Mengapa Membaca tak Membuatmu Tambah Berpengetahuan?
Membaca terburu-buru adalah bentuk kesombongan kecil manusia modern.
Oleh Benny Arnas
Pada suatu sore di tahun 2018, The Guardian menurunkan laporan tentang seorang perempuan di London yang melakukan eksperimen membaca. Namanya Gemma Hartley. Ia mencoba membaca satu buku setiap minggu selama setahun penuh. Awalnya, ia membayangkan akan menjadi lebih pintar, lebih kritis, bahkan lebih “berisi” dalam percakapan. Namun, setelah menamatkan puluhan judul, Gemma menyadari sesuatu yang mengejutkan: ia ingat sangat sedikit dari semua yang telah dibacanya. “Yang tersisa hanyalah rasa puas telah menutup halaman terakhir,” katanya. “Tapi isi bukunya lenyap seperti kabut.”
Perasaan itu mungkin akrab bagi banyak dari kita. Kita membaca berjam-jam, membeli buku baru seolah itu vitamin kecerdasan, namun sebulan kemudian, isi buku sudah terlupakan. Pertanyaan pun muncul: apakah membaca banyak buku otomatis membuat kita pintar?
Penelitian dari University of Waterloo (2019) memberi jawaban yang jujur: tidak selalu. Orang yang membaca sambil merenungkan isi teks, bukan sekadar melahapnya, mampu mengingat hingga 50 persen lebih lama dibanding mereka yang membaca cepat tanpa refleksi. Jadi, bukan seberapa banyak halaman yang kita lewati, melainkan seberapa dalam kita berhenti di antaranya.
Buku Bukan Tangga Cepat, Tapi Jalan Panjang
Kebiasaan membaca sering kita bayangkan seperti menaiki tangga menuju pengetahuan. Padahal, membaca lebih menyerupai berjalan di jalan tanah yang panjang: kadang menanjak, kadang berliku, dan sering kali lambat. Dalam salah satu esainya, penyair besar Kahlil Gibran menulis, “Pengetahuan sejati bukanlah apa yang kau hafal, melainkan apa yang menyatu dengan darah dan tulangmu.”
Kalimat itu menggambarkan hakikat membaca yang sejati: proses yang menumbuhkan, bukan sekadar menumpuk informasi. Banyak orang berhenti di level konsumsi, merasa cukup telah membaca satu buku penuh. Namun pembaca yang tangguh tidak berhenti di sana. Ia meluangkan waktu untuk merenungkan isi teks, mengaitkannya dengan pengalaman pribadi, bahkan mempertanyakannya.
Seorang teman saya, dosen muda di Yogyakarta, punya kebiasaan menarik. Ia membaca hanya satu buku setiap dua bulan, tapi setiap selesai satu bab, ia menulis satu halaman refleksi, tentang apa yang ia pahami, apa yang ia setujui, dan apa yang tidak. Ia berkata, “Saya tidak mengejar jumlah buku, saya mengejar perubahan cara berpikir.” Dan benar, dari caranya berbicara dan menulis, terlihat bahwa setiap buku telah benar-benar menjadi bagian dari dirinya.
Membaca Sebagai Latihan Ketangguhan
Membaca yang baik adalah latihan tahan proses. Kita belajar menunda hasil, menanggung ketidaktahuan, dan berulang kali mengakui bahwa kita belum paham. Setiap halaman adalah arena kecil untuk melatih sabar dan konsistensi.
Filsuf Muslim abad ke-11, Al-Ghazali, pernah menulis dalam Ihya’ Ulum al-Din, “Ilmu tidak akan memberi sedikit pun kepada seseorang sampai ia memberikan seluruh dirinya kepada ilmu.” Artinya, pengetahuan hanya akan menyingkapkan dirinya pada mereka yang rela bersusah payah, yang mau bertahan dalam kebingungan sementara.
Kebingungan itu justru bagian penting dari proses membaca. Saat kita tersesat di dalam argumen buku filsafat, atau kesulitan memahami teori yang rumit, di sanalah daya tahan kita ditempa. Membaca mengajarkan bahwa pemahaman sejati tidak datang seketika. Ia tumbuh pelan, kadang tanpa kita sadari.
Kita bisa melihat contohnya dalam kehidupan seorang pembaca sejati: Taha Hussein, sastrawan Mesir tunanetra yang dijuluki “Aql al-Adab al-‘Arabi” (Akalnya Sastra Arab). Dalam otobiografinya, ia menulis tentang masa mudanya di Al-Azhar: ia membaca ratusan manuskrip klasik tanpa teknologi bantu, hanya dengan mendengarkan. Ia mengulang satu teks berkali-kali, memahaminya sedikit demi sedikit. “Aku tidak membaca untuk cepat tahu,” katanya, “aku membaca agar tak berhenti bertanya.”
Ketangguhan seperti itu sulit ditemukan di era kecepatan digital. Kini kita membaca sambil membuka notifikasi, berpindah dari satu buku ke artikel, dari artikel ke unggahan singkat. Membaca menjadi aktivitas separuh hati. Dan … karena itu, separuh hasil.
Refleksi: Membaca untuk Diri, Bukan Dunia
Membaca yang baik adalah percakapan antara teks dan diri. Kita tidak sedang menelan pikiran orang lain, tetapi berdialog dengannya. Sastrawan Mesir peraih Nobel, Naguib Mahfouz, pernah berkata, “Membaca adalah tindakan bebas paling sunyi.” Ia menyiratkan bahwa membaca menuntut ruang batin: tempat kita menyaring, menolak, menyetujui, lalu mengubah diri perlahan.
Dua tahun lalu, seorang mahasiswa asal Cape Town, yang saya temui di ruang tunggu penerbangan lanjutan menuju Belanda via Oman, bercerita bahwa ia menandai setiap buku yang dibacanya dengan satu kalimat refleksi di halaman terakhir: “Apa yang berubah dalam diriku setelah buku ini?” Kalimat itu sederhana, tapi merepresentasikan semangat seorang pembaca tangguh. Ia tidak membaca demi tampak cerdas, tapi demi memahami dunia dengan sedikit lebih jernih dari kemarin.
Dalam konteks ini, membaca bukanlah kegiatan intelektual semata, melainkan latihan spiritual dalam arti yang luas: melatih kesabaran, kerendahan hati, dan kesediaan untuk berproses. Kita belajar bahwa tidak semua hal bisa dipahami seketika, dan itu tidak apa-apa. Proses membaca yang lambat menumbuhkan daya tahan batin yang kini langka: kemampuan menunggu hasil dengan sabar.
Dari Informasi ke Transformasi
Jika membaca sekadar untuk menambah informasi, otak kita akan cepat jenuh. Tapi jika membaca diarahkan untuk transformasi, setiap buku menjadi cermin bagi diri sendiri. Misalnya, ketika membaca buku tentang etika, kita tidak berhenti pada definisi moral, tetapi mencoba menerapkannya dalam keputusan kecil sehari-hari. Dari sanalah isi buku berubah menjadi kebijaksanaan hidup.
Dalam pandangan Ibnu Khaldun, sejarah pun hanya akan berarti jika kita mampu mengambil “’ibrah” alias pelajaran yang hidup, bukan sekadar catatan masa lalu. Ia menulis dalam Muqaddimah: “Orang yang tidak mengambil pelajaran dari bacaan hanyalah memindahkan huruf-huruf tanpa makna ke dalam pikirannya.”
Pernyataan itu masih relevan hingga kini. Membaca sejati adalah membaca dengan kesadaran penuh bahwa setiap teks memerlukan kerja jiwa: merenung, mengaitkan, menguji, dan mempraktikkan. Di situlah letak ketangguhan seorang pembaca. Ia tidak puas dengan pengetahuan yang cepat, melainkan setia pada perjalanan yang lambat.
Menutup Buku, Membuka Diri
Pada akhirnya, membaca bukan soal seberapa banyak buku yang kita tamatkan, melainkan seberapa jauh kita berubah setelah menutupnya. Gemma Hartley mungkin lupa isi puluhan buku yang ia baca, tapi pengalamannya menyadarkan banyak orang bahwa membaca yang terburu-buru adalah bentuk kesombongan kecil manusia modern: ingin cepat pintar tanpa mau lambat belajar.
Seorang ulama Sufi, Abu Hamid al-Suhrawardi, pernah menulis, “Jalan menuju cahaya bukan langkah cepat, melainkan kesediaan untuk berjalan lama dalam gelap.” Membaca pun demikian. Ia menuntut ketekunan, kesabaran, dan rasa percaya bahwa setiap halaman, sepelan apa pun, sedang menumbuhkan sesuatu di dalam diri.
Jadi, membaca bukan hanya soal mengingat isi buku, tetapi membentuk karakter yang menghargai proses. Setiap kali kita membuka buku dan memilih untuk memahami, bukan sekadar melahap, kita sedang melatih diri menjadi manusia yang tangguh: yang tidak tergesa, tidak sombong pada pengetahuan, dan tidak berhenti di permukaan.
Sebab membaca bukanlah upaya menaklukkan pengetahuan, melainkan membiarkan diri ditempa olehnya, pelan, tapi pasti, hingga kecerdasan berubah menjadi kedewasaan.(*)
Lubuklinggau, 24 Oktober 2025