Setelah Lebaran, Getah-getah Melukai Segala

Ilustrasi: freepik.com
Oleh Benny Arnas
Apabila cinta adalah kejahatan, semua manusia akan kekal dalam penjara.”
—Juminah
***
“Setiap mau tidur, kepalaku seperti dihantam tusukan jarum mesin jahit pabrik, Dek,” kata suamiku, malam kemarin, lagi dan lagi.
Aku biasanya hanya mengangguk. Aku tahu bekerja dari pukul 8 pagi hingga 8 malam sungguh jauh dari manusiawi, tapi kami bisa apa? Kami tak punya pilihan. Biaya hidup di Tangerang sungguh mencekik. Menyalahkan laki-laki 40 tahun–yang memboyong kedua orangtuanya ikut serta dengan kami–itu tentu tak mungkin kulakukan.
“Kalau saja kau bukan yatim piatu, aku tak masalah rumah kita sempit,’” katanya ketika kami membicarakan rencana meninggalkan Lubuklinggau sepuluh tahun lalu.
“Seperti janji kemarin. Hari ini Abang pulang cepat, Dek,” kata laki-laki bermata sendu itu sore ini. “Jadi kita bisa buka puasa bersama untuk pertama kalinya di Ramadan terakhir ini, Dek.” Suaranya tenang, seperti berusaha menghalau riak perasaanku.
Ah, sesungguhnya, suara itu terasa jauh bagiku. Seharian ini, aku sibuk membereskan rumah, mengatur kue dan mendekorasi dengan hiasan yang berkilauan. Bukan, aku melakukannya bukan karena gembira menyongsong lebaran. Sebaliknya, aku melakukannya untuk sekadar menambal luka dengan tisu basah. Tetap pedih. Tak berguna. Sia-sia. Yaaa, akhir Ramadan yang seharusnya penuh keceriaan selalu saja berhasil memberi kami rasa hampa.
Tanpa anak-anak yang berlarian, apalah guna lebaran?
Dari jendela, aku melihat keramaian di luar. Tarhim menggema, menyayat hati. Di beranda, bukannya masuk dan berkumpul di meja makan menunggu waktu buka, keluarga-keluarga tetangga itu malah berkerumun di beranda. “Mungkin mereka tak puasa,” kata hati kecilku. “Bukan rahasia lagi kalau di pengujung Ramadan, makin jarang muslim yang berpuasa,” lanjutnya.
“Bukan,” kata hati kecilku yang lain. “Mereka melakukannya karena mereka tahu kau sedang memperhatikan mereka di kejauhan.”
Oh, lancang sekali. “Dari mana kau tahu? Jangan memanas-manasiku?” Ya, tentu saja aku tersinggung. Namun hati kecilku yang lain itu hanya tertawa. Dan bagai mendukung sindiran itu, anak-anak kecil di luar seperti sengaja berlarian dengan tawa riang, saling berebut kue dan berbagi cerita. Oh, sungguh, aku merindukan suara tawa dan tangisan yang seharusnya memenuhi rumah kami. Betapa ingin aku merasakan keriuhan itu.
“Abang mandi dulu ya, Dek,” kata suamiku yang tiba-tiba saja sudah berada di balik gorden–pemisah ruang tamu dan dapur–yang tersibak. “Air panas sudah Adek siapkan di dalam, Bang,” kataku sebelum melanjutkan pekerjaan. Pekerjaan? Pekerjaan apa? Segalanya sudah beres, kecuali kesepian tahunan yang selalu berantakan.
Entah sudah berapa lama aku melamun ketika azan Magrib terakhir di bulan penuh barokah itu menyadarkanku. Dari belakangku, sepasang tangan melingkar lembut, selembut bisikannya di telinga kiriku, “Besok mereka akan berdatangan ke rumah kita, Dek. Ayo, kita buka puasa sekarang.” Aku mengangguk. Aku tahu, suamiku tahu, kalau mataku hangat dan … basah.
Di meja makan, kami mengunyah karena harus mengunyah, bukan karena nikmatnya sajian. Telingaku sibuk menangkap keramaian di luar yang semakin menggema. Menyebalkan sekali menyadari bahwa hatiku terasa tertekan setiap melihat keceriaan keluarga lengkap. Menjalani lebaran tanpa anak-anak bukanlah sekadar kelengangan yang menyakitkan. Lebih dari itu, ia adalah hukuman yang tak terelakkan.
Tiba-tiba aku teringat Diana. Sahabatku, yang hingga kini belum menikah itu, yang tadi siang, mengucapkan selamat lebaran. “Aku selalu mau jadi yang minta maaf duluan,” alasannya. Namun, gadis sebayaku itu selalu berhasil membuatku iri.
Ceritanya tentang kebebasan dan kenikmatan hidup tanpa komitmen, lebaran yang bisa diisi dengan perjalanan dan petualangan baru, sungguh membuatku cemburu. “Apalagi aku masih tinggal di kampung halaman, dekat keluarga,” pamernya.
Ah. Mungkin, menjadi single bisa membuat lebaran lebih indah daripada berkeluarga tanpa cahaya mata, pikirku serta-merta.
Di luar, takbir mengalun. Jauh. Menyayat. Melepuhkan segala.
***
Aku tak pernah memilih menjadi gadis tua. Meskipun begitu, aku tak mungkin tantrum di hadapan tamu-tamu keluargaku yang mendapatkan asupan endorfin dengan kepo dan mencampuri urusan orang lain, urusan hidupku, setiap lebaran.
“Bagaimana mungkin lulusan S2 luar negeri malah jadi gadis lapuk?”
“Makanya, nyari ilmu, boleh. Tapi kalok keasyikan dan ketinggian jangan! Tar malah kayak Diana tuh. Udah kayak tante-tante, masih juga jomlo!”
Dan masih banyak kesoktahuan dan kelancangan yang sampai ke telingaku, baik sayup-sayup, maupun keras dan lantang.
Lima tahun lalu, orangtua dan adik-adikku menjadi bagian dari orang-orang menyebalkan itu. Namun, aku mengatakan dengan tegas bahwa adik-adiknya tak perlu sungkan atau merasa bersalah apabila jodoh mereka memang sudah tiba, hidupku bisa tenang sedikit, bisa tenang sebentar. Ya, hanya sedikit, hanya sebentar. Sebab, bila lebaran tiba, yang sedikit menjadi banyak; yang sebentar menjadi lama.
Itu pula yang membuatku iri setengah mati kepada Jack. Sahabat yang, tak lain tak bukan, juga sepupu jauhku.
Sejak sepuluh tahun lalu, arsitek itu memilih Jakarta sebagai tempat berdikari. Mulanya aku merasa menang banyak karena masih bisa tinggal dekat dengan keluarga setelah menghirup udara Eropa sekian lama, sementara laki-laki itu akan banyak meradangnya setiap kali rindu kampung halaman menyerang. Begitu pikirku.
Namun, apa yang terjadi sekarang? Ah, sekarang sungguh lain urusan!
Lukanya masih basah meski lebaran sudah melambaikan tangan.
***
Bekerja di luar negeri, bagi sebagian orang, adalah pencapaian dan, tentu saja, gengsi. Selain gaji yang lumayan, juga status yang lebih mentereng. Namun, anggapan itu kini menyiksaku. Itu pulalah yang membuatku mengambil keputusan berani lebaran ini.
“Yakin kamu tidak pulang, Mar?” kata Ibu malam tadi lewat video call tengah malam waktu Frankfurt. “Kamu nggak kangen saudaramu?”
Ah, Ibu. Pertanyaan yang lebih pas adalah: “Kamu nggak kangen Ibu, Mar?” atau “Memangnya kamu nggak tahu kalau Ibu kangen, Mar?” atau “Kamu rela membuat Ibu nangis pas sungkem-sungkeman abis salat karena anak nomer tiga Ibu nggak ada?” Oh, tidak. Bukankah … Ya, “Bukannya Kak Dian juga nggak datang ya, Bu?”
Aku diam. Sejak tidak menikah menjadi pilihannya, hubungan Kak Dian dan kami memang tak baik-baik saja. Ia bahkan, sempat dituduh Kak Joni sebagai penyebab kematian Ayah ketika mereka ribut hebat tahun lalu. Aku mafhum kalau dia butuh jeda.
Oh, Ibu. Andaikan keberhasilan Joni menjadi mahasiswa terbaik di Universitas Sorbonne tidak almarhum Ayah tetapkan sebagai standar bagi keberhasilan kelima anakmu yang lain, mungkin aku takkan menjadi seperti ini: membiarkan diri menjelma jadi pohon muda yang meranggas oleh kesuksesan palsu dan rindu berkubang di labirin yang buntu di tanah yang jauh.
Toko konveksi daringku yang selalu kebanjiran pembeli tak Ayah lihat sebagai kesuksesan. Bagi profesor itu, kesuksesan, salah satunya dilihat dari gelar akademis yang melekat. “Paling tidak S-2 di luar negeri lewat beasiswa,” katanya santai. “Syukur-syukur dari S-1 kayak Kak Joni kalian.”
Aku yang gagal dalam ujian beasiswa masuk Universitas Viadrina harus memalsukan bukti kelulusanku untuk membanggakan sekaligus untuk menghindari caci-maki Ayah. Dengan uang tabungan, aku mengikuti ujian mandiri. Untung diterima di kampus yang sama. Meski setelahnya, hidupku sungguh tak mudah. Aku kuliah sambil bekerja di sebuah restoran cepat saji. Usaha toko daringku tidak jalan karena kebijakan dan algoritma media sosial di Indonesia dan Jerman yang berbeda.
Kini, di hari ketujuh Syawal, lebaran adalah tempat jauh yang menjelma jadi masa lalu. Mustahil kugapai dan kuulang. Tabunganku tak cukup, bahkan untuk membeli tiket pergi sekalipun. Ingin sekali aku jujur bilang bahwa aku sudah tinggal serumah tanpa ikatan pernikahan dengan laki-laki Austria di sini. Bukan demi cinta, melainkan memastikan aku masih bisa hidup sampai lusa agar Ibu tahu bahwa aku, sebagaimana amanah Ayah, masih bisa membuat laki-laki itu tetap tersenyum di alam sana.
***
Dua tahun belakangan, bagi Jack, lebaran adalah petaka. Lima tahun lalu, ketika ayahnya, yang beberapa tahun lagi memasuki masa pensiun, dimutasi perusahaannya ke kota besar, laki-laki 35 tahun itu pikir penderitaannya sebagai anak rantau berakhir sudah. Namun, pandemi yang datang dua bulan setelah pernikahannya, membuat lapangan pekerjaan seperti kompak menjauh darinya. Maka, sejak itu, lebaran adalah mimpi buruk yang menjadi kenyataan tanpa harus menunggu siang. Bukan sekadar tanya orang lain tentang mata pencaharian yang membuatnya meradang, tapi kenapa kue lebaran di rumah tak sama dengan yang tersaji di rumah Mbah Jum di ujung kompleks adalah celetukan polos dari anak-anaknya yang baru duduk di bangku SD.
“Apa itu pengangguran, Yah?” Pertanyaan putra pertamaku itu membuat aku dan Aisyah kompak saling pandang. “Kata temanku, Ibu juga pengangguran.” Kini giliran Mora yang baru masuk SD tahun ini yang meneror. “Apa itu pengangguran, Bu?” Kali ini ia menoleh ke Aisyah.
Aku lupa bagaimana kami menangani situasi itu. Yang kuingat, malam harinya, kami berdua berunding. “Biarkan aku mencoba, Mas?” kata istriku. “Siapa tahu rezekinya di aku.”
“Tapi, Aisyah, bahkan kamu tidak lulus kuliah …”
“Mas tidak perlu merasa bersalah,” katanya. “Aku yang memilih mengejarmu ke kota di tahun ketiga kuliahku.”
“Kau akan bekerja sebagai apa?” desakku.
Aisah diam. “Kalau rezeki tidak ke mana, Mas.” Suaranya mengambang di antara harap dan ragu.
Istriku benar. Instingnya patut kupuji.
Sejak itu, dunia terbalik. Aku mengurus rumah, Aisah mencari nafkah. Pernah aku mencoba ngojek online, namun penghasilan yang jauh di bawah istriku yang berstatus sebagai karyawan gudang di perusahaan konveksi, membuatku harus tahu diri. “Daripada bayar pembantu dan anak-anak malah jadi liar, aku harap Mas mau mengalah,” pintanya. Aku mencari-cari ketulusan di matanya. Oh, bagaimana kasih sayangnya bahkan masih sama seperti saat kali pertama ia menyongsong Jakarta demi cinta.
Maka, untuk menyamarkan segala, ketika lebaran tiba, kami memilih kabur. Ke tempat wisata atau hotel bintang tiga untuk sekadar mencari suasana baru, sekaligus menghindari interogasi tetangga dan teman-teman kerja istriku terkait ini dan itu, terkait itu dan ini. Hari ketiga atau keempat, ketika suasana lebaran sudah berbaur dengan rutinitas kota besar, kami pulang. Kata orang, Ramadan menjadikan Syawal bulan penuh kegembiraan. Ya, kata orang. Itu kata orang. Bagi kami, Syawal adalah bulan pelarian, yang terus berulang, yang membuat takbiran dan minal aidin wal faidzin sejak lama tak lagi menggetarkan.
***
Bagi perempuan 66 tahun sepertiku, lebaran memberiku pelajaran: apabila cinta adalah kejahatan, semua manusia akan kekal dalam penjara.
Ya, bagiku hari raya adalah nelangsa yang dramatik.
Dulu, aku dan suamiku yang merupakan seorang rektor kampus swasta di Lubuklinggau, berkomitmen memberikan keenam anak kami pendidikan terbaik. Selain memasukkan mereka ke sekolah swasta dengan biaya selangit, kami juga mendatangkan guru privat untuk les aneka bahasa-musik-balet-panahan-catur, hingga rutin mengikut-sertakan mereka dalam berbagai short course dan summer camp di luar negeri agar kemampuan berbahasa Inggris, Prancis, dan Jerman mereka lebih terasa.
Hasilnya? Jelas ada hasilnya. Semuanya, keenam-enamnya, kuliah di luar negeri. Kami bangga. Setiap kali lebaran, tamu kami, khususnya tamu suamiku, tak henti membanggakan kesuksesan kami mendidik anak-anak. Kami juga, maksudku suamiku, kebanjiran undangan mengisi seminar. Bukan hanya tentang manajemen kampus, tapi juga topik-topik keorangtuaan.
Kami baru terenyak begitu si bungsu yang kami harap akan tinggal bersama kami di Lubuklinggau, memberi kabar bahwa, sebagaimana kakak-kakaknya, ia bersikukuh ingin bekerja di luar negeri. Sejak itu, kondisi suamiku terus memburuk. Kesadaran–bahwa ilmu pengetahuan bukan hanya jalan lapang bagi kesuksesan, tapi juga bisa menjadi kutukan bagi kebahagiaan!–membuat brbagai penyakit dengan mudah menggerus kesehatannya.
Kini, sejak menjanda, lebaran hanya memberiku tiga hari keriangan. Ya, hanya itu jatah anak-cucuku berlibur di rumah yang tua yang luas ini. “Anak-anak pengen ke Bali atau Labuan Bajo juga, Bu,” lapor yang sudah punya anak. “Aku sekalian meeting di Bandung,” kata mereka yang masih lajang.
Maka, kedatangan Minah dan suaminya yang bekerja sejak hari pertama lebaran adalah hiburan tersendiri. Sungguh, aku kerap cemburu pada pasangan asisten rumah tangga paruh baya itu. Bagaimana bisa mereka mengisi berlebaran dengan bekerja? “Ini sudah biasa kami lakukan di acara-acara keluarga, Nyonya. Jadi, kami hanya memindahkan tempatnya,” terang Minah. “Terima kasih sudah memberi kami kesempatan,” timpal suaminya seraya mencuci mobil sulungku yang baru tiba di malam takbiran.
***
Semenjak Aisah memutuskan mengejar laki-laki itu ke Jawa, rumah pasangan pembantu itu sudah lama redup. Sejak mengadopsi gadis itu pada usianya yang belum genap satu tahun, dunia kami penuh warna dan cahaya. Istilah kata, meski hidup susah, kami bahagia. Meskipun tanya dan sindiran dan cemoohan tentang kemandulan suamiku atau karena kista di rahimku selalu saja menyerang ketenteraman kami, yaaa kami tetap bahagia. Titik.
Namun, serangan verbal yang sempat redup dan menyayup itu serta selalu saja menyala dan hingar-bingar ketika hari raya tiba, akhirnya membuat kami kewalahan juga ketika purnama dalam rumah itu meninggalkan kami. “Kenapa tak menunggu kuliahmu tamat dulu, Nak?” pintaku. “Atau kami antar saja kau ke sana?” Aku benar-benar memohon. Namun, suamiku yang membisu mungkin Aisah anggap sebagai bentuk ketaksetujuan.
Maka, sempurnalah derita itu ketika Aisah minggat ke kota. “Kau hanya mengenalnya lewat Facebook, Aisah,” ingatku, berulang kali ketika ia sedang memasukkan pakaiannya ke dalam tas jinjing. Namun, aku kerap lupa, cinta (tak terkecuali cinta buta!) bukan hanya kuasa menumpulkan pendengaran dan ingatan, namun juga membunuh perasaan. Aisah menumpang bus ke Jawa. Hari itu juga. Tepat di malam takbiran.
Semenjak itu, hidup kami melangkah pincang. Kesusahan hidup itu kehilangan tambalnya. Tiap kali kami berkunjung ke rumah sanak keluarga yang, entah bagaimana, semuanya sukses dan kaya raya, kami bergegas ke belakang rumah kakak tertua. Aku mencuci piring dan suamiku mencari kesibukan apa saja di sudut lain belakang rumah. Seperti menganggap ketakpercayaan diri kami sebagai kewajaran, sanak-kerabat yang lain, dengan bahasa tubuh dan gerak mata, kompak menyudutkan kami sebagai anggota keluarga kelas dua.
Maka, ketika Juminah yang tinggal di kompleks sebelah menawari kami berdua bekerja sebagai pembantu dan tukang kebun di kediamannya, jalan keluar dari keterpurukan sebagai manusia yang tak berguna terbuka pintunya. “Tahun ini dua anakku tidak pulang,” keluhnya.
Helaan napas janda kaya itu dapat kami rasakan sakitnya.
“Kalian tahu, bukan, tugas utama kalian?” katanya bagai mengingatkan. “Jangan pernah menyapu karpet dan serakan makanan dan minuman anak-cucuku sejak hari ketiga alias di hari mereka meninggalkan rumahku nanti.”
Tentu saja kami tahu.
Ya, kami hafal. Di sore lebaran ketiga, rumah akan hening. Perempuan itu pun akan mereka-ulang kebahagiaan dengan memandangi segala kekacauan di dalam, sudut, dan luar rumah, yang diwariskan anak, menantu, dan cucu-cucunya, sampai air matanya kering di puasa Syawal-nya yang keenam. Kami dulu sempat ikut trenyuh. Belakangan, kami kebal. Mengetahui bahwa ternyata lebaran tidak memberi luka bagi kami berdua saja, entah bagaimana, seperti membuat kami tidak kesepian sebagai orang yang menderita.(*)
Lubuklinggau, 6 April 2025