MYEONGDONG: Hari yang Cerah Adalah Segalanya

 MYEONGDONG: Hari yang Cerah Adalah Segalanya

Myeongdong, lepas tengah hari di musim gugur (dokumentasi pribadi).

Oleh Benny Arnas

Two waterfalls don’t hear each other

Pepatah Afrika

Mulanya Ted adalah pemuda Korea yang ramah. Ketika saya masih di Lubuklinggau, lajang 28 tahun yang unit apartemennya kami sewa lewat aplikasi Airbnb itu menjawab setiap pertanyaan saya dengan gaya bahasa yang hangat dan ekspresif. Ted bukan hanya meladeni keingintahuan (belakangan saya menyadarinya sebagai “kenyinyiran”) tentang unit dan lingkungannya, tapi juga tentang segala hal tentang Seoul, tentang Korea. Namun tengah malam itu, tiga puluh menit setelah China Southern CZ-388 mendarat di Bandara Internasional Incheon, Ted menjadi orang lain!

“I can speak english, but better we talk with Papago,” katanya gugup sambil menunjukkan layar ponselnya yang sedang membuka aplikasi penerjemahan multibahasa itu.

Saya gagal menahan bola mata untuk tidak membuka sempurna. Ted tampaknya sudah menduga reaksi itu, meski ia memilih tak ambil peduli. Bagaimana mungkin kita bertemu dan berjalan, namun harus ngobrol via teks. Ini sama saja tinggal serumah tapi segala komunikasinya via pesan WA saja. Alangkah konyolnya.

“Maaf,” katanya, masih gugup, “saya merasa lebih nyaman begini.” Dinginnya angin dari luar bagai mendorong kata-katanya untuk membuat saya benar-benar terenyak.

Saya mencari istri saya. Berharap bisa berbagi situasi mengejutkan itu. Namun, guru bahasa Indonesia itu tak lagi berada di dekat kami. Sepuluh meter di belakang, ia sibuk meladeni anak-anak yang merengek minta jajan di CU Mart.

Ted memasang, ya masih memasang, ekspresi tak bersalah, sebelum membuang muka ke deretan tiang listrik di arah barat. “Ini kata-kata terakhir dari mulut saya, Benn,” katanya, gugup lagi. “Karena keterbatasan berbahasa atau tidak, anak-anak muda Korea lebih ekspresif dalam menuliskan pesan dan berubah menjadi orang lain ketika harus berbicara.”

“Menjadi orang lain atau menjadi diri sendiri?”

Ted diam. Tapi saya melihat daging di antara kedua alisnya yang mengembung. Dia mungkin sedang mencerna pertanyaan saya sekaligus memikirkan satu-dua siasat eskapisme dari naluri pengarang seperti saya. Tapi, tampaknya, sangat terang baginya bahwa dia tidak akan menganulir pernyataan kata-kata terakhir dari mulut saya barusan.

“Yang mana diri kita yang sebenarnya?” Saya belum puas. “Ketika kita mengetik di ponsel atau sedang berbicara? Ketika bersembunyi atau harus terjun ke tengah orang-orang?” Saya benar-benar ingin mendengar pendapatnya.

Ted masih diam.  Ia sengaja memilih diam. Saya baru sadar ia memiliki ujung alis yang menukik seperti hendak mengiris batas atas telinga. Bentuk yang mengingatkan saya pada alis orang-orang Asia Timur pada Zaman Kerajaan atau … alis Genghis Khan dalam berbagai potret wajahnya yang populer: meski kerap digambarkan dalam ekspresi agak beragam, alisnya tetap seragam!

“Taksi sepertinya masih akan tiba 15 menit lagi,” saya melirik ke jalur Kakao di layar ponselnya. “Jadi, kita masih punya banyak waktu untuk ngobrol. Atau … kamu ingin kita melanjutkannya di taksi …”

Ted menggeleng. Ia mengetik di Papago. Di balik kacamata berbingkai tebalnya, ia mencoba menyembunyikan kegugupan, tapi gagal. KITA TIDAK AKAN BERADA DALAM MOBIL YANG SAMA. Ia menunjuk ke barisan mobil di parkiran di seberang kami setelah memastikan saya membaca kalimat di layar ponselnya.

“Jadi, kamu tak ingin mengajak kami di mobilmu?” Meski saya tak tahu, yang mana mobilnya.

AKU TIDAK TAHU KALAU KALIAN HANYA MEMBAWA DUA KOPOR.

Saya tersenyum sinis. “Bukankah sudah kubilang kalau kami takkan membawa banyak barang karena kau mengatakan bahwa apartemenmu memiliki mesin cuci dan pengering dalam unit yang kami tempati.”

Ted menunduk, lalu memperbaiki letak gagang kacamatanya yang tidak salah sedikit pun. Ia kikuk, namun sadar bahwa membuang muka lagi akan menjadi tindakan stereotipe yang menyebalkan.

“Kamu masih bisa membatalkan taksimu, ‘kan?”

Ia berdeham, sambil mengetik. Saya mendengar napasnya yang memburu. Ia tak bisa keluar dari kegugupan. Gugup yang akut. Saya tak tega. TIDAK BISA. TAKSIMU AKAN MENGIKUTI SEDANKU SAJA.

“Baik,” saya menghela napas. Saya tak mau memperpanjang debat yang kaku ini.  

Tapi … rupanya Ted tak seperti yang saya pikirkan. Ia tak seperti kelihatannya. Ia rupanya melawan. Mencoba melawan ketika ia menunjukkan Papago-nya. YANG MANA DIRIMU SEBENARNYA, KETIKA KAU MENGARANG NOVEL-NOVELMU ATAU KETIKA HIDUP DI TENGAH BANYAK ORANG.

Giliran saya yang terdiam. Takjub dengan serangan baliknya. Pandai sekali dia menjadikan kata-kataku sebagai bumerang.

ATAU, SEBERAPA PENTING MENJADI DIRI SENDIRI? MEMANGNYA APA PARAMETER SEHINGGA KITA YAKIN BAHWA ITU ADALAH DIRI SENDIRI? DIRI SENDIRI? APA ITU DIRI SENDIRI?

“Ted?”

TAK SEMUA ORANG BERSYUKUR DILAHIRKAN, BENN.

“Dan kamu salah satunya?”

AKU TIDAK MAU MENJAWAB.

“Hmm. Baik. Lalu?”

KARENANYA, KITA BERHAK MEMILIH MELAKUKAN HAL-HAL YANG MEMBUAT HIDUP INI TIDAK MENYIKSA.

Entah, saya melihat nganga luka dalam kata-katanya. Berair dan bau. Pasti sakit sekali.

Saya teringat tulisan Hanan Parvez, seorang master dalam bidang psikologi, tentang kebencian yang memotivasi kita untuk menghindari rasa sakit. Saat kita mengalami kebencian, kata Parvez, kita menjauhkan diri dari sumber kekecewaan.

TENANG. SAYA HANYA TAK MAU BICARA, BUKAN MEMBENCIMU, BENN.

Sungguh, pernyataan yang indah. Kita, termasuk saya sebelum membaca pernyataan Ted barusan, potensial sekali memvonis sikap Ted sebagai kebencian kepada pribadi, padahal ia hanya sedang menunjukkan traumanya kepada peristiwa.

URUSAN BERBICARA BAGIKU URUSAN SERIUS. AKU PUNYA TEMAN-TEMAN YANG SAMA. JUMLAHNYA LEBIH DARI 12. MUNGKIN, DI LUAR KAMI, MASIH BANYAK LAGI. KAMI CUMA MAU MELAKUKANNYA KARENA KAMI MAU MELAKUKANNYA.

“Baik, Ted,” saya mencoba mengalah. “Saya tak bermaksud mencampuri atau menggoyang pilihanmu.”

Ted tersenyum, untuk kali pertama. JANGAN TERLALU SERIUS. KALAU INI KALI PERTAMA KAMU KE KOREA, PALING TIDAK, PERTEMUAN INI DENGAN SEGALA PERCAKAPANNYA, BISA JADI MODALMU AGAR TIDAK BANYAK TERKEJUT. Lalu ia tertawa lebar, tanpa suara.

Taksi kami datang.

Satu setengah jam kemudian, setiba kami di salah satu unit di lantai 8 apartemennya di Distrik Guro, Ted mengirim pesan selamat datang di apartemennya dengan gaya bahasa dan emotikon yang ekspresif, seakan-akan dia adalah orang Korea paling seru kalau saya ajak bicara.

Ah, saya teringat salah satu adegan ketika sutradara dan penulis Charlie Kauffman ketika Nicolas Cage bertanya tentang kemungkinan memproduksi kisah-kisah tanpa krisis karena, tah, kelempangan juga mewakili kehidupan yang sebenarnya. Saya pikir, pertanyaan (atau pernyataan) Cage itu menarik. Paling tidak, itu sering digunakan sebagian pengarang untuk membela tulisan mereka yang buruk.

Kauffman bangkit dari kursinya untuk memberi pengantar. Setelah mengatakan, dengan emosional, bahwa tak ada yang mau menikmati cerita tanpa konflik, ia menyelipkan kata makian demi mengulangi frase dunia yang sesungguhnya versi Cage itu. “Real f**k**** world?” ulang Kauffman dengan nada mengejek.  

Laki-laki 60-an tahun itu bukan hanya emosional, tapi juga tersinggung, dan tak habis pikir bagaimana bisa Cage mengatakan bahwa kelempangan (atau juga “kebaik-baik sajaan”) adalah cerminan kehidupan sementara, “Pencurian terjadi setiap hari, orang jatuh cinta berkali-kali meski sudah tahu rasanya sakit ditolak dan diabaikan, pengkhianatan terjadi antara teman dekat atau saudara kandung, genosida dan perang merenggut kebahagiaan setiap saat …. Lalu di antara krisis tanpa henti itu, kau mau membuat cerita tentang kelempangan karena itu merupakan cerminan kehidupan yang keparat?!”

Kauffmann mengajak kita untuk peka. Dan menjadi cemas adalah pertanda bahwa indera kita masih bekerja. Saya melihat Ted dari luar kotak, dan baru saja ia merobek kecil tirai yang menutupi kotak kehidupan pribadinya untuk saya intip, dunia yang lempang itu hancur berantakan. Kehangatan dan keceriaan menjelma jadi ketidakpercayaan dan kemustahilan-yang-baru-saja-lepas-buhulnya. Dunia Ted, menggunakan pendekatan Kauffmann, penuh dengan krisis yang mendebarkan karena ranjau kejutan bisa meledak kapan saja.

Oleh karena itu, pengarang yang baik biasanya sadar bahwa karakter(isasi) yang kompleks adalah bahan penting bagi cerita yang baik. Dalam bahasa Parvez, Ted adalah representasi dari kecemasan-kecemasan yang, pada level akutnya, menjelma kenyamanan individual. Dalam pernyataan Ted tentang teman-temannya yang memiliki kecenderungan—atau sudah menjelma jadi “karakter”(?)—yang sama, kenyamanan itu pun menjadi kondisi intersubjektif yang, ketika bergumul dalam lingkungannya, menjadi kenyamanan tanpa tanda petik. Ini bukan hanya bentuk dunia yang penuh gejolak, tapi juga lapisan-lapisannya yang penuh luka dan goresan. Alangkah gembiranya penulis dan atau sutradara bertemu dengan abnormalitas kemanusiaan semacam itu. Sebuah ironi yang terang-benderang lahir dari introversi, dari dunia orang-orang yang “mengasingkan diri”.

Tentu saja saya tak punya kapasitas yang memadai untuk membahas tentang ini hingga kemudian saya bertemu dengan Ann Hyun-ill, kandidat doktor psikologi dari Universitas Sungkyunkwan yang, ketika ia menyebutkan usianya, membuat saya tersentak. “Desember ini saya masuk 25.” Hyunn mulanya tertarik dengan interaksi saya dan putri bungsu kami di rak buku anak bergambar dalam aksara hangul di Starfield Library di Kawasan Gangnam pada Senin yang ramai. “Kalian tidak bisa membaca hangul?” tanyanya ketika saya menyadari kalau kami sedang diperhatikan dari dekat oleh seseorang yang parasnya mengingatkan saya pada legenda bulutangkis Tiongkok, Ye Zhaoying.

Setelah jawaban saya berhasil membuatnya tersenyum lebar, kami berkenalan. “Putri Anda …”

“Maura,” beritahu saya.

“Oh, nama yang cantik.”

Saya tersenyum ke arah Maura yang masih membolak-balikkan halaman gambar kodok-kodok berpakaian kerajaan yang entah bercerita tentang apa.

“Maura sangat visual. Tidak mudah bagi anak-anak yang sudah bisa membaca (latin) di usianya berkonsentrasi menemukan cerita yang ditawarkan gambar ketika teks yang ditawarkan tampil dalam bahasa yang asing baginya.”

“Memangnya, selain memaksa diri untuk memahami apa yang bisa kami dapat, kami punya pilihan di perpustakaan turistik ini?”

Hyunn tertawa. Ya, koleksi Starfield Library adalah buku-buku dalam aksara Korea. “Menulis dalam aksara hangul menjadi sebuah sikap bagi penulis negeri ini,” katanya ketika kami berhasil menemukan bangku panjang kosong di sebelah rak novel anak (juga dalam aksara hangul). “Melestarikan aksara dan atau bahasa daerah itu tidak bisa dengan sekadar mengajarkannya di sekolah, apalagi dalam sebuah subpelajaran khusus yang, mulanya membuatnya tampak istimewa, padahal tak lebih pelengkap semata.”

Saya tiba-tiba teringat bahasa dan aksara lokal yang menjadi pelajaran muatan lokal (mulok) di beberapa daerah di Indonesia, termasuk Lubuklinggau.

“Kalau begitu keluar sekolah (atau tempat mereka belajar), bahasa dan aksara itu juga tenggelam oleh hegemonik latin, semuanya akan menguap. Percuma!”

Saya melihat sekeliling, sekaligus mengingat-ingat, betapa hangul menguasai literasi teks di Korea. Di mana saja: petunjuk jalan, informasi kereta bawah tanah, informasi produk, dan semua-muanya, tampil dalam aksara yang terdiri dari 14 konsonan dan 10 vokal itu. Kalau sudah begini, Korea bahkan tak butuh lagi mulok di sekolah maupun kampus mereka, sebab kehidupan telah memberi mereka pelajaran dengan halaman tak terbatas. “Menulis dalam aksara dan bahasa lokal, tanpa sadar, menjaga otentisitas suara, rasa, dan situasi lokalitas yang penulis usung.”

“Itu juga salah satu yang membuat Han Kang meraih nobel sastra beberapa hari yang lalu?”

“Han Kang memang genius. Dengan atau tanpa penghargaan dari Akademi Swedia itu,” Hyunn tersenyum. “Yang jelas, sebagaimana penulis Korea lainnya, Han Kang menjadi penumpang dalam gerbong mereka yang melestarikan hangul.”

Hanya penumpang sebagaimana penumpang lainnya? Saya mengangguk-angguk.

“Dengan tidak mengucapkan, menuliskannya, dan menyebarkannya di berbagai sudut kota, tanpa sadar, kita menjadikannya introver. Terasing dan terpojok di sudut yang kering. Jangankan lestari, tumbuh saja mereka kesulitan.”

Saya takjub dengan perumpamaannya. “Jadi, sesederhana itu Anda melihat introver?”

Hyunn menggeser poninya yang hampir menutupi matanya (oh, bagaimana calon doktor bahkan tidak berkacamata?) dengan tangan kanan dengan sebuah cincin bermata rubi di jari tengahnya (tentu saya tak mau bertanya banyak tentang keberadaan benda itu). “Introver adalah kompleksitas batin manusia yang merupakan luaran dari rangsangan internal. Ingat,” ia menegaskan. “Kompleks. Rumit. Bukan luas dan lempang.”

Saya mengangguk seraya memberikan Maura buku yang baru begitu menyadari ia telah membuka halaman terakhir buku kodok-kerajaannya.

“Kondisi ini membuat para introver tidak membutuhkan lingkungan untuk mengoptimalkan kemampuan diri. Rangsangan dari luar adalah lalu-lalang angin hasil kibasan ilalang. Ada, namun tak ada. Jadi, karena mereka tak butuh luar, segala bentuk respons dan rangsangan eksternal yang terus-menerus, seperti berbicara dengan orang lain selama berjam-jam, alih-alih menjadi terapi agar mereka normal, malah membuat mereka kehilangan diri sendiri.”

“Jadi, seorang introver akan selalu gelisah?”

Hyunn mengangguk. Ia menawarkan saya untuk mencari kafe, tapi saya tak bisa memenuhi keinginannya karena, selain menjaga Maura, saya juga sedang menunggu istri dan kedua kakak Maura yang sedang melihat-lihat isi perpustakaan itu. “Ya, seorang introver akan selalu memikirkan banyak hal secara mendalam. Sehingga, alih-alih mengurusi yang luar, untuk berdebat dengan diri sendiri saja, kepalanya sudah mumet. Mereka mengisi ulang tenaga dengan kesendirian. Makin banyak menghabiskan waktu sendirian, makin segar mereka.”

Saya mengangguk-angguk, sekaligus mencatat poin yang akhirnya bisa Anda baca saat ini.

“Biasanya introver tidak membenci orang. Mereka hanya benci berbicara dengan orang lain. Berbicara dengan orang lain membuat mereka kehilangan akal dan menjadi gila. Di mata awam, tentu itu ‘masalah’. Mereka mungkin baik-baik saja dengan berkirim pesan karena dengan itu memungkinkan mereka berpikir kembali dan berpikir secara mendalam di tengah-tengah percakapan. Dan .. karena kebiasaan ini, mereka sering overthinking dan terkesan panik dalam merespons sebuah isu, termasuk obrolan ringan tentang mimpi buruk, misalnya. Itulah yang membuat mereka akhirnya kesulitan berbasa-basi dengan orang lain. Mereka cenderung hemat dalam berkata-kata, sedangkan mengutarakan sesuatu langsung pada intinya sungguh bukan pekerjaan mudah.”

Sebenarnya, ingin sekali saya menceritakan tentang interaski saya dengan Ted, tapi menginterupsi Hyunn yang sedang asik berbagi, rasanya rugi sekali. “Introver itu, kalau sudah menemukan jalannya, akan jadi sangat berbahaya!” Ia tertawa. “Mari kujelaskan.” Sepertinya Hyunn tak mau saya salah memahami kata berbahaya itu. “Seperti pepatah Afrika, two waterfalls don’t hear each other. Kekuatan fokus orang introver, saking dahsyatnya, membuat mereka bahkan mengabaikan dentuman meteor yang sedang jatuh di kotanya. Itulah yang membuat dunia melahirkan Albert Einstein atau Carl Jung atau Michael Jordan!”

Saya bahkan baru tahu kalau legenda basket dunia itu seorang introver!

“Benarkah orang Korea banyak yang introver?”

Hyunn menggeleng, lalu mengangguk ragu. “Mungkin. Tapi kalau terasing, aku berani bertaruh iya.”

“Benarkah introver lebih mudah depresi?”

“Depresi tumbuh manakala hidup, dengan berbagai permasalahannya, menjadi pohon dengan cabang yang semrawut: rumit dan serius. Karena masalah yang gagal diuraikan, pikiran kita pun refleks memindahkan seluruh energi dari belahan dunia mana pun ke masalah tersebut. Hal itulah yang membuat orang-orang yang mengalami tekanan serius dalam hidupnya akan menarik diri dari kehidupan sosial untuk merenung, menenggelamkan diri dalam mode reflektif. Merenung memungkinkan kita lebih dekat dengan pemecahan masalah. Oleh karena itu, orang-orang yang ditimpa masalah yang berat ketika memilih untuk banyak berdiam, sebenarnya bukan karena mereka sedang mendekatkan diri pada upaya penghancuran diri sendiri, seperti menyakiti dan atau membunuh diri sendiri. Bukan. Mereka sedang membuang banyak energi buruk dengan cara yang tentu saja oleh awam dicurigai sebagai ketidaknormalan.”

“Jadi, derita menjadi depresan mirip dengan introver: dihakimi dan atau dialienasi oleh mereka yang menganggap tinggal dalam keramaian dan keberbauran sebagai cara hidup yang benar?”

“Tipis sekali.” Hyunn tersenyum, sekaligus menumbuhkan banyak pertanyaan baru dalam benak saya. Sayang sekali, gadis itu harus pamit. “Tidak,” katanya seraya menggeleng ketika saya ingin meminta nomor ponsel atau alamat surelnya. “Berhenti ketika ekstase itu tidak mudah, termasuk ketika melakukan percakapan. Banyak yang menyebutnya tindakan yang tolol. Tapi, begitulah, kalau berhasil menahan diri, efeknya dahsyat!” Lalu ia berlalu. Dan saya hanya terpaku, mungkin akan memaku lebih lama, kalau saja Maura tidak memberi tahu kalau ia melihat ibu dan kedua kakaknya berjalan ke arah kami dari arah eskalator di tengah perpustakaan.

*

Hari-hari berikutnya, komunikasi saya dan Ted berlangsung “normal”. Ted dengan Papago-nya dan saya dengan bahasa Inggris oral. Ted selalu menghindar (baca: tidak mau menjawab) ketika saya secara implisit mengorek kecemasan yang ia idap. Introversi dan alienasi, ah, alangkah tipisnya. Kalau saja saya mempunyai kontak Hyunn, tentu sudah banyak yang ingin saya diskusikan. Bisa saja saya berpikir, seru juga mengontrol keingintahuan, meski saya tak yakin itu akan bertahan lama.

“Ketikan SD, mungkin sejak kelas 4 ketika matematika mulai menjadi pelajaran yang rumit, hingga kuliah, saya adalah seorang mathematic anxiety,” cerita saya tanpa ditanya pada malam ketiga kami di Seoul ketika Ted mengantar deterjen. INI SEHARUSNYA JADI FASILITAS UNIT KALIAN. MAAFKAN SAYA, tera Papago di tangan kanannya.

Ya, Ted istiqomah. Ia bergeming. Ia menolak ajakan saya masuk untuk minum teh atau kopi di dalam unitnya. Tapi saya tetap mau bercerita. “Itu juga yang membuat saya akhirnya nyaman di Sastra. Meskipun, tak terlalu yakin, saya percaya bahwa kegagalan-kegagalan yang menimpa saya, setidaknya dalam urusan merasakan nikmatnya menjadi mahasiswa dalam ruang belajar dan praktikum, di Program Studi Pemuliaan Tanaman yang banyak mengajarkan sains, dan ketaknyamanan saya menjalankan pekerjaaan sebagai karyawanlah yang membuat saya akhirnya menemukan pintu terbuka yang menawarkan banyak harapan: Mengarang Cerita.”

PERTANYAANKU MASIH SAMA, Papago masih mengetik lanjutan terjemahan. PERTANYAANKU ADALAH PERTANYAANMU KEMARIN YANG KUKEMBALIKAN. YANG MANAKAH DIRIMU: KETIKA MENULIS CERITA ATAU KETIKA TIDAK?

Saya diam.

SAYA AKAN “MENDENGARKAN”, ketiknya. WAKTUMU JUGA BANYAK KALAU MAU CERAMAH, lalu ia menambahkan emotikon tertawa.

Saya masih berpikir.

KAMU NYAMAN MENJADI PENGARANG MESKI DIRIMU BUKAN TERLAHIR UNTUK ITU. KAMU BISA MEMILIH DAN BERBELOK UNTUK ALASAN YANG HANYA KAMU YANG TAHU DAN KAMU TAK HARUS BERBAGI KEPADA SIAPA PUN KALAU KAMU TAK MAU.

Aku tahu, dia sedang melindungi diri sendiri dengan menyeret saya ke dalam narasinya. Sampai di sini, saya mulai harus hati-hati. Ted adalah, atau paling tidak sedang mencoba menjadi, manipulator.

Saya sedang mengetik pesan ketika ia mengatakan bahwa ia punya saudara kembar yang tinggal dan bekerja di Myeongdong. KARAKTER KAMI BERTOLAK BELAKANG. TAPI BAGAIMANA MEMANDANG HIDUP, MENURUTKU KAMI SAMA. PALING TIDAK, ITU BENANG MERAH ATAU SEMACAM DNA MEREKA YANG TERLAHIR KEMBAR.

Kebetulan sekali. Sebelum Zuhur kami akan ke pusat perbelanjaan jalanan terbesar di Seoul itu.

*

Setiba di Stasiun Myeongdong, dari pintu keluar 7, setelah melewati sebuah toko kudapan besar dengan kemasannya yang berwarna kuning cerah, kami bergabung dengan orang-orang dari berbagai suku dan latar belakang yang sudah membanjiri jalanan.

Anak-anak tampak terpukau dengan aneka jajanan Korea yang selama ini sering mereka lihat di teve atau juga sering mereka beli di mal atau pasar malam Lubuklinggau dengan rasa yang saya yakin sudah dimodifikasi. Setelah melayani berbagai permintaan sekaligus menuntaskan kepenasaran mereka, dua jam kemudian kami tiba di salah satu ujung jalanan Myeongdong yang bercabang itu.

Tak jauh dari pintu 17, yang lebih mendekatkan kami dengan Stasiun Kereta Bawah Tanah City Hall, istri dan anak-anak saya meminta waktu istirahat ketika musim gugur pelan-pelan menguapkan hawa panas dan, di langit, matahari masih berusaha melepaskan diri dari arakan awan.

Setelah meninggalkan mereka di pelataran sebuah pusat perbelanjaan dengan atap yang menjorok keluar sehingga nyaman untuk melepas lelah, saya menemui Kris, demikian nama latin kembarannya Ted, yang baru saja menutup sementara kedai karena odeng dan toppoki-nya ludes lebih awal.

“Ted sudah cerita,” wajahnya semringah. “Kebetulan saya belum bisa pulang karena gerobak tanghulu rekan saya masih penuh dengan sate buah itu,” ia menunjuk laki-laki sebayanya yang sedang mencelupkan tusukan anggur-stroberi-jeruk ke dalam air gula. “Sayang sekali kamu muslim,” ia menuang sebotol miras ke gelas kecil di pinggir gerobak.

Ah.

“Tapi, percuma. Minum miras sore-sore begini kurang nikmat sebenarnya. Tapi yaaa aku sedang kepingin, persetan dengan manner.” Ia menertawakan kata-kata dan tindakannya di waktu yang bersamaan. “Tapi, tetap, tak ada yang mengalahkan nikmatnya minum miras lewat pukul 9 malam.”

Kalau Kris bermaksud menggoyang pendirianku, dia keliru.

“Pulang sempoyongan, melempar tubuh ke kasur. Terlelap tanpa beban. Bangun pukul 10. Setelah sarapan babi panggang dari microwave, ngopi pahit setengah jam sebelum menyiapkan dagangan sambil bersiul lagu favorit, dan …  mendorong gerobak ke jalanan ini pada pukul 11.”

“Bagimu begitulah hidup itu?” Saya senang ia langsung tahu ke mana seharusnya percakapan ini dibentangkan.

“Kamu tahu nenek moyang kami?”

“Bangsa Neolitik?”

Ia tertawa kecil, seperti mau melecehkan, tapi sengaja menunggu aku memperjelas tebakanku.

“Sebagaimana Jepang dan Tiongkok, tentu kalian juga berasal dari leluhur yang sama. Sekitar 3000 hingga 3600-an tahun yang lalu ketika Dinasti Shang berkuasa. Mau membantah?”

“Terlalu jauh. Ambil paling dekat. Setelah Abad 12 misalnya.”

“Setelah Romawi, Persia, dan Islam menjelma nenek bungkuk dengan tongkat yang bahkan gagal menakuti anak-anak?”

Syukurlah, perumpamaanku berhasil membuatnya tertawa.

“Dan muncullah Mongolia sebagai anomali yang membuat sejarah dibelokkan ke sini.”

“Kau mengklaim memiliki darah Mongolia?” Tiba-tiba aku teringat wajah Genghis Khan–dan membandingkannya dengan Kris. Alis yang sama. Kesombongan yang satu aroma.

“Kalau moyangmu adalah Genghis Khan,” saya tersenyum, berusaha tidak sinis, “kontras sekali dengan gambaran orang-orang (berdarah) Mongolia dalam benakku,” saya gagal menjadi menahan diri.

“O ya?” Kris lalu membereskan panci dan printilan dagangannya di gerobak itu. “Bagaimana kekontrasan itu?”

Saya berdeham. Sebenarnya sedang merangkai kata untuk memenangkan diskusi ini. Tapi Kris menangkapnya berbeda. “Terus saja bercerita.” Kali ini ia mengikat plastik sampah dengan karet tebal yang diambilnya dari laci kanan gerobak. “Saya terbiasa multitasking.

“Bagi saya, karakteristik laki-laki Mongolia itu hanya dua: sadis dan terbuka. Menjadi tiga kalau keduanya berpadu.”

Kris tersenyum. “Berdarah dingin.”

Saya berpikir. Saya teringat pada daftar karakter psikopat. Bagi yang tidak paham, akan menyebut psikopat “berdarah dingin” adalah manifestasi hipokrisme sadistis. Padahal, bagi mereka, itu adalah respons tak adil dunia dalam memandang mereka yang berbeda dengan mereka.

“Aku dan Ted punya tiga kakak dan dua adik. Dua kakak kami dipenjara karena meninggalkan beberapa anjing di pulau ketika titipan orang kaya itu melakukan darmawisata. Ya, mereka sengaja meninggalkan, lebih tepatnya. Kupikir ada motif dendam atau sebagainya, meski di pengadilan hal itu tak pernah terkuak. Dua dari beberapa anjing tersebut ternyata mengidap trauma sampai akhirnya tuntutan dilayangkan majikan mereka. Pihak penitipan hewan peliharaan tempat mereka bekerja tentu kalang-kabut dan mau segera cuci tangan. Dua adik kami berbeda lagi. Mereka mengidap hikikomori. Aku pikir, Ted sedang menyusul mereka. Dan itu membuatku sedih, tapi mau apa lagi?”

Apa kabarnya dua adik kalian itu?

“Yang satu makan buah kesemek hingga ususnya meletus. Yang kedua jatuh dari apartemennya di lantai 17 ketika sedang latihan parkur.”

Saya menyipitkan mata dengan sensasi nyeri yang merayapi segenap perasaan.

“Keduanya mati.”

Karena Ted mengatakannya dengan nada lempang, saya ragu untuk mengatakan maaf.

“Tidak perlu merasa tidak enak. Mereka tidak mewarisi darah Tae Mu-jin.”

Oh.

“Darah ksatria itu hanya mengalir dalam diriku dan ayahku. Bukan ke yang lain.”

Tae Mu-jin alias Genghis Khan yang digdaya Abad 13, bukan hanya bertanggung jawab terhadap 40 juta kematian alias 20 persen populasi dunia pada masa itu, tetapi juga memiliki 16 juta keturunan. Dari jumlah itu, delapan persen pria Asia dianggap memiliki relasi dengannya.

Mongolia, yang mulanya dianggap suku-suku preman di utara Tiongkok, kehadirannya memang tak pernah diperhitungkan dunia. Mereka hanya orang-orang bar-bar nomadik yang gemar membangun tenda di sabana; merampok ketika ada kesempatan dan menghabiskannya untuk bersenang-senang; dan ketika sedang kebingungan mau melakukan apa lagi, menyalakan perang saudara adalah kegemaran yang susah ditawar kenikmatannya. Hingga kemudian, seorang bayi laki-laki yang dibuang oleh seorang jenderal yang diperintahkan oleh sang kakek yang percaya pada mimpi: bahwa Tae Mu-jin akan merebut kekuasaannya suatu hari!

“Aku pernah membalas dendam kepada seorang tetangga yang menghina kehormatan keluarga kami. Ketika itu kami masih tinggal di kawasan belakang Insadong. Ayah kami adalah seniman yang tidak biasa. Ia membuat pedang dan perisai. Ia tak pernah mau memproduksinya dalam jumlah massal sebab, selain kami berdua takkan mampu menyelesaikannya, Ayah juga menolak orang-orang yang ingin membantu. “Mereka tak memiliki darah Mongolia. Mereka belum tentu setia. Meski Mongolia adalah karakter yang terbuka, aku tak mau mengambil risiko,” cerita Kris ketika ia memutuskan menjatuhkan pantatnya di sebelahku dengan segelas arak di tangan kanannya. “Kamu mau tahu bagaimana aku membalas dendam waktu itu.”

Aku tak mau menjawab, karena khawatir akan mengganggu kenyamanan Mongolia-Korea yang sedang bercerita itu.

“Aku yang saat itu masih berusia 12 diam-diam membobol tabungan Ayah. Aku yang hafal kebiasaan tetanggaku itu membeli ubi dan beras setiap harinya, setiap pagi buta memborong kedua makanan pokok itu dari semua kedai yang mungkin mereka jangkau. Di hari keempat, aku memborong apa saja di pagi-pagi buta. Kamu tahu yang terjadi di hari ke-12?”

Aku ngeri membayangkannya.

Tetangga kami itu, satu keluarga, ditemukan dalam keadaan lemas. Ayah menjadi orang pertama yang membuka simpanan makananku di gudang bawah tanah dan membawanya untuk keluarga itu. Aku marah. Ayah pasti tahu itu. “Tenang,” kata Ayah, menyeringai. “Semua pintu sudah kukunci dari luar,” katanya. Kami sama-sama tersenyum. Dua hari setelahnya, tetangga kami, sekeluarga penuh, datang dan membungkuk lama sekali di hadapan Ayah dan Ibu. Aku mau menanyakan banyak hal kepada Ayah, tapi urung. Apalagi ketika Ayah menceritakan kegemilangan Mongolia menaklukkan Dinasti Jin, Song, Tangut, sehingga Tiongkok takluk dan Beijing menjadi ibu kota Mongolia kala itu.

Membayangkan bagaimana “Mongolia mendirikan tenda-tenda di luar tembok wilayah ketiga dinasti itu hingga orang-orang Tiongkok tak bisa mengakses pangan dari luar wilayah mereka dan hanya punya pilihan dalam menjalani hidup: mati kelaparan atau menjadi kanibal” saja aku sudah bergidik. Dan ini: mendengar taktik serupa yang keluarga Kris terapkan kepada tetangganya, alangkah mengerikannya.

“Lalu kau memutuskan berjualan di Myeongdong?” Aku berharap topik ini bisa menawarkan kengerian.

“Anak bungsu tetangga itu masih hidup. Sampai sekarang. Kami perang dingin. Beberapa kali ia melakukan percobaan untuk mencelakaiku. Termasuk memorak-porandakan gerobakku pada suatu malam. Dia lupa, Mongolia itu sakti. Mampu menguasai kuda tanpa memegang tali kekang. Pedang di tangan kanan, perisai di kiri.”

“Orang-orang mafhum dengan Mongoliaisme dalam dirimu?”

“Seperti yang kaubilang tadi, Benn,” ia menenggak arak hingga tandas. “Di sini aku menjelma menjadi pribadi yang terbuka, bukan sadis.”

Aku makin ngeri membayangkannya. Sejujurnya, mulanya ketika tahu bahwa Mongolia adalah imperium (atau satu-satunya Imperium?) yang tidak memaksakan Shamanisme, kepercayaan yang menyembah Tngiri sebagai ruh yang agung, untuk dipeluk mereka yang berada dalam wilayah yang sedang diekspansi atau ditaklukkan, aku takjub dengan pluralisme yang mereka junjung. Namun, melihatnya hadir—dan dimodifikasi secara brutal—di era modern ini tentu saja aku menghela napas tak keruan kali. “Kamu tahu bahwa, di era keemasan Mongolia, adalah pemandangan biasa ketika penganut Shamanisme, Muslim, Nasrani, dan Buddhisme, bahkan dengan identitas fisik mereka, berjalan bersama di tengah-tengah kerajaan dan keramaian?”

Kris mengangguk. “Aku bahkan melihat, orang-orang Korea yang masih percaya (kekuatan) roh itu sebenarnya mewarisi Shamanisme.”

“Hmm, kamu shamanis?”

Kris tersenyum. “Aku jadi kristen ketika menghadiri pesta pernikahan teman di gereja.” Lalu ia tertawa. “Jadi, di Myeongdong aku menjadi Mongolia yang plural.”

Bagi seorang muslim sepertiku, pluralisme Mongolia bukanlah kabar gembira. Apalagi ketika mengetahui bahwa terdapat orang-orang Muslim dalam bala tentara Hulagu Khan ketika menaklukkan Baghdad pada 1258.

“Di jalanan Myeongdong, orang-orang melihat kami sebagai penjual yang menawarkan dagangannya. Padahal tidak. Ketika mereka menginginkan odeng atau toppoki di hari yang dingin, mereka tak punya pilihan kecuali harus membelinya kepada kami, kecuali mereka mau berjalan dua kilometer untuk bertemu kedai yang sama,” lalu ia tertawa lagi. “Lingkaran jajanan di Myeongdong ini sebelas-dua belas dengan lingkaran tenda maut Mongolia yang mengepung Dinasti Tangut.” Tawanya makin keras. “Maka hari yang cerah lepas siang di Myeongdong adalah kemestian agar kami bisa menjalani hidup dengan sukacita sebab orang-orang gemar berjalan beramai-ramai di bawah matahari. Apalagi di musim semi dan gugur. Kedua musim itu akan membuat kami menjadi lebih ceria dari biasa. Senyum lebih lebar. Kantong lebih tebal. Tamu senang tanpa kami merasa harus menjadi babu mereka.”

Kris benar. Paling tidak, hal itu tecermin dalam sistem persampahan mereka di ruang publik. Di Korea, setiap kedai bertanggung jawab terhadap sampah yang dihasilkan oleh para pembeli. Dan pembeli tak punya pilihan lain kecuali mengembalikan cangkir dan piring kertas atau tusuk sate dan sumpit kayu kepada penjual karena mereka takkan menemukan kotak sampah di keramaian Myeongdong, sementara membuangnya sembarangan hanya akan mempersulit diri sendiri. Dalam banyak pengalaman saya berjalan ke berbagai negara, Korea adalah negara yang berhasil memaksa orang-orang, termasuk pendatang, untuk mengikuti sistem ke(ny)amanan lingkungan mereka. Myeongdong membuat saya percaya bahwa menyediakan banyak kotak sampah bukanlah solusi bagi kebersihan. Peraturan, pengawasan, dan sanksi sosial bagi pelanggar harus berjalan kolektif-kolegial. Satu saja keluar jalur, mental orang-orang akan berantakan. Hal-hal demikianlah yang terjadi di Indonesia dan India yang membuat kebersihan bukan hanya masalah akut, tapi juga kekacauan dan kesemrawutan menjelma jadi identitas hidup yang sudah dibantah.

Hari akan gelap ketika satu kotak odeng dan toppoki mentah datang untuk ia masak dalam wajan di tengah gerobaknya. “Ini sesi kedua. Malam di Myeongdong, apalagi ketika langit cerah seperti saat ini, adalah segalanya bagi kami.”

Saya tahu, kalau itu tandanya saya harus pamit.

*

Di metro yang akan membawa kami ke Guro, saya bertemu dengan En-chi. Gadis yang secara tak sengaja mendengar perdebatan bahasa Inggris saya dengan istri–tentang jalur kereta bawah tanah mana yang akan membawa kami ke apartemen–sehingga menyulutnya menjadi penengah: memberi tahu bagaimana seharusnya kami membaca jalur.

Lagi, kekeliruan yang membuat hidup menjadi hidup. Kondisi normal = saya dan istri bicara dengan penuh perhatian, kekeliruan = kami justru berdebat di ruang publik, hasil = hero yang bukan hanya menunjukkan kami jalur jalan pulang yang benar, tapi lebih dari itu: juga memberi tahu kami tentang seni mengabaikan. Kemarahan, teriakan, dan sejenisnya adalah manifestasi kekeliruan yang membuat segala hal akhirnya “sempurna”.

En-chi mengatakan bahwa kami memiliki jurusan yang sama. “Tapi saya akan berhenti di Sidorim, beberapa stasiun sebelum kalian,” katanya. Meski tidak tersenyum, tapi wajah gadis yang saya taksir berusia 20 tahunan itu memancarkan aura yang bersahabat.

“Kamu masih mahasiswa atau bekerja atau melakukan keduanya bersamaan?”

En-chi diam. Tidak mengangguk. Tidak menggeleng. Lalu ia mengetik di ponselnya. Oh, Papago. AKU AKAN MEMBANTUMU AGAR KAMU TIBA DI STASIUN YANG BENAR. HANYA ITU.

Sungguh sebuah pernyataan telak. Kebaikan intensional, begitu istilah yang pernah saya dengar dalam salah satu siniar tentang kejiwaan. Bagi penganutnya, mereka hanya akan kebaikan yang ingin mereka lakukan saja dan mereka akan bertanggung jawab dengan itu. Mereka tidak akan mau menjadi sukarelawan untuk kebaikan-kebaikan yang tak mereka niatkan dari awal. Mereka melakukannya karena mereka mau, bukan karena mereka suka, apalagi rela dan menggabungkan keduanya demi makna dan citra sosial.

Kebaikan serupa saya temukan pada wajah Seoul dengan toilet gratisnya yang bersih dan gratis di mana saja. Hal ini berbeda dengan di Eropa atau di beberapa pasar yang menyediakan fasilitas WC Umum kotor nan berbayar di Indonesia sendiri. Jadi, ketika kau melihat toilet bersih gratis di sebuah apotek, tidak otomatis pemiliknya akan memuliakanmu dengan tersenyum karena kau akan berbelanja dan memberi mereka uang. Hal ini kami alami ketika untuk kali kedua kami ke Myeongdong. Memasuki apotek dengan pakaian yang lembab dan jejak hujan yang nyata di t-shirt putih saya, pemilik toko obat dengan intonasi gusar merespons bahasa Inggris saya dengan bahasa Korea. Saya akhirnya menggunakan Papago untuk memastikan bahwa mereka memiliki salep kulit untuk Maura yang mengeluh gatal di sekujur tubuh ketika cuaca dingin atau suhu turun drastis di tengah malam. Ia memerintahkan istrinya (atau karyawannya [?]) yang tampak lebih ramah untuk mengambil sebuah merek. Setelah memastikan bahwa yang mereka berikan adalah salep, bukan pil atau sirup, saya membayar 7000 won. Saya sedikit menyesal mengucapkan kamsamida begitu laki-laki tua itu tak menjawabnya sama sekali.

Dalam perjalanan dari Stasiun Guro ke apartemen yang hanya berjarak 300 meter, setelah memesan americano panas di sebuah kafe besar dengan ornamen artistik, Coffee Roasting & Brunch, hujan turun renyai. Kami berteduh di sebuah kedai odeng karena istri dan anak-anak ingin menikmati “pempek rebus” dengan kuahnya yang gurih itu. Kami suka mampir ke sana karena, selain harganya separuh lebih murah dari yang dijajakan di Myeongdong (padahal jelas odeng di Myeongdong jauh lebih besar!), juga karena wanita tua yang menjualnya sangat ramah. Dia tampaknya sangat menyukai anak-anak. “Yeppo,” serunya berkali-kali seraya memandang wajah ketiga putri kami yang melahap odeng dengan wajah ceria. Baginya, semua anak kecil perempuan bukan hanya lucu, tapi yeppo, cantik-cantik!

Perempuan penjual odeng dekat Stasiun Guro itu mungkin anomali dari Korea yang kami temukan selama sepekan kami di Seoul, meskipun sangat ngeri membayangkan perempuan itu memiliki wajah lain atau membayangkan ia hanya sedang menerapkan kebaikan intensional. Ia memuji karena mau. Bukan karena baik hati. Ah.

Berbeda dengan Kris atau para pedagang di Myeongdong, perempuan yang tak sempat kami tanyakan siapa namanya itu, menganggap hari yang mendung adalah segalanya. Hidup baginya adalah orang-orang yang datang dan berbelanja, bukan matahari yang bersinar cerah atau musim semi yang berbunga.

“Tiap kali melihat anak kecil dia teringat cucunya di Busan,” kata seorang perempuan, yang menitipkan semacam kue sagu kayu manis di kedai odengnya, yang menyambut dengan baik deretan aksara Hangeul hasil kerja Papago yang saya tunjukkan kepadanya. Darinya juga kami tahu bahwa mata perempuan penjual odeng itu tak awas lagi sehingga dia tampak selalu tak nyambung ketika saya menunjukkan hasil kerja Papago saya kepadanya. “Baginya, hari yang cerah adalah segalanya.”

TAPI, SEKARANG HARI SEDANG HUJAN.

Perempuan penjual kue kayu manis itu tersenyum dan berbicara di pengeras suara Papago saya. “Mereka yang mengharapkan matahari, selalu kecewa ketika hujan turun. Mereka lupa, beras yang terlalu lama dicuci atau bahkan lupa dimasak akan menjadi tuak,” lalu ia tertawa lagi.

Tiba-tiba saya teringat ucapan Ethile, ketika ia menangkap keterperangahan saya mendapati kecantikan gadis-gadis Slovenia beberapa saat setelah kepala ini berkabut oleh pesona Hallstatt di awal musim semi, “Tuhan menciptakan mereka di hari Minggu yang cerah,” kata fasilitator perjalanan saya di Austria lima tahun lalu dengan bangga. Saya tahu, darahnya Aria. Tapi, tentang gadis Slovenia, dia memang boleh sepongah itu.

Mungkin, Myeongdong Tuhan ciptakan di waktu yang sama. Hari libur. Pun cerah. Tapi hanya tempatnya. Bukan orang-orangnya.

BAGAIMANA DENGAN KRIS? SERU? Pesan Ted terbaca di layar ponsel yang masih terkunci. KAMI SEPERTI JUNG DAN FREUD. KALAUPUN TIDAK SAMA-SAMA GILA, KAMI SAMA-SAMA PEMBACA BUKU.

Carl Jung adalah murid Sigmund Freud yang setia sampai kemudian sang guru menjauhinya ketika Jung mengiriminya bundel tulisannya tentang skizofrenia. Banyak yang menyebut Jung sebagai pengkhianat, sebagaimana banyaknya orang-orang yang memvonis Freud keras kepala. Sebagai ilmuwan introver, Jung tak menyukai publisitas, kecuali terkait naskah-naskah hasil riset psikologinya yang, selain memperkuat, juga banyak meruntuhkan, sejumlah pendapat dan atau temuan Freud.

Di luar, hujan turun. Deras sekali. Wajar Ted “Jung” menyapa serta-merta.(*)

Guro–Lubuklinggau, Oktober 2024

Benny Arnas

https://bennyarnas.com

Penulis & Pegiat Literasi

5 Comments

  • Benny Arnas,orang biasa tentu saja luar biasa,Aku sedang tidak memuji beliau,
    Tulisannya membuat Aku berasa masuk kedalam setiap cerita dan kata² setiap cerita yang mudah Aku pahami.
    You know bang Ben gadis 20thn itu sebenarnya Kim So Hyun ohh cantiknya.

  • Saya suka cara penulisannya. Gaya bahasanya.

    • Sebuah karya dengan pemikiran yang dalam.
      Love it, Ben. As usual, you always success bring the meaning of life.
      Halah, englishku belepotan if compare with u 😄
      I sedang tertatih dalam deliberasi pemikiran abstrakku tentang literasi. Maybe someday, konsensus masa depan kepenulisanku bisa berhiruk-pikuk dalam kreatifitas tulisan tanpa batas.
      Sukses terus, my fren.

  • great articlemonperatoto Terpercaya

  • Lagi dan lagi, tulisannya berwarna, dalam dan berkesan. Sukses Bang Ben.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *