Auckland: Seperti Alam, Kreativitas Itu Hijau

Saya, di tengah peserta kelas Teater Residensi untuk Remaja di TAPAC, Auckland.
“A traveller without observation is a bird without wings.”
— Moslih Eddin Saadi (Persia, Abad 13)
Oleh Benny Arnas
Saya tidak datang ke Auckland untuk jatuh cinta padanya. Kekaguman adalah residu perjalanan yang paling murahan, dan Auckland tahu itu. Kota ini tidak menunggu untuk dikagumi, sama seperti laut tidak menunggu untuk ditatap.
Langkah pertama saya menuruni tangga pesawat di Bandara Auckland membawa satu kesadaran getir: saya tidak sedang melancong, saya sedang diundang sebagai penulis naskah lakon. Undangan itu bukan saja akan membuat kaki saya berdiri dengan canggung: yang kanan di panggung, yang kiri di atas teks. Lebih dari itu, residensi ini akan menempatkan saya sebagai tamu yang harus selalu siap menanggung kesopanan dan rasa ingin tahu dalam kadar yang nyaris sama banyaknya.
Dari jendela bus yang membawa saya dari Bandara Internasional Auckland ke pusat kota, bukit-bukit hijau tampak bergulung seperti gelombang laut yang membeku. Di kejauhan, rumah-rumah berlantai satu bertebaran dengan atap merah bata, tertata rapi seperti mainan kayu. Saya menatap pohon-pohon pinus dan pohutukawa yang berjajar di tepi jalan raya. Rasanya seperti memasuki lanskap dongeng Nordik, padahal saya sedang berada di Aotearoa, tanah panjang berawan milik Māori.
Perjalanan menuju pusat kota menembus kawasan Māngere, Flat Bush, dan Newmarket, sebelum bus menurunkan saya di Symonds Street. Di sinilah Auckland University of Technology (AUT) berada, tempat saya menjalani residensi budaya lewat beasiswa nongelar tahun 2016. Saat berjalan melewati gerbang kampus, saya mengingat satu kalimat dalam bahasa Māori yang terpampang di salah satu spanduk acara kampus: He waka eke noa – kita semua berada di perahu yang sama. Kalimat yang terasa menenangkan bagi seorang penulis asing seperti saya, meski sekaligus menegaskan kompleksitas sejarah migrasi di negeri ini.
AUT berdiri di kawasan pusat bisnis kota, dikelilingi gedung perkantoran tinggi dan toko-toko Asia. Namun, di sela itu, gereja batu bergaya Victoria dan rumah-rumah kayu kuno masih berdiri, menolak dihapus oleh arsitektur kaca dan baja. Sejarah Auckland sebagai kota pelabuhan yang dibangun pada 1840-an oleh pemukim Inggris, berpadu dengan jejak Māori yang telah tinggal ribuan tahun sebelumnya, menimbulkan lanskap kultural yang terus bergolak hingga hari ini.
Hari pertama di kota ini, saya berjalan kaki dari Waldorf Apartments menuju kampus Auckland University of Technology (AUT), tempat residensi budaya ini berlangsung. Udara dingin pengujung November yang entah mengapa terasa sejuk mengelus wajah saya dengan lembut. Trotoar yang menanjak dan menurun menuntut kaki bekerja lebih keras, seolah Auckland sedang berkata:
“Jangan malas menapaki aku, atau kau tak akan mengerti apa-apa.”
Saya menghadiri pertemuan orientasi bersama para seniman lain. Kami duduk melingkar di Ruang WG308. Panitia memperkenalkan aneka program yang akan kami ikuti selama residensi. Sementara seorang staf Māori, Mereana Toki, mengawali pertemuan dengan karakia – doa pembuka yang mengekspresikan penghormatan pada alam. Suaranya melantun pelan, penuh getar tanah. Saya menunduk, membayangkan doa itu melintasi atap kampus, menembus kabut musim dingin, lalu turun menyapa Waitematā Harbour di utara sana.
Hari itu, udara terasa lembap dan menusuk tulang. Usai orientasi, saya berjalan ke Albert Park. Pohon beringin raksasa menaungi bangku-bangku tua. Burung tui bersuara nyaring dari pucuk cabang. Di samping patung Queen Victoria, sekumpulan mahasiswa duduk piknik sambil membaca. Saya teringat betapa di kota ini, ruang publik bukan sekadar tempat transit, melainkan ruang hidup. Auckland Council bahkan memiliki kebijakan public art policy yang mewajibkan penempatan karya seni di taman dan trotoar untuk memastikan warganya tetap berinteraksi dengan seni, bahkan di luar museum.
Malam pertama, saya tidur dengan jaket masih melekat di badan. Di luar jendela, lampu merah di sudut Wakefield Street berkedip menembus kabut. Saya teringat apa yang dikatakan seorang teman periset dari AUT sebelum berangkat, “Jika kau ingin menulis di kota ini, jangan buru-buru merasa paham. Seperti bunga yang sedang kuncup, biarkan ia membuka diri pelan-pelan.”
Esoknya, pagi yang selalu sama. Sabar dan hangat. Saya berhenti di setiap lampu merah, menatap orang-orang yang menunggu dengan khidmat hingga lampu pejalan kaki menyala hijau. Ada yang mendengar lagu atau bercakap dengan penyuara telinga, membaca buku, atau sekadar memandang birunya langit. Tak ada yang melanggar, bahkan ketika jalanan tampak lengang. Di sini, hukum bukanlah larangan, melainkan kebiasaan yang tumbuh dari kepercayaan: kepercayaan bahwa melanggar bukanlah keberanian, melainkan kebodohan.
Auckland tidak menjeritkan diri sebagai kota modern. Tidak juga menampakkan wajah eksotik khas kota kolonial tua. Ia berdiri sebagai dirinya sendiri: tenang, bersih, ringkas, hijau, dan menolak segala pujian sentimental. Setiap bangunan berdiri dengan fungsi yang tegas. Setiap taman dibangun dengan tujuan yang jelas. Tidak ada ruang untuk genit, apalagi bermegah dalam kenangan sejarah yang sengaja dibubuhi narasi puitik demi menarik wisatawan. Auckland adalah Auckland. Dan itu sudah cukup.
Di AUT, saya merasa seperti murid yang kembali ke kelas setelah bertahun-tahun bermain di luar. Kampus ini tidak menakjubkan dalam ukuran fisik—tidak ada menara gothik atau halaman berlapis sejarah panjang seperti universitas di Eropa—namun yang menakjubkan adalah suasananya: sunyi yang produktif. Orang-orang berjalan cepat, menatap lurus ke depan, menenteng laptop atau buku-buku tebal, seolah setiap langkah mereka dihitung waktu.
Dalam diam yang kerap memekakkan telinga itu, saya mendengar suara lain: suara keraguan yang muncul dari diri sendiri. Untuk apa datang ke sini? Untuk menulis? Untuk belajar? Atau hanya untuk memastikan bahwa dunia di luar sana benar-benar ada, bukan sekadar fiksi yang ditulis oleh penulis lain?
Di sela kelas-kelas yang intens—yang menuntut kami mengamati, mendengar, dan menulis dalam waktu bersamaan—saya mulai memahami satu hal. Auckland bukan kota yang bisa dijelajahi dengan kagum. Ia hanya bisa dipahami dengan dua hal: menghargai alam dan disiplin. Seperti menulis. Orang boleh mengagumi penulis, tetapi tanpa mengenali-dan-mencintai lingkungan tempatnya tumbuh dan tanpa disiplin, kekaguman itu hanya akan melahirkan kecemburuan yang sia-sia.
Pada satu malam, saya berjalan sendirian di Queen Street, jalan utama di pusat kota. Angin membawa aroma laut yang samar. Lampu-lampu toko mulai padam satu per satu. Di ujung jalan, seseorang memainkan saksofon dengan nada blues yang sedih, tapi saya tidak menemukan kesedihan di Auckland. Kota ini terlalu fungsional untuk bersedih. Bahkan saksofonis itu pun, selesai memainkan lagunya, menunduk sedikit, lalu merapikan kotak uang receh di depannya dengan wajah datar.
Saya teringat Saadi lagi. “A traveller without observation is a bird without wings.” Perjalanan tanpa pengamatan adalah burung tanpa sayap. Barangkali itulah yang menempatkan penulis berbeda dari pelancong biasa: kami menulis bukan untuk menaklukkan tempat yang kami datangi, melainkan untuk menaklukkan bagian diri yang selama ini menolak dipahami.
“Di Selandia Baru, kreativitas lahir dari derita ketekunan.” Suara itu, apakah benar dari depan kelas atau dari kepala saya, saya tak ingat lagi.
Di kampus ini, di ruang-ruang kelas yang sunyi dan serius itu, saya mulai menaklukkan satu demi satu kesombongan kecil yang selama ini saya pelihara. Kesombongan bahwa menulis adalah tentang ilham. Bahwa menulis adalah tentang mood. Bahwa menulis tidak memerlukan jadwal. Semua omong kosong itu runtuh di depan orang-orang yang menulis dengan kedisiplinan seorang biarawan.
Proses Menaklukkan Diri Sendiri
Menjelang petang, saya menyusuri Wellesley Street menuju Queen Street. Di antara toko-toko suvenir dan restoran kebab Turki, terpajang poster pertunjukan Once On This Island oleh komunitas Pasifika Theatre. Teater Pasifika adalah salah satu gerakan budaya penting di Selandia Baru sejak 1980-an, ketika imigran Kepulauan Pasifik mulai menegaskan suara mereka melalui musik, tari, dan drama. Oscar Kightley, misalnya, adalah nama besar yang memelopori teater Pasifika kontemporer dengan menulis kisah-kisah tentang kehidupan diaspora Samoan di Auckland.
Gedung WG AUT memiliki kaca tebal yang memantulkan matahari musim dingin dengan terang membutakan. Saya berdiri di dalam ruang teater kecil di lantai dasar, menatap kursi-kursi lipat yang ditata melingkar di sekitar panggung kayu. Hari itu kelas Writing and Directing Theatre dibimbing oleh Judith Crozier, penulis naskah dan sutradara teater yang puluhan tahun aktif di industri seni pertunjukan Selandia Baru.
Laki-laki 40 tahun berambut putih pendek itu (saya lupa nama si mentor), sorot matanya tajam namun bicaranya lembut. Ia memulai kelas dengan meminta kami menuliskan satu kalimat paling jujur tentang diri sendiri, lalu membacanya keras-keras. Saya menulis: I am afraid of my own silence. Saat membaca, suara saya bergetar. Ia menatap saya lama, lalu menanggapi, “That’s where theatre begins: from your silence, not your words.” Kalimat itu terngiang sepanjang perjalanan pulang hari itu.
Teater di negara ini berkembang bukan hanya sebagai seni pertunjukan, melainkan ruang ekspresi politik, alam, dan kebudayaan. Tahun 1970-an, ketika gerakan Māori Renaissance muncul, teater menjadi alat menegaskan identitas pribumi di tengah tekanan kolonialisme kultural. Nama Rowley Habib misalnya, penulis naskah Death of the Land (1976) yang mengangkat perebutan tanah Māori oleh pemerintah, mengukuhkan posisi teater sebagai medium perlawanan.
Di dalam kelas, mahasiswa diminta menulis adegan tanpa memikirkan penonton atau pasar. “Write it as if no one will ever see the roses that you always water in the morning,” katanya. “Only you and the roses!” Konsep itu terasa asing bagi saya, yang terbiasa menulis dengan membayangkan pembaca. Namun di sini, menulis adalah proses menghargai yang paling dekat dengan hidup: alam atau lingkungan atau bunga mawar kesayangan kita. Ach. Ternyata, menulis, bagi Auckland, adalah upaya menaklukkan egoisme sebagai makhluk yang merasa paling mengerti. Menulis bukan hanya menuangkan, tapi juga mencari mata air gagasan bersama-sama. Dengan siapa? Dengan yang paling dekat dekat manusia: alam semesta. Aduh!
Sepulang kelas, saya berjalan melewati Albert Park. Di kejauhan, menara Sky Tower mencuat di antara gedung-gedung. Di taman itu, bangku-bangku kayu dipenuhi lansia yang membaca buku atau sekadar memejamkan mata di bawah sinar sore. Di salah satu bangku, dua pria Māori bermain gitar sambil bernyanyi pelan dalam bahasa mereka. Saya duduk agak jauh, menulis di buku catatan, menangkap lirik-lirik yang tidak saya pahami, tetapi memancarkan rasa memiliki yang dalam pada tanah ini. Namun, yang lebih mengejutkan adalah burung-burung yang lalu-lalang–berjalan dan melompat–di taman. “Burung-burung berjalan kaki di Auckland,” saya kira profesor yang membuka kelas kami di hari pertama residensi ini sedang bergurau ketika mengatakan itu.
Namun, ketika saya melihat beberapa petinggi kampus dan mahasiswa berada dalam rombongan yang sama di jalur pejalan kaki di selatan taman ini, saya serta-merta teringat apa yang Sarita Betschart dalam New Zealand Birds, bahwa salah satu konsekuensi geografis dan eksotis yang diterima Selandia Baru sebagai tanah termuda di dunia: beberapa jenis burung asli setempat seperti kiwi, kakapo, takahe, dan burung terbesar di dunia yang hidup di sini, moa, ternyata tidak bisa menggunakan sayapnya untuk terbang. Meskipun saya melihatnya dalam perspektif lain bahwa jenis unggas itu “sengaja” tidak memfungsikan sayapnya sebab mereka tidak harus “mengendarai angin” untuk tiba di tempat tujuan. Ya, bahkan, bagi burung-burung itu, berjalan kaki adalah pilihan paling menyenangkan untuk hidup dalam ketenteraman. Ah, Kalau Saadi pernah melihat burung-burung di Aotearoa, mungkin dia akan berpikir ulang untuk menggunakan burung dalam metaforanya tentang pengembaraan.
Ach, saya tiba-tiba berpikir, apakah kebiasan berjalan kaki orang-orang—yang tinggal—di Selandia Baru terinspirasi oleh burung-burung itu? Bagaimanapun, berjalan kaki adalah salah satu dari sejumlah urusan yang menunjukkan interaksi nyata antara manusia dengan alam dan lingkungannya. Saya bayangkan, apabila di negara maju dengan individualisme yang tinggi seperti di Selandia Baru saja kebiasaan itu hidup dan menjadi denyut dan ciri urbanitas, harusnya Indonesia dengan keramahan yang masih tumbuh-subur dalam (sebagian besar) masyarakat, harusnya bisa menjadikan jalan kaki sebagai jembatan silaturahim paling murah. Namun … kita selalu ingin menjadi lebih praktis dengan menjadikan perkembangan zaman sebagai alasan untuk hidup lebih berguna plus … diembel-embeli alasan cuaca yang tidak sama, padahal ia tak lain adalah dalih untuk memupuk kemalasan, kemanjaan, dan … penyakit yang akan menjalar perlahan-lahan dan baru akan terdeteksi ketika kita bahkan tidak lagi sanggup berjalan kaki.
Karya akan lahir dari kedisiplinan mendengar. Termasuk suara alam. Kau tahu, itu sungguh membosankan. Dan kebosanan adalah derita. Tanpa itu, kreativitas adalah pelarian bagi pemalas!
Bjika, Mahasiswa AUT berdarah Maori
Bjika, seorang teman Māori di AUT pernah berkata, “Di sini, kreativitas adalah luaran dari kemampuan yang sukar Barat nalari. Mereka mendengar tanah yang selalu bicara. Kita hanya perlu diam untuk mendengarnya. Dan itu sebenarnya sangat Timur. Saya pikir, Selandia Baru dan Indonesia adalah dua negara dengan keindahan alam yang sukar ditandingi. Dan seharusnya, prinsip ini tidak ‘baru’ di telingamu, ‘kan?” Kalimat itu, selain membuat saya terenyak, makin terasa benar ketika saya menapaki jalan menurun menuju Queen Street. Pohon-pohon oak raksasa berderet meneduhi trotoar, daunnya berguguran perlahan tertiup angin. Di sela akar yang menjalar ke trotoar, tumbuh lumut hijau tebal. Semuanya tampak diam, padahal selalu bergerak. “Karya akan lahir dari kedisiplinan mendengar. Termasuk suara alam. Kau tahu, itu sungguh membosankan. Dan kebosanan adalah derita. Tanpa itu, kreativitas adalah pelarian bagi pemalas!” suara pemuda 27 tahun itu terus menggema.
Di Queen Street, saya menumpang bus biru CityLink menuju Karangahape Road. Jalan itu dikenal sebagai jantung budaya alternatif kota ini sejak 1960-an. Dulu, para penulis Māori dan Pasifika menempati toko-toko tua di sana untuk mengadakan pembacaan puisi dan diskusi politik. Kini, kafe Ethiopia berdampingan dengan restoran vegan dan toko buku independen. Di sebuah toko buku kecil, saya membeli Poūkahangatus karya Tayi Tibble, penyair muda Māori yang menulis tentang tubuh, tanah, dan sejarah kolonial dengan gaya satir penuh humor gelap.
Sambil menunggu kopi di kafe sebelah toko buku, saya membaca puisinya berjudul Vampire:
I am the reflection
in the window of a bus
at 2 a.m.
Puisi itu menohok saya, karena seperti itulah perasaan saya di kota ini: bayangan samar di jendela bus malam, hadir tanpa pernah benar-benar menjadi bagian. Namun barangkali di situlah posisi penulis yang sesungguhnya. Mengamati, mencatat, memahami, tanpa menuntut pengakuan, dan … setia.
Mereka yang Berjalan dengan Keindahan
Ada yang berbeda di Auckland jelang Duha, pekan kedua Desember 2016. Kabut tipis yang meneteskan hujan seperti doa tanpa kata seolah mengantar langkah kami—lima orang seniman dari negeri tropis—menuju sebuah studio bernama Mika Haka Foundation. Sebuah nama yang menandai titik pertemuan antara tradisi dan masa depan, antara tubuh manusia dan jiwa yang ingin menari, antara tanah Maori dan langkah-langkah kecil kami yang, entah bagaimana, berharap untuk juga menumbuhkan sesuatu.
Kami turun di May Road. Jay Tewake, pria Maori dengan rambut panjang keriting yang tampak seperti nyala api di kepalanya, melambaikan tangan dari kejauhan sambil melompat-lompat. Seakan-akan yang datang kepadanya bukan hanya rombongan seniman, melainkan kabar gembira yang telah lama dinantinya. Mungkin memang begitulah cara mereka yang hidup di dalam seni memaknai dunia—segala yang datang adalah tamu agung, bahkan hujan pun mereka sambut dengan tarian.
Jay menuntun kami memasuki studionya. Ia memperkenalkan setiap sudut ruangan seperti seorang bapak yang memperkenalkan anak-anaknya. Komputer-komputer di sudut, mesin jahit, lemari penuh dokumen, sofa besar, dan dapur kecil tempat kopi, coklat, dan gula tertata dalam stoples transparan. Tak ada yang mewah dalam arti konvensional, tetapi ada aura agung yang membuat ruang itu seperti kuil kecil bagi kreativitas. Saya teringat kata-kata Rumi, “Don’t seek the water, become thirsty so that water may seek you.” Mungkin Jay adalah manifestasi haus itu—ia haus akan penciptaan, dan karenanya keindahan menemuinya tanpa diminta.
Setelah menyiapkan minuman hangat, kami duduk melingkar di sofa. Workshop dimulai. Namun sungguh, bagi Jay, workshop bukanlah sesi formal untuk mengajari orang lain.
Workshop adalah perjamuan. Ia bukan guru, melainkan tuan rumah, dan kami bukan murid, melainkan tamu yang harus disambut dengan kegembiraan. Setiap ucapannya meledak seperti kembang api di langit pikiran kami. Tentang bagaimana penari tidak hanya menari, aktor tidak hanya berakting, melainkan harus menubuh sebagai makhluk kreatif yang memahami semua, dari cahaya, tata suara, penyutradaraan, hingga manajemen produksi. “Karena,” katanya dengan mata berbinar, “panggung bukan hanya tentang dirimu, tapi tentang dunia yang ingin kau ciptakan bersama mereka yang berdiri di belakang cahaya.”
Jay menari di sela-sela penjelasannya. Ia memeragakan gerakan dramatis, menjerit pelan, terkadang tertawa keras seolah mendengar lelucon ilahi yang hanya ia yang paham. Barangkali bagi yang tak terbiasa, Jay tampak narsis. Namun bagi saya, ia sedang menegaskan hakikat dirinya—bahwa menjadi seniman berarti menanggung risiko untuk selalu tampak ‘berlebihan’ bagi mereka yang tak pernah berani menjadi lebih dari biasa. Untuk mengabaikan suara dan mata banyak orang, kita butuh satu kata sifat untuk menjadi diri sendiri: konsisten! Konsisten berkarya karena kau harus melakukannya. Konsisten bergaya karena kau bahagia dengannya. Konsisten mengaktifkan tombol suara dan mata mereka yang tak mengerti.
Menjadi seniman berarti menanggung risiko untuk selalu tampak ‘berlebihan’ bagi mereka yang tak pernah berani menjadi lebih dari biasa!
Jay Tewake
Setelah makan siang yang dimasak oleh Sharu, fasilitator kami–New Zealander berdarah India–dengan cita rasa Asia yang menenangkan lidah kami yang merindu rumah, Jay dan Kas—pendamping workshop hari itu—mengajak kami ke bukit terdekat. Angin menerpa keras, menampar wajah kami dengan suhu rendah yang membuat tulang-tulang bergetar. Namun di atas sana, kota Auckland terhampar. Gedung-gedung menjulang seperti jemari raksasa, pepohonan hijau menua, dan laut biru yang menenangkan. Jay meminta kami melawan arah angin ketika difoto. “It makes you look strong,” katanya sambil tertawa dan mengibaskan rambut ikalnya. “Not because you against the wind. But because you both make friends.”
Pada titik itulah saya memahami: menua adalah keharusan, tetapi tetap bermain adalah pilihan.
Entah mengapa, di antara tawa itu, saya mendengar doa yang tak terucap: semoga kami semua menjadi sekuat angin dan serendah rumput yang menari bersama tanah. Jay dan Kas mau bilang, “ Di ketinggian (baca: alam raya), segala kemajuan Auckland adalah hanyalah jauh, sayup, dan kecil-kecil.”
Jay dan Kas adalah pengingat bahwa seni bukanlah tujuan. Ia adalah cara berjalan seiring dengan lingkungan. Attitude mereka—kerendahan hati, keterbukaan berbagi, gairah yang menular, dan kesediaan untuk terus belajar—itulah yang membuat mereka menua dengan memesona, bukan hanya di panggung seni, tapi di tengah kehidupan.
Bermain-main dengan Seni Rupa
Dua hari kemudian, gerimis menyambut langkah kami di Corban Estate Arts Centre. Caroline Robinson, seniman multitalenta yang mengembangkan karya-karyanya dari studionya di Otago dan Dunedin, menyambut kami dengan senyum lebar meski rambut pendeknya basah kuyup. Ia meniup kerang besar – fuu, bunyinya panjang dan rendah, menembus udara pagi Auckland yang dingin dan basah.
Di bawah rintik hujan, kami mengikuti ritual penyambutan Maori bersama Tanya Te Miringa dan ibunya, perempuan tua berwajah tenang yang menatap kami dengan mata penuh kedalaman. Tanya menyiapkan spring water dan daun totoa, lalu memercikkan air ke kepala kami satu per satu. “This is your blessing today,” ujarnya.
Caroline menuntun kami menelusuri hutan kecil di pinggir kompleks seni itu. Ia memeluk pohon kauri dan mengecup batangnya. “We are connected,” katanya sambil tertawa kecil. Saya teringat Rabindranath Tagore, pujangga India yang pernah menulis, “Trees are the earth’s endless effort to speak to the listening heaven.” Hari itu, saya belajar mendengar bumi berbicara.
Kami diajak mengumpulkan ranting, daun kering, potongan pelepah palem yang jatuh. Semua akan kami gunakan sebagai kuas. “Jangan patahkan daun atau ranting yang masih hidup,” kata Tanya tegas.
Di dalam studio, kami menulis kata Bumi, Air, Api, Udara, dan Spirit di buku buatan tangan kami. Lalu kami menorehkan warna, tanah liat, daun, dan krayon di sampul dan halaman-halamannya. Tidak ada karya yang dinilai lebih indah dari yang lain. Karena bagi Caroline, “Art is not only about aesthetic. It’s about function, meaning, connection, and consistancy.”
Saya merasa seperti bocah TK yang baru pertama kali mengenal warna. Tak ada beban estetika di sana. Hanya kegembiraan murni saat jemari bersentuhan dengan tanah, air, dan daun yang menua. Saya mengusap kanvas dengan cat menggunakan ujung ranting pohutukawa yang jatuh di dekat sungai tadi dengan meminjam kata kunci terakhir dalam definisi tentang seni yang Caroline barusan katakan: konsisten, berulang, hingga saya bukan hanya menghasilkan gambar, tapi juga makna.
Seperti gerimis hari itu. Ia turun, berulang, lama, dan begitu, sehingga banyak penulis yang “dipaksa dengan bahagia” mencintai hujan dengan menulis puisi, sehingga kami, sebagaimana Caroline dan Tanya, memutuskan berhenti mengutuk hujan: kami berbaur dengan alam, membiarkan diri kami basah, dan merayakan segalanya di atas kanvas yang dari jauh tampak putih, dan menguning dan tampak berserabut ketika didekati–dan membuatnya makin indah. Ach.
Mencari Koupapa
Ada bagian hari dalam hidup kita ketika suara tawa sendiri terdengar asing di telinga. Pagi itu, di dalam kereta menuju Te Pou Theatre, suara tawa kami melambung tinggi, menabrak atap kereta yang sunyi. Saya dan delapan seniman Indonesia dari berbagai kota – tertawa pada candaan kami sendiri, pada penghargaan-penghargaan imajiner yang hendak kami bagi di akhir residensi ini, pada keabsurdan hidup yang terasa ringan hanya jika kita punya teman untuk menertawakannya.
Namun, di tengah riuh itu, seorang gadis pirang menegur karena volume kami yang terlalu besar untuk ruang publik. Teguran kecil, tapi cukup untuk memekarkan malu di wajah kami. Hingga kereta tiba di kereta tujuan, sembilan Indonesia di dalamnya bagai orang asing yang dipaksa berada dalam satu gerbong: hening, gugup, dan menjaga sikap.
Ternyata, Te Pou Theatre bukan sekadar gedung pertunjukan. Ia adalah wharae nui, rumah besar suku Maori yang bukan hanya ruang, melainkan jiwa. Saat Borny – aktor bertubuh tinggi besar dengan rambut cepak kekinian – menjemput kami, saya merasa seperti sedang diajak pulang ke rumah leluhur yang tak pernah saya kenal.
Kami melewati pohon-pohon yang asing bagi mata tropis saya. Pohotukawa, kata Sharu. Pohon dengan bunga merah menyala itu adalah saksi sunyi keindahan Aotearoa. “Peter Jackson memilih Selandia Baru untuk Lord of the Rings karena lanskap di sini tak butuh banyak CGI,” ujar Sharu sambil menatap pegunungan jauh di sana. Seakan-akan, Middle Earth bukan fiksi, melainkan bagian dari realitas sehari-hari mereka yang hidup berdampingan dengan tanah, air, dan langit.
Di Te Pou Theatre, sambutan mereka menakjubkan. Pelukan hangat Amber dan Tainui, sapaan Briar dengan senyum lembut, dan Borny yang menertawakan segala kecanggungan kami, menegaskan satu hal: bahwa menjadi tuan rumah bukan tentang menyiapkan ruang, tetapi menghadirkan hati.
Saat sesi perkenalan, mereka meminta kami menyebutkan nama, asal, bahasa ibu, hingga kisah keluarga. Semua harus kami lakukan dalam bahasa Indonesia. Awalnya saya berpikir, apa pentingnya semua itu bagi sebuah pelatihan manajemen produksi teater? Namun semakin lama, saya menyadari, mereka sedang menanam benih koupapa dalam diri kami.
***
Koupapa. Kata itu menggema di kepala saya berhari-hari. Ia bukan sekadar ‘visi produksi’ seperti yang biasa saya dan teman-teman bahas di Benny Institute ketika akan menghekat kegiatan. Koupapa adalah mengapa yang menghidupkan bagaimana dan apa. Tiang utama wharae nui, rumah pertemuan Maori, adalah koupapa. Tanpanya, tiang-tiang lain hanya berdiri tanpa jiwa.
Borny menyebutnya “beyond professionalism.”
Di Barat, kita mengenal profesionalisme sebagai standar tertinggi kerja.
Di Maori, profesionalisme hanyalah sebilah kayu kecil dibanding koupapa yang menopang keseluruhan atap. Profesionalisme adalah bagaimana kita bekerja. Koupapa adalah mengapa kita bekerja.
Saya teringat pada rumah gadang di tanah Minangkabau, pada rumah limas di tanah saya, Sumatera Selatan. Pada bale adat Sunda, rumah panggung Bugis, joglo Jawa, atau honai Papua. Semua memiliki tiang utama. Namun, tekahkah saya tahu dan memahami keberadaannya. Saya yakin, tiang-tiang itu bukan sekadar struktur fisik, bukan struktur makna. Pasti ada koupapa pada tiang-tiang itu.
Kami terpukau mendengar Amber menyebut tiang utama wharae nui sebagai ‘produser’, tiang belakang sebagai ‘manaaki’ – kekuatan personal yang menenteramkan, dan ‘tikanga’ – gaya khas pementasan yang membumi tanpa kehilangan jiwa. Migren kecil menyerang kepala saya kala itu. Bukan hanya karena lapar menjelang makan siang, melainkan karena realisasi pahit: bahwa di tanah air, kami sering membangun panggung tanpa pernah menanyakan mengapa panggung itu perlu dibangun.
Di perjalanan pulang dengan kereta, tawa kami masih terdengar. Namun ada sepi yang tumbuh di antara percakapan ringan tentang menu makan malam dan oleh-oleh. Saya tahu, sepi itu bukan kesedihan, melainkan ruang kontemplasi. Ruang untuk menuliskan pertanyaan di dinding batin: Apa koupapa-mu, Benn?
Keesokan harinya, pertanyaan itu tumbuh menjadi pohon. Saya menatap wajah Amber dan Borny yang mengajar tanpa merasa paling tahu, menumbuhkan pengetahuan alih-alih memberikannya. Saya melihat pada diri saya sendiri, pada teater yang selama ini saya jalankan, pada teman-teman seniman di kampung halaman yang terus berjuang dengan produksi seadanya. Saya melihat pada Indonesia, negeri dengan ribuan rumah adat, yang tiang-tiang utamanya mungkin sedang roboh, bukan karena kayunya rapuh, tapi karena kita tak pernah memiliki kesadaran untuk mencari tahu kenapa ia menyangga segala.
Dan di titik itu, saya menemukan koupapa kecil saya:
Bahwa menjadi seniman bukan tentang seberapa besar panggung yang kau bangun, melainkan seberapa dalam kau memahami tanah tempat kau menancapkan tiang pertama.
Seperti kata W.S. Rendra, “kalau kita memiliki mimpi, kita harus menjaganya agar tidak dimatikan oleh realitas yang menakut-nakuti.”
Koupapa bukan hanya milik Maori. Ia milik semua manusia yang ingin hidup dengan mengapa. Dan barangkali, hidup memang hanya tentang satu hal: mencari koupapa kita masing-masing.
Teater untuk Semua
Malam itu, setelah Indonesia Cultural Performance berakhir dan lampu-lampu panggung padam, saya berjalan pulang sambil menahan letih yang menetes pelan dari kelopak mata. Ada rasa bangga, ada rasa lega, tapi juga ada rasa getir yang sulit didefinisikan. Barangkali ini perasaan orang yang mencintai teater tapi tak pernah cukup puas dengan tepuk tangan penonton. Sebab teater sejati selalu tumbuh di luar panggung, di dalam diam, di ruang-ruang gelap kesadaran manusia yang tak terjamah sorot lampu.
Subuh berikutnya, ketika matahari baru menampakkan punggungnya di ufuk Auckland yang dingin dan sedikit berangin, saya menyeret tubuh yang setengah jetlag menuju pancuran, mencoba menegakkan kepala dengan guyuran air hangat. Kopi Lahat pemberian sahabat di Lubuklinggau saya seduh perlahan, menyadari bahwa pagi ini bukan sekadar transisi antara tidur dan bangun, melainkan ruang di mana tubuh dan jiwa harus kembali menyatu. Di luar, langit bersih Selandia Baru menunggu cerita lain: sebuah workshop di The Auckland Performing Arts Centre (TAPAC).
Kami berangkat menjemput pelajaran. Di perjalanan, Daz, pria keturunan Spanyol (atau Portugis [?])yang mengantar kami, bercerita tentang keterlibatannya di berbagai festival seni. Saya menyela, “Most people love to be on stage, but I do respect to those who heartfully work in silence.” Daz tersenyum kecil. Saya teringat kata-kata Khalil Gibran, “Work is love made visible.” Mungkin ia bekerja dengan cinta yang tak tampak, tapi justru itu menjadikannya besar.
TAPAC berdiri sejak 2003, kata Margareth-Mary-Hollins, atau Imim, perempuan dengan mata berbinar yang menjadi direktur artistik pusat teater itu. Ia memandu kami menjelajahi ruang demi ruang: studio dengan dinding kaca transparan yang bisa dibuka hingga hamparan rumput hijau menjadi panggung, black box berukuran 14 x 14 meter yang portable, serta area lighting dengan tangga besi yang seolah menuntun penonton pada ketinggian ilahi. Saya menatap seluruh ruangan itu, menatap imajinasi yang pernah disulam di sana, menatap jejak tubuh aktor yang meneteskan keringat dan air mata demi pertunjukan. Rasanya seperti menatap museum gagasan.
Imim berbicara tentang perjuangan TAPAC yang tak mudah, tentang bagaimana ia menggandeng Museum of Transport and Technology (MOTAT) dan Auckland Zoo bukan untuk menadahkan dana, melainkan untuk kolaborasi pemasaran. “They don’t give us money. They help us in marketing which is also spending more money to do,” katanya sambil tertawa kecil. Saya teringat pepatah Latin: Ars longa, vita brevis – seni itu panjang, hidup itu singkat. TAPAC berdiri di antara keduanya, menertawakan singkatnya usia manusia dan merayakan panjangnya umur seni.
Hari itu kami bergabung dengan kelas teater Marvelous. Usia para pesertanya 65 hingga 90 tahun. Mereka tersenyum, menatap kami dengan mata penuh cahaya. Dalam hati saya berkata: barangkali teater memang rumah terakhir manusia untuk menghidupkan dirinya sendiri. Saat mereka menyebut nama dengan pelbagai ekspresi, menepuk paha, berjalan acak sambil berbalas kontak mata, saya melihat betapa tubuh yang menua tak pernah kehilangan ruang bermain. Imim menuturkan, “Involving ourselves in arts, not just about performing, also engaging, remembering, and staying alive.” Seni, bagi mereka, bukan sekadar panggung, tapi upaya mengingat dan menjaga hidup tetap menetes, seperti embun pagi yang membasahi rerumputan di Western Spring. Saya mau memaki saking gembiranya mendapat pelajaran!
Saya teringat Jacques Lecoq, guru besar teater fisik Prancis, yang mengatakan, “To mime is to awaken memory. Memory of what we have lived, memory of what we have dreamed, memory of what we have imagined.” Mimik adalah kebangkitan memori. Para manula itu memeragakan tempo, ekspresi, sampai simulasi keberangkatan seorang anak ke Perang Dunia II. Saya sempat berperan sebagai anak lelaki yang mencari ibunya di stasiun sebelum akhirnya pergi berperang. Dan ketika tepuk tangan menutup sesi itu, saya menatap langit-langit studio dengan haru. Bukankah teater sejati adalah ruang yang menyatukan sejarah besar dan sejarah personal, menjadikannya satu fragmen yang menolak dilupakan?
Usai makan siang, kami membuka obrolan. Tentang haka Maori yang menyimpan energi kosmis, tentang hidup yang membentang di dua benua: Asia dan Oceania. Imim menatap saya dan berkata, “They have no more to do, Benn. Make them feel appreciated and create a space to make them meaningful. And I present the class!” Saya menatap matanya yang teduh. Di dalam diri perempuan itu, teater bukan lagi pertunjukan, melainkan ibadah. Bukankah Nabi Muhammad pernah berkata, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.” Imim tidak menasihati dengan lisan, ia menasihati dengan hidupnya. “Mereka bukan manula, Benn. Mereka adalah kehidupan itu sendiri,” tutupnya sebelum mengarahkan kami ke kelas berikutnya.
Sesi berikutnya kami bertemu Beth Kayes di kelas drama anak. Anak-anak usia 10-14 tahun itu berlatih dengan lincah, menampilkan gerakan teater fisik yang menuntut kontrol tubuh, mimik, dan perubahan emosi cepat. Ketika Neef, murid perempuan Beth, menampilkan monolog penderita kanker yang putus asa, studio mendadak senyap. Suaranya menembus jantung kami. Bukankah Stanislavski pernah berkata, “There are no small parts, only small actors.” Tidak ada peran kecil, yang ada aktor yang mengecilkan perannya. Neef membuktikan sebaliknya.
Menjelang pulang, kami menanyakan silabus TAPAC. Imim tertawa, “The problem in fund-raising has been internationalized. So, just focus on what you do.” Saya tercenung mendengar kalimat itu. Masalah pendanaan memang universal, tapi fokus pada kerja kita sendiri – inilah prinsip yang menumbuhkan teater di mana saja. Seperti kata Goethe, “Whatever you can do or dream you can, begin it. Boldness has genius, power, and magic in it.”
Apa pun yang bisa kamu lakukan atau impikan, mulailah. Keberanian itu memiliki kejeniusan, kekuatan, dan keajaiban.
Goethe
Dalam perjalanan pulang, saya menatap langit Auckland. Petang merambat perlahan, memamerkan awan putih seperti kapas. Di kursi penumpang, mata saya memberat. Saya membayangkan kasur di apartemen, membayangkan Lubuklinggau, membayangkan pentas kecil di sudut kota dengan lampu seadanya. Lalu suara Daz membuyarkan lamunan saya, “We’ll meet again on Thursday!” Saya menoleh dan tersenyum. Dunia ini panggung, pikir saya. Tapi panggungnya bukan di tengah sabana. Hidup menulis naskahnya sendiri; alam bukan sekadar properti, tapi aktor yang tak pernah lupa dialog; dan kita mendapat pujian dari hasil mimikri.
Pelajaran Menanam Prasangka
Saya menatap poster itu lama sekali, di kaca depan Q Theatre, Queen Street. Lelaki-lelaki dengan tubuh atletis, riasan tebal, dan kancut putih memamerkan aura yang tak pernah saya temui di gang-gang kecil di tanah kelahiran saya. Auckland, Sabtu senja. Angin dingin menembus lapisan sweater saya, menembus prasangka yang diam-diam saya pelihara.
Saya teringat Sharu. Perempuan India yang disapa mommy oleh banyak kawan karena kelembutannya, pembawa kopi panas dan tiket-tiket pertunjukan, yang memastikan tak ada babi di nasi kami, dan menyiapkan soft drink saat wine menguasai meja makan. Ia, fasilitator kami, seperti sebuah oasis di padang skeptisisme: membuktikan bahwa kasih sayang lintas iman dan negara bukan ilusi jurnalistik. Malam itu, dia menunggu kami menonton pertunjukan teater di Q Theatre. Tiketnya dibelikannya, seperti ia membelikan banyak ‘akses’ lain bagi kami untuk memahami dunia dan menumbuhkan diri.
Jujur saja, poster erotik itu menumbuhkan cemas. Saya tak terbiasa pada ketelanjangan yang dipertontonkan, pada tubuh yang menjadi objek dan subjek sekaligus. Saya masih kaku, membawa moralitas tanah kelahiran di mana tubuh dan syahwat sering ditaruh dalam kotak hitam putih. Tapi di Auckland, apa yang saya saksikan justru menantang saya untuk menertawakan prasangka sendiri. Bukankah kita sering menyembunyikan kesucian di balik kain, padahal dalam diri sendiri kita telanjang dan berdarah?
Di kursi teater itu, kami menonton Silent Night – monolog seorang perempuan sepuh pada malam natal yang sunyi. Lampu panggung menyoroti Yvette Parsons. Ia duduk menatap lantai, di ruang tamu Inggris yang rapuh dan penuh sepi. Tak ada erotisme di sana. Yang ada justru tubuh renta yang dimakan lupa dan menua bersama kesunyian, menua bersama lampu-lampu natal yang berkedip dengan kesetiaan membosankan. Saya menahan napas ketika Parsons menampilkan kepikunan tokohnya dengan black comedy, membuat kami tertawa getir, sebelum tawa itu meleleh menjadi genangan di pelupuk mata. Gadis di samping saya meneteskan air mata tanpa suara. Di situ saya belajar menilai ulang. “Don’t judge the book by its cover,” katanya. Tapi siapa yang pernah sungguh mengamalkannya?
Saya teringat Te Papa Museum di Wellington, hari ketika saya berdiri di depan tulang paus sperma yang terentang raksasa di ruangan putih. Penjaga museum bercerita, “Ia mati tua, tak terdampar. Laut mengembalikannya dengan damai.” Tulang-tulang itu menatap saya bisu, mengajarkan: di dunia ini tak ada kesia-siaan. Bahkan kematian pun bisa menjadi museum yang dikunjungi manusia setiap hari. Begitu juga prasangka: jika saya mampu menyingkapnya, ia menjelma pengetahuan.
Hari Kamis berikutnya, saya kembali ke Q Theatre untuk kelas manajemen produksi. CEO Q Theatre, James Wilson, menunggu kami. Saya menatap matanya, mencari jejak kekuasaan seorang pemilik teater besar. Yang saya temukan justru tatapan seorang ayah yang rindu rumah. Dalam salindia presentasinya, sebelum berbicara tentang angka-angka pertunjukan dan ribuan penonton, ia menampilkan foto keluarganya, rumahnya, dan istrinya yang Kiwi. “Pelaku seni harus dekat dengan keindahan dan hal-hal membebaskan namun mengayakan,” katanya sambil tersenyum. “Apa yang bisa menyaingi keindahan alam? Keluarga, titik,” tegasnya.
Pelaku seni harus dekat dengan keindahan dan hal-hal membebaskan namun mengayakan. Apa yang bisa menyaingi keindahan alam, selain keluarga?”
James Wilson, CEO Q Theater
Saya teringat TAPAC, tempat Imim memimpin kelas teater untuk manula. Bagaimana ia memanggil kami dengan nama, mengajak menepuk paha, menyebut angka tempo, dan menyelipkan pesan sederhana: Involving ourselves in arts, not just about performing, also engaging, remembering, and staying alive. Saya teringat Beth Kayes, sang mentor physical theatre, yang membimbing anak-anak Asia dan Maori memerankan pasien kanker dengan akting menakjubkan. Di sana, saya belajar bahwa teater bukan soal lakon. Ia soal menghidupkan diri, menumbuhkan percaya diri, dan menerima tubuh sebagai teks yang tak pernah selesai ditafsirkan.
Teater, ternyata, bukan hanya milik yang muda. Bukan pula milik kaum cendekia yang sibuk menafsir Brecht dan Artaud. Ia milik semua: manula yang ingin merasa berguna di usia senja, anak-anak migran yang sedang membangun identitas, atau pekerja kafe yang di malam hari menjadi lighting crew. Seperti kata James, “Q Theatre bukan sekadar theatre company, tapi manajemen yang merawat ekosistem seni dan budaya di Auckland.” Saya menatap lighting panel yang bisa diatur untuk menampilkan langit sore, fajar, atau malam tanpa bintang. Bukankah hidup juga seperti panggung yang bisa kita atur terang-gelapnya?
Oh, hidup ini ternyata hanya selebar ilmu dan prasangka yang kita tanamkan di dalamnya. Saya tiba-tiba ingat Al-Jahiz. Sastrawan dan ilmuwan Basra abad ke-9 itu, dalam Kitab al-Hayawan-nya menulis, “Ilmu itu seperti makanan, semakin engkau makan darinya, semakin engkau merasa lapar kepadanya.”
Maka di sinilah saya, ketika singgah lima jam di Sydney Airport, saya menuliskan mitos kecil untuk saya bawa pulang setelah pengembaraan menyebangkan di tanah hijau yang raya bernama Selandia, menuntaskan lapar akan makna, sebelum esok hari menumbuhkan prasangka baru yang semoga lekas saya tumbangkan menjadi pengetahuan baru. Dan ketika panggilan boarding itu bergema di ruang tunggu, makin tahu dan makin merasa berdosalah saya pada teman yang seharusnya saya senyumi–sebab mereka rutin memberi saya makanan untuk bergembira dan membuatkan saya kopi panas agar dahaga lekas palum–dengan kreativitas itu sendiri:
segala yang paling dekat dengan diri ini.
Pertama, keluarga.
Dan masih yang pertama: alam semesta.(*)
Auckland–Sydney, 2016
Catatan: Versi bahasa Inggris dari esai ini dapat dibaca di “Seeking Koupapa and Other Stories“.