniali (Dok. pribadi)
Rumah adalah ruang yang di dalamnya nama kita disebut dengan penuh hormat
Oleh Benny Arnas
Piru, bagi saya, memiliki kalimat pembuka yang ganjil: garam laut di pagi hari, asap kayu bakar di tikungan pasar pelabuhan, getah sagu yang menetes di tepi jalan Trans Seram, dan udara lembab yang seolah menahan semua langkah untuk bergerak cepat. “Kamu boleh ke mana saja,” katanya. “Asal sudah punya rumah.”
Ibukota Seram Bagian Barat itu adalah tempat di mana semua aroma bertemu dan membeku. Saya tiba di sana dengan satu pertanyaan eksistensial yang tak pernah selesai dijawab: Apa arti sebuah “negeri” di dunia yang bergerak cepat seperti hari ini? Pertanyaan yang sama saya ajukan kepada setiap kabupaten, setiap kota, setiap desa yang tumbuh di negara ini. Apakah negeri, begitu Maluku menamai desa atu kelurahan mereka ketika saya berada di sana pada April–Mei 2018, hanyalah nama administratif pada papan kantor camat, ataukah ia adalah puisi yang dibacakan diam-diam oleh orang-orangnya setiap pagi sebelum ayam jantan berkokok?
Di sepanjang Trans Seram dari Pelabuhan Waipirit menuju Piru, saya hanya menjumpai sagu dan laut, sesekali kebun kelapa dan tebing batu. Jalan aspal yang dibangun Bank Dunia itu meluncur menembus dusun-dusun kecil seperti panah waktu yang tak peduli pada hikayat atau ingatan. Tapi di ujungnya, di sebuah lekuk yang tiba-tiba lapang, Piru menunggu seperti seorang perempuan tua yang duduk menanti di kursi plastik yang usang di teras rumah: tidak menjemput, tidak menolak. Hanya menunggu ….
Kota yang Menyimpan Sepi
Piru tidak pernah benar-benar hidup seperti Ambon, tetapi juga tak pernah mati seperti dusun-dusun di dalam rimba Seram. Ia berdiri di persimpangan sejarah dan kekinian, seperti seorang anak yang menolak memilih antara ayah dan ibunya. Dari jendela losmen tempat saya menginap, saya melihat laut dan pasar dalam satu garis pandang: para nelayan menjemur jaring, sementara di seberangnya para pedagang menata tomat, cabe rawit, ikan kering, dan batangan gula merah di atas meja kayu yang telah rapuh dimakan hujan.
Di sana, pagi bukan hanya tentang matahari terbit. Pagi di Piru adalah bunyi – knalpot motor tua yang meraung, denting sendok pada cangkir kopi di warung emperan, dan lengking ayam jantan yang bersahutan dengan kumandang azan subuh. Namun, di sela semua suara itu, ada sepi yang tak bisa disangkal. Sepi yang bukan berarti ketiadaan aktivitas, melainkan sebuah kehampaan struktural. Seperti kata Edward Said tentang tanah air Palestina: “There is presence without place.”
Di Piru, bangunan pemerintah dan ruko-ruko modern berdiri memunggungi laut, seolah mereka lupa bahwa kota ini dilahirkan oleh ombak dan angin asin. Di alun-alun yang menatap dermaga, tugu kota menjulang tanpa narasi, tanpa jejak asal mula, seakan menegaskan bahwa modernitas tak membutuhkan masa lalu untuk menancapkan legitimasinya. Saya duduk di sebuah kursi beton di depan kantor bupati sambil menatap kendaraan lalu-lalang. Piru seperti sebuah ruang tunggu, kata Said lagi, an in-between space, yang membeku di antara tradisi dan modernitas.
Saya ingat, pada sore hari kelima saya di sana, hujan turun tanpa jeda. Butir hujan menampar aspal panas yang beraroma garam. Saya berjalan kaki menelusuri jalan protokol sambil menoleh pada rumah-rumah toko yang menjual roti kaleng, beras plastik, dan mie instan dalam tumpukan kardus. Tak ada yang istimewa, kecuali perasaan bahwa saya sedang berada di tempat yang tidak menuntut saya menjadi siapa-siapa. Piru memberi kebebasan untuk menjadi anonim, untuk menghilang dalam kesibukan kecilnya yang tak menuntut pembenaran.
Pada malam hari, lampu jalan di kota ini tak cukup terang untuk membakar kegelapan total. Cahaya remang itu memantul di genangan air hujan dan menari bersama bunyi kodok di parit dan suara jangkrik dari rerumputan di belakang kantor-kantor. Di salah satu warung kopi, saya mendengar obrolan dua lelaki tua tentang harga kopra yang tak kunjung naik dan minyak kayu putih hasil sulingan yang kalah bersaing di pasaran. Meskipun kemudian saya senang ketika mereka membincangkan musim durian dan gandaria sudah tiba. Mereka berbicara perlahan, seolah tak ada urgensi, seperti hujan yang turun tanpa terburu-buru. Sementara saya yang baru saja menerima kopi tubruk tanpa gula pesanan saya mendengar dengan tersenyum. Saya harap, bahasa tubuh itu cukup ampuh untuk membuat mereka mengundang saya ke dalam percakapan. Ya, sebagai bukan perokok, itu adalah satu satu teknik yang saya andalkan.
Di Piru, waktu bukanlah deret angka pada jam tangan digital. Waktu adalah cara alam memberi isyarat kepada penduduknya: matahari yang tiba-tiba menyorot tajam, atau hujan yang mengguyur tanpa awan hitam.
Waktu adalah ketika satu pikulan sagu habis terjual di pasar, atau ketika anak-anak pulang sekolah meniti jalan becek sambil menenteng sandal jepit di tangan.
Saya tidak menemukan bangunan ikonik di Piru. Masjid-masjid dan gereja-gereja berdiri dengan arsitektur standar: semen, cat putih, menara pendek atau lonceng kecil di atapnya. Tapi kota ini menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar ikon visual. Piru menyimpan sepi. Sepi yang bukan berarti kesunyian, melainkan sepi yang menenangkan, seperti suara laut di kejauhan pada malam hari. Sepi yang membuat Anda sadar akan keberadaan Anda sendiri.
”Ale orang mana? Jawakah?”
Aha. Benar, ‘kan? Siasat saya bekerja. Seorang laki-laki lima puluh tahunan–yang sedari tadi sudah memenuhi asbak kalengnya dengan puntung rokok daun nipah–itu akhirnya menyapa.
“Beta orang Sumatra, Pak,” jawab saya dengan senyum lebar. Lalu percakapan pun melipir ke mana-mana.
Kami sepakat, Sumatra dan Seram punya kesamaan. Suka bercerita. Ketika saya menyebut Amadeus, mereka langsung menyebut saya beruntung. “Pilihan yang bagus di musim durian,” kata laki-laki satunya lagi, yang sedari tadi sibuk melinting daun nipah yang ia isi sendiri dengan tembakau.
Belakangan saya tahu, ternyata di depan penginapan saya, para mama datang dari berbagai negeri dengan sekeruntung durian di punggung. Dua fakta menarik tentang durian-durian di Piru. Pertama, mama-mama itu bi(a)sa membuka durian tanpa parang. Bukan dengan tangan kosong tapi dengan telapak kaki yang beralaskan sandal. Mulanya, saya sedikit tersinggung dengan caranya menyajikan durian untuk pembeli yang mau makan di tempat. Namun, ketika mama itu bilang, “Hanya durian matang pohon yang bisa dibuka dengan diinjak” saya terdiam. Saya menerima. Kedua, saya sering membeli durian pada pukul sembilan malam atau lewat. Sebab, pada waktu itu, mama-mama harus pulang, tapi mereka tidak mau membawa keruntung dalam keadaan berisi. Durian yang mulanya berharga 20-25 ribu sebuah, bisa menjadi 5000-2000 sebuah. Saya dua kali membeli durian besar dan bagus dengan harga 2000!
Klakson barisan truk kasbi (begitu mereka menyebut ubi kayu) membuyarkan kembara ingatan saya di atas sepeda motor, di belakang Reymon Manuputti, laki-laki 50 tahunan yang mendampingi saya dalam perjalanan menyusuri negeri-negeri di Seram Barat. “Bang Benn teruslah berselawat atau menyanyi lagu pembukaan MTQ dulu. Megah dan tenang sekali kedengarannya.” Ah, dia memang rekan yang unik. Hanya karena saya iseng menyanyikan nasyid selawat di belakangnya, membuat laki-laki berkepala plontos itu lupa kalau ia kristen!
Di sepanjang Trans Seram yang menembus Piru, truk-truk pengangkut kopra, cengkeh, dan kasbi memang melintas tanpa singgah. Mereka seperti tak peduli pada hutan dan laut yang mengapit jalan raya, atau orang-orang yang berkendara dengan motor butut pinjaman seperti kami saat ini. Bagi mereka, Piru hanyalah lintasan. Tapi bagi saya, Piru adalah metafora tentang apa yang kita sebut “pusat” dalam peradaban manusia. Pusat bukanlah tempat di mana segalanya tersedia; pusat adalah tempat di mana orang menunggu, menanti, menunda, dan menanggung, meskipun kerap diabaikan oleh lalu-lalang waktu.
Setelah kami makan nasi ikan kuah santan kasbi di gerbang kota dan memutuskan rehat di pelabuhan, di bangku kayu kokoh yang menjorok yang lautan, ketika angin sore mengelus pipi, saya teringat puisi Mahmoud Darwis tentang bagaimana rasanya didiamkan, diabaikan ….
“Aku tak perlu meyakinkan siapa pun bahwa aku ada,
Namun tiap kali mereka menatapku, mereka berlalu seolah aku tiada.”
Masahatu: Batu, Musyawarah, dan Jejak Waktu di Hualoy
Matahari condong ke barat, mencetak bayangan panjang di lereng-lereng bukit Seram Barat, seolah ingin merangkul negeri-negeri di bawahnya dalam pelukan hangat terakhir hari. Jam di pergelangan tangan saya menunjukkan pukul 15.05 WIT. Lima jam perjalanan yang berat menyisakan kesunyian yang mendalam, yang bukan hanya soal fisik tapi juga batin.
Dalam perjalanan seperti ini, saya teringat kata-kata Antoine de Saint-Exupéry, “Perjalanan sejati tidak pernah mengantarkan kita pada tempat baru, melainkan membuka mata kita terhadap sudut pandang baru.” Di sinilah, di Hualoy, sudut pandang itu mulai terbuka, bukan hanya tentang sejarah, melainkan juga tentang cara hidup, hubungan manusia dengan alam, dan persinggungan antar-kepercayaan yang bertahan selama berabad-abad.
Ketika kami tiba di rumah Baparaja Hasyim Tubaka, suasana tenang, namun penuh makna. Salam keagamaan dari Bang Reimon kepada baparaja yang kemudian dibalas tanpa ragu bukan hanya sapaan formal, melainkan penanda toleransi yang tak ditulis dalam kitab manapun namun dirasakan dalam setiap getar kehidupan mereka.
Kepercayaan adalah dasar yang tak terlihat, tetapi kokoh. Dalam dunia yang semakin penuh keraguan dan skeptisisme, kepercayaan lokal semacam ini adalah fondasi yang memungkinkan dialog dan kerja sama antar manusia yang berbeda latar agama dan budaya. Saya melihat ini sebagai sebuah “ritual sosial” yang mengikat komunitas tanpa perlu paksa, seperti yang dijelaskan Emile Durkheim dalam teori solidaritas sosialnya.
Entah karena ia memercayai saya atau karena “memandang” Reymon sebagai orang lama yang dulu rutin berkeliling ketika masih bertugas di Tim Gegana Seram Barat, Baparaja tidak menanyakan surat tugas atau maksud rinci kedatangan kami. Ia memperlakukan kami sebagai tamu kehormatan sekaligus bagian dari keluarga besar Hualoy, yang memang sejak lama terbuka bagi siapa saja yang datang dengan niat baik. Terbukti, aneka suami, bagea, dan kohu-kohu mereka sajikan di atas meja, bersama kopi dan sopi (arak lokal) dalam tempurung kelapa. “Mau coba sopi?” tanya Baparaja. Reymon, seperti pendamping yang bertanggung jawab, langsung meminta Baparaja menurunkan batok kelapa yang baru saja ia tawarkan kepada saya. “Tidak apa, Bang,” kata saya, mencoba santai. “Sedikit saja,” saya menyodorkan gelas kecil. Reymon menuang dalam porsi sangat sedikit: satu tegukan. “Dia muslim, Bapa,” katanya kepada Baparaja ketika saya meneguk sopi dengan ekspresi yang sukar saya gambarkan: senyum di awal karena rasa manisnya dan tercekat di akhir karena tenggorokan saya rasanya mau terbakar. Sepuluh menit kemudian kami sudah berjalan menuju gundukan tanah setinggi 50 meter di tepi jalan raya.
Setiba di lereng, kami mendaki dengan langkah hati-hati menaiki tangga beton tua dan undakan bambu yang berliku-liku. Jalan itu, meski fisiknya sederhana dan penuh tantangan, menjadi gerbang menuju sebuah masa lalu yang kaya akan sejarah dan makna.
Masahatu — nama negeri batu yang kami tuju — bukan sekadar tempat. Ia adalah simbol dari peradaban, nilai sosial, dan cara berpikir yang berbeda dari dunia modern yang serba instan dan individualistis. Batu-batu pantai yang disusun dengan gotong royong oleh penduduk dari 99 negeri, membawa pesan kuat tentang pentingnya kebersamaan. Seperti bunyi pepatah lokal, masohi — yang artinya bergotong-royong — bukan hanya soal fisik, melainkan juga soal jiwa.
Saya membayangkan: batu-batu pantai yang dipindahkan dari pantai hingga ke puncak bukit oleh ratusan orang adalah manifestasi nyata dari kolaborasi sosial yang tidak bisa diukur dengan uang atau teknologi. Ini bukan sekadar pembangunan fisik, tetapi pembentukan komunitas yang sadar akan kekuatan kolektif.
Makna ganda dari “Masahatu” — masa sebagai zaman atau musyawarah, dan hatu sebagai batu atau kuat — memperkaya pemahaman kita tentang negeri ini. Musyawarah yang kuat sebagai pondasi sosial menandai nilai demokrasi adat yang sudah terinternalisasi jauh sebelum konsep itu diadopsi dunia modern. Peradaban Masahatu mengajarkan bahwa kekuatan fisik dan kekuatan sosial harus berjalan beriringan agar sebuah komunitas dapat bertahan dan berkembang.
Di tengah hutan bambu, saya berdiri di dekat makam Syeikh Zainal Abidin, seorang ulama yang membawa Islam ke negeri ini pada abad ke-8. Makam itu tampak menyala di tengah remang, seolah menolak dilupakan oleh waktu. Ia bukan hanya makam, tetapi lambang pertemuan antara tradisi lama dengan ajaran baru yang diterima secara damai oleh penduduk yang sebelumnya menganut animisme.
Perpaduan agama yang harmonis ini bertentangan dengan narasi yang seringkali disebarkan tentang Maluku dan daerah lain di Indonesia yang kerap dianggap rawan konflik sektarian. Namun di Hualoy, perbedaan keyakinan justru menjadi titik temu, bukan pemisah. Penduduk Muslim dan animis berkumpul dalam musyawarah adat yang sama, memelihara tradisi bersama dan menghormati tempat-tempat sakral satu sama lain.
Hal ini membawa saya pada refleksi tentang bagaimana suatu masyarakat mengelola keragaman dan perbedaan, yang seringkali lebih rumit daripada sekadar persamaan agama atau budaya. Seperti yang ditulis oleh Clifford Geertz, “Budaya adalah sistem simbolik yang manusia gunakan untuk menginterpretasi realitas dan membentuk makna.” Di Masahatu, simbol-simbol itu adalah batu, pohon merah, dan makam suci yang menjadi titik sentral kehidupan sosial dan spiritual.
Saya juga teringat pada kalimat dari Rumi yang sering saya baca saat meneliti berbagai budaya: “Jangan kau cari jalan menuju cinta, biarkan cinta itu sendiri yang mencari jalan menuju hatimu.” Mungkin itulah yang terjadi di Masahatu: agama baru datang bukan dengan paksaan, melainkan dengan cinta, kesabaran, dan akal budi yang diterima sebagai cahaya baru oleh masyarakat. Hal itu pulalah yang membuat saya tahu kenapa upacara adat seperti tarian Make Putih dipertahankan secara turun-temurun. Upacara–yang mengingatkan saya pada tradisi Tabot di Bengkulu–itu bukanlah seremonial kosong, melainkan refleksi perjuangan nenek moyang, identitas lokal, dan keberlangsungan tradisi di tengah modernitas yang mencoba meluruhkannya.
Salah satu momen paling menggetarkan bagi saya terjadi ketika berbincang di ruang tamu baparaja dengan para tua negeri. Mereka berbagi cerita tentang misteri air yang muncul di tempat wudu masjid kuno hanya saat pertemuan adat besar. Kisah ini bukan sekadar legenda, melainkan manifestasi hubungan magis antara manusia, alam, dan leluhur — sebuah siklus yang terus berulang dan menguatkan rasa kebersamaan.
Namun, ada pula peringatan yang membuat saya berpikir lebih dalam: foto-foto yang saya ambil di situs Masahatu tiba-tiba hilang dari ponsel ketika saya membukanya beberapa menit dari rumah baparaja. Ah, saya teringat, saya terlalu menggebu-gebu ingin mendokumentasikan makam syeikh yang tampak bercahaya di tengah bukit tadi.
Musibah ini mengingatkan pada konsep “epistemic humility” dalam antropologi, yakni kesadaran akan keterbatasan pengetahuan dan rasa hormat terhadap cara masyarakat lain memandang dunia. Dokumentasi bukan sekadar mengabadikan, tapi juga berpotensi mengambil tanpa (mendapat) izin (secara penuh), sebuah tindakan yang bisa melukai komunitas yang menjadi objek studi.
“Entah bagaimana, mungkin saat Bang Benn solat atau berdoa, mohon ampun saja. Sayang sekali kalau foto-foto tadi hilang semua. Penting juga, ‘kan, buat melengkapi tulisan?” kata Reymon dengan tatapan iba ketika saya akan menjatuhkan pantat saya di jok belakang jelang senja di Hualoy itu.
Baru sepuluh menit motor kami meninggalkan gapura negeri, azan yang mengalun dari Masjid Lawataka, suara yang menjadi penanda nyata betapa Islam telah melebur dalam sendi kehidupan masyarakat. Namun di balik suara itu, ada keheningan dan kisah-kisah yang lebih tua, yang tak kalah hidup dan berwibawa, seperti batu-batu Masahatu yang telah menyaksikan perjalanan waktu ribuan tahun.
Saya sadar, keberadaan masyarakat, dengan kepercayaan dan adat di dalamnya, adalah hasil dari lapisan-lapisan pengalaman, kepercayaan, dan adaptasi yang rumit. Saya, sebagai orang luar, hanya bisa belajar membuka mata dan hati, untuk memahami bahwa di balik peradaban Masahatu yag jarang terdengar ini tersimpan kisah besar tentang manusia dan cara mereka membangun makna hidup.
Melangkah di Atas Abu Masa Depan
Ada ritual-ritual yang tampak sederhana, tetapi sesungguhnya mengandung kompleksitas makna yang tak terbaca dalam kesibukan sehari-hari. Putarkaki adalah salah satunya — sebuah tradisi yang mengajarkan kita tentang perjumpaan antara identitas personal dan kolektif, antara masa lalu dan masa depan, antara diri sendiri dan masyarakat.
Saya mengenal tradisi ini dari seorang perempuan muda Maluku yang tengah meniti jenjang akademik hingga hampir mencapai gelar doktor di sebuah universitas bergengsi di Eropa. Usianya 29 tahun, dan meskipun masa depannya terbentang luas di negeri asing, panggilan untuk kembali ke akar dan menjalani ritual putarkaki tak bisa ia elakkan.
Dalam prosesi itu, telapak kakinya akan bertemu dengan tiga permukaan secara bergantian — lambang penerimaan, ujian, dan pengakuan. Ketika langkahnya berakhir dengan meletakkan kaki di atas abu perapian yang sudah dingin, ketegangan yang menyelimutinya seolah terangkat, digantikan oleh rasa diterima sebagai bagian dari keluarga baru. Abu perapian itu, sisa api yang telah meredup, menjadi simbol dari api hidup yang terus menyala dalam relasi sosial dan spiritual.
Malam itu, ketika Reymon membawa saya ke Negeri Kamarian, kami berbincang panjang, tentang apa artinya menjadi seorang perempuan berpendidikan tinggi di tengah dunia yang masih terikat adat dan tradisi yang kadang terasa membelenggu. Dia mengeluh tentang betapa feminisme dan intelektualitas yang selama ini ia banggakan terasa tak berguna, bahkan tidak dianggap di hadapan adat yang mengikat kuat kehidupan sehari-hari masyarakatnya.
“Di sini,” katanya, “gelar doktor dan pemikiran progresif saya kehilangan kekuatan. Adat adalah raja. Ia tak bisa diganggu gugat, dan saya harus tunduk, menyesuaikan diri. Tapi ...”
Ia sengaja membuat jeda.
“Saya melakukannya. Saya putarkaki. Urusannya bukan lagi tentang percaya. Urusannya karena masa depan. Dan batu pertamanya adalah pernikahan. Putarkaki, mau tak mau, harus saya jalankan.”
Saya mengerti penerimaan itu. Perempuan ini adalah contoh dari jutaan individu yang menyeimbangkan dua dunia yang seolah bertolak belakang: modernitas dan tradisi. Seperti kata antropolog Sylvia Yanagisako, “Identitas bukanlah esensi yang tetap, melainkan proses dinamis dalam konteks budaya.” Dalam kasusnya, identitasnya terus-menerus diuji antara intelektualitas dan tuntutan adat.
Saya teringat kutipan dari Simone de Beauvoir, pelopor feminisme modern: “One is not born, but rather becomes, a woman.” Namun, menjadi perempuan di dunia adat ini berarti perjalanan itu tidak hanya soal menemukan diri, melainkan juga soal bagaimana menempatkan diri dalam jaringan kekuasaan dan norma yang sudah tertanam berabad-abad.
Putarkaki, bagi dia, bukan sekadar ritual adat; itu adalah titik temu antara dilema modern dan tradisional, di mana seorang perempuan harus melangkah di atas abu perapian yang dingin—simbol dari warisan yang tak bisa diabaikan, sekaligus tantangan yang harus dihadapi dengan keberanian.
Saya bertanya-tanya, apakah gelar akademik dan perjuangan feminisme cukup untuk menantang tatanan yang telah begitu lama terbentuk? Ataukah malah membuat seseorang merasa terasing dan kehilangan tempat?
Calon pengantin baru itu menggeleng. Dari matanya, saya tahu, di balik prosesi yang penuh khidmat yang akan ia lewati nanti, ada suara batin yang meronta, mempertanyakan makna kebebasan dan pengakuan. “O ya, tulis semua tanpa menyebutkan namaku.”
Sejarawan Clifford Geertz menyebut adat sebagai “jaring makna” yang mengikat individu pada dunia bersama. Dalam hal ini, perempuan muda itu terjaring dalam tradisi yang memintanya menanggalkan sebagian kebebasan pribadi demi menjaga keharmonisan sosial. Sebuah paradoks yang kadang membuatnya bertanya: Apa gunanya ilmu pengetahuan dan teori feminisme jika ia tak mampu mengubah realitas budaya dibawah kendali maskulinisme?
Namun, ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar penyerahan. Dalam ritual putarkaki, ada pengakuan dan penerimaan. Sebuah dialog antara masa lalu dan masa depan. Sebagaimana peneliti budaya Mary Catherine Bateson mengingatkan, “Dalam tradisi, kita tidak kehilangan diri, kita menemukannya.” Mungkin perempuan itu sedang menemukan versi dirinya yang lain—yang mampu memadukan intelektualitas dan kearifan lokal dalam sebuah keseimbangan yang rapuh.
Kisahnya mengingatkan saya pada lekewa, balai adat yang dibangun tanpa paku, tanpa cat, hanya kayu gupasa yang ditata dengan tangan-tangan yang penuh kehati-hatian. Lekewa menjadi simbol keteguhan dan keindahan, tempat di mana generasi bertemu dan cerita diwariskan. Ia adalah metafora bagi hidup yang harus berdiri teguh meski tak sempurna dan rapuh.
Dalam perjalanannya, perempuan itu harus memilih apakah akan kembali ke Leiden setelah menikah atau menghabiskan waktunya menemani ibunya dan memegang teguh tradisi. Sebuah pilihan yang tidak mudah, antara modernitas dan akar, antara kebebasan dan tanggung jawab.
Saya percaya, kekuatan terbesar dari ritual putarkaki bukan sekadar penerimaan sosial, tetapi pengakuan akan keberadaan seorang perempuan yang utuh: ilmuwan, anak, istri, dan bagian dari warisan budaya yang luas dan mendalam. Dalam tradisi yang kadang terasa membelenggu itu, tersembunyi kekuatan untuk membentuk identitas yang berlapis dan bermakna.
Kedewasaan di Dalam Kepala yang Terpenggal
Saya pertama kali mendengar tentang kakehan dari seorang lelaki bernama Jan Sukouta. Namanya sederhana, tapi cerita yang ia bagi membuka pintu ke dunia yang selama ini samar di benak saya: tradisi Suku Alifuru di Seram, yang paling legendaris dan kontroversial, yaitu ritual pemenggalan kepala. Mendengar kata itu, saya langsung membayangkan adegan berdarah dalam film-film lama, kepala yang menggelinding, mata yang membelalak. Namun, cerita itu, seperti banyak warisan budaya, tidak sesederhana yang terlihat.
Jan mengatakan bahwa kakehan adalah semacam “ujian kedewasaan” bagi anak laki-laki yang mulai meranjak dewasa. Melalui ritual pemenggalan kepala—yang konon menjadi penanda status, kelayakan untuk menikah, bahkan menjadi prajurit atau pemimpin perang—mereka memasuki dunia baru, dunia lelaki. Tapi ketika saya berjumpa dengan David Kuhurima, seorang tua adat dari Nuniali, pandangan saya bergeser.
David menolak keras jika kakehan dipahami hanya sebagai pemenggalan kepala literal. Baginya, ritual itu lebih kompleks dan sarat makna. Ia menegaskan, “Kakehan bukan soal kepala yang terputus, tapi nilai-nilai yang hidup di dalamnya: saling menghormati, keadilan, cinta tanah air. Bagian fisik hanyalah simbol—lapisan paling dalam yang belum banyak kita pahami.” Kalimat itu bergema dalam pikiran saya seperti pengingat bahwa sering kali, adat yang tampak kasar dari luar, menyimpan lapisan makna spiritual dan sosial yang dalam.
Percakapan kami melambat ketika David mengisahkan bahwa kepala yang dipenggal bukan kepala biasa, melainkan tengkorak yang didapat dari perjalanan jauh. Ini bukan tentang kekerasan, tetapi pengakuan atas pengalaman dan perjalanan. Saya membayangkan, seperti tradisi para sufi di Timur Tengah, di mana perjalanan spiritual lebih penting dari tujuan fisik, perjalanan menuju kedewasaan bagi anak lelaki ini bukanlah sekadar fisik, melainkan juga perjalanan batin.
Seorang cendekiawan Islam, Al-Ghazali, pernah berkata, “Perjalanan sejati bukanlah dalam langkah kaki, tapi dalam perjalanan jiwa menuju pencerahan.” Mungkin kakehan adalah manifestasi lokal dari pemahaman universal ini. Pemenggalan kepala sebagai simbol bisa diartikan sebagai “memutus” diri dari masa kecil, keegoisan, dan ketidaktahuan, demi memasuki dunia yang baru—dunia kedewasaan dan tanggung jawab.
Saya membayangkan bagaimana, di dalam gelap gua kakehan, tersimpan tumpukan tengkorak yang kini mulai terkikis waktu dan kelalaian manusia modern. Sebuah keheningan abadi yang menceritakan kisah-kisah lama, yang tidak lagi terucap. Saya teringat pada kata-kata Ibnu Arabi, sang filsuf sufi: “Barangsiapa tidak mengenal dirinya, maka tidak mengenal Tuhannya.” Dalam konteks ini, mungkin ritual ini adalah cara mereka mengenal diri mereka—melalui hubungan yang dalam dengan leluhur, tanah, dan makna keberadaan.
Namun, saya juga menyaksikan dilema seorang perempuan muda yang saya kenal, yang bergulat antara intelektualitasnya yang berkilauan dengan kenyataan keras adat yang membelenggu. Dia adalah sosok yang tumbuh di tengah tradisi yang ketat, dan pernah berkata pada saya, “Apa gunanya gelar doktor dan semua pengetahuan di dunia ini, jika aku tetap harus tunduk pada adat yang tak bisa kuhindari? Apa artinya feminisme di sini, jika aku tak punya suara?”
Pertanyaan itu menembus pikiran saya berulang kali. Rasanya seperti benturan antara Timur dan Barat, antara modernitas dan tradisi. Dalam filsafat Timur Tengah, Rabi’a al-Adawiyya, seorang sufi perempuan legendaris, mengajarkan tentang cinta tanpa syarat dan pembebasan dari duniawi. Ia berkata, “Aku mencintai Allah bukan karena surga atau neraka, tapi karena Allah sendiri.” Mungkinkah jiwa-jiwa perempuan seperti dia mencari pembebasan dalam makna sejati, bukan dalam konflik antara modern dan tradisional?
Saya melihat betapa adat kakehan, meski mengakar kuat dan sarat makna, bisa menjadi penjara bagi mereka yang tak mampu berdamai dengannya. Sementara tradisi ini melambangkan kedewasaan dan pengakuan, ada pula suara-suara yang ingin menemukan ruang lain—ruang yang lebih inklusif dan bebas dari simbolisme kekerasan.
Saya tak bisa tidak berpikir tentang konsep ijtihad dalam Islam, yakni usaha menerjemahkan dan memahami kembali hukum dan tradisi sesuai konteks zaman. Apakah mungkin, suatu hari nanti, tradisi seperti kakehan bisa direfleksikan ulang dengan jiwa baru, yang mengakomodasi nilai-nilai kemanusiaan dan kesetaraan?
Sementara itu, gua yang saya masuki bersama dua pria lokal itu menjadi saksi bisu waktu. Tengkorak-tengkorak yang tersisa adalah warisan yang harus dijaga, bukan hanya sebagai artefak, tapi sebagai pengingat akan nilai kehidupan yang pernah hidup dan perjuangan yang pernah terjadi. Namun kenyataan pahitnya adalah, tanpa perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat, warisan ini akan hilang, dan makna dalam tradisi akan lenyap bersama tengkorak yang dibawa pulang.
Di dalam kesunyian gua itu, saya merasakan sebuah kalimat dari Al-Mutanabbi, penyair Arab abad ke-10, berbisik dalam jiwa saya:
“Jika engkau ingin mengagungkan dirimu, janganlah bersandar pada tulang belulang yang telah mati.”
Mungkin ini bukan peringatan untuk menolak warisan, tapi ajakan untuk menemukan makna hidup yang lebih hidup dari sekadar peninggalan fisik—hidup dalam nilai dan penghormatan yang terus berdenyut dalam masyarakat.
Ketika saya keluar dari gua dan melihat tapuara, balai adat sederhana yang menjadi pusat pertemuan dan kehidupan adat, saya menyadari bahwa kakehan bukan hanya tentang kepala yang dipenggal, tapi tentang perjalanan panjang budaya, identitas, dan pertarungan manusia dalam mendefinisikan diri.
Saya mengerti perempuan muda itu—betapa intelektualitasnya harus bertarung melawan kerasnya batu-batu warisan leluhur. Namun saya juga percaya, seperti kata Rumi, “Jangan takut pada gelap, karena di sana bintang-bintang berkelip.” Mungkin, dalam kegelapan kakehan, ada bintang-bintang makna yang menunggu untuk ditemukan kembali, oleh mereka yang berani menatapnya.
Luhu
Ada tempat-tempat yang ketika kita melangkah ke dalamnya, bukan hanya ruang dan waktu yang kita masuki, tapi juga sebuah lapisan lain dari realitas—sebuah dunia yang diam-diam bertahan di bawah hembusan zaman dan modernitas. Luhu adalah salah satunya.
Pukul sepuluh pagi kami berangkat, saya dan Bang Reimon, naik motor menyusuri jalan yang berliku. Berbeda dengan perjalanan sebelumnya, kami tak membawa bekal. Celoteh tentang suami, papeda, dan kasbi-bambu yang akan kami temui, justru membuat saya kehilangan nafsu makan. “Semoga saja kami menjumpai hidangan itu saat waktu makan,” saya berujar penuh semangat.
“Iya, kita akan berburu suami di sana, Bang Benn!” seru Reimon sambil menambah kecepatan.
Dia sudah berkali-kali mengingatkan saya, jalan menuju Luhu tak semulus yang kami lalui di negeri lain. Saya tahu itu untuk memastikan kesiapan mental saya—perjalanan sebelumnya mulus, kecuali hujan deras pulang dari Kamarian. Namun, informasi jalan buruk itu tak menggoyahkan niat saya. “Kalem saja, Bang,” saya mencoba menghibur.
Enam belas dusun membentuk sebuah komunitas yang kaya akan sejarah dan tradisi, yang saya buru di pengujung residensi ini. Keberadaan Luhu sebagai kampung halaman bupati yang tengah menjabat, bagi saya bukanlah alasan penting. Seperti negeri-negeri lain yang saya singgahi, saya menaruh harap agar Luhu akan memberi kejutan baru, mendorong kreativitas saya untuk menggali lebih dalam.
Saya percaya, jalur baru selalu menyimpan kisah, cerita yang patut ditulis. Ingatan saya melayang pada perjalanan ke Kaibobo dan Kamarian, ketika kami melewati jalan raya yang sama dengan rute ke Hualoy saat berburu hikayat Masahatu. Meski membosankan di jalan, tujuan di ujung sana menebus segalanya dengan pesona lokalitas yang memikat.
Kepolosan jalan berlubang dan kubangan lumpur segera menghadang. Saya beberapa kali menawarkan berjalan kaki agar Reimon bisa lebih leluasa, namun ia menolak. Namun akhirnya, saat medan semakin tak bersahabat, ia mengiyakan permintaan saya. Jalanan penuh lubang dan becek itu jadi ujian sabar kami.
Di tengah perjalanan ini, saya teringat kata-kata Al-Farabi, filsuf besar dari dunia Islam klasik:
“Hikmah adalah buah dari akal yang berdiam dalam hati yang tenang.”
Dan memang, di tempat seperti Luhu, akal dan hati diuji oleh keheningan yang penuh makna, oleh tradisi yang tidak bisa diterjemahkan secara sederhana, dan oleh realitas yang tak pernah bisa sepenuhnya kita pahami.
Bang Reimon, dengan santainya, membicarakan tentang suami— makanan yang akan kami jumpai, seolah kuliner menjadi jembatan antara dunia saya yang asing dan dunia mereka yang penuh makna. Namun perjalanan kami bukan hanya soal mencari rasa, tetapi juga merasakan denyut nadi sebuah komunitas yang masih berpegang pada akar sejarah dan kepercayaan.
Menjelang pukul satu, kami tiba di Luhu. Bukan sebagai penakluk atau penguasa narasi, melainkan sebagai pengamat yang berusaha mendengar bisikan masa lalu dari batu, dari debu, dan dari napas orang-orang yang tinggal di sana. Dan, perjalanan kami ini ternyata bukan sekadar menyusuri jalur fisik, melainkan sebuah perjalanan melintasi waktu dan kepercayaan, sebuah labirin antara tradisi dan perubahan.
Pemandangan orang-orang di tepi jalan yang baru keluar dari hutan pohon sagu seperti menyambut kami. Mereka asyik menghabiskan bekal di atas batang sagu tumbang, hasil tebang pagi hari. Beberapa ratus meter di depan, sebuah pondok pengolahan sagu sibuk dengan peleburan batang.
Cerita tentang Luhu yang saya dengar mulai berputar di kepala. Penduduknya percaya, nenek moyang mereka di negeri-negeri raib itu masih hidup. Konon, karena khawatir akidah mereka tergoyahkan oleh penjajah, mereka berdoa agar negeri-negeri itu dihilangkan secara kasat mata—bukan dimusnahkan, melainkan diangkat dari pandangan dunia. Doa itu diijabah, sembilan puluh delapan negeri lenyap dari mata manusia. Penduduk Luhu tak memandang itu mistik, melainkan suatu kenyataan yang tak harus diragukan, mengingat kuatnya peradaban dan riwayat Islam mereka.
“Ramai sekali tadi di tepi jalan, Bang?” tanya saya, memastikan.
“Orang-orang panen sagu atau pondok pengolahan sagu, Benn,” jawab Reimon santai.
Saya menghela napas lega. Setidaknya saya tak bertemu dengan “orang-orang tak kasat mata” itu.
Luhu berbeda dengan negeri lain. Permukimannya lebih padat dan luas. Permukiman berbentuk blok-blok dengan banyak belokan, membuat saya agak kebingungan saat Reimon meminta menandai titik tertentu sebagai petunjuk jalan pulang.
Sayang sekali, Baparaja Luhu sedang di Ambon. Kami diarahkan istrinya bertemu sekretaris baparaja, Bapak Hamid Kelmas, yang saat itu tengah menunaikan salat Zuhur di Masjid Jamik Luhu. Masjid itu menarik perhatian saya karena tidak memiliki papan nama. Pak Hamid menjelaskan, “Kami sebut Masjid Jamik hanya untuk kemudahan. Sebenarnya tak ada nama resmi. Kalau pun ada yang ingin memberi nama, mungkin kami akan menentangnya. Tidak ada yang bisa menjelaskan dengan layak kenapa masjid ini harus diberi nama.”
Saya diam sejenak, merenung dalam keheningan yang diisi oleh ketiadaan nama itu. Sebuah masjid yang tegak tanpa nama, seakan menjadi pernyataan diam tentang keberadaannya yang melampaui gelar dan label. Ini mengingatkan saya pada ungkapan Rumi:
“Ketika kamu melihat diri sendiri dalam segala makhluk, maka kamu akan melihat Tuhan.”
“Masjid ini dibangun kapan, Pak?” tanya saya.
“1907,” jawab Pak Hamid.
“Masjid tertua di sini?”
“Bukan. Masjid tertua kami pernah berdiri di seberang sana, tapi terbakar pada 1901. Entah karena kecelakaan atau campur tangan Belanda, kami tidak tahu,” jelasnya sambil menunjuk puing-puing beton di dekat meriam tua.
Saya melihat puing itu, seolah menyentuh sejarah yang terpendam dan rapuh. Rumah Raja Luhu berada di tengah permukiman, sebuah rumah adat yang menjadi saksi bisu kejayaan Kerajaan Huamual di masa lalu. Rumah itu berdiri di atas tanah benteng dengan puing-puing yang tersisa sebagai pengingat, seperti hati yang masih menyimpan luka lama.
Lalu ada benteng-benteng tua yang memanggil kenangan peradaban yang pernah berdiri kokoh dan kini hanya menyisakan puing. Ia mengajarkan satu hal: bahwa segala sesuatu berwaktu, dan segala kejayaan pasti akan diuji oleh waktu.
Benteng itu, yang dibangun sejak abad ke-15, pernah dipugar oleh Portugis dan Belanda saat masa penjajahan. Kini sebagian besar sudah menjadi batu fondasi rumah penduduk akibat kebijakan baparaja setelah kebakaran hebat tahun 1874. Namun keislaman tetap teguh di hati penduduknya, seperti diingatkan oleh keberadaan meriam-meriam yang menjaga masjid tanpa nama tadi.
Jam tangan saya menunjukkan hampir pukul tiga. Saya merasa sudah mengantongi cukup cerita untuk dituliskan. Namun bayangan jalan pulang yang buruk di tengah hutan, di bawah gelap malam, mulai menyesakkan. Ingatan akan perjalanan Hualoy-Piru yang kami lalui dalam gelap dan hujan lebat membuat saya sedikit gentar. Jalan Trans Seram yang mulus tak berarti jika tak diterangi cahaya. Dan jalan meninggalkan Luhu, tentu jauh dari kemulusan permukaan Trans Seram.
Saat hendak pamit, Pak Hamid memaksa kami singgah ke rumahnya. Ragu dan cemas menghantui, tapi sopan santun menuntut kami menerima. Di sana, kakak perempuan Pak Hamid sudah menyiapkan hidangan yang membuat perut saya mengerang. Nasi dengan ikan laut goreng dan sambal kacang tumbuk tersaji, bukan suami atau papeda yang saya nantikan. Namun, rujak hutan dengan campuran kacang tumbuk, mentimun, daun kemangi, cabai rawit, dan bawang merah memberi sensasi pedas-asam yang menyegarkan.
Saya melahap nasi dua kali, menghabiskan ikan, dan membersihkan semangkuk rujak hutan dengan lahap.
Di sana, di rumah sederhana itu, saya menyadari satu hal: perjalanan, yang berawal dari Piru ini, bukan hanya soal melewati rute sulit atau mengejar cerita besar, tapi tentang menyelami kehidupan yang tersembunyi dalam tiap hidangan sehingga kita bisa merasa betah, merasakan rumah, di mana saja.
***
Dari kamar yang merangkap ruang kerja saya di penginapan mungil di Piru, saya menerima pelajaran penting yang Seram Barat hadiahkan: arti rumah!
Rumah tak selalu berdinding atau beratap, tapi ia adalah ruang yang di dalamnya nama kita disebut dengan penuh hormat.
Dari tapuara di Nuniali, tengkorak kakehan yang menatap sunyi, sampai baileo Luhu tanpa papan nama, semua menegaskan bahwa identitas adalah warisan yang tak bisa diputus begitu saja. Namun saya juga menyaksikan, dalam ritus putarkaki, rumah bisa menjadi tanah terasing yang menolak kita pulang. Masyarakat menyingkirkan seorang pelanggar adat bukan karena kebencian, melainkan karena keyakinan bahwa kebaikan bersama harus dijaga, meski menimbulkan luka personal.
Di tanah sagu itu, saya memahami makna kata-kata Ibnu Arabi: “Hati seorang beriman adalah rumah Tuhan.” Barangkali itulah sebabnya, hukuman terberat manusia bukan kehilangan rumah fisiknya, melainkan kehilangan rumah di hati kaumnya sendiri.(*)
Piru, 2018–Paris, 2019
1 Comment
keren sekali Bang Benny.. sudah menorehkan kegelisahan ini dengan lembut tapi tegas. Esai ini tak hanya layak dibaca, tapi direnungi, perlahan—seperti seseorang yang kembali membuka album kenangan, dan menemukan dirinya sendiri yang telah lama hilang.. 🥹👍🏻