Dekat, tetapi Jauh Sekali

 Dekat, tetapi Jauh Sekali

Oleh Benny Arnas

Rubrik Tajar, Batam Pos, 25 Februari 2023


Mengapa sebagian kita bermimpi dapat bepergian seakan-akan surga dibangun berderet-deret di tempat nun jauh?

Mengapa kita gemar bepergian seakan-akan orang-orang di India lebih ramah daripada para tetangga? Mengapa sebagian kita bermimpi dapat bepergian seakan-akan makanan (di) Jepang lebih lezat dari masakan istri di rumah?

Mengapa sebagian kita bermimpi dapat bepergian seakan-akan udara di London tidak terbuat dari oksigen yang kita hirup di kampung halaman? Mengapa sebagian kita bermimpi dapat bepergian seakan-akan keluarga tidak lagi memberi kita kenyamanan?

Mengapa sebagian kita bermimpi dapat bepergian seakan-akan Bukit Sulap yang setia menyambut saban kita membuka jendela di pagi hari tidak berarti apa-apa di hadapan gedung-gedung tinggi yang selalu gagal memeluk awan di langit yang tak pernah biru di ibu kota? Mengapa sebagian kita bermimpi dapat bepergian seakan-akan malam-malam di Lubuklinggau yang temaram oleh lampu jalan yang kesulitan bersinar terang adalah keasingan dibanding kafe-kafe di Paris yang selalu hibuk dan tak pernah mati hingga dini hari?

Mengapa sebagian kita bermimpi dapat bepergian seakan-akan tertawa dengan latar Puncak Everest lebih menggembirakan daripada bermain harimau-harimauan dengan anak-anak bakda Magrib? Mengapa sebagian kita bermimpi dapat bepergian seakan-akan matahari musim semi yang mengurapi Budapest lebih ampuh menggemukkan pohon-pohon atau bahkan mematangkan durian di ladang kita yang merimba? Mengapa sebagian kita bermimpi dapat bepergian seakan-seakan menumpangi pesawat memberikan peluang 98,7% keselamatan daripada mengendarai motor butut ke balai desa?

Mengapa sebagian kita bermimpi dapat bepergian seakan-akan black coffee buatan barista lebih menyehatkan daripada kopi hitam seduhan sendiri? Mengapa sebagian kita bermimpi dapat bepergian seakan-akan arah kiblat masjid-masjid di ketinggian Hunza yang dingin lebih pas menembak Makkah sedangkan masjid di komplek perumahan sendiri kerap menghadap ke Islandia pada hari Rabu atau melongok Peru pada hari Kamis atau ke Papua Nugini pada Jumat siang?

Mengapa sebagian kita bermimpi dapat bepergian sekan-akan nasi lemak di Malaysia terbuat dari beras yang dipanen tiap malam Lailatul Qadar sementara nasi gemuk di Lubuklinggau dipanen pada siang terik yang memanggang bagai neraka? Mengapa sebagian kita bermimpi dapat bepergian seakan-akan studi banding ke Korea kuasa mengubah kita menjadi Jenny Black Pink atau Lee Yong Dae begitu pesawat mendapat di Cengkareng?

Mengapa sebagian kita bermimpi dapat bepergian seakan-akan menulis puisi di pelataran gereja di pulau yang dikelilingi jernihnya air Danau Bled menjadikan kita lebih penyair daripada Sapardi Djoko Damono? Mengapa sebagian kita bermimpi dapat bepergian seakan-akan saus tomat di Heerenven lebih segar dan pedas daripada sambal rumahan berbahan cabai rawit dan tomat lokal yang dipetik dari batangnya yang ditanam di pekarangan belakang rumah? Mengapa sebagian kita bermimpi dapat bepergian seakan-seakan memandang orang multiras yang lalu-lalang di Charles Bridge Praha lebih menenteramkan daripada mengkhidmati wajah anak-anak yang pulas usai mendengarkan dongeng “Batu Belah Batu Berangkup” dari mulut kita?

Mengapa sebagian kita bermimpi dapat bepergian seakan-akan semua racun yang ditawarkan Instagram berubah menjadi vitamin begitu kita sukarela masuk perangkapnya? Mengapa sebagian kita bermimpi dapat bepergian seakan-akan menyiarkan keberadaan di tempat yang tak terengkuh membuat langkah makin dekat dengan taman-Nya? 

Sudah sejak lama, umat Islam siap mati membela Muhammad yang Mulia, tapi perikehidupan mereka justru jauh dari Alquran, sebagaimana penganut Kristen yang makin waktu makin membuat jarak dengan teladan Kristus, sebagaimana penganut Budhisme yang melihat berderma tidak relevan dengan kebutuhan zaman yang penuh perhitungan, sebagaimana Kong Hu Cu yang sudah lama berhasil membuat Konfusius pusing tujuh keliling ….

Agama apa yang dipatuhi dengan saksama dan penuh penghayatan oleh umatnya? Tidak lain, tidak bukan, the one and only: Konsumerisme. Bahkan ketika orang-orang yang memilih berhemat sebagai jalan hidup—sebagaimana Mark Boyle di Inggris yang bereksperimen hidup setahun tanpa uang sebagai protes pada kekuatan kapitalis yang mengguritai kehidupan—mereka harus terlebih dahulu berkubang dalam dosa-dosa belanja dan pemborosan! Bahkan kebiasaan diet yang populer dua dekade terakhir adalah keuntungan ganda bagi Konsumerisme, sebab penjualan sereal biasa dan sereal berkedok rendah kalori meningkatkan penjualan cum pembelian. 

Kita alpa bertanya, mengapa sosial media membuka pintu pada konten-konten kebaikan, tapi sengaja membuang anak kuncinya agar atraksi joget, lato-lato, dan pertikaian Bunda Corla dan Nikita Mirzani memenuhi linimasa kita.

Kita pura-pura tidak membaca riwayat seorang pengusaha muda yang menjelma malaikat bagi karyawannya begitu kamera menyala, kemudian mengisap darah karyawan-karyawannya di grup WhatsApp kantor dengan memotong gaji mereka secara sepihak? Kita sengaja menutup kepala atas pertanyaan: mengapa Danone merilis air mineral kemasan ramah lingkungan sementara kemasan lama tetap dirilis? 

Tidak apa-apa. Tidak salah. Tah, jawabannya sudah menyala di mana-mana. Dualisme di atas bukan wujud tanggung jawab moral mereka pada kamanusiaan.. Melainkan bentuk kerakusan merek(a) pada kehidupan.

Suatu sore, seorang teman sudah wangi dengan setelan kemeja koko putih dan sarung kotak-kotak yang licin purnasetrika. “Sudah mau ke masjid?” tanya saya sembari nyengir. “Magrib masih tiga puluh menitan lagi lho,” kali ini saya tersenyum. 

“Supaya keburu, Benn,” katanya ringan. “Mau ikut?”

“Saya nyusul,” balas saya cepat. “Lagi pula, saya belum mandi.”

Dia mengangguk lalu mencangking kunci mobil.

“Lho?” saya mengerutkan kening. “Mau ke masjid di gerbang atau di tengah komplek, jalan kaki nggak sampe lima menit kan sampai. Ngapain pake …”

“Solatnya di Masjid Agung Kota dong!” potongnya dengan air muka semringah-pongah.

Saya mau bertanya lagi, tapi saya tahu kalau itu adalah saatnya saya mengontrol diri.

Mesin mobil menyala di parkiran. Klakson berbunyi dua kali. Pajero Sport-nya meluncur. Sebatang tanya tumbuh, meliak-liuk hingga kepala saya pening dibuatnya: membuat mengapa kita gemar salat di masjid yang lebih megah di luar sana seakan-akan Tuhan tidak ada di rumah mungil-Nya di dekat rumah?

Denting notifikasi menggetarkan ponsel saya. Tagihan Spaylater belakangan ini memang menyebalkan.(*)

Benny Arnas

https://bennyarnas.com

Penulis & Pegiat Literasi

1 Comment

  • Terima kasih Uda, lagi-lagi tulisannya bernas. Sangat kekinian dan relevan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *