Cinta di Dalam Sharkeen Bus

 Cinta di Dalam Sharkeen Bus

Oleh Benny Arnas

Koran Tempo, 21 Januari 2024


Hasil Tes DNA berstempel St. Louis French Hospital menerakan: Abram Ablemech, jejaka, 25 tahun: 74% Palestina, 21% Mesir, 5% Indonesia. Fillia Killick, gadis, 25 tahun: 100% Humanoid.

Di bangku 12-13D Sharkeen Bus Jurusan Yerusalem-Tel Aviv, pasangan kekasih itu menghabiskan hampir 22 jam perjalanan mereka dengan membisu.

“Kita tak mungkin bersatu, ‘kan, Bram?” Fillia memecah kesunyian lima menit yang lalu, tiga puluh menit sebelum perjalanan melelahkan itu mengantar mereka ke halte 21 di Kisufim Street, kurang lebih delapan ratus meter dari apartemen mereka yang berlawanan arah. 

Banyak kecamuk yang meriap dalam kepala. Bukankah sudah belasan pasangan manusia-humanoid yang mencatatkan pernikahan mereka di Sinagog Agung Belz? Bukankah hubungan antarmakhluk sudah legal di Amerika, Prancis, Israel, dan Nelsungkomby, sejak Revolusi 8.0 dirilis enam hari lalu? Jadi, bukankah pernikahan akhir tahun ini, yang direncanakan sebelum tes DNA di rumah sakit di Yerusalem itu, seharusnya tak tak menemui jalan buntu?

Fillia tahu ia sedang berhalusinasi. Negaranya bisa menerima robot, tapi tidak dengan Palestina! Sementara ia sendiri tidak perlu mempertanyakan sikap sang kekasih terhadap status humanoidnya.

Abram pun tahu bahwa ia tak boleh jadi pengecut. Cinta memang indah. Tapi apabila itu artinya ia membakar bangsa yang mengaliri darahnya–yang selama ini tak pernah ia ketahui, ia jelas akan meninggalkannya baik-baik. 

“Hari ini,” kata Abram setahun lalu, “tak satu orang pun yang bisa membedakan manusia dengan humanoid kecuali lewat operasi besar dan tes DNA. Kita pun tahu,” laki-laki itu berusaha meyakinkan, “sebagian besar humanoid yang dicatat oleh Negara adalah yatim piatu. Dan kita,” ia sengaja membuat jeda, “sebagai pemilik status yang malang itu, sangat berpeluang menyandang humanoiditas itu.”

“Bagaimanapun,” kata Abram ketika bus memasuki Kisufim Street Kilometer 18 sore ini, “aku adalah Palestina, Fillia.”

“Kau adalah Yahudi Palestina, Bram,” gadis itu mencoba memberi istilah yang tepat, meskipun ia tahu kalau ia bukan lawan sepadan bagi kekasihnya. Ia tahu, alangkah cerdasnya pengagum Al Khawarizmi itu.

Abram diam, sebelum menyahut, “Dan pelaku genosida adalah Yahudi Bintang David. Bukan yang lain!”

Fillia menatap sang kekasih. “Aku harus bagaimana, Bram?” Matanya hangat. “Maafkan kata-kataku tadi,” ia mulai gugup. “Sungguh tak bisa kubayangkan aku hidup tanpamu. Membayangkan kau dengan tegar siap berpisah denganku saja, hatiku hancur berkeping-keping.”

Guru Mata Pelajaran Sastra itu menoleh. “Kau tidak perlu melakukan apa-apa, Filia. Aku tak mau menjadi tidak adil bagimu.”

“Bram?”

“Aku rela meninggalkanmu demi Palestina, sementara kau tega meninggalkan negaramu demi cinta. Alangkah tak adilnya? Tidakkah kau melihat betapa tak pantasnya aku untuk kauperjuangkan, hah? Kau berhak marah dan memukulku sampai kau puas!”

“Sebagaimana kau juga berhak menentukan jalan hidupmu sendiri. Iya, ‘kan?”

”Jangan belokkan arah percakapan kita,” Abram mendekatkan wajahnya. “Hubungan kita tak pernah mengenal drama,” tatapannya tajam hingga Fillia membuang muka ke kelebatan barisan apartemen Grand Kisufim di luar sana.

“Cinta adalah benih peradaban yang manusiawi, bukan semak-belukar romantisme. Kita sudah menyepakati ini, ‘kan?”

Abram Ablemech

Fillia menggeleng-geleng. Kerongkongannya tercekat.

“Kita bisa mengembangkan payung, Fillia,” Bram menghela napas. “Namun takkan kuasa mencegah hujan turun.”

“Atau …” Gadis itu sedang meragukan apa kalimat yang akan ia ucapkan, “Kita anggap tes itu tak pernah ada, Bram. Lalu kita …” Ia berhenti, seperti tersedak. Ia mengutuk ketololannya. 

“Aku akan berangkat ke Nofei ha-Bsor High School besok,” kata Bram, tenang dan dalam. “Aku akan menyerahkan surat pengunduran diri ke Bu Meird. Kepala sekolah tak perlu tahu lebih jauh,” ia nyengir. “Tenang,” suaranya terdengar bersemangat, “statusmu sebagai guru fisika favorit akan langgeng!” Abram terkekeh, meski ia tahu kalau Fillia mencium aroma darah di dadanya.

Fillia tak bisa membayangkan memasuki laboratorium fisika tanpa melakukan praeksperimen ditemani Abram sehari sebelumnya atau makan siang di kantin seorang diri ketika bel berdering pukul 11.40. Tangisnya pecah lagi.

Penumpang lain, yang mulanya bersikap masa bodoh, satu-satu menoleh ke arah mereka. Beberapa menunjukkan air muka terganggu. 

“Husssh,” Abram mengelus-ngelus rambut Fillia. “Menangisnya nanti saja, Sayang. Kita akan segera sampai.” 

“Aku mencintaimu, Bram,” Fillia meremas tangan pemuda berambut ikal itu erat-erat ketika melihat cambangnya meneteskan air asin. Hatinya hancur. Tak pernah ia melihat Abram yang, sebelum hasil tes DNA sore kemarin mereka ketahui, orang-orang ketahui berdarah Yahudi-Mesir itu menangis. Apalagi sampai membasahi wajahnya seperti saat ini.

“Gaza itu hanya 30 kilometer dari Kisufim, Sayang,” ia melipat kedua bibirnya ke dalam. “Ah, bagaimana bisa tak sekalipun aku tergerak menjenguk saudara-saudaraku di sana. Alangkah bangsatnya aku dalam kenyamanan palsu di negeri bedebah ini. Alangkah pengecutnya aku: mengabaikan kepekaanku pada kemanusiaan hanya karena aku dianggap Yahudi!” Ia sungguh membenci hipokrisi yang berlumut dalam dirinya. “Apakah benar, atas nama ketaktahuan, ketakpedulianku akan diampuni, Fillia?” Bagi Abram, DNA Palestina adalah jawaban atas sikapnya yang selalu membenci negaranya sekaligus berempati kepada Hamas dan Gaza.

Fillia menatap sang kekasih dengan bahu yang turun-naik, sebelum berkata dengan intonasi yang dikuat-kuatkan, “Aku tak ingin jadi pengecut, Bram!”

Bram menoleh. Firasatnya, gadis itu akan memberinya kejutan.

“Humanoid adalah robot. Humanoid tak memiliki darah murni. Aku hanya mewarisi cloud kehidupan masa laluku: seorang Yahudi yang lahir, besar, dan meninggal di Jawa. Aku sebenarnya makhluk bebas.”

“Pikirkan baik-baik, Fillia,” suara Abram bergetar.

“Apalagi jadi hipokrit!” Kali ini gadis pirang itu mencoba tenang.

Apa gunanya diskusi panjang kita tentang kekejaman Yahudi kepada muslim tak berdaya di Bersyeba, Al Musaddar, Wadi al Sadqa, Al Mawasi, dan neraka lainnya di Gaza, kalau akhirnya kita berpisah: aku dengan kenyamananku sebagai Yahudi Palsu sementara kau menjadi pemberani atas nama kemanusiaan?”

Fillia Killick

“Fillia …”

“Aku ingin jadi istrimu, Bram.”

“Kau siap kehilangan semuanya, Fillia?”

Mereka saling tatap.

Nyala api berkibar-kibar dalam jiwa mereka.

Di langit, senja merah bata.

Sharkeen Bus menepi di halte kilometer 21..***

Lubuklinggau, 7 Desember 2023

Benny Arnas

https://bennyarnas.com

Penulis & Pegiat Literasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *