Algoritma Biometrik, Rahasia, dan Negara

 Algoritma Biometrik, Rahasia, dan Negara

Ilustrasi: @de_mauraisyah

Oleh Benny Arnas

Jawa Pos, 5 September 2022

Dua dekade terakhir, pemikiran-pemikiran mutakhir Djared Diamond (trilogi Guns, Germs, and Steel), Yuval Noah Harari (trilogi Sapiens), dan Smithsonian (Timeless of Everything), berhasil mengetengahkan data, telaah ilmiah, dan perspektif baru berbalut retorika naratif yang bernas. Paparan mereka tentang bagaimana dunia bergerak ke arah otomatisasi tidak bisa dianggap sebagai barang rongsokan yang rutin dibersihkan sehingga tampak antik dan dicari banyak orang mengingatkan saya pada kecemasan yang sama ketika membaca serakan prediksi bombastis Era Revolusi 4.0.

Dengan semua pro-kontranya, otomatisasi adalah usaha mempermudah urusan-urusan yang selama ini ditangani manusia. Birokrasi, pertimbangan, waktu menyesuaikan diri, analisis risiko, hingga pematangan urusan membuat waktu begitu banyak terbuang untuk sesuatu yang terang di ujungnya, sesuatu yang oleh otomatisasi bisa dicapai dalam sekali klik, sekali tekan, sekali pencet, sekali sensor, sekali kedip.

Dalam hal itu, membincangkan efisiensi bukan lagi urusan waktu dan kepraktisan, tapi juga peniadaan proses yang bertele-tele atas nama birokrasi, administrasi, atau analisis. Sebenarnya sejak Revolusi 4.0 didengungkan di awal Abad 21, cerita mekanisasi tingkat tinggi di Silicon Valley sudah membuat takjub negara-negara berkembang. Salah satu puncak kehebohan robotisasi itu adalah diangkatnya Sophia—sebuah robot humanoid yang dikembangkan oleh perusahaan berbasis di Hong Kong, Hanson Robotics—sebagai warga negara Saudi Arabia pada 2017.

Waktu itu, algoritma sudah populer di kalangan praktisi teknologi informasi (infotek) dan bioteknologi (biotek) sebagai metode komputasi. Sebagai deretan instruksi yang jelas dalam memecahkan masalah (yaitu untuk memperoleh keluaran yang diinginkan dari suatu asupan data dalam jumlah waktu yang terbatas), algoritma oleh Dunia Ketiga dianggap sebagai program atau pemrograman untuk memetakan kecenderungan (preferensi) pengguna mesin (baca: komputer dan internet) terhadap hal-hal yang dibutuhkan oleh yang berkepentingan dengan pemetaan kebutuhan konsumen atau klien.

Menyerahkan Rahasia

Tanpa sadar, kita pun memasukkan data diri, termasuk sejumlah kecenderungan lintas-urusan di dalamnya, yang kemudian mengendap serta disaring oleh sistem spesifik yang bersifat otomatis untuk menghasilkan data kecenderungan yang bernama Algoritma.

Artinya, data-data baru akan terbaca apabila kita meng-input-nya ketika menggunakan surel, media sosial, blog, mengisi kuisioner; membuka Youtube; menggunakan mesin pencarian Google; atau segala urusan yang melibatkan internet dan gawai.

Bagaimana dengan mereka yang tidak menggunakan internet seumur hidupnya?

Di Jepang, banyak ilmuwan dan seniman yang tidak menggunakan media sosial dengan alasan menginginkan kehidupan yang lebih tenang. Tapi, rata-rata mereka masih memiliki akun surel untuk berkomunikasi. Artinya, mereka masih beririsan dengan internet. Kalaupun data yang diberi-gunakan terlampau sedikit dalam urusan surel, algoritma untuknya masih bisa diberlakukan menggunakan teknik sampling berdasarkan tempat tinggal, profesi, atau aktivitas sehari-hari orang-orang seusia.

Tapi, ternyata dunia otomatisasi dipersiapkan lebih mengerikan dari itu. Ya, lewat Here Everybody Comes (Penguin, 2008), Clay  Shirky mengungkapkan bahwa otomatisasi sedang dipersiapkan untuk membaca berbagai kecenderungan manusia hanya lewat membaca gerak mata, kerut wajah, permainan jemari, usapan rambut, cara berjalan, hingga cara bicara dan bunyi batuk. Ya, komputasi yang dipakai bukan lagi algoritma robotik, tapi algoritma biometrik!

Keadaan di atas, pada akhirnya memungkinkan sekali melahirkan siklus kehidupan yang diisi para robot (produsen, distributor, konsumen, hingga pengurainya alias tempat pelemparan sisa-sisa pekerjaan) tanpa harus ada manusia di dalamnya. Manusia akan membuat siklus sendiri yang tidak bisa tidak, harus memasukkan robot di dalamnya.

Alih-alih mencemaskannya, lewat 21 Lessons Harari mengatakan bahwa menafikan teknologi yang serbamemudahkan adalah jauh lebih mengerikan daripada menerima mereka di tengah-tengah kehidupan. Artinya, kecelakaan lalu lintas yang merenggut 1,5 juta nyawa per tahun tentu akan sangat mudah ditekan apabila manusia berkendara dengan mobil yang bisa menjalankan dirinya sendiri (swakemudi) sebab lebih 70% kecelakaan di jalan raya disebabkan sopir yang berada di bawah pengaruh miras, narkoba, ngantuk, atau teralihkan perhatiannya oleh hal-hal yang ia lihat di jalan. Mobil swakemudi tidak akan pernah mengalami kebodohan-kebodohan itu!

Rahasia di Tangan Negara

Selain mengandalkan otomatisasi dalam urusan kecepatan, teraksesnya informasi diri oleh siklus robot membuat data paling personal pun menjadi milik semesta. Algoritma biometrik akan melahirkan kondisi mengenaskan berikut: manusia bahkan tidak bisa memiliki rahasia lagi! Sebab, perasaan benci  pada pembimbing skripsinya gagal diuar oleh senyum yang enam hari dilatih di depan kaca sebab alat pemindai preferensi yang terpasang di tiap sudut kampus telah menyampaikan hipokritisme-kecil itu. Kita tidak bisa lagi pura-pura menyukai Blackpink agar diterima genk pemandu sorak di sekolah sebab algoritma biometrik kita mengatakan bahwa sebenarnya kita lebih menyukai jaipong daripada tari modern.

Dalam urusan pekerjaan, pekerjaan-pekerjaan baru akan lahir dengan sendirinya, misalnya pengasuh bayi sebagai salah satu contoh pekerjaan alihan dari seorang pilot yang tidak lagi dipekerjakan karena pesawat bisa terbang otomatis! Aduh!

Sementara itu, realitas hari ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika atau Kementerian Kominfo yang seharusnya bertanggung jawab atas dugaan  bocornya sekitar 1,3 miliar-an yang mencakup nomor induk kependudukan (NIK), nomor telepon, nama penyedia atau provider, hingga tanggal pendaftaran kartu SIM “lempar handuk” dengan apologi demi apologi,

Di negeri ini, makin nyata detaknya di telinga kita, bahwa kelak: pertikaian, perang, dan kekacauan  akan meledak bukan oleh retorika politik yang terpeleset, bukan pula oleh kegagalan memakaikan jubah intan ke sekujur aib manusia, tapi karena kekuasaan abai pada yang paling asasi dari manusia: rahasia.(*)

Benny Arnas

https://bennyarnas.com

Penulis & Pegiat Literasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *