Leiden: Mawar Putih Mekar Selalu Hari Ini

 Leiden: Mawar Putih Mekar Selalu Hari Ini

Taman di seberang Perpustakaan Leiden (Dok. pribadi)

Membiarkan hari ini berlalu begitu saja sama dengan menyia-nyiakan hidup itu sendiri

Hedy Hinzler

Oleh Benny Arnas

Saya menatap sekeliling sambil menyeruput capuccino dari cangkir kertas bertuliskan Coffee Company. Matahari musim semi menembus kaca tinggi perpustakaan Universitas Leiden, menyoroti wajah-wajah serius di depanku. Namun, di sela keseriusan itu, ada sesuatu yang sejak tiga hari lalu selalu membuatku takjub: kebiasaan orang-orang Leiden untuk benar-benar hidup di hari ini.

Musim semi 2025 ini, saya melanjutkan riset arsip kolonial tentang Simbur Cahaya, undang-undang adat yang ditulis oleh Ratu Sinuhun di Palembang, yang sempat digunakan oleh masyarakat Sumatra (bagian) Selatan sebagai panduan dalam hidup bersama, yang merupakan program lanjutan beasiswa nirgelar saya di Perpustakaan Leiden. Sebenarnya urusan ini selesai musim semi tahun lalu. Namun, sepulang ke Tanah Air, saya baru sadar, sebagai peneliti pemula, banyak sekali printilan yang saya lewatkan sehingga tahun ini, mau tidak mau, saya harus kembali.

Saya ingat, kata-kata seorang mahasiswa Ilmu Sejarah dari Leiden yang belajar di Universitas Andalas selama beberapa bulan dalam program student exchange dua puluh tahun yang lalu. “Ke Leidenlah,” katanya. “Kanal-kanal kotanya bukan hanya mengalirkan air, tapi juga sejarah negerimu.” Dua tahun belakangan saya tahu dan mengerti. Leiden bukan hanya tentang sejarah di balik arsip dan gedung tuanya.

Leiden juga memberi saya pelajaran tentang hidup hari ini.

Hari itu, saya sedang menunggu bus di halte dekat Rapenburg. Hujan gerimis turun, tapi dua mahasiswa di sampingku tetap tertawa sambil memakan stroopwafel hangat. Tiba-tiba hujan berhenti, dan salah satu dari mereka berbisik, “Look, it’s beautiful again.” Dia menengadahkan kepala, memejamkan mata, seolah menikmati detik itu saja, tanpa peduli tugas atau ujian apa yang menunggu esok.

Saya menatap mereka. Dalam hati saya berbisik, apa mereka tidak khawatir hari ini belum selesai tugasnya, belum memikirkan karir ke depan, belum memikirkan uang untuk bulan depan? Karena, jangankan di ibukota, di kota berkembang seperti Lubuklinggau tempat saya dibesarkan pun, hampir semua obrolan selalu berakhir dengan pertanyaan, “Setelah ini kita apa?”, “Nanti gimana uang kita?”, “Masa depan riset di Indonesia ke mana?”

Saya ingat, hari-hari berikutnya, saat mengerjakan transkripsi dokumen lama di perpustakaan Asia di Witte Singel, saya duduk bersebelahan dengan seorang profesor tua. Saya lupa nama lengkapnya. Tapi saya ingat nama terakhirnya: Meulendijks. Dia sedang menandai beberapa kalimat di jurnal, kemudian menutup laptopnya, menatap jendela, dan tersenyum pada burung-burung kecil di luar. Spontan saya menanyakan apa yang sedang dia lihat. Dia menoleh dan menjawab,

“I just love how these birds jump. They don’t plan. They just jump from one twig to another, feeling it. I learn a lot from them.”

Saya terdiam. Bagaimana mungkin seseorang yang menulis ratusan artikel tentang teori kritis dan filsafat bisa memikirkan hal sesederhana itu di tengah kesibukannya? Dalam pikiran saya, seorang profesor harus selalu tampak sibuk, menatap laptop, atau mencatat ide demi ide. Tapi di hadapanku, dia justru mengamati burung dengan gembira seperti anak kecil.

Malam harinya, di dapur apartemen saya di Witte Singel–yang hanya memakan waktu tujuh menit berjalan kaki dari perpustakaan, bersama mahasiswa Indonesia lainnya, saya memasak dan menyantap nasi goreng yang bumbu kemasannya kami bawa dari Indonesia. Wangi lengkuas yang menguap langsung membuat perut serta-merta keroncongan. Bart, mahasiswa master sastra klasik yang baru pulang dari latihan koor, menarik kursi dari bawah meja kecil di dapur yang sempit itu. “Saya sudah mencium wanginya. Saya berhak dapat bagian,” katanya diiringi tawa lebar.  Saya ingat, dia hanya mengamati. Hanya mengamati. Padahal ia bisa melakukannya sembari bermain handphone. Sesekali bercerita tentang harinya: latihan nyanyi pagi, baca puisi Yunani siang, dan bersih-bersih kamarnya sebelum berangkat ke kampus.

Saya menatapnya, setengah iri. Dia bercerita tanpa ada rasa bersalah bahwa hari ini dia hanya latihan dan membaca puisi. Tidak ada kata “Saya harusnya lebih produktif.” Padahal, kalau saya, selalu ada beban. Harusnya tadi saya sudah menulis dua halaman analisis. Harusnya saya sudah membaca satu buku teori lagi. Harusnya, harusnya .

Tiga hari kemudian, saya diam-diam menyusup ke dalam sebuah diskusi bulanan di Faculty Club. Selesai diskusi, beberapa dosen muda dan mahasiswa master mengajak minum bir di tepi kanal dekat Breestraat. Tentu saja saya tak bisa bergabung. Pertama, saya ragu apakah mereka benar-benar mengajak penyusup seperti saya, mengingat dua orang yang berteriak “Ayo ngebir!” menghadap ke serombongan mahasiswa di mana berada di barisan paling belakang. Kedua, tentu saja karena saya tidak minum alkohol. Saat itulah, sebuah momen kecil menancap kuat di ingatan..

Seorang mahasiswi doktoral pertanian, Mira–dia orang Indonesia juga–berkata padaku, “Saya kagum sama mereka. Waktu kerja, ya kerja sungguh-sungguh. Waktu istirahat, ya istirahat total. Di sini orang nggak merasa bersalah kalau jam 5 pulang. Mereka nggak mikirin besok sebelum besok datang.”

Saya menatap gadis 27 tahun itu. Kata-katanya bagai melayang dan … menampar lembut. Karena di Lubuklinggau, hampir setiap sore saya menutup laptop dengan rasa bersalah. Pulang berarti berhenti produktif, dan berhenti produktif berarti menunda mimpi.

Setelah berpisah dengan gadis itu–dan kami sama-sama memutuskan untuk tidak ikut ngebir, saya berjalan menyusuri kanal dalam dinginnya malam Leiden. Lampu-lampu kafe memantul di air. Sepeda-sepeda diparkir berjajar rapi. Aroma kopi dan roti mentega menyelinap di udara. Saya berhenti di jembatan kecil dekat Nieuwe Rijn, menatap bayanganku di air, sambil menahan air mata. Bukan karena sedih, tapi karena malu sebab saya selalu hidup di masa depan. Bangun tidur langsung memikirkan target besok, setelah selesai meneliti di Leiden, ke mana lagi, di mana lagi, publikasi cerpen di koran apa lagi, apply beasiswa riset di universitas mana lagi, mau liburan keluarga di mana lagi …. Semua pertanyaan itu memenuhi kepala sepanjang waktu. Padahal, hari ini pun belum benar-benar saya diami.

Besoknya, ketika minum kopi pagi di ruang tamu di lantai satu, saya iseng bertanya pada Hedy Hinzler, indonesianis pemilik apartemen yang saya tinggali sejak kedatangan saya di musim semi tahun lalu. “Kenapa orang-orang Leiden tampak living in the present?” tanya saya.

Ahli Aksara Bali menjawab sambil tersenyum,

“Saya tidak tahu, tapi … “

“Bagaimana kalau saya memaksa?” Saya tertawa.

“Karena masa depan itu ilusi yang kita rancang dengan cemas, dan masa lalu itu museum yang kita kunjungi dengan nostalgia.”

“Indah sekali.”

“Itu bukan kata-kata saya,” kata profesor itu.

Tapi, saya yakin dia merendah. “Memangnya ada yang baru di bawah matahari?” seloroh saya.

 “Membiarkan harimu berlalu begitu saja,” perempuan itu seperti sengaja membuat jeda, “sama dengan menyia-nyiakan kehidupan itu sendiri.”

Setelah percakapan puitis-filosofis itu, saya tetap menulis analisis dan mengejar transkripsi arsip di perpustakaan, tapi pelan-pelan … saya juga mencoba memberi ruang untuk hidup hari ini. Kalau matahari muncul, saya berjalan kaki lebih lama ke kampus sambil menatap bunga-bunga kuning yang tumbuh di pinggir jalan. Kalau hujan turun, saya berhenti menulis dan menatap tetesan air di kaca. Kalau makan siang, saya menutup laptop dan hanya mengunyah, merasakan tekstur roti gandum dan asin lembut keju Gouda. Kalau malam datang, saya mematikan lampu kamar, menyalakan lilin aroma kayu manis, dan memejamkan mata tanpa khawatir esok. Meski, kerap kali tebersit, apakah mengkhidmati hari ini akan bisa saya amalkan begitu saya kembali ke rutinitas dan kehidupan berkeluarga di Lubuklinggau nanti? Ah, lagi-lagi saya mengkhawatiri masa depan yang ilusif itu.

Leiden, bagi saya, mengajarkan satu hal yang tak pernah diajarkan di bangku pendidikan mana pun: bahwa hidup itu bukan tentang seberapa cepat kita menembus masa depan, melainkan tentang seberapa utuh kita menghirup hari ini. Termasuk menghirup aroma mawar putih yang bermekaran di sepanjang kelokan Jalan Witte Singel menuju rumah tiga lantai tempatku merebahkan badan sepulang dari mengamati narasi dalam Aksara Ulu dan Arab Melayu di perpustakaan tua itu.

***

Tahun lalu, saya berkenalan untuk kali pertama dengan Jalan Witte Singel. Jalan Sekuntum Mawar Putih. Begitu ibu kos saya di jalan yang harum itu, menyebut arti nama jalan itu secara filosofis, ketika ia memberi saya tur yang sangat mahal di hari kedua saya di kota yang merupakan pertahanan terakhir Belanda pada Perang Delapan Puluh Tahun dengan Spanyol pada 1572 itu.

“Pagi nanti, datanglah ke ruangan saya di lantai satu,” katanya pada malam sebelumnya. “Kita ngopi dulu. Saya punya kopi bali. Enak dan harum. Lalu saya akan medampingimu membuat kartu perpustakaan.”

Saat itu saya tak bisa menyembunyikan rasa syukur. Saya ingat, Arman AZ, periset budaya dari Lampung yang juga melakukan penelitian di waktu yang sama dengan saya tahun lalu, mengatakan bahwa perempuan itu adalah salah satu akademisi yang sangat dihormati di Leiden Universiteit, kampus yang membawahi perpustakaan yang menyimpan manuskrip-manuskrip Nusantara yang saya teliti. Meskipun sudah pensiun, Hedy masih kerap diminta kampusnya memecahkan semacam kode naratif dalam rangkaian aksara Bali yang jadi spesialisasinya. Sebagai bukti nama besar dan pengaruhnya, Arman menyebut kelulusannya di Lingling Widyadharma Fellowship 2022 karena surat rekomendasi filolog itu.

Pagi itu, pukul delapan, saya ingin turun dari kamar saya di lantai tiga. Namun saya mengurungkan niat ketika, dari balkon belakang, saya melihat si profesor masih menyingkirkan daun-daun tua dari rumpun bunga bakung yang mulai bermekaran di pekan ketiga April di halaman belakang rumahnya. Meskipun itu adalah jam ngopi yang mustajab, saya menahan diri untuk tidak menyeduh kopi pagaralam yang saya bawa dari Lubuklinggau. Saya benar-benar ingin ngopi pagi bersama si profesor dengan khidmat. Setelah saya menuntaskan dua puluh halaman Geography of Bliss-nya Eric Weinner, si profesor tak lagi kelihatan di taman belakang. Saya mengambil jas hangat dan mencangking tas punggung sebelum buru-buru menuruni tangga sempit yang melengkung seperti lubang cangkang siput di tengah rumah tua itu.

Setelah mengetuk pintu dua kali dan masih tak mendengar jawaban, saya memberanikan diri memutar gagang pintu. Saya yakin, wajah saya sempat menampilkan rona merah ketika pada saat yang sama perempuan itu juga hendak membukakan pintu buat saya. Dia tersenyum lebar. Saya menyeringai, seperti saya katakan tadi, persis daging buah naga yang sedang dibelah. “Masuk, Benny,” ajaknya. Seperti orang berusia lanjut pada umumnya, suaranya pelan, dan saya, entah bagaimana, seperti menyadari sesuatu yang sudah saya saksikan malam tadi: profesor itu bungkuk sekali. Tiba-tiba saya merasa alpa. Kenapa saya tak memikirkan ketangguhan perempuan itu naik ke kamar saya di lantai tiga malam tadi hanya untuk menyapa peneliti bau kencur yang mencoba memasuki rimba manuskrip Sumatra Selatan di kandangnya.

Ruangan itu sebenarnya cukup panjang. Namun karena disekat oleh meja kerja si profesor di tengah, ruang tamu tempat saya saat itu ia persilakan menunggu sembari kopi bali ia seduh di belakang, menyisakan petak berukuran dua belas meter persegi. Sial, batin saya, jauh-jauh ke Belanda saya malah terperangkap di ruangan yang penuh dengan wayang, batik, dan topeng-topeng Nusantara. Tentu saja gerutuan itu adalah pujian. Di hadapan sofa tua yang saya duduki, beberapa (tokoh) wayang tertempel di dinding. Aksesori dan pernak-pernik Bali dan Jawa ditempatkan secara acak (sepertinya ia melakukannya dengan sengaja) di atas sebuah bufet pendek. Di arah luar, yang hanya terdiri dinding kaca yang membuat pandangan seharusnya leluasa melihat siapa saja yang melintasi bagian Witte Rozentraat di depan rumahnya, Hedy hiasi dengan topeng dan tampa yang bagian pantatnya menghadap ke luar. Rumah itu meskipun tak ada bedanya dengan semua rumah di kompleks jalan nan harum itu, akan sangat mudah dikenali karena nuansa (atau indentitas [?]) keindonesiaan yang sengaja tuan rumah hadirkan.

Kami berbicara banyak hal. Namun yang saya ingat, dia sangat senang ketika saya membawakannya sambal tempe titipan istri saya. “Saya suka tempe,” katanya ketika menerima pemberian saya. “Kamu belum pernah keliling kampus, ‘kan?” katanya beberapa saat sebelum seorang laki-laki Belanda jangkung sebaya saya bergabung. “Ricky biasa mengurusi urusan anak-anak yang tinggal di sini,” katanya seraya menunjuk laki-laki yang baru saja membawa kopi seduhannya dari dapur itu. “Jadi, kalau ada apa-apa terkait kamarmu, kamu juga bisa menghubunginya apabila aku tidak cepat merespons.”

Seperti memahami apa yang kami bicarakan, Ricky mengulang apa yang Hedy katakan dalam bahasa Inggris yang patah-patah. Beberapa kali ia menyelipkan bahasa Belanda dan beberapa kali pula Hedy menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia kepada saya. “Hedy akan membawamu tur pagi ini,” kata Ricky sambil membuka kotak makanan dan menyodorkannya kepada saya. “Ambillah,” kata Hedy ketika melihat saya hanya melongok. “Kue kelapa kacang kenari bawaan Ricky selalu juara. Dia punya langganan toko pastri yang enak. Cocok sekali untuk teman ngopi. Kamu mau tambah kopi?” katanya seperti menyesali kedatangan Ricky yang sedikit telat. Saya mengangguk, mengambil satu dan bilang, “Boleh saya menyeduhnya sendiri,” dalam bahasa Inggris. Ricky tertawa dan bilang, “This Indonesian looks like a fast learner, Hedy. He’s been ready to call this house as his home.” Tentu saja saya senang mendengarnya.

Ternyata Hedy tidak main-main. Saya lupa kalau dia adalah perempuan berumur. Informasi bahwa dia adalah seorang pensiunan emiritus seharusnya tidak membuat saya banyak terkejut. Tapi begitulah. Di hadapannya saya tiba-tiba menjelma jadi baby grand boy yang manja kepada neneknya.

Dan satu jam kemudian, di hadapan petugas administasi Perpustakaan Leiden, dia benar-benar menjalankan perannya sebagai ibu kos yang baik. Hedy menalangi biaya administrasi pembuatan kartu mahasiswa saya sebagai periset karena kartu debit saya bermasalah. Lumayan, 40 euro. Ia lalu mengajak saya ke lantai tiga perpustakaan dengan menaiki tangga, bukan dengan lift. Hedy seolah mau menabalkan pernyataan Einstein, “Hidup itu seperti bersepeda. Kamu harus terus mengayuh agar tidak jatuh.” Hedy memilih terus “mengayuh”, terus bergerak karena ia tak mau menjadi manusia tua kebanyakan.

“Apa rahasia Ibu sehingga punya stamina sehebat ini?”

Hedy terdiam sejenak lalu tertawa. “Aku tidak bisa menjawab karena pertanyaanmu bermasalah.”

“Maksudnya?”

“Kamu sudah bermasalah sejak dalam pikiran.”

Wah, Hedy seperti memiuhkan kutipan Pram (baca: Pramoedya Ananta Toer) yang sangat terkenal itu: Adillah sejak dalam pikiran.

“Apakah orang-orang tua dekat dengan kelemahan, ketidakberdayaan?”

Saya diam. Saya mau menjawab iya, tapi tidak jadi. Saya memilih menjadi pendengar saja dulu.

“Kalau kau ditakdirkan menonjol, jangan pernah berusaha menyesuaikan diri.”

Saya terdiam. Mencerna kata-katanya barusan. Ah, kesalahan saya adalah menganggap Hedy sebagai orang (tua) kebanyakan. Dia adalah salah satu genius berhati mulia. Ia menyewakan kamar-kamarnya dengan mahasiswa dan periset dari Asia (sebagian besar dari Indonesia) untuk membiayai pendidikan anak-anak Bali yang berpotensi. “Banyak anak-anak Bali—yang ia biayai—yang mengikuti jejaknya menjadi dosen dan filolog,” terang Bang Arman suatu waktu seraya menyebutkan doktor muda Bali yang baru diwisuda dari Leiden Universiteit akhir tahun lalu. Tentang fisiknya, Hedy adalah ‘anggota’ 5 AM Club-nya Robin Sharma. Ia tetap bangun subuh, merawat kebunnya, menyeduh kopi, membaca koran, sebelum memulai hari. Ia bergerak sehingga … seperti hari itu:

Perempuan 70 tahunan itu mengasisteni saya mengenal kampus itu lebih dekat. Selain perpustakaan, ia membawa saya ke Lipsius, gedung perkuliahan dan pengujian kandidat doktor. Ia juga memperkenalkan saya pada kafe tempat dia biasa ngopi. “Cari saja aku di sini kalau lewat tengah hari,” katanya seraya menunjuk meja-kursi di bawah kanopi kafe bertuliskan Lipsius yang berhadapan langsung dengan jalan utama kampus. “Ambil ini,” katanya seraya menyerahkan kartu masuk Hortus, kebun raya kampus Leiden yang kelak kerap saya kunjungi untuk menyelesaikan beberapa catatan perjalanan karena pemandangannya yang luar biasa indah: hamparan rumput di bawah beberapa pohon tua rimbun nan menjulang yang menghadap kanal yang membuat perpustakaan mengabur di kejauhan. Perpaduan cokelat pohon, hijau muda rerumputan, beningnya air kanal, lalu-lalang perahu, dan bangunan perpustakaan klasik di seberang, akan menerbitkan renjana dalam melakukan apa pun. “Di sini,” kata Hedy seraya menunjuk bangku kayu yang menghadap lanskap alam nan mewah itu, “bahkan tidak melakukan apa pun (hanya menikmati pemandangan, misalnya) sama dengan mengumpulkan energi untuk merealisasikan banyak ide untuk pekerjaan-pekerjaan seriusmu.” Ah, perempuan itu seperti mau bilang bahwa renjana  tidak mesti disandingkan dengan upaya membereskan pekerjaan. Ia juga sangat mungkin disandingkan dengan upaya memberi jeda untuk menjadi pribadi yang lebih bertenaga. Sampai di sini, saya tiba-tiba teringat dengan sebuah majalah musik yang saya baca sekitar dua puluh tahun lalu. Majalah itu memuat wawancara dengan Bertha, guru vokal banyak pernyanyi ternama di Indonesia. Bertha mengatakan bahwa tanda diam dalam partitur itu adalah musik itu sendiri. Tanpa itu tidak ada lagu sebab vokalis tak punya kesempatan bernapas dan pemain musik tidak punya kesempatan membuat tempo. Di Leiden, di kota yang dinding-dinding publiknya tercetak lebih dari seratus puisi dunia itu, kehidupan berjalan bukan untuk bekerja semata, kehidupan berjalan untuk berbahagia.

Dan berbahagia, sebagaimana yang baru saja Hedy tunjukkan, adalah dengan mengabdi.

Kata “mengabdi” mulanya saya tulis “melayani”. Namun, apa yang saya alami di Special Reading Room Perpustakaan Leiden, tempat saya mendata manuskrip-manuskrip Palembang, membuat saya haqqul yaqin menggunakan “mengabdi”.

***

“Kamu orang pertama yang mengakses ini sejak didonasikan ke Leiden empat puluh tahun lalu,” kata Marie, wanita paruh baya yang bekerja di Special Collection Reading Room, seraya menyerahkan sebuah manuskrip dari tahun 1700-an.

“Anda bisa membantu saya?” tembak saya dua jam kemudian ketika Katalog Manuskrip Melayu, Sumatra, & Minangkabau, susunan Sutan Iskandar, yang biasanya menjadi pegangan saya untuk melacak informasi terkait spesifikasi manuskrip itu tak menyediakan informasi yang saya cari. “Ini kodenya CB. Bukan KITLV atau Or?” terang saya.

Ia memperhatikan kode koleksi manuskrip 1700-an di tangan saya itu. “You can continue your reading, Buddy,” katanya sambil tersenyum. “I’ll search the catalogue for you. I’ll come to you soon.”

Pukul 12.30 alias dua jam kemudian ia menghampiri meja saya. Ia membawa buku babon berwarna hijau. Letters of Java.

“Kamu tidak makan siang, Marie?” saya mencoba mencairkan suasana.

“After Erl,” katanya sambil membuka buku itu di hadapan saya. Benar, saya lihat, rekan pustakawan yang ia sebutkan namanya barusan itu memang tidak ada di mejanya.

Ah, yang menyenangkan dari perpustakaan ini adalah jam makan siang tidak membuat layanan terhenti, meski sementara.

“How could?” suara saya sedikit meninggi ketika ia menunjukkan temuannya di halaman awal buku itu. Ya, saya heran bagaimana naskah Palembang yang terbentang di atas bantal di hadapan saya itu, informasinya malah nyangkut di dokumen Jawa.

Lalu ia pun menjelaskan dengan sabar. Membuka sebuah halaman yang menerakan kode koleksi. “Naskah ini dibawa dari Jawa ke Bali atau antara keduanya. Tidak ada informasi lebih!” Lalu jemarinya beralih ke sebuah narasi pendek di katalog tentang naskah itu. “Hanya itu. Tapi, paling tidak, kita tahu sekarang.”

“Kita tahu?”

“Perpustakaan ini adalah rimba dokumen. Kami bekerja sesuai permintaan dan pesanan peneliti seperti anda. Begitu sebuah naskah bisa kami hadirkan, kami bukan hanya senang bisa membantu. Kami juga senang karena tahu hal-hal selain itu. Misalkan arsip Palembang yang ditulis dalam Bahasa Sansekerta ini. Saya senang sekali, akhirnya manuskrip ini “keluar kandang”. You know,” matanya menatap saya, lekat dan dalam. “Dia pasti kesepian selama empat puluh tahun ini.”

Saya membeku beberapa saat.

“Oh well, Nasution,” katanya.

Ah, dia mengingat saya. Meskipun yang ia gunakan adalah nama papa saya yang “terpaksa” digunakan untuk keperluan paspor–yang kemudian juga tertera juga di kartu perpustakaan.

“Silakan lanjutkan. Just tell me if you need some assistances.” Lalu ia menuju meja kerjanya dengan tersenyum.

Ya, salah satu yang membuat saya kerasan dengan Leiden adalah, tak seperti Amsterdam dan Paris yang penuh dengan orang yang lalu-lalang dengan kesibukan masing-masing sehingga mereka seperti “lupa” pada sekitar, orang-orang Leiden gemar tersenyum.

“Saya penasaran.” Hari menunjukkan pukul 5 sore alias 30 menit lagi ruangan koleksi khusus itu menutup layanannya (meski perpustakaan dan ruang baca umumnya tetap buka sampai tengah malam) ketika saya kembali menemuinya. “Siapa yang membawa manuskrip ini ke Leiden?” kata saya sambil menyerahkan manuskrip itu.

Perempuan berambut pendek itu berpikir sejenak.

“I didn’t find any information about it in Letters of Java,” katanya. “Kamu butuh informasi ini segera?”

Saya tahu, ia akan menanyakan itu. “Saya tidak buru-buru. Tidak harus hari ini.”

“I’ll do it for you,” katanya sambil menimbang manuskrip sebagai SOP, selain mengecek ulang isinya, bahwa tak ada lembar manuskrip yang tercecer atau ditilap peneliti.

Saya pun menyusun bantal yang jadi alas membuka manuskrip dan rantai berbalut kain mirip bludru sebagai penahan halaman ke raknya sebelum pamit.

Saya tak kembali ke perpustakaan karena saya harus mengampu kelas menulis di Den Haag dan Paris. Saya pun sudah lupa perihal “pesanan saya”.

“Ada titipan dari Marie,” kata pustakawan plontos sembari menerima kartu perpustakaan saya ketika saya masuk ruangan koleksi khusus itu sepekan kemudian. “Dia tidak masuk hari ini.”

“Oh dia menitipkan sesuatu kemarin?” Saya mencoba mengingat-ngingat.

“Sejak enam hari yang lalu tepatnya. Dia khawatir kamu membutuhkannya ketika dia sedang tidak bertugas. Ini dia,” laki-laki itu menyerahkan sebuah buku tebal dengan beberapa kertas catatan yang menyembul dari tepinya. “You want to get your orders or … have these documents first?” Oh, rupanya Marie juga menitipkan beberapa berkas lain. “The collection donated by Balinese and Javanese,” katanya sebelum meminta saya menandatangani berkas penerimaan dokumen.

Oh, rupanya ia juga membaca catatan Marie. Saya baru ingat kata perempuan berambut pendek keriting itu, bahwa para pustakawan belajar dari pesanan-pesanan para peneliti.

Hingga tiga puluh menit kemudian, saya tidak melakukan apa-apa selain takjub dengan berkas-berkas yang Marie lakukan untuk saya. Saya hanya memandang tumpukan informasi bersanad yang ia susun dengan rapi sehingga membuat saya tahu, bahwa ada versi Undang-Undang Palembang dalam Katalog Jawa yang tak pernah diakses sama sekali selama empat puluh tahun terakhir.

Dua nama Jawa dan Bali itu pun saya kantongi satu jam kemudian, lengkap dengan informasi bagaimana bisa naskah ini mampir ke Leiden.

Allah. Saya merinding dan terharu.

***

Pengabdian di Leiden bukan fanatisme buta pada pekerjaan. Selain cerita di atas, tentang bagaimana dedikasi orang-orang di Perpustakaan Leiden menciptakan dampak emosional terhadap pengunjungnya, saya juga memiliki pengalaman yang sama ketika menjadi bagian dari rombongan yang mendapat tur gratis di Wereld Museum yang menyimpan koleksi rampasan Belanda di negara jajahannya, tak terkecuali Indonesia. Usai Pim Westerkamp, kurator museum itu, bersama dua asistennya, mempresentasikan katalog koleksi yang sedang mereka susun, saya dengan antusias mengkritisi beberapa pola dan kata kunci katalogisasi mereka. Asisten Pim yang tak lain adalah dua pemuda yang sedang magang di Volkenkunde, antusias membicarakan masukan saya meski sesi presentasi sudah berakhir. Mereka juga mengirimkan surel tentang hal-hal lain yang mungkin ingin saya kritisi lagi. Mereka bahkan mengundang saya bertemu di Amsterdam, tempat mereka tinggal, sekiranya saya ingin melakukan percakapan lebih intens tentang katalog benda-benda dari Palembang koleksi museum itu. Sayang sekali, karena kesibukan masing-masing, kami tak jadi bertemu. Namun begitu, Pim membalas surel saya tentang beberapa temuan saya terkait katalog Palembang. “Saya akan mengirim tautan Zoom lusa pagi kepadamu,” tulis Pim di WhatsApp.

Dalam sesi Zoom, pria paruh baya itu memilih menggunakan bahasa Indonesia, meski terbata-bata. Ia bukan hanya menunjukkan apresiasi terhadap kritik, tapi juga pengabdian yang besar sebagai kurator yang memiliki visi agar informasi tentang koleksi Volkenkunde bisa diakses seluas mungkin dan dimanfaatkan sebanyak mungkin. “Kalau kamu ingin mampir ke museum, jangan lupa berkabar,” katanya di pengujung Zoom. “Buat janji dengan saya agar kamu tidak harus bayar tiket masuk,” lanjutnya.

Saya tertawa. Saya kira, pria yang sedang menempuh pendidikan masternya itu juga akan tertawa. Ternyata saya keliru. Pim sangat serius dengan tawarannya, termasuk tentang akses masuk museum gratis itu.

***

Bagaimana mungkin aktivitas profesional orang-orang Leiden memberi dampak emosional yang begitu hebat, padahal kita tahu bahwa profesionalisme kerap kali disandingkan dengan aktivitas menafikan “hati” karena menuntaskan segala urusan sesuai aturan adalah fokusnya.

Saya akan kembali ke Hedy, Marie, dan Pim serta kedua asistennya. Namun, apa yang saya alami di Jumbo, supermarket yang terletak di seberang Leiden Centraal, di hari pertama kunjungan saya ke Leiden di pekan ketiga April tahun 2025, sepertinya akan menjawab pertanyaan itu.

Karena jarak supermarket yang lebih dari satu kilometer dari Rumah Bu Hedy tempat saya kos, begitu keluar dari Leiden Centraal saya langsung menunju Jumbo yang terletak di antara tempat perhentian bus antarkota dan stasiun kereta itu. Ketika hendak memasukkan barang belanjaan ke  tas punggung, setoples selai specolus yang sudah saya bayar keluar dari bagian samping tas yang lupa saya ritsletingnya tidak saya tarik sempurna. Meski sedikit selai keluar bagian toples yang retak, saya mengambilnya dari lantai dan bermaksud memasukkannya lagi ke dalam tas. Saya tahu, itu tindakan bodoh. Toples itu mungkin saja pecah di dalam tas yang berguncang ketika saya berjalan, namun saya tak ingin jadi bahan tontonan dan terus bergumul dengan perasaan malu karena ceroboh.

Baru saja saya meraih toples itu dan hendak memasukkannya ke dalam tas, dua petugas berseragam supermarket datang. Keduanya masih remaja. Yang laki-laki datang dengan sapu dan sekop untuk membersihkan lantai dari serpihan kaca toples yang pecah dan bercak selai yang menempel di lantai, sementara seorang gadis meminta saya menyerahkan toples selai yang pecah tadi kepadanya. “Kami akan membawakan Anda toples yang baru,” katanya seraya memberikan toples specolus yang retak kepada pegawai lain. Mereka berbicara dalam bahasa Belanda, namun saya bisa menebak artinya. “Bawakan setoples selai specolus yang baru buat pelanggan kita ini.” Saya kembali mengekuarkan kartu debit yang tadi sudah saya masukkan ke dalam dompet. Ya, saya bersiap membayar untuk setoples selai specolus yang baru. Lagi pula, harganya juga tidak sampai tiga euro.

“Tidak perlu.” Perempuan yang menyerahkan sesetoples selai specolus yang baru itu menggelang ketika saya mengeluarkan kartu debit saya. “Bawalah. Anda tadi sudah membayarnya,” katanya sambil tersenyum. Saya membeku serta-merta.

Saya sekarang tahu, kenapa profesionalisme Leiden melahirkan kedekatan emosional?

Jawabannya adalah karena mereka menjalankannya dengan tulus. Ah, indah sekali. Leiden membuktikan, bagaimana profesionalisme dan ketulusan mungkin dua istilah dengan sifat yang berseberangan, namun mereka adalah jodoh yang pas. Saya jadi ingat pelajaran tentang mencari pasangan berdasarkan karakter manusia dalam pelajaran tentang kepribadian yang diampu Charles Bonar Sirait sepuluh tahun silam. Bahwa, yang pendiam akan lebih cocok dengan yang rame; yang kaku dan teratur sangat pas dengan yang kreatif dan kerap membuat kecerobohan, dan seterusnya dan seterusnya. Profesionalisme ternyata jodoh yang langgeng bagi ketulusan. Aturan memang perlu untuk menciptakan tatanan dan stabilitas peradaban, namun ketulusan diperlukan untuk menghindarkan diri dari menjadi robot yang tidak pernah mampu menerjemahkan kode operasi apa pun atas humanisme yang disuntikkan ke dalam dirinya.

Kurang dari tiga jam dari Leiden, Brussel menunjukkan tabiat sebaliknya.

Hari pertama Mei 2025, sepulang menyusuri Grand Palace sore hari, saya mampir ke Carefour yang hanya berjarak 300 meter dari hotel tempat saya menginap. Saya ingin membeli pisang atau apel atau buah dan barang lainnya. Sayangnya buah yang tersedia hanya jeruk–dan itu telanjur membuat mood belanja saya rusak. Sebagaimana para pelanggan yang lain, saya keluar melewati antrean di depan kasir. Namun ternyata petugas kasir memanggil-manggil saya. Mulanya saya tak sadar karena mereka hanya berteriak, “Bag, Sir. Your bag. Your backpack, Sir.” Ketika saya menengok ke belakang (tentu bukan karena saya merasa dipanggil, melainkan penasaran kenapa teriakan itu tak kunjung berhenti), kedua laki-laki sebaya saya melihat ke arah saya. Saya pun mendekat. Salah satu dari mereka meminta saya menyerahkan tas. “Kami mau memeriksa backpack Anda,” katanya.

Tentu saja saya keberatan. “Why?”refleks saya bertanya. “Any problem?” Saya tahu, nada bicara saya terdengar agak ketus. Mungkin karena saya juga sudah capek.

“Sorry, Sir. It’s normal here,” salah seorang petugas kasir menjelaskan.

Saya menggeleng. “First, show me the regulation. Second, this prosedure doesnt work for the others. No, this is not normal.”

Tapi, dia bersikeras meminta saya melepas tas punggung saya. Perhatian orang-orang yang antre pun teralihkan ke kami. Oke. Bagus. Mari kita mainkan!

Saya lepaskan tas punggung saya. Saya letakkan di atas meja kasir. “I allow you to check my backpack. But, let’s make a deal first.”

Kasir itu terdiam, lalu mengalihkan pandangan ke rekannya yang sedang melayani pelanggan.

“If you find anything from this store in my bag, i will pay it 10 times from the price. Or I am even ready to be in jail. But, if you dont, what’s the compensation I will get? I think it’s fair enough, isnt it?”

Mereka terdiam. Lalu saling berbisik dalam bahasa Prancis. “Sorry, Sir,” katanya nada melunak beberapa saat kemudian. “You may leave now.”

Saya mengambil kembali tas saya dan meninggalkan mereka dengan tatapan marah. Di luar, dua orang pekerja konstruksi yang sedang beristirahat mendekati saya, dan memandang—tulisan di—dada saya agak lama. “Free Palestine!” seru mereka. Mereka tentu tak tahu menahu apa yang sudah terjadi di dalam supermarket tadi. Lalu kami berpelukan. Keduanya berdarah Maroko.

Masih d(ar)i Brussel. Di dalam kereta yang akan membawa saya ke Paris, seorang gadis berdarah Eropa tampak tersiksa sekali berada satu deret bangku dengan saya yang duduk di dekat jendela. Tas jinjing di dekat kakinya, beberapa kali ia geser seolah-olah saya adalah pencuri yang menyaru sebagai penumpang kereta. Tuas pembatas di antara kursi kami berusaha keras ia jauhi sepanjang perjalanan, seolah-olah kalau kalau lengan kanan saya yang bertumpu di atasnya tak sengaja tersentuh sedikit saja olehnya hal itu akan menyebabkan sekujur tubuhnya gatal seketika. Ia juga beberapa kali mengeser posisi duduknya sejauh mungkin ke arah lorong. Saya pikir, kalau ada bangku lain yang kosong, ia pasti sudah pindah sejak ia menyadari bahwa teman duduknya adalah laki-laki Asia.

Apakah saya sedih dengan bahasa tubuh rasis gadis Eropa itu? Tidak. Tidak sedikit pun. Seperti perlawanan maksimal yang saya lakukan di Carefour itu, diskriminasi dan rasisme, bagi saya, hanya tumbuh subuh di jiwa dan kepala mereka yang sempit jiwanya. Rasisme bukanlah kawan karib dari kecerdasan, kepintaran, apalagi kebijaksanaan. Ya, saya justru kasihan kepada gadis itu. Lucu sekali mendapati ia dengan begitu tega sekali menyiksa diri sendiri selama 2,5 jam di kereta karena ketaknyamanan yang ia ciptakan sendiri. Ingin sekali saya menyarakannya agar ia tinggal beberapa waktu di Leiden agar bisa belajar bagaimana menyaksikan kaumnya tersenyum lebih dulu kepada orang asing (tak terkecuali seorang Indonesia berkulit gelap seperti saya) ketika mereka berpapasan di jalan.

Seperti nama jalan tempat saya tinggal, Leiden adalah Witte Singel. Sekuntum mawar putih yang harum. Ia tidak tergoda menjadi merah karena, mengutip Hedy, “Kalau ditakdirkan atau mampu menjadi menonjol, beradaptasi bukanlah opsi. Barat, bisa saja, sampai hari ini menganggap Asia sebagai bangsa kelas dua, namun tidak di Leiden. Barat bisa saja menafikan empati dalam menjalankan undang-undang atau aturan atau norma yang kadung berlaku, tapi tidak di Leiden.

Leiden bukan hanya “tampil beda”, namun juga mempersembahkan pemandangan anomali yang berterima karena keramahan dan pengabdian, dua istilah yang rasanya mustahil diimani orang-orang modern di barat sana. Namun, apa mau dikata, seperti kata Frank Gaines, kemampuan menangkap sesuatu yang tak terlihatlah yang membuat kita mampu menaklukkan kemustahilan. Dan Leiden seperti sudah selesai dengan itu.

Ya, seperti yang terjadi pada pengulangan hari lahir yang ke-41. Ketika itu, beberapa teman dekat yang bertanya tentang hadiah apa yang saya inginkan, hanya saya tanggapi dengan tertawa.

“Banyak,” kata saya ketika seorang rekan di Jakarta bertanya apa yang ingin saya capai ketika usia melewati kepala empat ini. “Tapi, menikmati waktu yang sedang saya jalani adalah sesuatu yang rasanya perlu saya pelajari,” lanjut saya. “Itu yang saya pelajari di sini,” pungkas saya.

Ya, Leiden, poin pentingnya, memberi saya pelajaran tentang bagaimana menikmati waktu.

“Saya hanya butuh waktu Anda beberapa jam,” kata saya kepada seorang indonesianis di Leiden. “Dan sponsor saya bisa membayar 1200 euro untuk itu.” Ya, saya sangat berharap ia mau menjadi narasumber saya.

Namun, laki-laki paruh baya itu hanya tersenyum sebelum bilang, “Saya tidak yakin. Kita lihat nanti. Summer will come.” Lalu ia memberi tahu bahwa ia mungkin akan sedikit telat memberi jawaban.

Bagi saya, mendapati seseorang yang berpikir ulang untuk wawancara dua jam bernilai dua puluh satu juta rupiah adalah temuan langka.

Anda tahu, hingga satu bulan kemudian, calon narasumber itu tak pernah memberi jawaban. Ia lebih memilih menikmati summer-nya bersama keluarga.

Ternyata hal yang sama juga dialami oleh teman-teman sesama peneliti yang membutuhkan narasumber orang Leiden di musim panas. “Memangnya berapa pajak yang harus mereka setor ke Negara?” tanya saya sembari berhipotesis bahwa pajak yang dikenakan atas penghasilan mereka jumlahnya di luar nalar, misalnya. Kami kemudian tertawa, menyadari jomplangnya level kehidupan kami dengan orang-orang di kota di selatan Belanda ini.

“Nikmati waktumu saat ini juga,” kata calon narasumber-yang-batal-itu ketika saya meminta saran tentang bagaimana menjadi sebahagia warga Leiden.

Akhir pekan pertama Mei 2025,  setelah saya meninggalkan Leiden menuju Milan untuk ulang tahun saya yang ke-42, sebelum saya tiba di Indonesia dua hari kemudian: 10 Mei. Leiden yang mulai hangat sudah sayup dan menjauh, baik dalam jarak ataupun wangi semak mawar putih musim semi di Witte Singel. Namun hingga sekarang, ketika menulis laporan penelitian di kamar yang penuh buku dan kertas berserakan, saya selalu menaruh cangkir kopi di samping jendela dan bergumam kepada rumpun mawar kuning kesayangan istri yang jarang berbunga di luar sana:

“Benn, hari ini kamu sudah benar-benar hidup belum?” (*)

Innsbruck–Lubuklinggau, Mei 2025

Benny Arnas

https://bennyarnas.com

Penulis & Pegiat Literasi

6 Comments

  • Luar biasa kk, baca enak seperti sedang menyaksikan secara langsung apa yang terjadi di Leiden, menonton short movie dalam bentuk tulisan, tetapi banyak kegunaan tanda baca kata yang belum saya mengerti fungsinya…

  • Makasih bang ben, untuk selalu membagiku tulisan tulisanmu yang membuat aku juga ingin mencicipi kehangatan Leiden … , tulisanmu juga membuatku merasa selalu cemas dengan pemerintah kita yang tidak tulus dan juga tidak profesional dalam mengabdi seperti bu hedy dan pustakawan² itu, namun kamu mengingatkan untuk menikmati moment yg membuatku agak terobati … sehat selalu bang..

  • Selalu jatuh cinta pada bait pertama, terkadang aku sengaja mengambil jeda, tak ingin rasa itu berakhir

  • Seperti hanyut dalam cerita, teleportasi ke leiden, aku seperti tidak mampu kembali ke duniaku yang sekarang, namun suara “gluk gluk” dari nasi yang sedang mendidih di atas kompor menyadarkanku “ahh ibu menitip nasi ini padaku sebelum ke pasar”

  • Terimakasih telah memperkenalkan Leiden dengan narasi yang sangat memikat.
    Wah, jadi pengen kesana nih

  • Tulisan yang indah, sekarang aku pun juga bertanya : hari ini kamu sudah benar-benar menghirup belum?

Leave a Reply to Wawan Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *