Piutang Nang
Oleh Benny Arnas
Bakda Zuhur, pada hari terakhirku di kampung halaman, dalam perjalanan pulang ke Hotel Silampari, pandanganku menangkap punggung lelaki yang berjalan ringkih dengan tongkatnya di sisi kiri jalan raya. “Tidak salah lagi, itu pasti Nang!” batinku yakin.
Nang alias Neknang adalah panggilan untuk kakek bagi suku Musi, Sumatra Selatan. Walaupun laki-laki yang selalu fasih bercerita tentang perang gerilya di Musi Rawas itu bukan ayah kandung dari salah satu orangtuaku, sejak Bapak menyuruhku memanggilnya begitu, ia menjadi bagian hidupku, karena:
Pertama, kediaman laki-laki sebatang kara itu tak jauh dari tempat tinggal masa kecilku, sehingga ia dan keluargaku sering berhubungan karena kami tetangga.
Kedua, ketika masih bekerja sebagai agen Suara Beringin, ia memberikan kami koran itu cuma-cuma tiap sore. Darinyalah kami yang juga hidup pas-pasan bisa membaca berita seputar Sumatra Selatan. Darinyalah, sebenarnya, aku akhirnya suka membaca.
Ketiga, sebulan setelah mendapatkan ijazah SMA, orangtuaku meninggal dalam sebuah kecelakaan. Aku memutuskan merantau ke Jawa. Nang adalah satu-satunya orang yang kupamiti.
Di tanah rantau, selain kuliah aku juga bekerja (mulanya sebagai apa saja!) untuk melupakan tanah kelahiran yang saat itu lebih banyak memberiku luka lewat kelebatan kenangan.
Hari-hariku begitu melelahkan. Loper koran, pekerjaan yang kulakukan hingga akhirnya aku meraih gelar Sarjana Sastra, selain menguras waktu dan tenaga, juga memberiku beasiswa dan tabungan.
Aku tak tahu bagaimana mulanya. Namun, menjadi loper koran sepertinya naluri alam bawah sadarku. Aku teringat Nang yang melakukan pekerjaannya dengan riang gembira. “Pekerjaan ini, Cu,” katanya suatu waktu, “memberi kita kesabaran, pengetahuan, dan tabungan.” Lalu ia menjelaskan ketiganya satu per satu. Tapi, yang paling kuingat adalah tentang kesabaran.
“Hujan dan sepinya pembeli adalah dua keadaan yang akan membuat loper hafal dan khatam bahwa ia sedang diminta bersabar,” katanya lalu ia terkekeh menunjukkan bagian gerahamnya yang sudah tak bergigi. “Berdoa. Hanya itu cara untuk membuatmu tenang,” jawabnya ketika aku bertanya apa yang ia lakukan ketika kesabarannya diuji.
Aku mengamalkannya. Bahkan aku menambahnya dengan mengaji.
Di semester VI, aku sempat mendengar kabar ada veteran yang meninggal di kampung. Perasaanku tak tenang. Pikiranku langsung tertuju pada Nang. Awal 2000-an, Internet belum marak. Linggau Pos juga belum bermigrasi ke digital.
Oh iya, mana mungkin berpulangnya Nang masuk koran, batinku. Nang, ‘kan, tidak diakui Negara sebagai pejuang. Nang, ‘kan, sebagaimana kerap ia gunakan untuk menjuluki dirinya yang papa: orang biasa yang menunggu habisnya jatah usia.
Yang meninggal adalah manula yang selalu Nang ceritakan dengan kegeraman dan mata yang basah. “Dia adalah pengawas dapur umum,” ceritanya, mungkin 20 tahun yang lalu. Aku ingat Bapak dan Ibu juga ada saat itu. “Tapi kenapa Nursyamad yang diakui sebagai veteran. Menjadi ketua Legiun Veteran Kabupaten juga! Sementara aku, yang jelas-jelas mengangkat senjata, malah Nursyamad persulit untuk masuk organisasi itu?” Lalu ia tertawa kecil.
Kami ikut tertawa getir ketika Nang menceritakan tentang Halimah, mendiang istrinya, juru masak yang semasa gadisnya diincar Nursyamad, namun hatinya justru berlabuh kepada Nang.
“Yan,” ia menyebut nama Bapak seraya menatapnya, “sebagaimana Nursyamad, sebenarnya aku ini sama jahatnya.” Intonasinya terdengar retoris. “Karena tak terima Halimah memilihku, Nursyamad zalim kepadaku. Dan karena Nusrsyamad zalim kepadaku, aku pun dendam kepadanya. Kami ini namanya aja pejuang, tabiatnya busuk juga!” Matanya berkaca-kaca.
Kami diam. Tak bisa kami bayangkan, betapa berkecamuknya perasaan laki-laki itu.
***
“Nang!” pekikku begitu keluar dari mobil yang baru kutepikan dua meter di belakangnya.
Laki-laki, yang usianya kutaksir sudah menjelang 90 itu, menghentikan langkah.
“Masih ingat aku, Nang?” Nang buru-buru memindahkan tongkat ke tangan kirinya ketika aku meraih tangan kanannya dan dan menciumnya.
Ia mengerutkan kening.
Oh, selain bertongkat, ia juga sudah berkacamata. Oh tidak! Ia mengenakan seragam veteran. Apakah … Nang sudah diakui sebagai pejuang sekarang?
“Ini aku,” aku menepuk-nepuk dada. Lalu kusebut namaku dua kali.
Ia tersenyum lebar, mengangguk-angguk dan menyebut namaku. Juga dua kali. Suaranya rada serak dan pelan, mungkin karena usia, tapi pengucapannya masih jelas. “Kamu sudah besar sekali sekarang,” ia masih tersenyum. “Tampan, bersih, dan seperti orang sukses,” lalu ia tertawa.
“Amin, Nang,” kataku cepat.
“Ke mana saja selama ini?” Ah, ingatannya masih kuat sekali.
“Aku sudah bekerja di Malaysia, Nang,” aku baru sadar kalau belum melepaskan tangannya. “Sebagai copy editor sebuah perusahaan iklan. Alhamdulillah sudah berkeluarga juga,” kataku setelah melepaskan tangannya yang, baru kini kusadari, sangat keriput.
Nang menatapku. Kupikir ia ingin bertanya apa itu copy editor, ternyata tidak. “Kamu memang anak yang baik, Cu,” ia mengangguk-angguk. “Yan dan Nun,” ia menyebut nama kedua orangtuaku, “pasti bangga.”
Aku terdiam. Enam hari lalu alias hari pertamaku di Lubuklinggau, permakaman umum Lubuksenalang adalah tempat pertama yang kutuju, bahkan sebelum aku check in di hotel.
“Itu mobilmu?” Nang melirik Honda HRV di belakangku.
Belum sempat aku menjawab, ia melanjutkan, “Bukan kelihatannya saja, ternyata kamu memang sukses ya?”
Sebagaimana ia, aku tersenyum lebar.
“Eh, Nang, kenapa jalan sendirian? Nang mau ke mana? Mau kuantar?”
***
Dalam mobil, Nang bercerita tentang kekecewaan. Rupanya, bakda subuh ia tadi sudah naik angkot ke Sumberagung yang berjarak hampir sepuluh kilometer dari tempat tinggalnya.
“Sudah lewat tengah hari, tak juga aku menemukan rumah Nanung itu,” keluhnya. Ia menyebut nama kawan lamanya seakan-akan aku juga mengenalnya. “Dia mantan sekdes di Musi Rawas,” beritahunya lagi.
“Memangnya ada urusan apa dengan kawan lama itu, Nang?” tanyaku ketika sebuah sepeda motor menyalip mobilku dari sisi kiri jalan.
“Dia punya utang,” jawabnya.
“Utang?” aku melongo.
“Utang lama,” katanya lagi, “Cuma lima belas!”
“Lima belas juta?”
“Lima belas ribu,” jawabnya datar.
“Lima belas ribu?”
“Pinjaman tahun ‘79.”
Aku terdiam. Memikirkan nilai konversinya ke tahun sekarang.
“Nang juga sudah menulis surat,” katanya lagi.
What? Surat? Zaman sekarang ini masih ada yang menulis surat!
“Tidak dibalas. Trus minggu lalu kirim lagi dengan ditik pake mesin di rumah dan tak dibalas juga,” ceritanya kemudian.
Aku baru ingat. Pejuang itu memiliki mesin tik tua dulu sering ia gunakan. Entah apa yang ia tik.
“Mungkin rumahnya sudah pindah, Nang,” aku mencoba beradaptasi dengan segala informasi yang kuterima.
“Kabarnya dia sakit. Sakit parah,” Nang tak tertarik menanggapi spekulasiku.
“Trus Nang nak nagih utang?” Tentu saja, menagih utang dengan teman lama yang sakit adalah dua keadaan tak pas disandingkan.
“Nang takut dia sakit karena memikirkan utang itu. Nang datang nak menyampaikan kalau utang itu sudah lama kuikhlaskan. Lima belas ribu tahun ‘79 itu lumayan banyak. Pasti dia kepikiran. Lalu jatuh sakit. Kasihan sekali dia.”
Allah.
“Antar Nang pulang saja,” katanya seraya menunjuk sebuah jalan di arah Bukit Sulap.
Seturun dari mobil, meskipun dia mencegah, aku memaksa mengantarnya ke rumah. “Sudah pindah dari rumah lama, Nang?” kataku ketika memapahnya memasuki jalan setapak. Ini bukan daerah masa kecilku.
Lima menit kemudian, kami tiba di depan sebuah gubuk atau pondok atau … Oh, bilik 3×3 meter ini bukan rumah!
Ia membuka pintu yang ia kunci dengan ikatan tali rafia. Ia tak mengucapkan apa pun ketika masuk. Dari pintu yang ia biarkan terbuka aku melihat sebuah kasur bersprei biru muda di lantai, mesin tik tua di dekat bantal, sebuah rak penuh buku di sudut, dan ceret air aluminium dan roti gabin dalam stoples plastik di atas meja kecil di samping lemari kayu di seberang jendela selebar setengah meter.
Tak lama kemudian Nang sudah muncul dengan sarung dan baju koko yang warna putihnya sudah berubah menjadi krem. Ia mengikat kembali tali rafia ketika menutup pintu.
“Ke mana lagi, Nang?” tanyaku, refleks.
“Ke Masjid,” katanya. “Ayo, Cu.”
Di udara, azan Asar mengalun dari toa yang soak.
Ponselku berdering.
“Honey,” kata istriku di seberang. “You jangan lupa transfer arisan Bunda for this month, yess? Lima belas ribu ringgit!” kata istriku sebelum memutus sambungan.
Di belakang laki-laki renta yang berjalan ringkih itu, baru kusadari kalau punggung Nang sudah bungkuk sekali.(*)
3 Comments
Seperti biass, fiksi Benny enak di baca, alurnya dari hilir ke hulu tenang. Damai nikmat membacanya. Tapi kok rasa penggalan cerbung sih?
Banyak Pejuang yang tidak diakui oleh Negara,begitu banyak cerita seakan akan tak pernah habis untuk didengar Nang.
great articlemonperatoto Terpercaya