Nasib Membaca setelah Sekolah
Gambar: istockphoto
Nasib membaca setelah sekolah, pada akhirnya, bukan ditentukan oleh institusi, melainkan oleh keberanian individu untuk terus menyalakan rasa ingin tahu.
Oleh Benny Arnas
Suatu pagi di sebuah warung gorengan dekat kantor salah satu dinas di Kota Lubuklinggau, saya menangkap pemandangan yang begitu umum tetapi selalu membuat saya berpikir ulang tentang hubungan kita dengan membaca. Seorang pria muda, mungkin 23 atau 24 tahun, duduk dengan tatapan kosong. Di atas meja di hadapannya, terhampar pemandangan yang seperti hendak menjelaskan kegundahannya: segelas kopi yang tinggal ampas, sebatang rokok yang tampaknya baru menyala beberapa menit yang lalu dibiarkan padam di bibir asbak aluminium, sertifikat kelulusan terselip di map bening, dan remahan kriuk bakwan di dalam piring kecil. Dari kerutan di keningnya, geraknya yang ragu, dan tubuhnya yang sesekali condong seperti menunggu aba-aba, saya tahu persis tahap hidup apa yang sedang ia masuki. Masa ketika seseorang merasa seolah baru saja “menamatkan” pendidikan, dan kini tinggal menerapkan apa yang telah ia pelajari. Padahal ...
sungguh,
kehidupan baru saja dimulai.
Di luar warung, hidup bergerak lebih cepat daripada kurikulum mana pun. Namun, banyak orang tidak menyadarinya.
Beberapa waktu sebelumnya, saya membaca sebuah laporan dari Pew Research: lebih dari 60 persen lulusan universitas di Amerika Serikat tidak lagi menyelesaikan satu pun buku nonfiksi hanya setahun setelah lulus. Angka itu tidak membuat saya terkejut, tetapi membuat saya gelisah. Sebab ia bukan hanya statistik; ia adalah cermin diam-diam dari keyakinan umum bahwa membaca adalah hal yang dilakukan demi nilai, bukan demi menjalani hidup.
Saya pernah bertanya kepada beberapa mahasiswa yang baru lulus, “Apa yang kalian baca akhir-akhir ini?” Jawaban paling umum adalah tawa kecil, lalu kalimat, “Duh, sudah cukup baca saat kuliah.” Seolah membaca adalah beban sementara yang akhirnya bisa dilepas begitu kita berhasil keluar dari sistem.
Padahal, justru sistem itulah yang sering membuat orang salah paham tentang arti belajar.
Jacques Rancière suatu kali menulis bahwa institusi pendidikan modern kerap tanpa sengaja memproduksi “kebodohan yang dilembagakan.” Sebuah istilah keras, tetapi bila kita melihat makna yang ia maksud, sebenarnya sangat membebaskan: kebodohan bukanlah soal tidak tahu; kebodohan adalah sikap berhenti mencari, berhenti bertanya, berhenti membaca karena kita percaya bahwa entah seseorang, entah guru, entah dosen, entah institusi, telah menyediakan semua jawaban yang diperlukan. Dalam The Ignorant Schoolmaster, ia menegaskan bahwa setiap orang memiliki “kecerdasan yang setara,” dan justru ketergantungan pada otoritas formal-lah yang membuat proses belajar mandek.
Mungkin karena itulah saya tidak terkejut melihat begitu banyak lulusan baru yang masuk ke dunia kerja dengan semangat tinggi namun langkah yang limbung. Mereka sudah lama dilatih mematuhi instruksi: ikuti rubrik, penuhi indikator, jawab sesuai modul. Tetapi begitu berhadapan dengan pekerjaan yang tidak punya “kunci jawaban,” mereka bingung harus melakukan apa. Ada yang menunggu perintah sekecil apa pun, ada yang takut salah, ada pula yang berpikir bahwa pengetahuannya sudah cukup untuk seumur hidup.
Saya pernah bekerja dengan seseorang yang, di minggu-minggu awal, selalu meminta konfirmasi atas hal-hal sederhana: “Saya tulis begini boleh?” “Cara analisisnya seperti ini saja ya?” Bukan karena ia tidak mampu, tetapi karena bertahun-tahun ia dibentuk untuk percaya bahwa keberhasilan setara dengan patuh pada prosedur. Ia menganggap bahwa belajar berhenti pada hari ia menerima ijazah. Kerja baginya adalah ruang untuk menggunakan pengetahuan, bukan memperbaruinya. Duh.
Padahal, kalau dipikir-pikir, sebagian besar dari apa yang kita pelajari hari ini akan usang dalam hitungan tahun.
Neil Postman, seorang pemikir yang kerap luput dibicarakan dalam arus utama kritik pendidikan, menulis dalam The End of Education bahwa kekeliruan sistem modern adalah menekankan pendidikan sebagai alat untuk bekerja, bukan alat untuk memahami dunia. Akibatnya, saat seseorang sudah “mendapat pekerjaan,” ia berhenti belajar karena fungsi pendidikan, menurut dirinya, sudah selesai. Itu seperti seseorang yang berhenti makan karena merasa sudah dewasa.
Padahal dunia tidak pernah berhenti memberi tantangan baru. Dan tantangan itu tidak menunggu siapa pun.
***
Suatu sore saya berbincang dengan seorang teman yang dulu mendapat nilai sempurna di kelas ekonomi mikro. Kami sedang membahas kenaikan harga pangan. Ketika saya menyinggung soal keterkaitannya dengan dinamika utang negara, ia mengangkat bahu dan berkata, “Itu bukan bidang saya.” Ada jeda aneh dalam kepala saya. Kapan tepatnya kita mulai percaya bahwa ilmu pengetahuan punya pagar yang membuat kita tidak perlu tahu apa pun di luar jurusan yang tertera di transkrip nilai?
Di luar kampus, semua persoalan saling berkelindan. Politik mempengaruhi ekonomi; ekonomi memengaruhi perilaku sosial; teknologi membongkar pola pikir; budaya mengubah cara kita membuat keputusan. Seseorang yang berhenti membaca hanya karena merasa “pernah belajar” akan mudah tertinggal, bukan karena ia kurang pintar, tetapi karena ia berhenti menambah makna baru pada pengetahuan lamanya.
Robert Hutchins, seorang tokoh pendidikan yang makin jarang disebut dalam perbincangan hari ini, pernah berkata: “The object of education is to prepare the young to educate themselves throughout their lives.” Saya suka kalimat ini karena ia menyederhanakan sesuatu yang sering kali dibikin rumit: pendidikan seharusnya bukan tujuan, tetapi alat. Bukan akhir, tetapi awal.
Dan alat itu mandek begitu kita berhenti membaca.
***
Jika melihat kebiasaan banyak lulusan baru, membaca sering dianggap barang mewah. “Tidak sempat,” “Tidak ada kebutuhan,” atau “Bukannya itu buat akademisi?” menjadi alasan paling sering terdengar. Padahal membaca tidak pernah hanya soal intelektualitas; ia soal mempertahankan kelenturan pikiran. Orang yang membaca tidak hanya tahu lebih banyak, tetapi lebih siap berubah ketika kenyataan memaksanya.
Ketika dulu masih bekerja di sebuah perusahaan, saya pernah mengamati dua rekan dengan masa kerja dan latar akademik serupa. Yang satu membaca buku, tidak banyak, hanya beberapa dalam setahun. Yang satu tidak pernah membaca apa pun kecuali pesan atasan. Tiga tahun kemudian, perbedaannya mencolok: yang membaca lebih adaptif, lebih cepat belajar teknologi baru, lebih mampu merumuskan ide. Yang satu lagi bekerja dengan cara yang sama seperti hari pertama ia masuk: stabil tetapi statis.
Saya percaya bahwa membaca bukan soal rajin atau malas; membaca adalah cara paling sederhana untuk memastikan bahwa diri kita tidak beku.
G. K. Chesterton punya kalimat yang selalu saya ingat, meski sering terlupakan oleh pembaca umum: “There is a great deal of difference between an eager man who wants to read a book and the tired man who wants a book to read.” Kutipan ini mengingatkan saya bahwa membaca bukan tentang jumlah buku yang diselesaikan, tetapi tentang cara kita mendatangi buku: apakah kita mendatanginya sebagai jemputan makna, atau sekadar hiburan setelah energi habis.
***
Kini, ketika banyak orang mengeluhkan betapa stagnannya percakapan-percakapan dengan teman seangkatan mereka yang pintar saat kuliah, tetapi hambar saat berdiskusi, saya merasa jawabannya tidak rumit: mereka berhenti memperbarui diri. Ada masa ketika mereka adalah pembaca, penanya, penjelajah. Tetapi setelah sekolah selesai, banyak dari mereka membiarkan isi kepalanya mengering.
Nasib membaca setelah sekolah, pada akhirnya, bukan ditentukan oleh institusi, melainkan oleh keberanian individu untuk terus menyalakan rasa ingin tahu. Membaca bukan kewajiban akademis; ia adalah cara menjaga agar pikiran tidak menjadi reruntuhan masa lalu. Dunia terlalu luas, terlalu cepat, terlalu rumit untuk dihadapi dengan ilmu yang tidak bergerak.
Jika belajar adalah perjalanan, membaca adalah langkah kaki yang memastikan kita terus maju.
Dan orang yang berhenti membaca setelah sekolah, sehalus apa pun caranya, sebenarnya sedang tertidur, pulas, pulas sekali. Ketika terjaga, ia kerap marah. Bukan karena mimpi indahnya dirusak. Melainkan karena kenyataan terasa begitu cepat bergerak baginya.(*)
Aleksandria, 1 Desember 2025
Daftar Pustaka
Chesterton, G.K. (n.d.) [Various writings] (Catatan: Kutipan berasal dari aforisme Chesterton yang tersebar dalam berbagai esai; tidak tercantum judul spesifik dalam naskah.)
Hutchins, R.M. (1952) The Great Conversation: The Substance of a Liberal Education. Chicago: Encyclopaedia Britannica.
Pew Research Center. (2016) Book Reading 2016. Washington, D.C.: Pew Research Center.
Postman, N. (1995) The End of Education: Redefining the Value of School. New York: Alfred A. Knopf.
Rancière, J. (1991) The Ignorant Schoolmaster: Five Lessons in Intellectual Emancipation. Translated by K. Ross. Stanford, CA: Stanford University Press.