Kutukan Keingintahuan

 Kutukan Keingintahuan

Sumber: jedsomers.com

Dunia hari ini menghukum kerendahan hati.

Oleh Benny Arnas
Sembilan tahun lalu, saya mengikuti sebuah diskusi seni rupa di Corban Estate Arts Centre, kompleks seni di pinggiran Auckland yang dipenuhi aroma cat minyak dan kopi hangat. Seorang kurator membahas tentang “keheningan dalam ruang pamer,” lalu saya bertanya sesuatu yang, dalam konteks itu, terasa sangat dasar: “Mengapa karya realistik sering kali lebih menyentuh ketimbang karya yang abstrak?” Beberapa detik kemudian, saya mendadak insecure. Saya merasa, itu seperti pertanyaan mahasiswa semester awal. Memalukan sekali. Tapi tak satu pun peserta tertawa. Mereka menjawab dengan serius, berdiskusi, menimbang. Tidak ejekan dan sindiran. Di situ saya belajar satu hal sederhana yang sudah lama hilang dari dunia kita: bahwa mengakui ketidaktahuan bukanlah aib.

Sekarang, di era media sosial, perasaan “harus tahu segalanya” menjadi beban kolektif. Setiap topik, dari politik luar negeri sampai skincare, seolah menuntut pendapat kita dalam 280 karakter. Akibatnya, yang muncul bukan ilmu, tapi ilusi pengetahuan. Kita tahu sedikit tentang banyak hal, tapi tak memahami satu pun secara mendalam. Kita haus validasi, bukan pemahaman. Fenomena ini adalah kutukan pengetahuan di zaman yang terlalu bising.

Padahal, dalam sejarah panjang intelektual, banyak tokoh besar justru dikenal karena kerendahan hatinya untuk berkata, “Saya tidak tahu.” Imam Malik bin Anas, ulama besar Madinah, pernah ditanya empat puluh masalah, dan tiga puluh enam di antaranya dijawab dengan “Lā adrī” — saya tidak tahu. Abdullah bin Umar juga terkenal dengan kehati-hatiannya dalam memberi fatwa, bahkan rela menunda jawabannya berhari-hari sampai ia yakin. Mereka tahu, tanggung jawab pengetahuan bukan pada cepatnya memberi jawaban, tapi pada akurasi dan kejujuran dalam mencari.

Di Barat, kerendahan hati yang sama juga hadir pada tokoh-tokoh besar. Socrates membuka filsafat dengan kalimat, “I know that I know nothing.” Kesadarannya bahwa ia tidak tahu menjadi titik tolak pencarian kebenaran yang sejati. Isaac Newton, setelah menemukan hukum gravitasi, menulis bahwa dirinya hanyalah “seperti anak kecil yang bermain di tepi pantai, sementara samudra kebenaran terbentang di depan, belum tersentuh.” Albert Einstein juga mengatakan, “Semakin banyak aku belajar, semakin kusadari betapa banyak yang tidak kutahu.” Mereka semua paham satu hal: bahwa pengetahuan sejati lahir dari kesadaran akan batasnya.

Tapi dunia hari ini menghukum kerendahan hati. Di media sosial, pengakuan “aku tidak tahu” sering dianggap tanda kelemahan. Orang berlomba menjadi komentator untuk setiap isu. Ada yang belum membaca satu buku pun tentang topik tertentu, tapi sudah bicara seolah profesor. Semuanya ingin terdengar pandai, karena algoritma hanya menghadiahi yang paling cepat dan paling yakin, bukan yang paling benar. Di sinilah ilmu pengetahuan kehilangan martabatnya: ketika ia berubah menjadi kompetisi citra, bukan pencarian makna.

Kita hidup di masa di mana FOMO (Fear of Missing Out) lebih menakutkan daripada kebodohan itu sendiri. Orang lebih takut tidak terlibat dalam percakapan daripada salah paham terhadap isinya. Kita ingin jadi ensiklopedia berjalan: tahu sedikit tentang politik, agama, sains, ekonomi, budaya populer, tapi tidak pernah berhenti lama di satu topik untuk benar-benar paham. Akibatnya, ilmu menjadi datar, kehilangan kedalaman dan arah moral. Kita sibuk mengutip, bukan memahami. Sibuk tampil tahu, bukan tumbuh dalam pengetahuan.

Padahal, para pemikir sejati selalu menempuh jalan yang sebaliknya: lambat, mendalam, dan berani mengakui ketidaktahuan. Charles Darwin menulis teorinya dengan penuh keraguan, menyadari betapa luas misteri kehidupan. Richard Feynman, fisikawan brilian, pernah berkata, “What I cannot create, I do not understand.” Ia tahu, memahami berarti mampu membangun sesuatu dari dasar — bukan sekadar mengulang apa yang dibaca di internet. Bahkan Confucius, dua ribu tahun sebelum era digital, sudah mengingatkan: “Mengetahui apa yang kamu tahu, dan mengetahui apa yang kamu tidak tahu — itulah pengetahuan sejati.”

Sayangnya, media sosial tidak memberi ruang untuk keraguan. Di sana, kecepatan mengalahkan kedalaman. Kita menelan informasi seperti junk food, lalu membagikannya sebelum sempat mencernanya. Di dunia seperti ini, pengetahuan berubah menjadi performa. Orang belajar bukan untuk memahami, tapi untuk berdebat; bukan untuk memperbaiki diri, tapi untuk menang argumen. Akibatnya, pengetahuan kehilangan fungsi etiknya. Ia tidak lagi menuntun pada kebijaksanaan. Ia memberi makan ego yang makin lapar.

Socrates pernah berkata bahwa kebijaksanaan dimulai dari kesadaran bahwa kita tidak tahu. Imam Malik menunjukkan bahwa bahkan ulama besar pun harus berani berkata “tidak tahu.” Einstein, Newton, dan Feynman menunjukkan bahwa ilmu adalah perjalanan yang tak pernah selesai. Mereka semua mengingatkan kita bahwa mengetahui segalanya bukan tujuan, karena yang penting bukan jumlah yang diketahui, melainkan seberapa dalam kita memahami dan mengamalkan yang kita tahu.

Kita tidak perlu tahu segalanya. Dunia tidak meminta kita menjadi ensiklopedia. Yang lebih dibutuhkan justru orang-orang yang tekun dalam satu hal, yang benar-benar mendalami bidangnya, lalu mengamalkannya untuk kebaikan bersama. Karena ilmu tanpa pemahaman hanyalah kebisingan, dan pengetahuan tanpa amal hanyalah kesombongan.

Mungkin inilah tugas kita hari ini: memperlambat langkah, berhenti sejenak, dan memilih satu hal untuk benar-benar dipahami. Bukan demi terlihat tahu, tapi agar pengetahuan itu mengubah cara kita hidup, bekerja, dan berbuat.(*)

Lubuklinggau, 23 Oktober 2025

Benny Arnas

https://bennyarnas.com

Penulis & Pegiat Literasi

4 Comments

  • Refleksi yang sangat relevan dengan kondisi masyarakat pengetahuan saat ini. Penulis berhasil menggugah kesadaran bahwa kecepatan memperoleh informasi tidak selalu berbanding lurus dengan kedalaman pemahaman. Dalam konteks akademik, gagasan ini menjadi pengingat penting bagi dunia pendidikan dan riset agar tidak terjebak pada knowledge performance , sekadar tampak tahu , tetapi menumbuhkan intellectual humility dan tanggung jawab epistemik terhadap setiap pengetahuan yang diperoleh. ilustrasi empiris tentang bagaimana “kutukan keingintahuan” bekerja dalam praktik sosial. Nice sekali abang ku,,,,

  • Bahasan yang sangat dalam dan bermakna. Membuat saya berefleksi tentang banyak hal. Terkesan sekali dengan kata-kata ini, “mengakui ketidaktahuan bukanlah aib.”
    Terima kasih atas pencerahannya, Bang Ben.

    • ALLAH memberikan jawaban atas pertanyaanku beberapa hari ini melalui tulisanmu ini Ben.. yang berawal dari masalah dari apa yang kuhadapi mengenai pencitraan, validasi dan kekinian.. Alhamdulillah sekarang sudah lega.. menjadi diri sendiri itu jauh lebih baik walaupun jujur kita mengatakan tidak tahu, dari pada kita menjadi apa yang orang harapkan padahal sejatinya.. jujur kita juga tidak tahu.. Terima kasih Ben !

  • I taught my students about this a long time ago Mas Ben when I was still a senior high school teacher. I told them that they have right to say “I don’t know.” They have to realize that nobody knows everything. That is one of the reasons why people compose dictionaries, encyclopedias, handbooks.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *