Menjadi Orang Biasa

 Menjadi Orang Biasa

foto: dokumentasi pribadi

Oleh Benny Arnas

Di bawah hujan renyai bakda Isya, aku menunggu pesanan mi ayam di mobil. Meskipun wiper bekerja ekstra membersihkan kaca depan dari guyuran hujan, aku masih bisa menangkap pemandangan para penjual sate, bakso, dan mi tumis yang menunggu di dalam tenda di balik gerobak mereka, menunggu pelanggan. 

Sedari Asar tadi hujan memang deras sekali, barulah hujan agak mereda beberapa menit yang lalu, tapi tampaknya masih jauh dari berhenti. Hujan sedang-sedang saja ini bakal awet renyainya. Mungkin, akan menggembirakan bagi pemuja hujan dari balik jendela dengan cokelat panas dan roti kismis sembari menulis puisi indah sebagai takarir sebuah foto tentang hujan, tapi lain urusan bagi para pedagang di tepi jalan raya Pasar Satelit yang lengang, basah, dan tiba-tiba sendu. Wiper seakan-akan hendak menghapus mereka dari pandanganku—dan gagal—dan begitu terus berulang. Seakan-akan mereka berada di tepi peradaban duniaku yang bingar dan hiruk-pikuk di media sosial, lewat tulisan-tulisanku yang dibaca banyak orang atau kelas menulis daringku yang banjir komentar positif.

Aku membuka ponsel pintarku. Facebook—riuh. Instagram—sibuk pamer. Twitter—saling hujat. Email—lalu-lintas naskah revisian. Tepi jalan Pasar Satelit—orang-orang itu masih di sana. Menunggu. Sesekali melihat ke panci di ujung gerobak yang mengeluarkan uap panas ketika tutupnya dibuka. Entah apa yang mereka harap. Entah apa yang mereka periksa. Tindakan mereka itu mengingatkanku pada cerita seorang ibu yang memasak batu untuk anak-anaknya yang sedang lapar agar mereka tidak terus menggerutu. Para pedagang makanan itu bolak-balik dari panci dan kursi plastik tanpa sandaran untuk memastikan kalau jeda berulang di antara dua aktivitas itu akan senantiasa meriapkan harapan: para pembeli datang atau memesan dari balik mobil seperti yang sedang kulakukan.

Hujan masih renyai.

Aku memandang kosong ke depan. Aku tak ingin lagi melihat pemandangan yang melemparku ke dunia yang jauh, yang membuatku menjadi orang yang tak tahu diri, tapi … pandangan kosongku malah memberiku hal yang sama: sebuah ruang tengah di rumah kami. Anak-anak berkumpul di atas ambal cokelat kami yang tebal dan lebar. Si bungsu yang minum teh ditemani donut kentang, yang tengah sedang minum susu campur madu, sulung yang mengerjakan PR ditemani kucing kesayangannya, atau istriku sedang membuat video pembelajaran dengan ekspresi riang dan sesekali melonjak kegirangan karena berhasil mengerjakan tiap tahap materi audio visual yang akan ditayangkan di kanal Youtube-nya. Lalu pemandangan itu mengabur. Dan aku memukul pelan kemudi—bagaimana mungkin semuanya bersepakat mengolok-olokku?

Kaca samping kemudiku diketuk. Pesananku sudah jadi. Setelah kubayar, kupandangi punggung penjual mi ayam itu sebelum ia kembali ke sana, ke … bangku plastik tanpa sandaran. Kusapu pandangan hingga ke kaca depan mobilku dan mendapati pedagang sate gerobak-bakso gerobak-dan mi tumis gerobak berkhidmat di posisi yang sama. Satu lagi, tak satu pun dari mereka yang memegang ponsel.

Aku pulang dengan perasaan kosong yang tiba-tiba memelukku dari belakang. Apa iya tatapan para pedagang yang baru saja kutinggalkan itu terus mengikutiku? Aku berbelok, seakan-akan sedang membuang jejak dari kejaran mereka. Tapi aku tahu, aku gagal.

Aku ingin jadi bagian dari orang-orang biasa saja. Oh bagaimana kira-kira? Jauh dari lampu panggung, perbincangan di media sosial tentang buku baruku yang akan terbit, kelas menulis daringku yang kebanjiran permintaan agar menayangkan materi baru sesuai keinginan audiens, menolak semua undangan berbicara di forum-forum kepenulisan, atau mengabaikan residensi yang sudah dipersiapkan satu tahun sebelumnya. Mungkinkah menutup mata dan menjauh dari semua? Jangankan selamanya. Sementara saja, rasanya tidak bisa dibayangkan. 

Setelah menghabiskan mi ayamku, kulihat pergelangan tanganku. Urat nadiku. Semua kesibukanku mengalir di sana. Riuh dan memekakkan telinga. Darah, merah, dan menyatu dengan kepalsuan yang memancar dari air mukaku. Plaak! Kutampar lembut pipiku di cermin. Mataku basah. Sepertinya semuanya terlambat dan dunia menjadi benang kusut dengan ribuan simpul tanpa jalan keluar.

Tiba-tiba aku iri. Tiba-tiba aku merindukan siklus yang sederhana itu, yang dulu: pergi sekolah, pulang bermain dengan anak-anak tetangga yang sebaya, lalu menghabiskan waktu di rumah entah untuk apa.

Mungkin, para pedagang di balik gerobak itu bukan sedang merutuki hujan renyai dan kelengangan malam, melainkan menikmati kedamaian yang sudah hilang dari orang-orang yang merasa lebih dilihat dunia lewat fatamorgana yang berserakan dan memancar dari layar ponsel pintar mereka.(*)

Lubuklinggau, 11 November 2020

Benny Arnas

https://bennyarnas.com

Penulis & Pegiat Literasi

2 Comments

  • Ada tiga benda yang membelenggu kehidupan manusia; Handphone, jam dan kalender. Bila kita mampu beberapa hari saja, tanpa terikat pada ketiganya, hanya mengandalkan suara adzan yang berkumandang sebagai penanda waktu, mungkin hidup akan terasa lebih ringan dan damai..
    Wallahu a’lam bishawab..🙏

    • Terima kasih, Mbak, sudah membaca …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *