Menimbang Bersastra Ketika Hidup Makin Serius …

 Menimbang Bersastra Ketika Hidup Makin Serius …

foto koleksi pribadi (2023)

Oleh Benny Arnas

… Suatu sore, seseorang dari masa lalu mengirim pesan WhatsApp. Saya pikir ia ingin menawari bisnis atau sejenisnya sebagai alternatif, tapi tidak. Ia mengajak saya bertobat. “Bersastra itu adalah sebuah kebohongan yang dibenci Allah dan rasulnya, Benn.”

***

Tahun 2015, di setelah peluncuran novel Tanjung Luka di Perpusda Provinsi Sumatra Barat, saya menghubungi seorang teman sesama pegiat nasyid ketika saya kuliah di Universitas Andalas dulu. Saya ingin melepas rindu setelah hampir 10 tahun tidak bertemu. Sekalian saya membawa oleh-oleh untuknya. Saya tak sabar bernostalgia tentang berdarah-darahnya kami membangun grup nasyid, tampil tak dibayar namun tetap happy, atau mengunjungi masjid saban Subuh Ahad untuk memberikan sajian nasyid gratis kepada anak-anak yang mengikuti Didikan Subuh, semacam agenda ngaji untuk meninjau perkembangan ngaji dan ajaran ibadah yang diberikan sang guru kepada murid-muridnya yang sudah membudaya di Sumatra Barat.

“Wah, hari ini jadwal ngajarku padat, Benn. Malam juga harus ngoreksi ujian anak-anak, soalnya sekarang kan minggu-minggu ujian. Tapi kalau sempat nanti, aku samperin hotelmu ya,” katanya di telepon dengan nada sangat menyesal.

Lalu ketika saya menanyakan bagaimana aktivitas bernasyidnya—dengan harapan dia akan bergairah lagi bertemu saya, dia menjawab, “ Nggak lagi, Benn. Sekarang sibuk kerja. Anak-istri mau makan!” Deg. Kerongkongan saya mendadak kering.

Tahun 2017, dalam sebuah lawatan ke Jakarta, saya memutuskan mampir ke rumah seorang penulis yang saya kenal di media sosial pada tahun 2009. Selain karena sudah lama sekali kami tak berinteraksi, saya sesungguhnya juga merindukan tulisan-tulisannya yang tidak lagi muncul di media massa sejak empat tahun terakhir plus komentar-komentarnya yang biasanya tak pernah absen di setiap cerpen yang saya posting dalam kurun 2009-2013. Tapi apa nyana, saya sepertinya berkunjung di waktu yang salah atau bahkan telah berlebihan menganggap seseorang sebagai teman dekat. Saya tiba-tiba seperti baru sadar kalau kami hanya berkenalan di media sosial.

“Ada apa?” katanya begitu saya mendatanginya dengan wajah semringah-raya. Kaus oblong kebesaran yang ia kenakan sedikit basah, tangan yang memegang kain lap, dan sebuah gerobak bakso sedang ia siapkan. “Mau makan bakso?” tawarnya. Dingin dan asing.

Saya mengangguk dan mengambil tempat duduk di bangku panjang yang barusan ia lap. Saya menghabiskan bakso dengan perasaan hambar, sementara ia sibuk melayani satu-dua pembeli yang mulai datang. Apa kabar menulis? Apa kabar sastra? Buku-buku apa saja yang sedang kamu baca? Pertanyaan-pertanyaan yang sudah disiapkan itu menguap bersama udara ibu kota yang lengket.

Tahun 2019, dalam sebuah kunjungan ke Bengkulu dalam rangka mengisi sebuah acara kepenulisan, saya menghubungi salah seorang pegiat teater yang banyak membantu kegiatan Seniman Mengajar saya di Bengkulu (Agustus-September 2017). Saya ingin mengajaknya ngopi, makan-makan, dan tentu saja bercerita banyak hal tentang kesenian, sekaligus saya ingin mendengar cerita tentang jadwal pementasan dan proyek-proyek komunitasnya.

“Bang, sekarang saya sudah nggak di Bengkulu,” katanya dengan tergesa-gesa. “Sekarang kerja di pabrik garmen di Tangerang. Sudah dulu ya, Bang, ini sudah masuk shift saya,” lanjutnya sebelum mengakhiri percakapan.

***

Selalu ada perasaan nelangsa yang susah dilukiskan ketika rekan berkesenian—termasuk menulis—meninggalkan riuh dunia kreatif yang mempertemukan kami dalam banyak momen kegembiraan, saling apresiasi, dan berbagi kabar yang biasanya menyasar percakapan-percakapan tentang aktivitas kreatif yang selalu menerbitkan gairah baru di wajah kami masing-masing.

Apakah benar, dunia kesenian itu memang untuk orang-orang yang belum banyak tanggungan dan belum memikirkan beban kehidupan sehingga ia bisa berpuas-puas bersenang-senang dengannya. Tapi, segera asumsi itu tertolak ketika saya mendapati para pegiat seni yang sudah mapan secara ekonomi, baik sebelum atau setelah menggiati kesenian, justru juga meninggalkan “dunia yang menyenangkan itu” karena menganggap dirinya “sudah cukup” di sana. “Sekarang waktunya mengerjakan hal-hal lain, banyak orang-orang muda yang lebih membutuhkan panggung itu,” katanya tanpa memikirkan perasaan saya yang gumpil. Oh jadi, kreativitas pun mengenal pensiun—meski secara usia dan kemampuan ia sebenarnya masih memiliki banyak energi.

Lalu, dua hari lalu, ketika saya sudah melupakan kenelangsaan itu, saya teringat teman dekat yang merupakan seorang pelukis yang juga pengelola taman baca yang sangat saya gemari karya-karyanya. Dari seorang teman, saya mendapatkan kontak WhatsApp dan akun Facebook-nya. Namun, saya memutuskan tidak menghubungi WA dan mengunjungi media sosial ketika mendapati status-statusnya menjelma lapak aneka dagangan, ujaran kebencian pada pemerintah, dan ceramah-ceramah dari pemuka agama yang gemar memprovokasi. Saya scroll down hingga dua tahun terakhir, tak satu lukisan pun atau dokumentasi aktivitas taman bacanya, yang mejeng di sana.

Saya tiba-tiba merasa asing. Saya tiba-tiba merasa egois. Saya tiba-tiba merasa tercerabut dari dunia yang sesungguhnya. Februari tahun ini, iseng-iseng saya mengunjungi kotak masuk messenger yang sangat jarang saya buka. Banyak momen kegembiraan dan gairah kreatif yang mempertemukan saya dan para penulis, seniman, dan pegiat literasi, kembali bermunculan, tapi … beberapa pesan membuat saya mengutuk diri dunia.

Pesan-pesan itu seperti langit bulan Januari, mendung dan basah. Baik melalui pesan-pesan beberapa hari lalu, hingga yang paling usang adalah tahun 2011. Mereka berkeluh kesah tentang kehidupan yang makin banyak saingan sementara “media yang memberi honor” makin sedikit, bercerita tentang panggung kesenian yang lebih banyak menyilakan mereka yang muda dan penuh eksperimentasi untuk naik, atau dunia seni rupa yang tidak bisa diandalkan sehingga mereka beralih profesi sebagai pembuat taman sekolah atau bahkan jadi kuli bangunan. Anda sudah bisa menebak ujung dari keluhan itu, bukan? Tak semuanya bisa saya bantu.

Bakda pandemi, saya makin tak berani membuka “kotak curhat” itu.

Tapi entah bagaimana dan dari mana mendapatkan kontak saya, suatu sore, seseorang dari masa lalu mengirim pesan WhatsApp. Saya pikir ia ingin menawari bisnis atau sejenisnya sebagai alternatif, tapi tidak. Ia mengajak saya bertobat. “Bersastra itu adalah sebuah kebohongan yang dibenci Allah dan rasulnya, Benn.”

Saya lihat lagi nama dan foto profilnya. Sepertinya hanya mirip dengan seniman yang pernah sangat terkenal itu. Ya, pasti hanya mirip. Kan banyak sekali nama dan wajah di dunia ini yang mirip satu sama lain. Banyak sekali yang begitu. Apalagi di akhir zaman seperti ini. Ya, pasti hanya mirip.***

Kapadokia, 2022

Benny Arnas

https://bennyarnas.com

Penulis & Pegiat Literasi

6 Comments

  • ya Benny… Benny beruntung bisa menikmati pasaionnya hingga detik ini, karena dunia kreatif adalah dunia jasa yang kompetensi pengiatnya abstrak untuk dinilai.. Dan apresiasinya (kesejahteraannya) tergantung ‘hasil karya’ & Penoreh karyanya bisa mengguncang kocek bagi dunia bisnis.

    • Betul sekali, Bu. Bersyukur sekali.

  • Alih profesi, alternatif bila orientasi akhir berkarya hanya gambar merah biru. Tapi tak dapat dipungkiri, kesibukan dan tuntutan bekerja terkadang menguras waktu sehingga harus meninggalkan kesenangan dalam menulis.
    Tobat Bang, tobat🤣😂

    • Betul, Sept. Hidup, setelah beban datang dari mana-mana, sungguh tak sederhana lagi.

  • Hmmm…
    Sepertinya hanya mirip ya bang? 🤭😂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *