Membaca Indonesia d(ar)i Dinding Leiden
Majalah Literabasa Edisi Juni 2024 (dalam versi yang berbeda terbit di gongkreatif.com, 3 Mei 2024)
Oleh Benny Arnas
Tujuh belas April 2024 sore, saya sempat keder ketika petugas imigrasi Bandara Schipol menanyakan maksud kedatangan saya ke Belanda sambil membentak-bentak karena warga negara Maroko sebelumnya malah digelandang petugas keamanan. Tanpa banyak ba-bi-bu, saya menyerahkan undangan dari Leiden dan berkas yang menunjukkan bahwa selama dua bulan di sana saya tidak akan menggembel karena punya sponsor. Alhamdulillah.
Sebagaimana dugaan saya, musim semi medio April adalah musim berangin yang basah. Hujan dan angin masih turun semaunya. Ini persis yang saya alami di kunjungan saya ke Amsterdam tepat satu tahun yang lalu.
Setelah menumpang kereta api, dua puluh menit kemudian saya tiba di Leiden Centraal. Meskipun rekan periset saya di Leiden menyarankan saya untuk jalan kaki ke saja ke Witte Singel, permukiman tempat kami tinggal, karena koper 30 kilogram di tangan, saya memutuskan menumpang bus dengan kartu transportasi yang baru saya buat di stasiun tadi.
Yang saya butuhkan adalah istirahat, bukan slow-walking, batin saya.
Keesokan harinya, setelah membuat kartu anggota di Perpustakaan Leiden, saya memutuskan untuk menyusuri kota itu.
Baru saja saya menyeberang meninggalkan perpustakaan, saya bertemu jembatan melengkung di atas kanal. Saya terdiam cukup lama.
Bukan karena kanalnya yang bersih dan pemandangan taman di sisi timur Leiden yang syahdu oleh cahaya matahari bakda Zuhur. Bukan. Melainkan barisan aksara lontara yang tercetak (atau terlukis) di dinding bangunan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde yang sekaligus bersisian dengan kanal sehingga mudah sekali tertangkap pandang orang yang lalu lalang di depan kompleks Universitas Leiden.
Menurut Marleen van der Weij dalam Dicht op de muur 2. Gedichten in Leiden (Burgersdijk & Niermans, Leiden, 2005), puisi anonim ini adalah penggalan dari Elong yang konon dibuat sekitar Abad 19. Puisi ini diusulkan oleh Dr. Roger Tol, kepala perpustakaan KITLV saat itu, dan ditulis pada tanggal 23 Juni 2001 bertepatan dengan peringatan 150 tahun KITLV.
Oh, dari deskripsinya yang tercetak di plakat dinding yang sama—tapi lebih dekat ke pangkal jembatan—saya jadi tahu kalau puisi itu dipetik dari epos I La Galigo. Saya terenyak. Bagaimana bisa Indonesia langsung menyala pada kunjungan pertama saya di kota yang tenang ini.
“Saya tidak tahu,” jawab Mario, seorang mahasiswa Belanda yang kebetulan sedang menunggu temannya di pangkal jembatan, tempat saya baru mengambil foto keterangan puisi tersebut. “Saya pikir itu bukan puisi. Saya pikir itu grafiti atau coret-coretan estetik bebas tafsir,” katanya lalu meminta maaf. “Saya tak bermaksud merendahkan puisi itu,” katanya seraya tersenyum sopan. “Bagaimana pendapatmu tentang kota ini? Tenang bekan?” Ia bertanya baik.
Ya, kota yang tenang. Saya sepakat. Tapi, sedih sekali ketika mahasiswa yang bolak-balik melewati kanal itu malah tak tahu kalau itu puisi, puisi Nusantara!
Perjalanan saya berikutnya, menegaskan makna tenang ini. Setelah puas menyusuri Leiden yang kompleks karena—selain perpustakaan—rumah kaca, taman botani, dan berbagai kantin dengan standar rasa—dan harga—yang yahud, saya menyusuri kawasan permukiman di timur Witte Singel.
Kawasan ini tidak ramai, juga tidak sepi. Orang-orang berjalan kaki dan bersepeda adalah pemandangan umum.
Sebagaimana kawasan kampus, tak saya temukan orang-orang berpose dengan ponsel atau ngevlog di jalanan. “Ini bukan kota pelajar,” kata Judith, periset independen dari Arnheim. “Leiden adalah kota perpustakaan,” katanya menyakinkan.
Begitu memasuki kelokan dari jalan sekunder, saya bertemu dengan Haverstraat. Tepat di dinding rumah tiga tingkat yang polos—yang juga menjadi dinding tempat tercetaknya nama jalan itu, puisi Serat Kalatidha atau dikenal Jaman Edan karya penyair legendaris Jawa, Raden Ngabhi Ranggawarsita (1802-1873).
Puisi yang ditulis tahun 1997 dalam abjad Hanacaraka ini diusulkan oleh Instituut Indonesische Cursussen (IIC) kepada Yayasan Tegen-Beeld dan akhirnya disetujui untuk dijadikan mural menghiasi Kota Leiden.
“Tidak,” kata Grego, mahasiswi Indonesia Leiden. “Saya memang dekat dengan puisi-puisi ini,” ia menunjuk dinding yang memuat puisi dalam bahasa Arab karya Adonis. “Tapi saya tak tahu, kalau ternyata ada karya-karya puisi Indonesia di dinding-dinding Leiden,” katanya sebelum buru-buru mengoreksi, “Sepertinya saya pernah mendengarnya, tapi saya belum melihatnya langsung. Saya terlalu asik kuliah dan membaca di perpustakaan.”
***
Puisi Dinding (Belanda: Muurgedichten, kadang disebut pula Gedichten op muren atau Dicht op de Muur) adalah sebuah proyek yang melukiskan lebih dari 110 puisi dengan berbagai bahasa di dinding-dinding bangunan di Kota Leiden, Belanda. Bagi saya sendiri, kehadiran puisi-puisi ini bukan sekadar menegaskan Leiden adalah Kota Perpustakaan, melainkan Kota Puisi itu sendiri.
“Iya,” kata Lilenko, mahasiswi Rusia tak sengaja saya ajak bicara di Albert Heijn ketika kami sama-sama membayar belanjaan kami di self-service machine. “Spot favorit saya dan teman-teman adalah ngopi di kanal utara,” lalu ia menyebut sebuah puisi dari penulis Timur Tengah yang ia lupa namanya—yang tercetak di dinding sebuah kafe—yang menjadi latar mereka membincangkan apa pun selepas kuliah di sana. “Tapi saya tidak tahu, yayasan apa yang menginisiasi proyek dinding-dinding romantis ini,” lalu kami tertawa. Sebelum kemudian dia sangat terkejut mendengar nama Yayasan Tegen-Beeld karena ia sendiri cukup familiar dengan dua seniman utama dalam proyek ini yaitu Ben Walenkamp dan Jan-Willem Bruins. “Selain itu,” kata saya bagai menjadi duta puisi untuk Leiden, “dana lain berasal dari beberapa perusahaan yang beroperasi di Kota Leiden.”
Tapi, yang juga cukup menarik adalah, proyek yang dimulai pada tahun 1992–dengan pelukisan puisi Moim Stikham karya penyair Rusia yaitu Marina Tsvetayeva—ini bukanlah (sekadar) proyek sastra, melainkan kerja seni rupa. Ya, setiap puisi, selain tampil dalam bahasa aslinya, juga “dilukis” dengan ciri khas kesenirupaan.
Pada tahun 2005, setelah pelukisan puisi De Profundis karya Federico García Lorca, pelukisan puisi sempat berhenti selama beberapa tahun untuk kemudian dilanjutkan kembali pada tahun 2010 dengan pelukisan puisi nomor 102 yaitu Vepkhistqaosani karya penyair Georgia, Shota Rustaveli.
Menurut Marleen van der Weij: Dicht op de muur. Gedichten in Leiden (Gemeente Leiden, Dienst Bouwen en Wonen, 1996), penyair lainnya yang karyanya diikutkan di dalam proyek ini di antaranya adalah E. E. Cummings, Langston Hughes, Jan Hanlo, Du Fu, Louis Oliver, Pablo Neruda, Rainer Maria Rilke, William Shakespeare, dan W. B. Yeats, serta beberapa penyair lokal Belanda seperti Piet Paaltjensdan J. C. Bloem.
Hari udah pukul lima tapi matahari bersinar seperti pukul 12. Ketika saya melihat panduan tersedia di Internet yang berisi tur menelusuri 25 dari 110 puisi bagi para wisatawan di Leiden, saya baru ngeh kalau matahari terbenam pukul 21.30. “Kamu tinggal di Witte Singel?” sapa seorang Belanda yang sering berpapasan dengan saya dalam perjalanan pulang dari perpustakaan. “Ada sebuah puisi India di belakang halte,” beritahunya sebelum kemudian, seperti mau menganulir keingintahuannya, ia berkata, “Ah, tentu kamu pasti sudah tahu ya?”
Saya tersenyum lebar, dan mengangguk, “Tapi saya senang sekali karena kamu juga suka puisi.”
Tapi, respons menyedihkan justru saya dapatkan dari beberapa orang dan mahasiswa Indonesia di Kota Puisi itu sendiri. Tak banyak dari mereka yang tahu—atau pernah “menziarahi”—puisi Chairil Anwar dan Ronggowarsito. “Puisi dari I lA Galigo ini sendiri, kami ketahui, karena memang letaknya di belakang halte di seberang perpustakaan sehingga mudah tertangkap pandang, yaaa kami jadi tahu,” kata pemuda yang menolak saya sebutkan namanya. “Nanti saya akan cari (puisi) Chairil dan Warsito,” katanya seperti merasa bersalah.
Sore itu, untuk kali kedua dalam pekan pertama saya di Leiden, saya ke Rijndikkbuurt, tempat puisi “Aku” dilukis megah di dinding kediaman warga. Saya sebenarnya sedikit kecewa ketika mengetahui, letak puisi ini membuat tidak cukup mudah tertangkap pandang oleh pejalan kaki. Tapi, tak urung bulu kuduk saya meremang dengan hamparan bait:
…
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
….
Dua bulan di Leiden nanti, saya sudah membayangkan, betapa tenang dan puitiknya kota yang menyala karena perpustakaannya ini. Di sini, saya bukan hanya melihat arsip kebudayaan yang terawat, tapi juga menjadi saksi bagaimana sastra dirayakan. Dan tiga puisi Indonesia, hadir setara dengan karya-karya dunia.
Ah, sebuah pengalaman yang membanggakan dan menggetarkan. Meski, saya tak tahu, seandainya saya adalah orang Indonesia yang lama di Leiden, apakah saya akan seantusias ini mencari tahu atau, sebagaimana jawaban yang lain, rutinitas hidup membuat saya terlalu sibuk untuk sekadar memandangi Indonesia di Witte Singel, Haverstraat, atau Rijndikkbuurt.(*)
14 Comments
kian keren Benny…. Alhamdulillah
Besar harapan kita Juga untuk Indonesia dengan karya – karya yang melegenda dan abadi..Terimakasih infonya ternyata ada hal membanggakan warga eksis disana.
Sama-sama, Bu. Senang bisa berbagi.
Selalu menyegarkan membaca artikelmu. Tapi koreksilah kesalah pengetikan walau aku tahu kau menulis dalam waktu yg singkat. Sebuah impresi seketika melihat puisi Nusantara di dinding kota Leiden. Aku mengetahuunya oertama kali tahun 1996 dari salah seorang saahabt doaen dan perjah puisi Indonesia- Belanda (Mursidah alhm) dan melihatnya langsung tabun 2000. Tapi membacanya lewat artikelmu itu yg nikin asyiiik. Makasih Ben..
Makasih, Mai. Alah mampia. Iyo, Mai. Beko nan saltik ka diperbaiki.
Alhamdulillah..
Kereen ya Benny..terharu dan bangga ada karya-karya puisi Indonesia di dinding-dinding Leiden.
Sukses untuk Benny.
Betul, Bu. Bangga dan gembira. Makasih sudah mampir, Bu.
MasyaAllah, keren ya Leiden. Yang saya garis bawahi di sini, “Leiden adalah kota perpustakaan.”
Dan Bang Ben, selalu bernarasi dengan segar. Terimakasih Bang..
Makasih, Sept. Alhamdulillah ….
Senangnya bisa tinggal di sana selama beberapa waktu untuk kepentingan ilmu. Senang sekali, Mas Benny. Chairil tetap hidup di sana, ya.
Makasih, Kiai. Alhamdulillah. Senang bisa berbagi sedikit.
bokep memek bau scam
Membaca tulisan ini, seolah saya merasakan sastra terasa benar dirayakan di sana, Bang Ben. Terimakasih
Makasih sama-sama, mbak.
Daftar sekarang resmi situs ditoto slot Terpercaya