Ljubljana: Menjenguk Palestina lewat Luka Yahudi

Ljubljana yang cokelat muda di kala pagi (dok. pribadi)
Doa, jika lahir dari hati yang mencintai hidup, akan selalu menolak pembunuhan
Oleh Benny Arnas
Saya tiba di Ljubljana pada sebuah pagi musim gugur enam tahun lalu, ketika matahari masih enggan membuka tirai awan, dan udara lembab menampar pipi saya dengan pelan. Di luar Stasiun Kereta Ljubljana, saya melihat gedung-gedung tua berwarna pastel pucat berjajar seperti puisi yang menunggu dibacakan. Ada ketenangan yang asing di sini, ketenangan yang membuat langkah saya terasa ringan meskipun tubuh saya masih menanggung letih perjalanan panjang dari Salzburg.
Saya menyesap kopi hitam pertama pagi itu di sebuah Gostilna kecil dekat hotel. Meja kayunya dingin. Lantai keramiknya mengilap bersih. Pelayan perempuan dengan rambut pirang diikat rapi menyapa saya dengan bahasa Slovenia yang tidak saya pahami, lalu berganti ke bahasa Inggris yang pelan dan terbata. Saya hanya mengangguk, mengucapkan hvala yang saya pelajari dari Google Translate malam sebelumnya. Rasanya saya kembali menjadi mahasiswa muda: duduk di perpustakaan Universitas Andalas pada sore yang gelap lebih cepat karena hujan yang awet dua belas tahun silam, menekuri kata demi kata bahasa Belanda dengan kamus setebal batu bata di samping saya. Kala itu, di usia tiga lima dengan pengalaman meneliti yang nyaris nol, saya benar-benar merasa sebagai murid. Dan saya kira, di situlah saya masih hidup: pada rasa ingin tahu yang tidak pernah padam.
Hari itu, saya membuka laptop di kafe, menatap peta digital. Tujuan saya: Judovski kulturuni center — Pusat Kebudayaan Yahudi Ljubljana. Dua sebelumnya, saya telah menghubungi seorang perempuan yang bekerja di sana. Karena permintaannya, untuk keperluan publikasi, kami sepakat untuk menganti nama pemberian orangtuanya dengan satu kata yang berasal dari bahasa Yunani–Katharos–yang berarti murni: Katarina. Ia membalas surel saya dengan kalimat sederhana: “We will welcome you with open arms. Jewish life here is small but full of stories.”
Kalimat itu membuat saya menutup laptop pelan dan menarik napas panjang. Jewish life here is small but full of stories. Bukankah itu juga yang saya kejar dalam berbagai perjalanan selama ini—kehidupan-kehidupan kecil yang jarang dilihat tetapi menyimpan cerita paling utuh tentang kemanusiaan? Saya tersenyum dalam hati, namun sesungguhnya saya gugup. Seperti apa rasanya bicara dengan seorang Yahudi yang beriman. Meskipun saya sudah cukup banyak membaca dan melakukan riset tentang Yahudi di Slovenia, namun saya selalu percaya bahwa empiris kerap berseberangan dengan segala yang tertera di atas kertas.
Esoknya, saya berjalan kaki menyusuri Križevniška Ulica, jalan batu sempit dengan toko-toko buku bekas, galeri seni, dan kafe dengan aroma roti hangat yang menembus kaca jendela. Ljubljana di musim gugur seperti kota dalam lukisan Renaisans. Pohon maple menumpahkan daun kuning dan jingga, menutupi trotoar bak permadani yang menuntun langkah saya menuju pusat kebudayaan Yahudi itu. Bismillah.
Pintu kacanya kecil, dengan plakat bertuliskan Judovski kulturuni center dan bintang Daud di sisinya. Bangunan itu nyaris luput jika tidak jeli menatap simbol-simbol kecil di dinding. Saya berhenti sejenak di depan pintunya, menatap pantulan wajah saya di kaca. Seorang lelaki paruh baya berjaket tebal, syal abu-abu membalut leher, mata yang menyimpan kantuk dan rasa lapar pada pengetahuan. Di titik itu, entah mengapa, saya teringat Neknang, almarhum kakek saya di Lubuklinggau, yang selalu berpesan, “Kalau membaca, jangan hanya gunakan pikiran. Pakai juga hatimu.”
Kalau membaca, jangan hanya gunakan pikiran. Pakai juga hatimu.”
Neknang
Saya mengetuk pintu pelan. Suara bel lembut terdengar. Seorang perempuan berambut ikal pendek muncul, tersenyum ramah. “You must be the Indonesian researcher,” katanya. “Welcome. I am Katarina.”
Saya bergetar dengan sebutan “researcher”, tapi meralatnya tentu bukan keputusan yang ingin saya ambil. Saya khawatir, gadis itu berubah pikiran ketika mengetaui tamunya hanyalah penulis fiksi yang banyak maunya. Kami berjabat tangan. Telapak tangannya hangat. Mata hazelnya menatap saya dengan cara yang mengingatkan saya pada profesor Hedy di Leiden — tatapan orang yang menilai tanpa menghakimi.
Katarina membawa saya masuk ke ruang utama yang mereka sebut museum. Ruangan itu kecil, tak lebih besar dari ruang tamu rumah saya di Lubuklinggau. Dinding putihnya penuh foto hitam putih komunitas Yahudi Ljubljana: potret keluarga, pernikahan, bar mitzvah (anak laki-laki), hingga sekolah Yahudi sebelum Perang Dunia II. Di salah satu sudut, rak kaca menyimpan buku-buku tua berbahasa Ibrani, menorah—atau tempat lilin bercabang tujuh–dari perak, dan sederet alat makan Paskah.
Mata saya terpaku pada sebuah foto hitam putih yang menampilkan tiga gadis muda bergaun putih dengan pita di rambut mereka. Senyum mereka menembus waktu, menimbulkan haru yang sulit saya jelaskan. Siapa mereka? Apakah sempat merasakan cinta pertama? Apakah sempat menulis puisi tentang hujan sebelum Nazi menjemput mereka? Apakah sempat berpelukan erat dengan ibunya sebelum diangkut ke kamp konsentrasi?
Saya menoleh pada Katarina. Ia menatap saya, seolah memahami kegundahan yang merayap di dada saya.
“Most people come here for the Holocaust memories,” katanya pelan. “But Jewish life is beyond the Holocaust. They laughed. They sang. They made poems and bread and dreams.”
Saya mengangguk pelan.Kata-katanya menampar kesadaran saya. Saya seperti sedang diultimatum. Betapa saya, pun di Asia Tenggara, sering menulis Yahudi hanya di bingkai dua narasi: Holocaust dan konflik Palestina. Saya lupa di balik tragedi dan politik, selalu ada keseharian yang banal: roti, doa, ulang tahun anak, keheningan senja.
Usai pertemuan pertama itu, saya melangkah ke luar. Matahari tenggelam pelan di barat. Langit Ljubljana berpendar oranye keemasan. Sungai Ljubljanica mengalir tenang, memantulkan lampu-lampu kota. Di jembatan Triple Bridge, para turis bergiliran berfoto. Saya berdiri di tepi sungai, menatap air yang membawa daun maple hanyut perlahan.
Dalam hati saya bertanya, Jika saya adalah Yahudi Ljubljana, bagaimana rasanya hidup sebagai minoritas kecil yang menanggung sejarah besar? Ya, sejak memutuskan membuat janji dengan Katarina, saya tahu kalau saya harus “mengosongkan tendens” dari narasi kekejamaan zionisme di Palestina. “Ingat Benn, kamu mencari data, bukan yang lain. Jadi, bersikaplah seharusnya,” begitu hati kecil saya selalu memainkan perannya ketika amarah atas kekejaman zinois itu menggelegak.
Angin sore berembus, mengibaskan syal yang tak lain tak bukan adalah pashmina Istri. Meski warna merah muda mendominasi, saya belum pernah mendapatkan komentar bahwa kain yang melilit di leher itu membuat saya kurang maskulin. Sebagian besar memuji motif batik abtraknya yang, sepertinya, ketika “kawin” dengan warna merah muda, membuatnya makin menyala. Saya merapatkan jaket, menatap gedung-gedung tua di seberang sungai. Di balkon jauh sana, seorang nenek menjemur taplak meja. Pemandangan biasa. Namun bagi saya, sore itu menegaskan ulang hakikatcsaya: tugas pengembara bukan hanya merekam tragedi, tetapi juga merawat keseharian — di situlah hidup menemukan maknanya. Ya, perjalanan demi perjalanan membuat saya paham–dan bersepakat–dengan apa yang Ibnu Batutah katakan bahwa cara terbaik untuk menjadi pencerita yang ulung adalah dengan bepergian.
Cara terbaik menjadi pencerita adalah dengan mengembara
Ibnu Batutah
Beberapa hari kemudian, saya menghadiri pembacaan puisi di pusat kebudayaan Yahudi. Ruangan kecil itu dihangatkan lilin-lilin di sudut. Aroma wine hangat bercampur dengan bau buku tua.
Seorang penyair muda naik ke podium. Suaranya bergetar membaca baitnya:
Grandfather,
I dream of you every night.
You sit on the porch,
with bread and cheese,
your beard smells of morning prayer.
When the soldiers came,
they took your body.
But your dream
still sits here,
on the porch of my soul.
Saya meneteskan air mata. Entah mengapa, puisi tentang kakeknya yang dibunuh Nazi mengingatkan saya pada kakek saya sendiri di Lubuklinggau —seorang veteran yang setiap pagi duduk di kursi bambu, menyeruput kopi panas, merokok kretek, mengecek kebun ubinya di halaman belakang yang tak seberapa, dan menatap pohon jambu air yang membuat pekarangan depan selalu rindang. Kakek saya tidak pernah diangkut tentara. Ia meninggal di usia 93, wajahnya damai, pemakamannya ramai. Tapi rindu sang penyair menembus sejarah, agama, geografi. Rindu, rupanya, adalah bahasa purba yang dipahami semua orang tanpa penerjemah.
Beberapa hari kemudian saya naik kereta menuju Maribor, kota di utara Slovenia, mendekati Austria. Pagi itu kabut menutupi rel. Angin menusuk tulang. Di bangku seberang, seorang lelaki tua membaca koran sambil menyesap kopi dari termos kecil. Ketika kereta datang, saya duduk dekat jendela. Sepanjang perjalanan: bukit hijau mulai menguning, desa atap merah, ladang jagung habis panen.
Saya tiba di Maribor menjelang siang. Kota ini lebih sunyi daripada Ljubljana. Langit kelabu, udara dingin. Saya berjalan menuju Sinagoge Maribor di tepi Sungai Drava. Jalanan sempit, sedikit menanjak. Di depan sinagoge, plakat kecil bertuliskan: Synagogue Maribor, built in the 14th century.
Bangunannya sederhana, cat abu-abu pucat, jendela lengkung. Saya menekan bel di pintu kayu tebalnya. Seorang perempuan muda berambut hitam membuka pintu. Namanya Ana, arsiparis sinagoge. Ia menatap saya heran mendengar saya datang jauh dari Indonesia untuk meneliti jejak Yahudi Slovenia.
“Not many Asian researchers come here,” katanya, tersenyum kecil. Kami berjabat tangan. Ana mempersilakan saya masuk.
Bagian dalam sinagoge dingin dan sunyi. Dinding tebal, lantai batu, langit-langit tinggi lengkung Gotik. Meja baca Taurat kosong. Tidak ada gulungan Taurat. Tidak ada doa. Tidak ada anak-anak menghafal ayat. Sinagoge Maribor sudah lama bukan rumah ibadah. Kini hanya museum bisu — penanda jejak yang terhapus perang dan waktu.
Ana mengajak saya ke ruang arsip di lantai dua. Di sana, berkas-berkas tua komunitas Yahudi Maribor tersimpan dalam kotak karton. Saya membuka satu kotak, menemukan fotokopi dokumen berbahasa Jerman dan Slovenia: daftar keluarga Yahudi yang pernah tinggal di sini. Nama-nama itu menari di mata saya: Moses Kohn, Esther Weiss, David Steinberger. Nama-nama yang pernah meramaikan pasar, sinagoge, sekolah. Nama-nama yang kini tinggal huruf.
Saya memejamkan mata. Dalam keheningan ruangan arsip itu, saya seperti mendengar suara langkah anak-anak berlari di halaman sinagoge, suara doa Sabat, suara pelajaran Talmud pagi buta. Suara itu muncul lalu lenyap ditelan sunyi. Ruang arsip ini adalah makam tak bernisan bagi mereka yang dilenyapkan sejarah.
“Saya punya sesuatu untuk Anda,” kata Katarina sambil menarik laci meja kayu yang warnanya mulai pudar. Suaranya membangunkan saya dari lamunan tentang perjalanan kereta semalam dari Maribor. Ia mengeluarkan sebuah map kuning tebal dan meletakkannya di atas meja di antara kami. Tumpukan kertas di dalamnya tampak rapuh, sudut-sudutnya sudah keriting.
“Ini apa?” tanya saya sambil menatap map itu, menahan keinginan untuk langsung membukanya.
“Salinan daftar pajak warga Yahudi Ljubljana tahun 1509. Saya menyiapkannya semalam setelah Anda pulang. Anda pasti membutuhkannya untuk penelitian Anda.”
Saya mengangguk pelan. Pelan-pelan, saya membuka map itu. Bau kertas tua dan tinta arsip menyeruak, mengingatkan saya pada ruang katalog di Perpustakaan Universitas Leiden tiga puluh tahun lalu. Di halaman pertama, tertera daftar nama dalam tulisan tangan Latin yang halus namun tegas: Josef ben David, Miriam bat Shlomo, Samuel ben Moshe, Leah bat Avraham. Di samping nama-nama itu, tercantum jumlah pajak yang mereka bayarkan.
“Nama-nama ini seperti puisi,” kata saya tanpa sadar. Katarina tersenyum kecil, menatap saya lama sebelum menjawab.
“Mereka memang puisi. Puisi yang ditulis Tuhan di bumi ini, tapi hilang sebelum sempat dibacakan.”
Saya menutup map itu pelan. Saya tak ingin melodarama di hadapan nama-nama yang keturunan mereka hari ini menginjak-injak kemanusiaan di Gaza. “Bagaimana nasib mereka setelah pengusiran massal tahun 1515?” Tapi, saya ternyata masih mencari tahu.
Katarina menekuk jemarinya di atas meja, menatap ke arah jendela yang basah oleh embun hujan. “Sebagian besar pergi ke Italia Utara. Beberapa ke Kroasia. Tidak ada catatan mereka pernah diundang kembali. Setelah itu, selama lebih dari 400 tahun, Ljubljana tidak memiliki komunitas Yahudi resmi.”
Ia menatap saya dalam, seolah ingin memastikan saya memahami kalimat berikutnya. “Dan sejarah mereka dihapus begitu saja dari buku pelajaran sekolah. Saya sendiri baru mendengar tentang nama-nama ini ketika kuliah sejarah ekonomi abad pertengahan.”
“Bagaimana dengan yang di Maribor?” tanya saya. Ia menatap saya dengan pandangan sedih.
“Kamu sepertinya tahu banyak?” Nadanya terdengar menyelidik.
“Saya periset. Dan asal kamu tahu,” kata saya berusaha tenang. “Bagi saya nama Ljubljana itu unik. Sama seperti Sofia di Bulgaria. Dan hal itu menggiring saya pada pencarian banyak hal. Slovenia memberi saya banyak celah untuk memasuki hal-hal tentang keyahudian. Dalam hal ini,” saya memberi jeda, “dalam banyak kesempatan saya meninggalkan sensitivitas muslim saya, meski dalam banyak kesempatan pula, saya gagal. Aku harap kamu paham atau memakluminya.”
Katarina diam sejenak, menghela napas dan berkata, “Mereka bertahan lebih lama. Sampai abad ke-18 masih ada komunitas Yahudi di Maribor. Tapi Nazi menyapu bersih semuanya. Yang tersisa hanya bangunan sinagoge tanpa jemaat.”
Saya menatap Katarina lama. Ingin sekali menulis semua yang ia katakan tanpa mengubah satu kata pun. Karena kalimat-kalimat itu bukan sekadar data; itu doa dan ratapan seorang sejarawan muda yang hidup di tanah yang menolak mengingat.
“Katarina, kamu tidak pernah bosan bekerja di sini?” tanya saya akhirnya. Ia tertawa kecil.
“Kadang saya bosan, tapi bukan karena pekerjaannya. Saya bosan karena tidak ada yang peduli pada pekerjaan ini. Seperti bicara pada dinding. Orang-orang lebih suka membaca tentang Kaisar Habsburg, tentang Perang Napoleon, tentang Tito dan Yugoslavia atau tentang tokoh paling populer di jagat raya–nabimu yang agung: Muhammad.”
Refelks yang menggumamkan selawat.
“Mereka lupa bahwa sejarah juga terdiri dari orang-orang kecil yang menanam gandum, menenun kain, menulis puisi, dan menyalakan lilin sabat.”
Ia meneguk kopinya yang sudah dingin. Matanya menerawang ke rak-rak buku di sekeliling kami. “Kadang saya bermimpi jadi pustakawan di Vienna Jewish Museum. Gajinya besar, pengunjungnya ramai. Tapi setiap kali saya hendak mengirim lamaran, saya teringat nama-nama ini,” katanya sambil menepuk map kuning di hadapan saya, “dan saya batal.”
Saya menunduk, menahan air mata yang tiba-tiba memenuhi pelupuk. Dalam diam, saya mengusap sampul map itu dengan punggung jari. Di luar, suara hujan menipis. Beberapa turis Jepang lewat sambil menatap papan nama Judovski kulturuni center. Mereka membaca pelan, lalu berlalu begitu saja tanpa masuk.
“Kamu tahu,” kata Katarina, “tahun lalu kami mengadakan pameran foto keluarga Yahudi Ljubljana sebelum Perang Dunia II. Pengunjungnya tidak sampai tiga puluh orang. Kebanyakan turis Israel yang kebetulan lewat.”
Saya menatapnya. “Apa yang paling menyedihkan dari semua ini untukmu?”
Ia menatap saya dengan mata hazelnya yang teduh. “Yang paling menyedihkan adalah menyadari bahwa kita bisa hilang dari dunia ini tanpa jejak, bahkan tanpa ingatan. Padahal satu-satunya cara manusia abadi adalah melalui ingatan manusia lain.”
Kami diam cukup lama. Saya menatap meja kayu yang penuh noda tinta hitam, membayangkan ratusan tahun lalu ada orang Yahudi menulis surat cinta dengan pena bulu angsa di atas meja serupa. Membayangkan gadis bernama Miriam bat Shlomo itu menatap hujan seperti hari ini, sambil menunggu kekasihnya pulang dari pasar kain di Trieste.
Katarina tiba-tiba berdiri, berjalan ke rak buku di sudut ruangan. Ia menarik sebuah buku tebal bersampul biru gelap. “Ini koleksi puisi Ester Grunfeld. Dia penyair Yahudi Ljubljana. Puisinya tidak pernah diterbitkan secara resmi. Semua hanya salinan arsip.”
Ia membuka halaman tengah dan membacakan pelan:
Jika Kau Pulang Terlambat
Jika kau pulang terlambat,
aku akan menunggu di balkon,
menatap sungai yang menelan bayangan lampu kota.
Jika kau pulang terlambat,
bawalah roti gandum dan sedikit anggur
agar malam tidak terasa dingin.
Jika kau pulang terlambat,
pulanglah sebelum aku berhenti percaya
pada doa-doa yang aku gumamkan
untuk keselamatanmu.
Saya menutup mata. Suara Katarina menembus hati saya seperti doa Mak di Lubuklinggau tiap kali saya bepergian jauh, “Allah, pulangkan anakku dengan selamat.” Saya membayangkan Ester menulis puisi ini di meja belajarnya, di malam dingin Ljubljana tahun 1938, tanpa pernah tahu bahwa dua tahun kemudian namanya hanya tinggal baris di daftar tahanan Dachau.
“Katarina, bolehkah saya menyalin puisinya untuk tulisan saya?” tanya saya dengan suara bergetar.
Ia menutup buku itu pelan. “Boleh. Tapi tuliskan juga namanya. Jangan sekadar menulis puisi tanpa nama, seperti perangai orang-orang yang menangguk dolar dari unggahan-unggahan motivatif dan puitis di media sosial. Pemengaruh dan pembuat konten itu sering lupa bahwa nama adalah doa yang menyala di ingatan.”
Saya mengangguk pelan. Dalam hati, saya berjanji pada Ester Grunfeld: Aku akan menulis namamu. Aku akan menulisnya agar kau hidup, di antara kata dan doa.
Katarina menatap jam tangannya. “Saya harus menyiapkan kunjungan sekolah siang ini,” katanya. Ia berdiri, merapikan map kuning dan buku puisi di meja. Sebelum melangkah pergi, ia menatap saya lama. “Terima kasih sudah datang jauh-jauh untuk mendengar nama-nama mereka. Tidak banyak yang mau mendengarkan. Katanya kamu sedang menulis novel dengan latar Palestina?”
Saya berdiri. “Justru saya yang berterima kasih. Karena kamu, saya tahu untuk apa saya menulis. Termasuk bagaimana nanti saya akan menulis novel saya itu.”
“Terima kasih atas kelapangan jiwamu, Benn.”
Sungguh, saya malu. Saya tidak sebaik itu, Katarina. Ah.
Kami berjabat tangan. Telapak tangannya hangat, sama hangatnya dengan pelukan istri saya bakda Magrib sebelum ia mengantar saya ke Stasiun Sindang Marga, melepas saya di pintu masuk kereta yang akan membawa tiba ke Palembang di hari yang baru, hari yang sama dengan Garuda Indonesia yang saya tumpangi terbang tiga belas jam ke Amsterdam.
Saat keluar dari Judovski kulturuni center, hujan telah reda. Jalan Križevniška masih basah, berkilat diterpa matahari yang mulai menembus awan. Saya berjalan pelan, menatap batu-batu tua di trotoar, dan dalam hati saya mengucap satu doa:
Tuhan, hari ini aku bertemu Ester Grunfeld.
Hari ini, aku mendengarnya membaca puisinya sendiri.
Hari ini, aku berjanji menghidupkannya, mengajaknya bicara tentang kekejaman yang masih tumpah hingga hari ini
Dan langkah saya terasa ringan, meskipun udara Ljubljana tetap dingin menembus tulang.
***
Saya hampir saja melewati gang sempit itu ketika mata saya menangkap papan nama kecil berwarna hijau di dinding bangunan bata: Židovska ulica — Jewish Street. Tidak ada yang istimewa di sana jika hanya menatap sekilas. Jalan sempit itu kini dipenuhi restoran Asia, butik gaun pesta, dan kafe vegan. Bau sup miso bercampur aroma latte dan parfum pengunjung yang lalu-lalang. Namun ketika saya melangkah masuk, langkah saya melambat. Ada sesuatu di udara yang menahan napas saya. Seperti menjejak lantai gereja tua yang masih menahan gaung doa puluhan tahun.
Di titik itulah, saya berhenti, menatap ujung gang di mana tampak pintu kayu besar dengan ukiran yang hampir aus. Menurut peta tua abad ke-16 yang ditunjukkan Katarina pagi tadi, di sinilah dulu sinagoge Ljubljana berdiri. Kini, bangunan itu menjadi restoran pizza dengan tulisan Pizzeria Olimpia di atas pintunya. Saya menatap papan nama itu lama, membayangkan puluhan lelaki Yahudi datang pada Sabat pagi, mengenakan tallit putih bergaris biru di pundak mereka, berjalan pelan menahan dingin, membawa gulungan Torah, menyalakan menorah di dalam ruangan, mengucapkan doa untuk ibu, ayah, dan anak-anak mereka.
Bagaimana mungkin tempat sakral itu kini dipenuhi tawa turis yang menunggu pizza tuna dan cappuccino pesanan mereka? Pertanyaan itu menekan dada saya, menimbulkan sedih yang sunyi.
Saya masuk ke restoran itu. Pelayan muda menyapa dalam bahasa Slovenia, lalu beralih ke Inggris ketika melihat wajah Asia saya. Saya memilih duduk di pojok ruangan dekat jendela. Sambil menunggu kopi, saya menatap dinding bata yang dilapisi cat putih. Di sini dulu rak torah berdiri. Di sana dulu bimah untuk membaca kitab suci diletakkan. Di tempat saya duduk sekarang, barangkali dulu seorang lelaki Yahudi menulis surat untuk saudaranya di Trieste, menceritakan bisnis kainnya yang perlahan bangkrut karena pajak khusus untuk Yahudi makin mencekik.
Saya membuka laptop, mengetik pelan:
Židovska ulica
Di jalan ini dulu nama-nama Yahudi berembus seperti doa:
Moshe, David, Ester, Miriam.
Mereka menyalakan lilin Sabat,
menenun doa di sela roti dan garam,
menulis puisi tentang hujan yang turun seperti pengampunan.
Kini jalan ini sunyi dari nama-nama itu.
Yang tersisa hanya huruf di peta,
dan seorang peneliti tua dari Asia
yang menulis mereka hidup kembali
meski hanya di layar laptopnya.
Pelayan meletakkan cappuccino di meja saya. Saya menatap buihnya yang membentuk pola hati. Di seberang ruangan, dua perempuan muda Slovenia tertawa sambil memotret pizza mereka untuk diunggah ke Instagram. Saya menatap mereka lama. Barangkali nenek mereka dulu pernah berjalan di jalan ini, menatap perempuan Yahudi berbelanja roti di toko sebelah sinagoge, tanpa tahu bahwa suatu hari nama-nama itu akan hilang dari buku sejarah sekolah mereka.
Saya menutup laptop pelan, menyesap kopi yang sudah mulai dingin. Dalam hati, saya berbicara pada nama-nama itu:
Maafkan kami. Kami terlalu sibuk menulis sejarah raja dan jenderal, sampai melupakan kalian yang menanak nasi, mencuci baju, mengajari anak membaca.
Setelah membayar kopi, saya melangkah keluar. Di ujung Židovska ulica, seorang lelaki berambut abu-abu duduk di bangku kayu, memainkan akordeon pelan. Saya berhenti mendengarkan. Melodi yang ia mainkan asing, seperti musik Balkan bercampur ritme Klezmer Yahudi. Saya menatapnya, menatap jari-jarinya yang menari lincah di antara tuts akordeon yang sudah kusam.
“Lagu apa ini?” tanya saya pelan dalam bahasa Inggris.
Ia menatap saya, tersenyum dengan gigi ompong. “Old Jewish song. My grandfather taught me. He said it was from here. Before they left.”
Saya menahan napas. Rasanya saya ingin menangis. Bukan untuk Yahudi, tapi untuk kemanusiaan yang hilang, kapan dan di mana saja. Namun suara akordeonnya menenangkan, seperti tangan nenek menepuk bahu cucunya yang gelisah. Ini menerbitkan perasaan musikal yang lain bagi seorang Sumatra yang kadung menganggap alat musik itu sebagai properti lagu Melayu, Ah. Lagu itu mengalun pelan, menembus gang sempit Židovska ulica, menembus pintu restoran pizza, menembus jendela butik gaun pesta, menembus waktu dan sejarah yang menolak mengingat.
Selesai bermain, lelaki itu menatap saya dan berkata, “Not many people ask about this song. You are not from here, yes?”
Saya mengangguk. “Indonesia,” jawab saya singkat. Ia tertawa kecil, menepuk bahu saya.
“Maybe you write about them. Tell people they lived here.”
Saya mengangguk pelan. Dalam hati saya berbisik, Ya, Bapak Tua. Saya akan menulis mereka. Saya akan menulis agar nama mereka kembali berjalan di jalan ini.
Saya melangkah pergi, meninggalkan Židovska ulica yang kini kembali sunyi. Namun di telinga saya, lagu akordeon itu terus mengalun, menolak padam, seperti doa Ester Grunfeld yang dibacakan Katarina kemarin. Saya tahu, selama doa itu masih dinyanyikan, mereka tidak pernah benar-benar hilang.
***
Saya berdiri di depan gedung bata merah besar itu, menatap fasadnya yang megah dengan tiang-tiang tinggi bergaya Renaisans, sebelum melangkah masuk dan menukar kartu identitas dengan visitor pass. Nama resminya Narodna in univerzitetna knjižnica — Perpustakaan Nasional dan Universitas Slovenia. Namun bagi saya, tempat ini lebih dari sekadar rumah bagi jutaan buku. Di sinilah saya berharap menemukan jejak-jejak nama yang hilang. Jejak yang tidak pernah diajarkan dalam kuliah Sejarah Eropa di kampus-kampus Indonesia, bahkan di buku-buku Holocaust Studies yang sering memusatkan narasi pada Jerman dan Polandia.
Saya berjalan menuju meja informasi. Seorang perempuan muda berkacamata tipis menatap saya dari balik komputer. Saya menyodorkan catatan kecil berisi nama-nama keluarga Yahudi Ljubljana yang saya salin dari arsip Katarina kemarin. Matanya menelusuri tulisan tangan saya, lalu menatap layar komputernya.
“Some of these names have files in our special archive section,” katanya pelan, lalu menatap saya seolah menanyakan: Apakah Anda siap untuk membaca nama-nama yang sudah menjadi debu?
Ia menuliskan nomor rak dan ruangan di kertas kecil, menyerahkannya pada saya. “Go to level B2. Special Archive.”
Saya menuruni dua lantai basement. Suhu ruang arsip itu dingin dan sunyi, hanya terdengar suara mesin pendingin yang mengalirkan udara kering. Di rak paling ujung, saya menemukan kotak abu-abu berlabel “Židje v Ljubljani / Jews in Ljubljana (1450–1945).” Jemari saya bergetar ketika menarik kotak itu dan meletakkannya di meja baca.
Saya membuka satu per satu map di dalamnya. Arsip pajak, izin usaha, daftar deportasi tahun 1941. Semua dalam bahasa Jerman dan Slovenia lama. Mata saya menelusuri nama-nama itu, satu per satu, sambil membayangkan mereka berjalan di Židovska ulica, menawar harga ikan di pasar pagi, menjemur seprai putih di balkon rumah, menuliskan mimpi di buku catatan kecil sebelum tidur. Semua menjelma gambar dan suara. Di hadapan saya, warna dan benda-benda dari masa lalu bergerak. Di telinga saya, kebisingan yang usang membuat bulu kuduk saya meremang. Seperti horor, tapi bukan. Seperti kenangan, tapi mengerikan.
Di antara dokumen itu, saya menemukan sepucuk surat, ditulis dengan pena tinta hitam pada kertas cokelat tipis yang sudah rapuh. Surat itu tidak pernah sampai pada penerimanya, tertahan di arsip Gestapo Ljubljana sebelum dikirim bersama ribuan berkas lain ke Vienna, lalu dikembalikan ke Slovenia setelah perang.
Ljubljana, 14 September 1941
Istriku Lea,
Hari ini toko kita ditutup. Mereka menempelkan segel dengan simbol burung elang. Aku tidak tahu harus bagaimana. Simon menawarkan aku bekerja di tokonya, tapi gajinya hanya cukup untuk membeli roti dan kayu bakar. Aku akan mencoba bertahan beberapa hari ke depan sebelum memutuskan apakah kita akan pergi ke Trieste seperti yang disarankan pamanmu.
Jika aku pulang terlambat malam ini, jangan tunggu di balkon. Aku tidak ingin kau kedinginan. Peluk anak-anak untukku.
Suamimu,
Moshe
Saya menutup surat itu pelan, menahan napas yang tiba-tiba sesak. Di catatan kaki amplopnya tertulis: ditemukan dalam arsip Gestapo, tanpa informasi lanjutan tentang pengirim. Tidak ada catatan Moshe dan Lea setelah surat itu. Barangkali mereka berhasil menyeberang ke Italia Utara. Barangkali mereka ditangkap dan dikirim ke Dachau. Barangkali mereka mati kelaparan di apartemen sempit mereka, dan nama mereka hilang seperti nama-nama lain yang hanya tertulis di peta kuno.
Saya menatap halaman surat itu lama, menatap huruf-huruf yang ditulis terburu-buru oleh tangan seorang suami yang takut kehilangan keluarganya. Dalam hati, saya berbicara kepadanya:
Moshe, suratmu sampai padaku sekarang. Terlambat puluhan tahun, tapi aku membacanya. Dan aku berjanji menuliskanmu hidup.
Di rak sebelah, saya menemukan berkas tipis bertuliskan “Židje v Maribor / Jews in Maribor (1470–1945).” Saya membukanya pelan. Berlembar-lembar daftar nama dan pajak, mirip yang saya lihat kemarin. Namun di halaman terakhir, ada fotokopi akta kelahiran seorang bayi perempuan bernama Ester Grunfeld, lahir di Maribor pada 1924. Mata saya menatap nama itu lama. Saya menyalin kutipan dokumennya ke catatan lapangan saya:
Nama: Ester Grunfeld
Ayah: Shmuel Grunfeld
Ibu: Miriam Weiss
Lahir: Maribor, 5 Januari 1924
Tidak ada catatan kematiannya. Tidak ada pula catatan keberangkatannya ke luar negeri. Nama itu hilang di tahun-tahun awal Nazi berkuasa. Barangkali ia mati di kamp konsentrasi. Barangkali ia mati di jalanan. Barangkali ia masih hidup di suatu tempat, menua dengan nama samaran, menolak menoleh ke masa lalu.
Saya menutup berkas itu pelan, menatap meja kayu yang dingin, lalu menulis di jurnal kecil saya:
Catatan Arsip 19 Oktober 2019
Hari ini saya menemukan Moshe dan Ester.
Mereka hidup di antara kertas-kertas tua dan tinta yang pudar.
Jika hidup adalah nama yang diingat,
maka tugas saya bukan menulis sejarah,
melainkan membacakan nama-nama itu dengan suara pelan
seperti doa ibu kepada anaknya sebelum tidur.
Ketika saya menutup kotak arsip dan menaruhnya kembali di rak, jam dinding menandai pukul 16.30. Ruang arsip perlahan sepi. Hanya tinggal suara langkah petugas yang merapikan meja baca.
Saya melangkah naik ke lantai atas. Di ruang baca utama, ratusan mahasiswa Slovenia menekuri layar laptop mereka, menulis makalah tentang globalisasi, ekonomi Uni Eropa, teori sastra, atau filsafat postmodern. Tidak ada yang menulis Moshe atau Ester. Tidak ada yang menulis tentang mereka yang ditinggalkan sejarah di rak basement. Tidak ada yang tertarik pada segala yang sudah menguap di zaman yang bergasing hari ini.
Sebelum meninggalkan perpustakaan, saya menatap tangga marmer besar itu lama. Dalam hati saya berbisik:
Tuhan, jika Engkau mendengar doa-doa mereka, izinkan aku menjadi pena yang menuliskan nama mereka hidup kembali.
Saat melangkah ke luar, matahari sudah condong ke barat, menembus kaca jendela tinggi Perpustakaan Nasional Slovenia, menimbulkan bias cahaya yang menari di lantai batu. Saya melangkah perlahan, menahan rasa hangat yang menetes di pelupuk mata saya.
Hari itu, saya tidak hanya menemukan Moshe dan Ester. Saya menemukan kembali alasan mengapa saya menulis: bukan untuk jurnal akademik, bukan untuk angka sitasi, tetapi agar manusia tidak pernah hilang dua kali — pertama dari dunia, kedua dari ingatan.
***
Hari ini, 29 Juni 2025. Pagi di Lubuklinggau. Saya menulis di ruang kerja kecil, ditemani kopi hitam tanpa gula, AC tua yang menimbulkan derit pelan ketika sudah bekerja lebih dari satu jam, dan suara ayam tetangga yang mencari cacing di bawah pokok sawo yang berdiri di tengah halaman samping kami yang luas dan hijau. Di layar laptop, terbuka dua jendela: satu berkas berjudul Ljubljana Yahudi.docx, satu lagi halaman berita CNN.
Berita itu menampilkan foto udara Kota Gaza yang hancur. Puing-puing, debu, rumah sakit roboh, anak-anak tanpa kepala, ibu-ibu menggendong anak yang tak bernyawa. Judul besarnya: “Gencatan Senjata dengan Iran, Israel Justru Lancarkan Serangan Terbesar ke Gaza Tahun Ini.”
Saya menatap layar lama. Membaca ulang kalimat itu berulang-ulang. Gencatan senjata dengan Iran. Pembantaian Gaza. Ada ironi yang menyesakkan dada. Seolah dunia sedang memainkan lelucon kotor di panggung megah diplomasi, sementara di bawah panggung, anak-anak dibunuh satu demi satu tanpa sempat mengucap kata terakhir.
Dan di jendela berkas satunya, nama-nama itu menatap saya:
Moshe Grunfeld.
Ester Weiss.
David Steinberger.
Nama-nama Yahudi Ljubljana yang hilang dibantai Nazi delapan dekade lalu.
Saya menutup mata. Ingatan saya menyeberang jauh ke Ljubljana musim gugur 2019. Saya teringat langkah-langkah kaki saya di Židovska ulica, akordeon lelaki tua yang memainkan lagu Klezmer di ujung gang, kopi cappuccino di restoran pizza yang dulunya sinagoge, dan percakapan dengan Katarina tentang Holocaust yang menjadikan komunitas Yahudi Slovenia hanya tinggal nama-nama di rak arsip.
Dan hari ini, di tahun 2025, nama-nama Palestina menumpuk di layar berita saya. Adam, Yasmin, Ahmad, Hana. Mereka bukan nama dalam arsip. Mereka nama hari ini. Nama yang masih punya mimpi semalam. Nama yang baru saja menghafal surah pendek untuk ujian agama di sekolah. Nama yang tadi pagi mencuci gelas teh untuk ibunya. Nama yang kini tinggal serpihan daging dan tulang.
Saya menatap dua layar itu bergantian: nama Yahudi masa lalu, nama Palestina masa kini. Yang satu susah payah membersihkan luka bersama saudara muda mereka: Amerika. Yang satunya lagi ditinggalkan satu keluarga besar yang menjelma buih: miliaran muslim yang berserakan.
29 Juni 2025, Lubuklinggau.
Holocaust adalah bukti manusia bisa sekejam iblis.
Gaza hari ini adalah bukti manusia tidak pernah belajar dari iblis itu.
Dulu, Yahudi dibantai karena mereka minoritas tanpa tanah.
Hari ini, Palestina dibantai oleh Zionis Israel yang memiliki tanah tapi merasa itu bukan cukup, hingga tanah orang lain pun mereka renggut.
Saya teringat kata-kata lama Edward Said: “We must remember that the victims of victims can become victimizers themselves.” Korban yang tidak menyembuhkan lukanya akan tumbuh menjadi pelaku dengan luka yang sama, hanya kini dia menukar kursi di ruang siksaan.
Di lubuk hati saya yang paling sunyi, saya bertanya: Apakah Moshe Grunfeld akan setuju jika hari ini keturunannya membunuh anak-anak Gaza dengan alasan mempertahankan tanah? Apakah Ester Weiss akan menari bahagia melihat rumah sakit dibom dan ambulans dihancurkan?
Saya tidak tahu. Yang saya tahu, nama-nama mereka menatap saya tanpa suara, seperti malam di ruang arsip Ljubljana itu: dingin, sunyi, penuh doa yang tak pernah sempat selesai.
Dan saya menulis satu paragraf penutup di dokumen Ljubljana Yahudi saya:
Meneliti Yahudi di Ljubljana, saya menemukan sejarah kekejaman yang menolak manusia hidup setara. Menulis Palestina hari ini, saya menemukan sejarah kekejaman yang sama, hanya nama pelakunya berganti.
Pada akhirnya, tugas kita sebagai manusia bukan memilih pihak berdasarkan agama, ras, atau negara. Tugas kita adalah memilih pihak yang dibunuh. Pihak yang ditindas. Pihak yang tanahnya dirampas, rumahnya dibakar, anaknya dibunuh.
Karena jika kita membela pembunuhan atas nama agama kita sendiri, maka kita bukan manusia. Kita hanya pewaris kebencian yang sama dengan Nazi dulu.
Saya menutup laptop pelan. Mata saya panas menahan air mata. Di luar, ayam berkokok. Matahari mulai naik. Indonesia memulai paginya. Palestina memulai hari barunya dalam reruntuhan. Dan saya memulai hari dengan doa pelan:
Allah, jagalah nama-nama mereka. Jangan biarkan mereka hilang dari doa kami. Jangan biarkan kami menulis mereka hanya sebagai angka.
Di Lubuklinggau, saya menuliskan nama Moshe, Ester, Adam, Yasmin, Ahmad, Hana — agar mereka tetap hidup di ingatan. Saya juga menulis Hayya, Ahmad, Abdullah, dan Hasan, dengan air mata yang hangat. Saya melakukannya karena percaya bahwa menulis adalah doa. Dan doa, jika lahir dari hati yang mencintai hidup, akan selalu menolak pembunuhan, siapa pun pelakunya, siapa pun korbannya.(*)
Ljubljana, 2019–Lubuklinggau, 2025
6 Comments
Tulisannya seolah membawa langsung ke tempat cerita. Terima kasih bang ben
Membaca tulisan Bang Benn saya seakan-akan menyusuri tempat-tempat yang diceritakan. Keren 👍👍👍
Terima kasih bang Ben telah membuka pikiran atas pengakuan hak asasi manusia yang hari ini suatu kaum direnggut dan dikambinghitamkan oleh seorang penguasa, raja, dan orang agung yang berpengaruh di dunia…
Bang Ben, terima kasih sudah menghadirkan catatan perjalanan, behind the scene dari sebuah karya akan dituliskan, dan refleksi sejarah yang sangat emosional. Sehat selalu bang.
Sebuah tulisan yang sangat menyentuh, materinya daging 👍👍👍
Terkadang kita tidak tahu apa yang dilakukan orang itu benar atau sebaliknya,baik-buruk tergantung penafsirannya atau perspektif kita masing-masing.
Mr.Venn.
Hari ini aku membaca tulisanmu dan aku melihat manusia mati (meninggal) dalam pelukan Tuhan-Allah Moshe,Ester ataupun Adam dan Hana,
Saya yakin mereka orang baik.
ini hatiku yang berbicara,trims Bang Ben.
“Kalau membaca, jangan hanya gunakan pikiran. Pakai juga hatimu”
-Neknang-