Tentang Perempuan Tua dari Kampung Bukit Batu yang Mengembalikan Kelebihan Uang Pembayaran Getah Para dengan Mengendarai Kereta Unta Sejauh Puluhan Kilometer ke Pasar Kecamatan
Oleh Benny Arnas
MAK Atut sudah menghitung. Setengah jam setelah setang kereta untanya putar balik ke pasar kecamatan ia akan menepi di sebuah langgar di perbatasan Bukit Batu dan Marilang. Ia tak tahu apakah ada telekung di langgar yang ia lihat sekilas dalam perjalanan tadi, sebagaimana ia ragu apakah langgar itu masih digunakan atau tidak.
Di antara engah napas menjelang tiga puluh kilometer perjalanan mengayuh kereta untanya, sungguh ia tak ingin prakiranya menjadi nyata. Allah, batinnya, tak ada alasan terbaik untuk mengambil jeda dalam perjalanan mengembalikan uang haram ini selain menghadap-Mu dalam salat.
Benar saja, Mak Atut pun menemukan langgar itu setelah mengayuh hampir lima kilometer: Ia menyandarkan kereta untanya di pokok pohon petai china di dekat pintu masuk. Ia tatap kereta angin itu dengan mata menghangat.
O, suamiku, gumamnya terbata-bata.
Kenangan demi kenangan dengan si jantung hati memenuhi kepala. Segalanya diputar ulang. Kemarahan sang suami bila ia mencabut rumput di halaman, ketika ia menebang pokok pisang batu yang baru dipanen, atau menjahit baju Lebaran di sepertiga akhir Ramadan hingga tengah malam. “Ayah-ibumu merestui kita karena mereka percaya aku akan memperlakukanmu sebagaimana mereka menjaga keturunan darah biru sepertimu, Dik.”
Ah, ingat sekali Mak Atut kata-kata yang kali pertama ia dengar di hari kedua pernikahan mereka alias 45 tahun yang lalu ketika ia kedapatan mengaduk dodol dalam belanga hingga wajahnya memerah dan penuh keringat.
Tapi, suaminya tak bisa melarangnya berkereta unta. “Di Sekolah Rakyat, tiga tahun berturut-turut aku juara lomba berkereta, Kak,” adu perempuan 65 tahun itu.
“Ayahmu sudah mengatakannya, Dik,” kata-katanya terdengar tulus. “Tiap Jumat aku akan libur motong, Dik.” Motong adalah istilah yang digunakan masyarakat Bukit Batu untuk aktivitas menyadap karet. “Jadi, kalau Adik mau berkereta hari itu, ke rumah teman atau sekadar memetik bunga lili dan sedap malam di hulu kampung untuk mengisi jambangan kesayanganmu, Kakak tidak akan melarang.”
Kenyataannya lebih dari itu. Usai menemani suaminya yang baru pulang motong bakda duhur menyeruput kopi, Mak Atut berkereta unta mendaki Bukit Batu. Sukar sekali ia gambarkan kegembiraannya tiap kali mengangkat kain lasem sebatas lutut demi mengayuh pedal dengan kekuatan penuh hingga kereta unta itu melaju dalam kecepatan terbaiknya, menaklukkan tanjakan atau perbukitan, atau bahkan adu lari dengan kijang-kijang yang sering melintas di perbatasan Bukit Batu dan Hutan Kuau.
Suaminya tahu, banyak tetangga yang menjadikannya gunjingan. Tapi Mak Atut bergeming. Andai mereka tahu beras dan gula yang sepekan sekali ia antar ke orang-orang miskin di Bukit Batu, urusannya akan lain.
Suaminya pun tahu. Mak Atut adalah kembang sepatu di dalam rumah. Tapi begitu bertemu kereta unta, ia melangit dengan hal-hal yang melampaui akal sehatnya. Saban mendapati persediaan beras atau gula di dapur sudah menipis, saat itu juga ia akan memperbarui persediaan. Bagi mereka, sepasang manula yang hidup dari motong sehektare kebun karet sungguhlah mewah.
Setelah mengambil wudu di pancuran di belakang langgar (ah, siapa nian yang telah mengalirkan air dari mata air di bawah jurang hingga ke sini?), Mak Atut melepas tengkuluknya demi membenahi gelung rambutnya. Begitu kaki kanannya melangkah masuk, dua barisan jemaah salat sudah menunggunya. Pandangan Mak Atut menyapu ruangan. Sebuah bohlam menyala dengan cahaya terang dan sebuah permadani besar terbentang sebagai alas salat. Salah seorang gadis berwajah teduh dalam balutan telekung putih susu menyodorkannya selipat telekung. “Meski lusuh, ini baru dicuci kemarin, Mak,” katanya seakan-akan mereka sudah kenal lama.
Sepanjang salat, Mak Atut menangis. Ia membayangkan imam salat adalah almarhum suaminya. Warna suara dan lenggek mengajinya persis sekali. Apalagi usai salam di rakaat ketiga, si imam menyilakan para jemaah khusyuk dengan doanya masing-masing.
Oh, ini Jasim sekali, tanpa sadar Mak Atut menyebut nama suaminya dengan lirih.
“Imam salat itu tugasnya memimpin salat, bukan memimpin doa,” kata suaminya suatu hari ketika ada jemaah yang bertanya kenapa ia tidak pernah memimpin doa. “Setiap kita punya kehidupan yang berbeda. Kebutuhan, keinginan, dan masalah juga berbeda. Kalau aku minta sama Allah agar dimudahkan punya istri tiga, masak kalian mau mengaminkannya?” jawaban lanjutan itu berhasil menciptakan gerr di masjid kampung.
Ah, Mak Atut makin merindui laki-laki yang tak pernah mau buang tenaga untuk urusan yang bisa ia bawa gembira.
Maka, dalam doanya magrib itu, Mak Atut pun bercerita kepada-Nya. Tentang perjalanan puluhan kilometernya sejak bakda Subuh untuk mengambil uang getah para hasil sadapan terakhir sang suami sebelum ditanduk kijang dua pekan lalu. Tentang kekurangajaran si tauke—yang merangkap tukang dacing—yang hendak menguji kejujuran dan harga dirinya dengan membayar tiga puluh kilogram karetnya dengan 250.000, padahal mereka sudah bersitegang ketika Mak Atut menolak harga 5.000 yang dipatok si tauke hanya karena dia memiliki masalah pribadi dengan almarhum suaminya.
“Baiklah, sini 200.000 itu!” Mak Atut akhirnya mengalah siang tadi. “Saranku, jangan kau kasih anak-binimu sisa uangku. Statusnya haram karena tak kuridai!” lanjutnya. “Semaunya saja kau menghargai para suamiku 5.000, sementara yang lain kau bayar 6.000 per kilo! Kau kira tahun 2009 ini kami makan dengan daun!”
Maka, begitu hendak membayar ongkos tambal ban keretanya yang pecah di tengah perjalanan pulang, Mak Atut sadar kalau si tauke memberinya lebih, ia sungguh merasa terhina. Mak Atut langsung putar balik meski langit sudah kuning kulit jeruk. Ia harus mengembalikan uang lebih itu.
“Aku memang sudah tua,” gumamnya geram di dekat pondok penambalan ban keretanya tadi, “tapi pantang dikasihani atau diejek dengan uang jadah!”
Di akhir salat, keempat jemaah perempuan mendekatinya, mencium punggung tangannya, seakan-akan Mak Atut adalah hamba-Nya yang tersesat di tengah jalan sehingga harus disambut dengan kehangatan.
“Rehatlah dulu,” kata salah satu dari mereka.
“Sembari menghabiskan kue lapis dan joda basa bawaan kami,” tawar jemaah perempuan yang lain. “Bakda isya nanti kami akan mengadakan syukuran khataman Quran untuk kali ketiga bulan ini. Tentu kami senang kalau banyak orang yang turut bergembira.”
Mak Atut pun menceritakan tujuannya ke pasar kecamatan.
“Pasar kecamatan tutup kalau malam, Mak,” kata yang lain, “tapi aku tahu tukang dacing yang Mak maksud,” timpal yang lain lagi.
Mata Mak Atut berbinar.
“Rumahnya memang di gudang itu,” kata gadis yang tadi meminjaminya telekung langgar. “Jadi, Mak masih bisa menemuinya. Memangnya Mak mau ngambil uang penjualan para ke sana? Bukankah jadwalnya siang tadi, Mak?”
Mak Atut tak mau bercerita terlalu jauh. Ia khawatir mereka sulit memahami situasinya. “Ada urusan sedikit,” jawabnya diplomatis.
“Ayo, Mak,” gadis yang tadi memberikannya telekung menyodorkan segelas teh hangat.
Mak Atut menerimanya dan meminumnya beberapa teguk sebelum kemudian menerima sepotong joda basa dari jemaah perempuan sebayanya.
“Masya Allah!” teriak jemaah langgar itu, baik laki-laki maupun perempuan, ketika mengetahui kalau sedari pagi Mak Atut mengayuh kereta unta. “Aku tadi mengira Mak menumpang mobil sayur dari Curup,” kata seorang jemaah perempuan yang sedari tadi belum bicara.
“Anak-anak Mak Atut di mana?” tanya salah seorang jemaah laki-laki begitu mereka menyelesaikan Isya. “Bukankah mereka bisa mengambil alih urusan uang para ini?”
“Empat puluh empat tahun lalu, di akhir Ramadan, mungkin malam Lailatul Qadar, anak kami yang masih bayi diambil malaikat.”
“Maksud Mak, bayinya … me … me … meninggal?” suara itu terdengar hati-hati.
Mak Atut menggeleng.
Para jemaah saling pandang. Kening berkerut. Mata menyipit. Tanya-tanya menggeliat di kepala.
“Kalau ada kesempatan, aku akan bercerita,” Mak Atut bangkit. “Terima kasih atas jamuannya. Sekarang aku sudah kuat mengayuh.” Ia pun bersalaman dan berpelukan dengan jemaah perempuan.
Bagai melepas tamu agung, para jemaah berbaris di depan langgar reot itu. Usai memasukkan dua potong joda basa berbungkus kertas minyak ke dalam saku baju kurungnya, Mak Atut mengucap salam dan mengayuh kereta untanya. Belum sepuluh meter ia meninggalkan mereka, jalan di hadapan Mak Atut merupa lorong cahaya putih. Mak Atut menutup matanya dengan salah satu lengannya sebelum kemudian suara bariton mengejutkannya.
“Istrinya almarhum Wak Jasim, kan?” Laki-laki dengan codet di wajahnya menyeringai di hadapannya. Mak Atut melihat sekeliling. Ia meneguk liur. Bagaimana mungkin aku sudah berada di beranda gudang si tauke di pasar kecamatan?
“Ini!” Mak Atut melempar 4 lembar pecahan 10.000, 9 lembar pecahan 1.000, dan selembar pecahan 500 rupiah.
“Apa maksud, Mak ni?” si tauke itu hanya melihat uang yang ia empaskan di atas meja kayu itu.
Lalu Mak Atut menceritakan ihwal kemarahannya.
Tauke itu terdiam. Bagaimana bisa ada orang yang datang marah-marah karena mendapatkan uang lebih?
“Lima ratus rupiahnya kupotong untuk ongkos menambal ban keretaku yang pecah dekat Marilang tadi.”
Maka, bertambah heranlah laki-laki 40 tahunan itu. “Marilang?” Keningnya mengerut. “Mak putar balik naik kereta unta dari Marilang?” ia memastikan.
“Jangan banyak omong!” Mak Atut berbalik. “Ambil saja uangmu itu, Tauke!”
Tauke itu hanya melongo.
“Sekarang aku mau pulang. Gara-gara kau ceroboh, repot pula aku!”
“Tunggulah sekejap, Mak,” si tauke serta-merta merasa iba. “Salatlah di rumah kami dulu …”
Mak Atut melengos.
“Nah, kan …” kata si tauke begitu terdengar alunan azan. “Nggak baik bepergian pas azan Magrib, Mak,” serunya. “Pamali kata orang-orang.”
Magrib? Mak Atut mendongak ke langit yang merah saga. Lalu apa sebenarnya yang barusan kualami di langgar tadi? Siapa orang-orang itu? Ia rogoh saku baju kurungnya. Dua potong joda basa masih ada di sana. Ia gigit salah satunya. Masih manis dan lembut. Suamiku, suamiku, sudahlah pulang tanpa pamit, sekarang bikin repot istrimu lagi… ***
Lubuklinggau, Mei 2022
Cerita di atas adalah sekuel atas cerpen “Tentang Perempuan Tua dari Kampung Bukit Batu yang Mengambil Uang Getah Para dengan Mengendarai Kereta Unta Sejauh Puluhan Kilometer ke Pasar Kecamatan” (Jawa Pos, 15/11/2009).