Mengapa Cerita, bukan (Sekadar) Informasi?
Benny Arnas- October 29, 2025
- 1
- 162
OLEH BENNY ARNAS
Suatu pagi di musim semi tahun 2023, di sebuah ruang kuliah Universitas Szeged, Zoltán Etzsebet memproyeksikan dua gambar di layar. Di sisi kiri, grafik pertumbuhan ekonomi Hungaria selama dua dekade terakhir; di sisi kanan, potret seorang ibu muda bernama Sigrid yang berjualan roti di sudut kota. “Yang mana kalian ingat lebih lama?” tanya sang profesor. Saya dan hampir semua mahasiswa menunjuk gambar perempuan itu. Laki-laki jelang 50 tahun itu tersenyum dan berkata lembut, “Kita mengingat cerita, bukan angka.”
Manusia adalah makhluk naratif. Kita tidak bisa melewati satu hari tanpa berbicara, mendengar, atau menanggapi sesuatu. Bahkan ketika sendiri di kamar, kita masih bercakap dalam hati: menyusun rencana, mengulang kenangan, menilai diri. Itulah bentuk paling sunyi dari bercerita. Cerita adalah oksigen kesadaran; tanpanya, hidup hanya serpihan peristiwa yang tak saling terhubung. Kita mengerti siapa kita justru melalui cerita yang kita percayai tentang diri sendiri.
Kita pun lebih mudah mengingat bagaimana sesuatu disampaikan daripada apa yang disampaikan. Anak-anak tak mengingat “nilai kejujuran” sebagai kata abstrak, tapi lewat kisah si Kancil dan buaya. Orang dewasa pun demikian; mereka mengingat pidato Martin Luther King bukan karena data statistik kesetaraan, tetapi karena kisah “mimpi” yang ia lukiskan. Cerita membuat makna bergerak dari kepala ke hati. Sementara informasi berhenti di permukaan nalar, cerita menyentuh ruang emosional manusia.
Banyak pengetahuan besar justru terperangkap di ruang-ruang akademik yang sepi pembaca. Di dalam disertasi, tesis, laporan penelitian, bersemayam temuan yang luar biasa. Tapi, berapa banyak yang tahu? Berapa banyak yang membaca? Sangat sedikit!
Mengapa?
Sebab yang ditulis di sana bukan cerita, tapi informasi. Bukan perjalanan, melainkan hasil. Kita membaca kesimpulan, bukan pergulatan. Padahal, pergulatan itulah yang manusiawi, yang menyalakan empati dan rasa ingin tahu.
Tiga tahun terakhir saya sering diundang untuk berbicara di kelas-kelas menulis dengan tema “menuliskan ulang hasil penelitian menjadi karya naratif”. Banyak peserta yang awalnya mengira bahwa menulis naratif berarti memperindah kalimat. Padahal bukan. Kuncinya bukan di gaya bahasa, melainkan di kesadaran untuk bercerita. Begitu seseorang berani menulis keraguannya, kelelahan, dan kejutan-kejutan kecil selama penelitian, teksnya tiba-tiba hidup. Data tetap hadir, tetapi kini punya napas. Pembaca merasa ikut berjalan bersama penulis, ikut menatap mikroskopnya, ikut mengintip lembar wawancara.
Fenomena semacam ini terbukti berhasil di banyak karya populer. Buku Hidden Figures karya Margot Lee Shetterly awalnya merupakan riset kering tentang tiga ilmuwan perempuan kulit hitam di NASA. Namun saat disusun sebagai kisah perjuangan, ia bukan hanya laris, tetapi juga mengubah persepsi publik tentang peran perempuan dalam sains. Film The Social Network lahir dari buku investigatif The Accidental Billionaires karya Ben Mezrich. Dari laporan dingin tentang bisnis digital, berubah menjadi drama emosional tentang ambisi, kecerdasan, dan kesepian. Bahkan kampanye iklan Levi’s “The Greatest Story Ever Worn” berangkat dari riset sejarah 150 tahun produknya. Begitu data itu dijahit menjadi kisah nyata para pemakainya (penambang, tentara, penjelajah) pesannya terasa jauh lebih manusiawi.
Fenomena serupa terjadi dalam dunia sains. Rebecca Skloot menulis The Immortal Life of Henrietta Lacks dari laporan ilmiah tentang sel manusia pertama yang abadi. Saat ia memutuskan menulisnya sebagai kisah keluarga, buku itu menjadi salah satu karya nonfiksi paling berpengaruh abad ini. Bahkan di bidang ekonomi, Freakonomics karya Steven Levitt dan Stephen Dubner menjadi bestseller bukan karena datanya spektakuler, tapi karena mereka bercerita—tentang penjual narkoba yang hidup seperti akuntan, atau guru yang menyontek demi angka ujian murid.
Albert Einstein, yang sejatinya ilmuwan murni, pernah berkata bahwa imajinasi lebih penting daripada pengetahuan. Pengetahuan, katanya, terbatas; imajinasi mengelilingi dunia. Ia tahu, imajinasi adalah alat untuk menenun data menjadi gambaran yang bisa dihayati manusia. Ketika seorang ibu bertanya bagaimana membuat anaknya cerdas, Einstein menjawab: “Bacakanlah cerita.” Dan ketika ibu itu bertanya bagaimana menjadikannya genius, jawabnya sederhana: “Bacakan lebih banyak cerita.” Bagi Einstein, pengetahuan adalah tubuh, sedangkan cerita adalah jiwa yang menggerakkannya.
Tidak hanya para ilmuwan; kitab-kitab suci dari berbagai kepercayaan pun menjadikan cerita sebagai jalan wahyu. Dalam Al-Qur’an, kisah Nabi Yusuf, Musa, atau Luqman disampaikan sebagai pelajaran yang menghidupkan imajinasi moral. Perintah “Iqra’” bukan sekadar membaca teks, tetapi membaca tanda-tanda kehidupan. Dan saat Allah bersumpah “Demi pena dan apa yang mereka tulis,” itu menegaskan bahwa menulis bukan sekadar mencatat informasi, melainkan menulis kehidupan itu sendiri.
Dalam tradisi Kristen, Yesus mengajar lewat perumpamaan. Ia tak memberi teori tentang kebaikan, melainkan menceritakan tentang biji sesawi, domba yang hilang, dan orang Samaria yang murah hati. Dalam tradisi Hindu, Mahabharata dan Ramayana tidak hanya kumpulan ajaran moral, tetapi kisah-kisah epik tentang pilihan, takdir, dan tanggung jawab. Dalam ajaran Buddha, Jataka, kisah kehidupan lampau Sang Buddha, mengajarkan kebajikan melalui narasi, bukan dogma. Semua itu menunjukkan bahwa manusia dari zaman apa pun, di tanah mana pun, menemukan makna melalui cerita.
Kini kita hidup di era ledakan informasi. Setiap detik, jutaan data baru mengalir di layar. Namun, anehnya, semakin banyak informasi, semakin hampa perasaan kita. Kita tahu segalanya, tapi jarang tersentuh oleh apa pun. Dunia menjadi ramai tapi tidak bermakna. Barangkali karena kita telah kehilangan kemampuan untuk mengubah data menjadi kisah, kehilangan kepekaan untuk menenun makna dari fakta-fakta yang bertebaran.
Padahal, setiap angka punya wajah, setiap teori punya perjalanan, setiap hasil penelitian punya kisah kemanusiaan di baliknya. Di sanalah letak daya cerita: ia menyatukan logika dan rasa, menautkan ilmu dan kasih, menyalakan kembali apa yang disebut hati nurani.
Barangkali sudah waktunya kita kembali belajar mendengarkan. Bukan hanya membaca laporan, tapi mencari suara di balik laporan itu. Bukan sekadar menulis hasil, tapi menuturkan prosesnya. Bila kita mulai menceritakan lagi hal-hal yang baik: tentang seorang perawat yang tetap tersenyum setelah 20 jam kerja, tentang petani yang menanam meski hujan tak kunjung turun, tentang anak kecil yang mengembalikan dompet yang bukan miliknya, maka dunia akan terasa lebih bernapas.
Sebab di akhir segala ilmu, cerita selalu menjadi rumah bagi makna. Ia membuat pengetahuan berumur panjang. Dan mungkin, di tengah dunia yang sibuk menghitung segalanya, tugas kita hanyalah satu: terus (menulis) cerita, agar cahaya kecil kebaikan itu tidak padam oleh kebisingan informasi.(*)
Lubuklinggau, 29 Oktober 2025
1 Comment
Pernyataan bahwa “kita mengingat cerita, bukan angka” keren sekali Bang Ben.. 😍👍🏻