Sapi Suklikulisu

 Sapi Suklikulisu

Sapi Suklikulisu (Dokumentasi Koran Tempo)

Oleh Benny Arnas

Koran Tempo, 2 Juli 2023

 

Kisah ini berawal ketika Suklikulisu dan istrinya memenuhi undangan Marpiselopah membaca yasin di hari ketujuh berpulangnya sang suami yang tak lain tak bukan adalah imam salat Magrib di masjid kompleks. Melihat kesedihan yang masih bergelayut di wajah ketua pengajiannya, Nyonya Suk menawarkan diri menjadi tempat bercerita.

 

“Papa bisa ke belakang sebentar?” kata Nyonya Suk, sekeluar dari ruang tengah tempat ibu-ibu berkumpul, beberapa saat setelah yasinan selesai.

“Kalau bukan karena ayahnya Nyapnyup yang jadi korban, aku takkan nelangsa begini, Pak Suk,” Marpiselopah langsung mengadu. “Aku meragukan kerja polisi yang, hingga hari ketujuh kematian suamiku, tak kunjung memberi kabar perkembangan pencarian kawanan begal itu.”

“Polisi memang nggak bisa diandalkan,” timpal Nyonya Suk. “Apalagi kamu nggak kasih uang pelicin, ‘kan?”

“Aku pikir mereka akan sigap seperti kasusnya anak Bu Retno yang dibuli itu, Bu Suk. Mana mungkin Bu Retno yang tiap pagi jualan ketan goreng di sebelah lapak nasi gemukku itu kuat nyogok polisi, ‘kan!”

“Tapi, ‘kan, viral!” suara Nyonya Suk meninggi. “Kalau nggak, ya siapin pelicin!”

Suklikulisu melirik istrinya. Ia tak menyangka perempuan kalem itu berani mengatakan itu, meskipun kemudian ingatannya berlabuh pada trauma sang istri terhadap aparat berpistol. “Aku sering lepas kendali kalau mendengar kata polisi, Kak,” katanya tiga belas tahun lalu, beberapa hari sebelum mereka menikah. “Ibuku depresi setelah adikku tidak lulus pantohir Bintara padahal ia sudah menjual satu-satunya kebun karet—yang jadi andalan kami buat makan sejak Ayah meninggal—demi menyetor ratusan juta kepada oknum yang katanya berpengaruh dalam lingkaran tes itu,” kata-katanya mengandung api dan pisau.

Tentu saja Suklikulisu tak perlu meminta gadis bernama Rubilahrubi itu—yang masih berstatus calon istrinya waktu itu—sebab berita remaja gantung diri waktu itu mengisi halaman utama koran lokal dan regional selama satu pekan. Lucunya, meskipun kegagalan dalam pantohir itu selalu Rubilahrubi sebut—tiap kali menjawab pertanyaan pemeriksaan polisi atau wawancara berbagai media—sebagai penyebab tindakan nekat sang adik, tak satu media pun yang menyebutkannya dalam berita.

“Kalian tentu tahu, bukan, bagaimana keluarga kami?” suara Marpiselopah yang bergetar menjelma sebatang jarum yang memecahkan balon lamunan Suklikulisu. “Bagaimana kami hidup sederhana? Bagaimana kami memegang agama? Bagaimana Nyapnyup, Ramadan kemarin, juara membaca surat Annaba meskipun anak lima tahun itu belum bisa membaca?”

“Tapi, Mar, “Suklikulisu ragu, “tidakkah percaya kepada—“

“Aku mengerti maksud Pak Suk,” Marpiselopah menyeka matanya yang mulai berair. “Ini bukan syirik. Seorang muslim yang baik harus percaya pada yang gaib.”

Masalahnya, batin Suklikulisu, aku bukan muslim yang baik. Aku hanya orang biasa. Salat karena kewajiban. Ngaji nggak rutin. Dan masih suka berprasangka buruk, boros, dan sesekali congkak kalau royalti dari penerbit atau rumah produksi yang memfilmkan novel-novelku cair sehingga kami bisa plesiran atau … berkurban sapi babon seperti tahun ini.

“Paling tidak,” Marpiselopah mulai habis akal, “temanilah aku dan Nyapnyup ke sana.” Lalu ia menyebut Marilang, tempat yang sering Nyapnyup sebut dalam tidurnya.

JDER!

Kawanan begal itu memang bermarkas di sudut kebun kopi di utara desa di dataran tinggi Curup yang senantiasa berkabut itu. Nyapnyup memberi tahu ibunya dan Suklikulisu beserta istrinya dengan cara mendekati rombongan yang sedang asyik main remi dan menunjuk wajah mereka satu per satu. Anehnya, para pembegal  itu tidak terganggu sedikit pun seakan-akan tidak menyadari kehadiran mereka.

Beberapa hari kemudian, setelah Suklikulisu meyakinkan kepolisian, kawanan itu pun diringkus. Nama Nyapnyup masyhur. Banyak orang datang meminta petunjuk, nasihat, pengasihan, azimat, ramalan masa depan, dan lain sebagainya. Tapi bocah itu bergeming. Marpiselopah tak tinggal diam, bahkan perempuan tiga puluh tahunan itu mengancam akan melaporkan para pengunjung kalau mereka masih berkumpul di luar rumah sepanjang hari..

Kini Nyapnyup sudah kelas tiga SD. Meski tak pernah membuka praktik, kesaktiannya tetap diakui. Ia disebut berlidah panas karena dua hari sebelum Pak RT diamankan; ia menyebut ketua kompleks itu menggelapkan dana bansos; penglihatannya juga dianggap melampaui masanya ketika seminggu sebelum Gunung Lijaulijui meletus ia menyarankan para penduduk yang tinggal di lereng untuk mengungsi; dan masih banyak lagi.

Tapi, kelakuan Nyapnyup di pagi lebaran ini sangat mengganggu Suklikulisu. Anak itu tertawa sepanjang salat Iduladha. Memang mulanya laki-laki empat puluh tahun itu menganggap, sebagaimana keanehan yang bergeliat dalam kepala jemaah lain, sikap anak ajaib itu dipicu oleh salatnya yang tidak memakai sujud, rukuk, dan duduk tahiyat. Tapi  … beberapa saat kemudian, ia berubah pikiran.

Suklikulisu meminta istrinya memanggil Nyapnyup ke rumah. Dugaannya, ejekan orang-orang kompleks tentang salat dua rakaatnya yang menyerupai salat jenazah tadi belum akan reda (atau jangan-jangan sedang jadi-jadinya!). Ia tak mau jadi bulan-bulanan perundungan mereka yang memanfaatkan kealpaannya. “Beri Papa waktu, Ma,” katanya ketika Nyonya Suk meminta penjelasan tentang keanehan yang terjadi di masjid tadi.

“Kan aku hanya minta Nyapnyup yang datang,” bisik Suklikulisu pada istrinya ketika melihat Marpiselopah menemani putranya duduk di ruang tamu..

“Nyapnyup itu masih anak-anak, Pa. Wajar kalau didampingi ibunya,” istrinya menghela napas. “Jangan bilang kalau Papa juga ingin mengusir Mama dari ruang tamu kita.”

Suklikulisu menggeleng. Karena sudah ada Marpiselopah, melarang sang istri mendengarkan percakapannya dengan Nyapnyup adalah tindakan tak berguna.

“Ayo temui mereka, Pa,” desak istrinya. “Tunggu apa lagi. Papa sudah cukup aneh hari ini.”

“Hari ini?” kata Suklikulisu refleks. Nada suaranya lemah, mirip gumaman.

“Sejak Papa sering cerita sudah bayar uang kurban,” putra sulung mereka, yang masih duduk di kelas 5 SD, bersuara.

“Sejak Papa sering dipuji orang-orang kompleks karena berkurban sapi,” anak kedua menambahkan.

“Sejak kami tahu sapi itu sebesar gajah,” si bungsu yang masih berusia 8 tahun tak mau kalah.

*

“Saya sudah menyuruh Nyapnyup minta maaf kepada Pak Suk,” Marpiselopah buka suara ketika Suklikulisu tampak kesulitan mengutarakan maksud. “Tapi kata Nyap ia tidak tertawa bukan oleh gerakan salat lebarannya Pak Suk itu.”

Penulis yang sudah menerbitkan 11 buku itu sebenarnya tak sabar ingin mengetahui pemantik tawa-tanpa-henti bocah itu, tapi kerongkongannya mendadak tandus.

“Om Suk percaya sama Nyap, ‘kan?” suara Nyapnyup terdengarragu-ragu.

“Om Suk-lah yang membawamu ke Marilang waktu, Nyap,” Nyonya Suk memutuskan jadi juru bicara suaminya. “Artinya, Om Suk percaya orang pertama yang percaya pada karomahmu, Nyap,” ia kemudian melirik Suklikulisu yang bermandi keringat.

“Kami sebenarnya menunggu Pak Suk di halaman masjid karena, kata Nyapnyup, ia baru akan minta maaf sama Om Suk kalau sudah mengatakan sesuatu,” kata Marpiselopah. “Tapi ternyata Pak Suk juga nggak datang pas sapi babonnya mau disembelih. Jadi, pas Nyonya Suk mengundang kami ke sini, yaaa pas lah itu.”

Nyonya Suk menoleh ke suaminya yang masih juga bergeming.

Tidak penting lagi sapi itu bagiku, batin Suklikulisu.

“Tadi kami ke masjid, sapinya Papa masih juga belum disembelih,” si bungsu tiba-tiba sudah muncul di ruang tamu.

Nyonya Suk lalu meminta putranya kembali ke belakang.

Sembelih saja, teriak Suklikulisu dalam hati. Aku nggak akan datang!

Suklikulisu mendongak.

“Om Suk?” Nyapnyup mencari-cari mata laki-laki yang berusaha menekuk wajahnya itu. “Sejak kapan Om …”

“Anehnya, kata Nyap, ia pernah melihat sapi kurbannya Pak Suk sebelum hewan itu dibawa ke halaman masjid tadi.”

Suklikulisu menelan ludah berkali-kali.

“… melatih kepala Om untuk memikul hewan?”

Mata Nyonya Suk membesar. Sementara suaminya masih menunduk.

“Kenapa nanya begitu, Nyap?“ ibunya pun ikut penasaran

“Kenapa kepala Om Suk kuat sekali memikul sapi sebesar gajah.”

“Sapi sebesar gajah?” Marpiselopah dan Nyonya Suk berteriak serempak.

“Om Suk santai saja memikul sapi sebesar gajah itu ketika salaman sama Mang Dayat, ngobrol sama Pak Jumjimunjimun yang duduk di sebelahnya, dan … pas salat apalagi. Nyap tidak heran kenapa Om Suk nggak rukuk, nggak sujud, atau nggak tahiyat. Soalnya, kalau gerakan Om Suk macam-macam, sapi sebesar gajah itu bisa jatuh.”

Keriuhan datang dari ruang tengah. “Nyapnyup main yuk!” Dari balik dinding yang memisahkan ruang tamu dan ruang tengah, si sulung menunjukkan mobil-mobilan kepada Nyapnyup.  Berbeda dengan anak-anak itu, Marpiselopah dan Nyonya Suk bersitatap seakan-akan sedang mengonfirmasi sesuatu yang bergeliat dalam kepala.

“Maaf, Om,” Nyapnyup cengengesan. “Sebenarnya Nyap nunggu-nunggu lho sapinya sebesar gajah itu jatuh,” lalu Nyapnyup tertawa sehingga membuat Suklikulisu menatapnya. Ketiga putranya berlarian ke halaman melewati ruang tamu. “Kan seru kalau sapinya ngacauin orang-orang salat. Pasti heboh!,” tawa Nyapnyup makin keras. “Aku boleh main ya, Bu?” Tanpa menunggu persetujuan sang ibu, Nyapnyup sudah berlari ke halaman depan.

“Wah kita lupa maaf-maafan lebaran,” kata Marpiselopah ketika akan pamit. “Sekali lagi maaafkan sikap Nyapnyup ya, Pak Suk,” lalu perempuan itu mengucap salam.

Nyonya Suk memaku tatapannya ke wajah suaminya yang sedang diajak setan berandai-andai. Kalau ada pilihan kembali ke masa lalu, aku ingin membatalkan kurban sapi setengah ton itu, sesalnya. “Sepanjang sejarah kurban di kompleks kita, sapinya Pak Suk adalah yang terbesar!” Pujian ketua panitia kurban waktu itu memang kuasa melambungkannya ke awan-gemawan kebanggaan. Di hari raya kurban ini, awan itu menjadi air hujan sehingga Suklikulisu terjun bebas, angslup di genangan lumpur yang kuasa mengisap segala. Tak terkecuali kebanggaan dan kesombongan.

Venezia Santa Lucia, Mei 2023

 

Benny Arnas

https://bennyarnas.com

Penulis & Pegiat Literasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *