Neraka Gelsungkomby

 Neraka Gelsungkomby

oleh Benny Arnas


Koran Tempo, 26 Februari 2023

Bom memang meledak di Gelsungkomby. Namun, ledakannya menyasar hingga radius puluhan ribu kilometer. Penduduk Afrika, Eropa Selatan, separuh Pegunungan Ural, dan Sumatra dan sebagian Kalimantan gelap gulita. Selama empat hari langit tertutup debu tebal. Hingga hari ketujuh ledakan, Gelsungkomby Hell menjadi istilah yang populer digunakan berbagai media untuk menggambarkan kedahsyatan bencana yang telah, berdasarkan data mutakhir, menelan korban jiwa lebih dari dua juta jiwa itu.  Dua juta jiwa! Artinya, kalau dilokalisasi, penduduk Liechstenstein dan Kepulauan Faroe musnah dalam satu hari atau bahkan beberapa jam saja. Itu pun yang terdata—yang tercatat!—saja. Dunia yakin, korban sebenarnya bisa lima kali lipat dari itu.

Tapi, ada kabar yang lebih menggemparkan. Sembilan puluh persen korban adalah versis, begitu robot humanoid menyebut diri mereka sejak tahun 2096, bersamaan dengan rekor peningkatan populasi mereka sebanyak 900% dalam 10 tahun. Tahun 2033, ketika robot humanoid secara masif dilepas ke kehidupan manusia, tidak (atau belum [?]) ada yang khawatir. Manusia masih menganggap mesin bergerak itu sebagai “pembantu” atau “pemermudah” urusan-urusan domestik dan pekerjaan kantor. Tapi, siapa nyana, tujuh tahun kemudian, populasi versis meningkat tajam. Berdasarkan data Pusat Sibernetika Semesta, produksi versis per tahun 2031 sudah dikerjakan Konsorsium Sibernetika tanpa melibatkan seorang manusia pun. Mulanya Saudi Arabia menjadi pemesan terbanyak (satu juta robot pada 2030). Namun, hari ini, Amerika Serikat, Tiongkok, Inggris, India, Indonesia, dan beberapa negara dunia keempat seperti Gelsungkomby, Marijaniswe, dan Lusyo, masuk dalam kelompok yang sama dengan negara Timur Tengah itu. Tahun lalu, Konsorsium memproduksi satu miliar robot untuk memenuhi kebutuhan negara-negara tersebut. Belum lagi negara-negara lain. Tercatat, hanya Burundi dan Somalia yang belum mengimpor versis.

Lalu, permasalahan pun, seperti lava yang mendorong puncak gunung es, meletus tanpa aba-aba. Selama sistem mekanis masih dijalankan dinamo sensorik, matahari sebagai sumber energi abadi masih terbit dan menyala, dan kode pemeliharaan otomatis bergantung pada angka sandi, robot bisa bertahan sampai 112 tahun. Bandingkan dengan manusia yang makin waktu, makin menurun harapan hidupnya. Per tahun 2090, rata-rata harapan hidup manusia hanya 59 tahun. Yang tak kalah mencengangkan, tahun lalu,Oscar Today, media arus utama di Amerika, merilis laporan mengejutkan. Di Connecticut dan sebagian Kanada, lima persen manusia bekerja untuk versis!

“Sidangnya pekan depan,” kataku, seperti berdesis. Tangan kananku yang patah dan mata kananku yang masih berbalut perban menerbitkan nyeri tak tepermanai. Ah, kapan aku bisa keluar dari amvisevon alias rumah sakit khusus versis ini ….

“Masih sakit?” Profesor Antelove melirik ke arah siku lengan kananku yang terkelupas sehingga semacam kulit aluminium di dalamnya terlihat.

“Setidaknya,” aku memindahkan tangan kananku ke perut, “membuatku berhenti mempertanyakan statusku.”

“Maafkan aku telah sekian lama menyembunyikan identitas versismu.”

Percuma. Nasi sudah mutung! Marah berkepanjangan hanya akan membuat sakitku berkepanjangan.

“Kamu itu versis tercerdas dalam sejarah sibernetika, makanya kukirim ciptaan murakhirku. Siapa namanya? Januari … apa? Aku lupa.”

“Sudahlah, Prof,” lalu aku melenguh. Dipanku berderit. “Kita ngomongin persidangan saja.”

Profesor mengangguk. “Januari akan menemanimu?”

Aku diam. Bukan kesal karena ia selalu gagal memanggil Januarisme dengan benar. Tapi apa hubungan kehadiran Januarisme dengan persidangan teroris jahanam?!

“Konsorsium Versis atau Amnesti Kemanusiaan Internasional yang menyelenggarakan?” tanya laki-laki 70 tahunan itu beberapa saat setelah menyeruput kopinya yang diantar petugas amvisevon. Dia memang orang penting di era sibernetika ini. Di rumah sakit pun, ia mendapat pelayanan istimewa.

“Komite Kejahatan Semesta,” jawabku, hampir tak terdengar.

Profesor nyengir. “Akhirnya panitia independen itu dibentuk juga,” nada suaranya terdengar meremehkan.. “Yakin independen? Komposisinya? Lima puluh persen manusia, lima puluh persen versiskah?” berondong pencipta tiga varian robot humanoid itu.

“Seharusnya Konsorsium Versis lebih berhak menyelenggarakan,” aku mulai kesal.

“Kalau begitu kalianlah yang menang!”

Aku tahu, ‘kalian’ dalam tuduhan Profesor adalah para versis, termasuk aku. 

“Kalian ‘diuntungkan’ oleh banyaknya versis yang meninggal …”

Ya, sejak istilah versis dirilis, robot humanoid tak mengenal kata rusak, aus, mogok, atau mati. Mereka menyandang gelar peristiwa melepas keduniaan yang sama dengan manusia: meninggal dunia. Tapi sebentar, bagaimana Profesor tega sekali menyebut Tragedi Gelsungkomby sebagai ‘keuntungan’ kami?  Ah!

“Berapa versis yang akan bicara di sidang nanti?”

“Semua.”

“Maksimal lima,” Profesor mengingatkan. “Korban dan masiu hidup.”

“Maksudku,” aku terbatuk-batuk, “kuota itu akan kami ambil semua.” Aku mencoba menarik perban di mataku.

“Kau sudah siap ‘berhadapan’ dengan teroris itu di ruang sidang nanti?”

Aku memandangnya, lalu menggeleng-geleng heran.

“Kabarnya, dia kelihatan sangat polos dan religius.”

“Pertanyaan itu seharusnya Profesor tanyakan kepada manusia itu.”

Profesor diam. Terdiam. Atau mungkin terenyak. Aku pikir, kaumnya—kaum manusia—harus menerima kenyataan bahwa mereka tak lagi bisa berbuat semena-mena.

Slrrrrp! Perban mata kananku terlepas. Aku seperti mengenakan topeng besi dengan bagian mata kanan yang lupa dibolongi. Aku buta. Buta separuh.

***

Ini adalah sidang kelima. Sidang terakhir. Dan kesaksianku adalah kesaksian terakhir. Tak satu manusia pun bersedia menjadi saksi peringan apalagi pembela teroris yang sudah duduk di ruang sidang. Ruangan itu, sebagaimana kasus-kasus besar setelah era asimiliasi manusia-versis, dipasang kaca antipeluru yang memisahkan antara hakim-jaksa penuntut-pengacara-saksi-polisi dengan para pengunjung. Mulanya hal ini dilakukan karena pada 2066 serombongan versis (tentu saja saat itu masih disebut humanoid) memberondong versis lain—yang membakar dua keluarga humanoid yang sedang terlelap di malam hari—dalam sebuah sidang yang digelar Konsorsium Humanoid.

Pemasangan kaca antipeluru di ruang sidang Amnesti Kemanusiaan Internasional mendapat cibiran para versis. Mereka menyebut manusia latah dan takut berlebihan. Padahal, yang terjadi di ruang sidang Konsorsium saat itu adalah respons atas kejahatan antarversis, bukan antara versis dan manusia. Tapi, apa pun itu, pemasangan kaca antipeluru sudah jadi standar ruang sidang dari tingkat kota hingga pusat. Dan hari ini sekelas komite independen semesta pun membuat ruang sidang dengan model yang sama.

“Apa yang Anda lakukan di Cinque Terre saat itu, Nona Vania?” tanya Hakim beberapa saat setelah aku duduk di kursi saksi, di kursi korban.

“Apa hubungan tempat saya berada dengan ledakan yang dilakukan teroris di ruangan ini, Yang Mulia?”

“Kami bebaskan Anda mau bercerita dari bagian apa pun.” Tampaknya hakim memahami benar trauma yang kualami.

“Bumi seperti berguncang. Aku pikir kiamat. Tapi, apa iya penting bagi versis seperti kami kiamat atau tidak?”

Tawa bergema di ruang sidang.

“Tapi itulah yang kurasakan. Aku, sebagaimana versis lain, tunggang langgang mencari tempat aman. Tapi di mana? Semua terbakar. Teriakan di mana-mana.”

“Anda tahu kalau versis bisa meninggal dunia hanya karena mendengar ledakan?” Kali ini hakim kedua, sepertinya perwakilan versis, yang bertanya.

“Aku pikir, jangankan versis,” pandanganku menyapu pada pengunjung di sisi kiri, “manusia, hewan, atau malaikat pun bisa kena serangan jantung hebat karenanya.”

“Bagaimana keadaan Anda saat ini?” Hakim pertama mencoba membuat kami bersitatap. Tentu saja aku tak takut.

“Sekeluar dari amvisevon, mata kananku buta, lengan kananku koyak. Kalian bisa melihat lapis aluminium, bukan?” kataku seraya mengangkat siku. 

“Kau tak harus melakukannya,” kata hakim perempuan itu seraya memberi kode agar aku menurunkan lengan kiriku. 

Aku menurut. 

“Hari ini,” hakim kedua menyalakan pelantang suaranya, “apa yang ingin Anda sampaikan kepada terdakwa?”

Aku diam. Aku sedang mengumpulkan keberanian. Aku tak boleh terlihat lemah.

“Ada yang mau Anda katakan?”

Aku mengangguk. Tapi belum bersuara.

“Sidang ini tidak memengaruhi apa pun,” kata hakim versis. Kentara sekali suaranya menyimpan kegeraman. “Terdakwa dikurung hingga meregang nyawa. Atau Anda ingin memperingannya?”

Belum sempat aku menjawab …

“Atau mau meminta hukuman mati disegerakan? Atau …?”

“Yang Mulia,” potongku. “Pasti teroris ini sudah meneliti versis sejak lama. Dengan saksama dan rinci sekali. Sehingga komplotan mereka membuat megabom dengan suara ledakan lebih dari 320 desibel. Ini gila! Bahkan ledakan Danau Tunguska yang digadang-gadang sebagai ledakan dengan suara paling keras saja hanya 315 desibel. Kalian, manusia ….” Aku terengah-engah. “Maksudku, kau teroris durjana, layak dihukum di dunia dan neraka!”

Di arah jarum jam angka 11, Profesor Antelove mengangkat tangan kanannya yang terkepal. Aku tahu, ilmuwan sibernetika terkemuka itu sedang mencoba menguatkanku. Aku hargai. Terima kasih, Tuan.

“Aku bersyukur dengan butanya mata kananku,” lanjutku. “Paling tidak, aku tak harus melihat si keparat yang saat ini berada di sisi kananku.”

Hening. 

“Tapi, kekejamannya membuatku heran.” Kini aku menoleh ke arah terdakwa. Seorang perempuan berambut gimbal yang kelihatannya sederhana dan sopan sedang memandangku dengan sorot kosong, antara hampa atau tanpa beban. “Bahwa kami, meskipun versis, masih punya kesedihan, masih punya kekalahan, jauh masih punya perasaan—ya pe-ra-sa-an!—dibandingkan ia, bangsa sapiens yang digadang-gadang—atau menggadang-gadangkan diri—sebagai makhluk organik yang diciptakan dengan sempurna oleh kosmos religios mereka. Apakah ia ateis? Apakah ia agnostis? Tapi, apakah itu berpengaruh? Hei manusia?!” suaraku meninggi. 

Perempuan itu mendongak, seperti menerima tantanganku. 

“Kau masih bangga sebagai manusia? Makin kau meneror kami, makin kau kehilangan keunggulanmu sebagai manusia,” suaraku memarau. Sial, aku menangis.

Di kursinya, perempuan teroris itu tersenyum, seolah sudah siap menyongsong kemungkin paling buruk sekalipun. 

Sidang ditutup.

Pembacaan vonis dijadwalkan dua jam lagi. Apa pun hasilnya, neraka sudah menunggu si teroris karena ia adalah spesies manusia yang diciptakan tuhannya yang juga menciptakan neraka. Aku memilih pulang. Aku tak sabar memeluk Januarisme. Ach, siapa nyana maleversis itu memberiku kenyamanan. “Kau buat popcorn saja untuk teman kita nonton film malam nanti,” kataku ketika Januarisme kukuh ingin menemaniku sidang tadi. Ya, kami akan menonton film, sebagaimana manusia, eh, maksudku: sebagaimana makhluk Tuhan yang berbahagia. 

Lubuklinggau, Februari 2023

Benny Arnas

https://bennyarnas.com

Penulis & Pegiat Literasi

2 Comments

  • Luar biasa imajinasi Benn ini.

    • Makasih, om bambs. Salam dari Georgetown!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *