Lain-Liyan

Dari balik jendela Baltit Fort (Dokumentasi pribadi)
Oleh Benny Arnas
Beberapa kali, karena satu dan lain hal, orang-orang di sejumlah komunitas yang saya inisiasi, datang dan pergi. Ada yang melakukannya karena harus pindah daerah tempat tinggal, kesibukan pekerjaan, atau beroleh tanggungjawab baru setelah berkeluarga—yang biasanya diikuti oleh punya anak dan seterusnya dan seterusnya. Namun, yang menarik dan kerap bikin saya speechless adalah ada juga yang nonaktif karena merasa komunitas telah mengambil banyak waktunya tanpa memberinya hasil setimpal. Mungkin ada alasan yang lebih spesifik, tapi saya pikir kalimat itu cukup representatif.
Sayangnya, semacam kemenyesalan ini beranak-pinak menjadi dugaan kontraproduktif dan hal-hal yang menguar aroma pertentangan dan perselisihan yang lahir dari delusinya semata. Alhasil, ia pun merasa tak lagi menjadi bagian komunitas, bahkan mengakhiri hubungan baik secara sepihak.
Ah, betapa hebatnya sebuah tatanan khayali—yang justru dibangun oleh kesalahpahaman diri sendiri.
Maka, orang-orang seperti ini pun menghindar dari perkumpulan, bukan karena kesibukan, tapi memang karena ingin menunjukkan perlawanan dan ketaksenangan. Orang-orang dalam komunitas tentu ada yang bingung dan ada juga selow sebab tidak ingin membuang energi untuk urusan yang tidak berfaedah.
Ini adalah gejala unik yang saya temukan dalam berkomunitas. Ingin ketawa, takut kedengaran. Kalau kedengaran, khawatir doi makin baper. Padahal, berkomunitas adalah salah satu titian bersosialisasi yang longgar, yang tak mengikat, yang menyilakan siapa pun yang ingin rehat, mengambil jarak, atau bahkan keluar sekalian, sebab … Bumi berputar untuk semua makhluk yang masih punya perasaan #eaaa.
Jadi sayang sekali, mereka kerap keliru memandang dimensi kepribadian yang dinamis ini. Kita semua bisa berubah. Kita semua bisa menjadi baik hari ini, untuk kemudian berbalik menjadi sangat jahat beberapa saat setelahnya, pun sebaliknya.
Kita bukanlah kita hari ini!
Tapi, hadirnya masalah adalah keniscayaan.
Lalu … drama pun bermula.
Kerap kali, satu, dua, atau lima hari kemudian, kita kemudian (kebetulan) bertemu di jalan, rumah sakit, bank, masjid, pasar, atau tempat makan bakso paling hits di kota, dan kamu memilih menghindar atau membuang muka atau memasang ekspresi tidak bersahabat.
Saya biasanya refleks menyapa duluan dan berbasa-basi seperlunya (menanyakan kabar atau ke mana kamu hendak pergi, adalah salah dua pertanyaan-tanpa-keintiman di dunia). Bila mendapatkan respons yang hangat dan kita sepertinya punya cukup waktu berbincang, saya akan melanjutkan ke topik-topik yang mengasyikkan. Kadangkala, saya telat sadar kalau selama percakapan itu kamu sungguh tidak menunjukkan kenyamanan.
Suatu hari, seorang relawan yang menemani saya mencari sesuatu di pusat perbelanjaan bertanya heran, “Lho kok bisa ngobrol akrab begitu dengan dia?” Keningnya berlipat tiga. Dia yang dimaksud relawan ini ya kamu.
“Kenapa?” Saya balik bertanya.
“Bukannya kemarin dia baru saja keluar dari komunitas kita?” Si relawan tidak sadar kalau bahkan pertanyaan pertamanya pun belum tuntas dijawab dan ia dengan ringan memproduksi pertanyaan baru.
“Trus? Kenapa?” Lagi, saya tanya balik.
Ia kemudian menggeleng dan menggaruk kepalanya yang mendadak gatal lalu kami kembali melanjutkan perjalanan.
Saya tahu, di dalam benaknya meriap-riap keheranan: bagaimana mungkin saya bisa bersikap hangat kepada orang yang pernah memutuskan silaturahim atau bahkan menutup komunikasi dalam waktu yang lama. Tapi ini, kok, saya tidak menganggapnya sebagai hal yang harus dijawab sedemikian rupa sebab saya melakukannya, menegur dan ngobrol, refleks saja. Mengalir. Tidak mikir ini-itu.
Relawan itu bisa saja memberi stempel kepada saya sebagai orang bermuka banyak atau sejenisnya. Saya juga bingung menjawab-jabarkannya. Saya selalu berusaha “fair” dalam bersikap. Itu pun sebatas pemahaman saya tentang kata “fair” itu. Bagi saya, urusan komunitas adalah ranah profesional. Di luar itu, saya pikir kita adalah liyan.
Ya, liyan: kita yang lain. Kita yang bukan saat itu citra dirinya.
Karena kegemaranmu memelihara burung, bisa saja saya menjadikanmu tempat bertanya ketika suatu hari saya juga ingin memelihara burung; karena kamu hebat bernyanyi dan menari, bisa saja saya memasukkan ketiga putri saya ke sanggar yang kamu dirikan; karena kamu ahli bekam, bisa saja, di antara jadwal praktik yang padat, suatu hari saya memohon agar kamu mengeluarkan darah kotor yang kerap membuat saya sakit kepala dan meriang; dan lain-lain, dan lain-lain.
“Bagaimana kalau ia justru menolak membantumu padahal keahlian-keahlian-yang-melekat-padanya tidak kaumiliki?” tanya seorang teman suatu waktu.
“Kenapa ia menolak saya? Karena saya melakukan kesalahan?”
“Karena kamu pernah melukainya. Mungkin saja ia ingin mengecewakanmu suatu waktu.”
“Oh ya?”
“Dia ingin balas dendam!”
Saya terkekeh-kekeh. “Kalau memang dia melakukannya, sungguh itu mengejutkan saya,” jawab saya seraya menahan geli. “Itu memang haknya. Tapi itu justru memberikan kabar gembira yang telat saya sadari ….”
“Apa itu?” desaknya.
“Bahwa ia belum berubah. Tidak berkembang. Bahwa ia belum juga belajar dari kesalahan-kesalahan fatal masa lalu. Tidak bisa membedakan yang mana urusan orang banyak dan urusan pribadi, dalam banya urusan, akan berakibat fatal. Kabar gembiranya adalah: ketiadaannya dalam komunitas telah menyelamatkan orang lain. Bayangkan! Apa yang akan terjadi ketika relawan atau murid pendendam menyusup di antara orang-orang tekun menuntut ilmu?”
“Jadi, yang begitu artinya sudah masuk daftar hitam dalam hidupmu?” tanyanya lagi.
Tentu saja saya menggeleng.
Tiap manusia bisa berubah. Saya sepenuhnya percaya itu. Kita hari ini adalah bukan kita yang permanen, kecuali Izrail keburu mengajak kita menemui kejutan-kejutan yang lain. Tiap orang bisa melampaui dirinya ketika ia memang ingin, memang bertekad, sebagaimana seseorang bisa mandul atau tenggelam dalam kedunguan ketika ia malas dan sombong. Manusia, dengan kepribadian yang megaelastis, paling gemar memproduksi kejutan. Apalagi ketika Tuhan berkehendak.
Saya pernah bertemu seseorang yang dengan fasih menceritakan adegan pencurian yang ia lakukan di ruangan bosnya sehingga saya membatalkan sejumlah kerjasama dengannya, sebelum enam bulan kemudian ia bersilaturahim ke rumah mengantar kejutan: dagunya berjanggut lebat, ia tidak mau mendengarkan musik dan tidak pula mau bersalaman dengan nonmuhrim. Sepucuk undangan diantarnya.
“Saya sudah taaruf satu bulanan ini, Bang,” katanya. “Antum harus datang di hari bahagia kami.” Ia tersenyum. Senyum yang hingga hari ini gagal saya pahami artinya.
Allah.
Saban mengingat itu, ingin sekali saya menjauhkan diri dari radar ponsel pintar, tempat bermukimnya orang-orang yang dengan mudah menghakimi siapa pun atas dasar aib yang gagal disembunyikan, atas dasar keterpelesetan kecil hari ini, seolah-olah dia-yang-sedang-dibicarakan adalah anomali dari miliaran manusia di muka Bumi; bahwa kamu tidak akan pernah berubah. Tidak gemar memberi kejutan. Tidak mungkin berbalik arah. Tidak mungkin dapat hidayah.(*)
Lubuklinggau, 15 Januari 2020
3 Comments
Terimakasih untuk renungan mendalam atas peristiwa keseharian. Ini menarik karena selalu terjadi di sekitar kita, di lingkungan siapa pun, Bung Ben
Seseorang bergabung dalam komunitas dan melakukan banyak hal biasanya karena beragam alasan; Uang, pengakuan/penghargaan dan aktualisasi diri. Seleksi alam pasti terjadi.
Hanya orang dengan idealisme yang akan tetap tinggal.
yang saya tanggap, Penulisnya ingin menekankan bahwa berubah adalah kemungkinan yang pasti, dalam perjalanan dan kenangan hidup insan.