Panggung Paramitha Rusady
oleh Benny Arnas
Kau tahu siapa-siapa saja yang hadir tadi, Mir?” tanyamu begitu mobil yang kukemudikan meninggalkan lokasi acara sore itu. “Ada guru teladan kota, kepala perpustakaan provinsi, beberapa pengamat sosial, konsultan parenting, para penulis yang karyanya hanya wara-wiri di media lokal, juga keluarga backpacker,” kau malah menjawabnya sendiri.
“Dan mereka tampak gelisah sepanjang pemaparanmu, Bang,” aku tahu apa yang kauinginkan, Bang. Meskipun seorang sarjana ekonomi, sesungguhnya kau memang pembicara yang terampil. Apalagi kau juga membaca banyak buku (tidak di ruang tamu, tengah, dan dapur, rak-raknya dijejali buku-buku dari berbagai disiplin ilmu). Paket kompletlah kau, Bang!
“Ada kau dengar pendapat satu-dua orang tentang penampilanku di seminar barusan?” tanyamu bersemangat.
“Tentu saja, Bang.” Ah, panggungmu memang di luar rumah, Bang. Aku tahu sekali itu. “Mereka sibuk memfoto slide-slide materimu …”
“Ya, mereka akan mengolahnya jadi materi baru ketika mereka jadi pembicara di tempat yang lain. Kita hafallah itu!”
Hmm, apa kubilang: Abang sudah lupa rumah sekarang.
“Eh, apa yang kau dengar, Mir?”
“Kadisdikbud dan kepala KPAID beberapa kali menggeleng takjub. Mereka tidak menyangka ada orang Lubuklinggau dengan isi kepala seperti Abang.”
“Memangnya ini kali pertama mereka menyimakku, Mir?”
“Hmm, sepertinya sudah beberapa kali sih, Bang.”
“Nah!”
“Ya, mau bagaimana lagi,” aku mengangkat bahu. “Abang memang pintar dan cemerlang!”
“Ah, kau, Mir!”
“Seseorang yang duduk di sampingku,” aku membuka lahan pujian baru, “benar-benar salut dengan definisi dan perspektifmu tentang kebudayaan ketika mengaitkannya dengan parenting zaman dahulu dengan era modern.”
“O ya? Sampai hafal begitu kau, Mir?”
“Dia cerita sama aku, Bang.”
“Dia tahu kau asisten Abang?”
“Aku yang bilang,” aku cengengesan. “Boleh aku ikut bangga, ‘kan, Bang?”
Kau mengangguk-angguk dan tertawa.
“Sepertinya, tidak satu pun dari mereka yang membaca buku-buku Harari atau Diamond atau Khavari sehingga pemikiran tentang ‘bahwa tidak ada kebudayaaan yang benar-benar asli’ itu membuat mereka banyakan melongoknya, Bang.”
Matamu melotot ke arahku. “Kau membaca buku-buku itu juga, Mir?” tanyamu antusias.
“Tentu saja tidak, Bang,” kataku cengengesan. “Tapi, ‘kan, aku yang buat slide-slide Abang. Kata Abang aku harus baca dulu materi dari Abang supaya slide-nya bagus. Masa Abang lupa?”
“Ya ya ya,” kau mengangguk-angguk. “Tidak mudah membuat risalah buku-buku bergizi itu.” Kau terdengar pongah, Bang. “Setahunan ini, sekurang-kurangnya aku melahap tiga ribu halaman buku-buku pemikiran itu.”
Padahal, aku tahu kalau Trilogi Sapiens, Trilogi Guns, Germs, and Steel, dan The Art of Happiness-nya Khavari masih bersegel di rak bukumu. Atau … yang kaumaksudkan buku-buku yang lain? Akhir-akhir ini, kepadatan jadwalmu membuat produktivitas membacamu menurun tajam, Bang.
“Oh ya,” nada suaramu menanjak, “sebenarnya ingin sekali kukatakan kalau ketika aku berada di Eropa dulu, aku sempat bertemu dengan Omar, bekas pengawal pimpinan pesantren terkenal di tenggara kota ini, di Slovenia. Kami sempat ngopi sebentar di Zmauc. Kau tahu Zmauc, Mir? Itu kafe unik di Ljubljana.”
Kami tiba di lampu merah.
*
Meski kau “hanya” pegiat literasi dengan komunitas yang sedang berkembang karena banyak anak muda yang sukarela membantumu, tapi kegemaranmu menuliskan buah pikiran di media massa membuat suaramu diperhitungkan sehingga tak heran kalau banyak seminar, lokakarya, atau forum dengar pendapat berbagai isu, berebutan mengundangmu. Dua tahun terakhir, beberapa buku bertema kebudayaan, pendidikan, dan puisi yang kauterbitkan, menabalkan semuanya. Kadang kau disebut budayawan, sastrawan, pengamat pendidikan, penyair, pegiat literasi, seniman, hingga pekerja kreatif. Tak sekalipun kau protes kepada penyelenggara acara yang melabelimu macam-macam itu. Nama Bang Venn, begitu kau biasanya disapa berbagai kalangan lintas usia, makin populer dan menjadi daya tarik audiens. Kau sepertinya sangat menikmatinya, Bang. Jadwalmu makin padat. Wajar kalau kau punya asisten pribadi.
“Pandangan pembicara kedua tentang konsep keluarga literat itu menurutku kebablasan, Bang. Jadi, aku senang sekali ketika kau mematahkannya …”
“Trus, Mir?”
Kau rupanya tahu kalau aku belum selesai.
“Kamu itu asisten pribadi rasa saudara. Abang saja tidak pernah duduk di belakang karena tak pernah menganggapmu bawahan.”
Aku menyeringai seraya mengangguk.
“Jadi?”
“Hmm …” kataku agak ragu, “tidak seharusnya Abang mempermalukannya di depan banyak orang dengan cara seperti tadi: membabat habis tiap poin penjelasannya, satu demi satu.”
“Kamu benar,” katamu yakin, “tapi kalau tidak dengan cara tadi, sanggahanku tidak berdasar, Mir.”
Aku tak mau berdebat. Aku auto-kalah.
“Konsep kebebasan bersuara dalam keluarga itu rentan disalahpahami. Kalau mau punya taji, kepala suami harus punya isi. Karena itu pulalah, suami disebut kepala rumah tangg …”
Oh … kau baru sadar dengan siapa berceramah, Bang. Tak ingin membuatmu tersudut, aku menyalakan radio. Lagu lawas sedang diputar. Paramitha Rusady menembangkan “Cinta”.
“Lagu-lagu Mak nih!” celetukku.
Ya, sudah kuceritakan kepadamu tentang kegilaan ibuku pada artis era 90-an itu. Mak rela mengisi pulsa hanya untuk menelepon radio Papeja di program Nostalgia demi mendengarkan suara serak-serak basah artis itu. Saking seringnya mendengarkan lagu itu, aku ikutan hafal lagu-lagunya. Termasuk “Cinta”. Dari liriknya yang kelabu, aku tahu kalau Mak akan mengingat kejamnya Bapak yang menceraikannya. Ah, sampai sekarang aku tak habis pikir. Bagaimana bisa Mak, atau perempuan pada umumnya, menghayati penderitaan.
Ya, ini lagu sendu. Dan yang sedang mendengarnya adalah kamu, Bang.
Celakanya, aku salah memutar tombol. Alih-alih mengubah saluran, volume “Cinta” malah membesar. Kau menoleh ke arahku sebentar. Aku pikir kau akan marah, tapi … kau malah ikut bernyanyi. Kau justru menyanyikan bagian gilanya–Cinta … // Andai kau mengerti // Siksa hati, yang aku alami ….–dengan berteriak.
Kau memandang lurus ke depan.
Aku tahu air asin sedang mengalir dari ekor matamu.
Tiba-tiba “Cinta” digantikan dering ponsel. Oh, bagaimana aku lupa mencabut kabel daya di USB tape BRV (tujuanku tadi cuma mengisi daya!) yang membuat bluetooth kedua peranti itu otomatis tersambung! Pada dering ketiga, sebenarnya aku ingin menekan gambar gagang telepon berwarna merah di layar ponsel, tapi suara cempreng di seberang kadung menyodok.
“Babe, sore ini jadi, ‘kan?”
“He-eh, i—i—iya.”
“Awas telat, Babe!’
“I—i—iya, Babe, eh Chika,” malu sekali aku.
Lagu “Cinta” baru berakhir. Aku mengecilkan volume radio.
“Siapa namanya?” Kau memicingkan mata.
“Namanya Jannah, Bang, tapi–”
“Jannah–”
“Tapi, ia minta dipanggil Chika, Bang.”
Kau mengangguk-angguk. “Kau mencintainya, Mir?” tanyamu sesaat kemudian.
“Heee, baru pacaran ini, Bang,” jawabku canggung.
“Jangan lihat fisik saja,” saranmu. “Apalagi sampai sengaja cari gadis dari keluarga terhormat!”
“Keluarganya biasa-biasa saja kok, Bang.”
Tak ada respons lanjutan.
Bagaimana kau seterang-benderang ini kepadaku, Bang? Aku tahu, meski istrimu memilih menjalani peran sebagai ibu rumah tangga, dia adalah …
“Sebagai pegiat literasi polimatik, Abang hidup dalam passion dan prestise yang sebentar lagi akan hancur oleh politik, Mir. Ah, kau tahu bagaimana aku tak bisa menolaknya, ‘kan?”
“Abang jangan ngomong gitu. Nggak salah pula berkontribusi lewat politik, soalnya ….” Aduh, ngomong apa aku ini!
“Kalau bukan karena Cheril yang saat ini masih tiga tahun,” suaramu sendu, “ingin sekali Abang memperbaiki semuanya, Mir.”
Oh, aku gagal mengembalikanmu ke panggung itu, Bang.
“Eh, memangnya Radio Papeja punya program khusus lagu-lagu Paramitha, ya?” kau mengeraskan volume.
Abang benar. Paramitha Rusady lagi. Jangan Ada Air Mata.
“Ibumu pasti sedang mantengin Papeja sekarang ya, Mir?”
Aku cengar-cengir. Suara Paramitha mengalun lagi:
… Terus terang kukecewa
Namun kutanya
Siapa yang mampu
Menepis takdir Yang Kuasa …
Paramitha Rusady dalam “Cinta”
Aku ingin bicara lagi, tapi tampaknya Abang sangat meresapi lagu itu.
“Eh, rencanamu mau nyantri itu bagaimana, Mir?”
Oh, ternyata penyiar baru saja menutup program lagu-lagu lawasnya.
“Lancar, Bang. Insya Allah tahun bulan depan.” Kemudi kubelokkan ke kompleks perumahanmu.
“Yakin kamu akan berhenti sama Abang?”
Aku mengangguk.
“Tidakkah kamu bisa menjalankan dua-duanya?”
Aku tak menjawab. Aku pikir, urusannya tidak sesederhana itu.
“Eh, Mir,” katamu tiba-tiba. “Putar balik ya. Kita ngopi dulu. Sebentar saja,” kamu cengengesan. “Si Chika nggak bakal marah.”
Aduh.
“Gimana, Mir?”
“Oke, Bang.” Lalu aku tertawa kecil. Aku tak punya pilihan.
Baru saja aku hendak memutar kemudi, ponselmu berdering. Belum sampai tiga aku berhitung dalam hati, kau berteriak, “Nggak jadi, Mir. Langsung pulang aja. Ngebutan dikit!”
Aku sudah tahu dan hafal penyebabnya
*
Di luar pagar, kami buru-buru turun. Aku mendorong pagar untuk memasukkan mobil ke garasi dan kau langsung menuju pintu samping yang berhadapan dengan halaman rumput yang cukup luas. Baru saja aku mencabut kunci mobil di garasi, Kak Sika (begitu aku biasa memanggil istrimu) muncul di pintu dan … sebagaimana kekhawatiranku, semuanya terjadi lagi. Benar-benar terjadi. Berulang. Berulang lagi …
“Sudah kubilang, abis acara langsung pulang, Pa!”
Kau meminta maaf dengan kepala tertunduk.
“Kau juga, Amir!” Kali ini Kak Sika menudingku. “Kalau abangmu ngajak keluyuran, jangan kauiya-iyain aja!”
Aku mengangguk dan … juga meminta maaf.
“Ingat, aku yang bayar gajimu!”
Rupanya dia belum selesai.
“Kan Papa tahu kalau Bibik nggak masuk!” suaranya melengking. “Kalian hafal, ‘kan, kalau sekarang jadwalku arisan? Cheril bagaimana kalau kalian pulang telat?!”
Kau berjalan masuk, melewati istrimu dengan kepala yang masih ditekuk.
“O ya, Pa, tadi ada Neknang. Ngajak Cheril main sebentar,” Kak Sika masih berteriak.
Tidak ada jawaban dari dalam.
“Kalau kamu nggak bisa memenuhi keinginannya jalan-jalan, jangan berjanji terus, Pa! Bagaimanapun kamu cucu kesayangannya. Mumpung masih hidup kalau mau nyenengin dia.”
Aku mendengar teriakanmu di dapur, meski tak terlalu jelas kutangkap kata-kata yang kaulontarkan. Paling kau asal jawab agar istrimu tak lagi merepet.
“Papa tolong beberes. Kalau Cheril bangun, langsung mandiin. Malam nanti kita ke tempat Ayah yang baru datang dari Jakarta. Ingat, dia minta Papa jadi ketua partai cabang Lubuklinggau ini. Tahu terima kasihlah sedikit kita!”
Lima menit kemudian, deru Camry istrimu meninggalkan rumah.
Dari pintu yang terbuka, aku melihatmu menyapu ruang tengah dengan serbet di bahu. Aku bergegas ke halaman belakang untuk mengambil motor. Aku sengaja tidak pamit. Kapalan telingaku mendengar permohonanmu agar aku menyimpan semuanya. Tak perlu kauragukan. Aku sudah teruji, Bang.
Ponselku berdering. “Ya, Babe?”
Lalu repetan Chika memekakkan telinga.
“I—i—iya, Babe, maaf Kakak telat.” Lalu gegas kunyalakan starter.
Dalam perjalanan, perasaan ganjil menguasaiku. Mengapa aku baru sadar kalau suara cempreng dan repetan Chika mirip sekali dengan istrimu kalau sedang marah, Bang. Aku juga merutuk, bagaimana aku baru ngeh kalau wajah Chika mirip sekali dengan … Paramitha Rusady. Oh, alunan lirik kehancuran itu mengalun syahdu di kepalaku.(*)
Lubuklinggau, 7 Desember 2020—1 Agustus 2021
1 Comment
It is marvelous.