Cerita tanpa Jantung ala Ubai
Oleh Benny Arnas
Sebagai pernyataan singkat yang menguar kecintaan, hasrat yang dalam, ingatan, dan satirisme, dalam perjalanannya, epigram mengalami pengayaan yang terus meninggalkan asal katanya–“epigramma” (Bahasa Yunani)–yang berarti pedoman, teladan, nasihat, atau ajakan untuk melakukan hal-hal yang benar.
Ambiguitas standar belum berhenti sampai di sana. Istilah “tidak bertele-tele” yang juga kerap melekat (atau dilekatkan) tentu saja kontraproduktif dengan bahasa puisi dan epigram. Sementara itu, salah satu kecenderungan puisi yang membuatnya khas (sekaligus “berbahaya”) adalah defamiliarisasi diksi yang kerap terjadi—atau menjangkiti—genre tulisan tersebut, sebagaimana termaktub dalam pembukaan “Pandangan Pertama”-nya Khalil Gibran sebagai berikut:
Itulah saat yang memisahkan aroma kehidupan dari kesadarannya.
Itulah percikan api pertama yang menyalakan wilayah-wilayah jiwa.
Itulah nada magis pertama yang dipetik dari dawai-dawai perak hati manusia.
Demi menghindari sifat kebertele-telean yang potensial mencabut epigramisme-nya, kenapa Gibran tidak langsung saja menulis, misalnya,
Pandangan pertama memang memabukkan
Atau paling tidak,
Tidak ada yang kuasa menerbangkan seseorang ke surga kecuali pandangan pertama kekasih
dan masih banyak opsi tidak bertele-tele lainnya.
Tapi … membaca sehimpun teks yang dilabeli epigram oleh penulisnya sendiri, bukan hasil epigramisasi berbagai pihak atas cocoklogi label, adalah kasus yang lain. Ia tidak bisa dihadapkan langsung pada polemik ambiguitas di atas. Sebagaimana membaca buku Tangan Tangan Kisah yang ditulis Ubai Dillah Al Anshori, tawaran-tawaran pembacaan melentang-lenting ke sana-kemari.
Kecurigaan dan harapan adalah dua hal yang berkelindan di dalam kepala saya ketika membaca—hingga akhirnya menamatkan— sehimpun epigram terbitan Soesoeran tahun 2022 itu.
***
Epigram kedua dalam buku tersebut—
/2/
siapa di antara kita
akan menjadi jendela
menunggu senja
yang tidak pernah tiba
menerbitkan kecurigaan bahwa Ubai tidak melakukan apa-apa, selain menulis epigram sebagaimana pengertian epigram yang kadung melekat ke dalam resepsi publik: indah di rima, diksi memesona. Perkara makna, belakangan. Bagaimana tafsir bekerja adalah tembok perlindungan klasik bagi penulis puisi dan atau epigram.
Kesempatan, dalam istilah Khalil Gibran, memabukkan siapa pun dalam pandangan pertama, seolah-olah tak ingin (atau sengaja “tak dimanfaatkan”) Ubai sebagai penulis.
Bagi audiens dengan wawasan epigram yang mumpuni tapi “hanya punya waktu sedikit”, peluang menutup buku yang sampul bukunya didominasi warna putih ini sangat besar, sangat dekat.
Hingga epigram kelima,
/5/
sudah sampai mana
penundaan?
atau jangan-jangan
segalanya memang serba
dan serbi
yang itu-itu saja
Ubai membuat kecurigaan itu belum beranjak. Ubai terlalu nekat mengamalkan “lambat panas” dalam menyusun isi buku.
Namun, setelahnya, epigram-epigram Ubai bagai berkumpul, menghadang, dengan mata melotot menghunjam pandangan audiens. Ya, epigram kedua puluh:
/20/
ada yang tiba-tiba hadir
ia mengunci pintu dada
dan membuka
jendela hati
adalah ledakan siginifikan, hingga kemudian epigram ketiga tujuh:
/37/
sekiranya kepahamanmu sadar, sejauh apa
pelukku menuju ketidaksampaian
bagai berteriak:
“Hei, sejauh mana jarak memberimu pelajaran tentang katana bermata dua bernama harapan: menebas keputusasaan sekaligus memangkasnya sampai batas terbawah?”
Maka, membuang kerangka epigramisme dalam membaca Tangan Tangan Kisah adalah sebuah pilihan tanpa cabang. Pada simpang dan liukan yang tak pernah berambu-rambu, saya menemukan premis sebagaimana cerita, meskipun ia tak pernah hadir secara bulat dan persistens sebab ini memang bukan prosa.
Lalu, siasat membaca yang bagaimana, yang disarankan, untuk menikmati kedatangan kawanan epigram ini ke ladang pemikiran terbuka audiensnya?
Cobalah membaca Tangan Tangan Kisah sebagai serangkaian subplot yang malu-malu berkisah tentang hasrat menjumpai karena kenangan-kenangan mengambang di sekujur tubuh manusia yang sepi, baik karena jauh dari kekasih, atau terasing oleh tempat-tempat ramai yang tidak pernah berbunyi selain, “Apa benar kau punya rumah untuk pulang” atau “Sampai kapan kau ingin menulis puisi di dalam kamar dan keluar sebagai seseorang yang depresi tapi takut bunuh diri?”
Membacanya sebagai prosa tanpa jantung (baca: nirkonflik) adalah sebuah tawaran sekaligus eksperimentasi ekstrem yang, meskipun belum tentu berhasil untuk penggemar puisi tulen, patut dicoba bagi prosais, penggemar prosa, atau awam.
Ya, sebagaimana puisi, kata Budi Darma dalam sebuah kesempatan di Pertemuan Penyair Nusantara IV di Palembang (2011), epigram juga kerap dan banyak ditulis karena tak memiliki beban konflik. Kemudahan itu mengandung konsekuensi tak menggembirakan: epigram dan atau puisi kerap “terlihat” menggenang, daripada “mengalir”, “jalan di tempat” ketimbang “maju”.
Maka, ketika Ubai menawarkan lanskap pernyataan yang ditumbuhi melakolisme atas jarak, audiens bukan hanya diberi kesempatan untuk membaca jarak dalam epigram-epigramnya sebagai rentang antara pencinta dengan kekasih atau perantau dengan tempat pulang, tapi juga sebagai tubuh cerita yang magis: kuasa berkisah, meski jantungnya tiada.***