Konya: Cinta, tapi … Lupa Jalan Pulang

 Konya: Cinta, tapi … Lupa Jalan Pulang

Dua pekerja memperbaiki pintu tempat wudu di Konya (dok. pribadi)

Ke Konya, ternyata saya bukan menginginkan jawaban.
Saya hanya ingin memastikan agar kebingungan ini tidak salah alamat.

Benny Arnas

Oleh Benny Arnas

Pagi hari di Konya seperti membuka mata di kamar yang belum pernah saya tinggali sebelumnya. Baik dalam makna literal maupun filosofis. Meski dingin, asing, kota ini  menuntut kita lebur, secepat mungkin. Di pengujung musim dingin 2022, saya berjalan ke Pasar Alaaddin, pasar tua yang menjual rempah, pistachio, permen lokum, tas kulit, dan sajadah bordir halus dengan harga tiga kali lipat turis.

Di sudut pasar, saya duduk di bangku kayu, menyeruput Türk kahvesi kental dalam cangkir kecil berpola tulip biru. Asap rokok pria-pria tua bercampur dengan aroma kopi dan biji jintan panggang. Tidak ada yang menatap saya, seolah keberadaan saya tidak cukup penting untuk disadari. Sungguh, sebagai seorang narsis, ada kebebasan ganjil rasanya ketika diabaikan seperti itu. Seperti gagal bersinar, tapi saya sedang menyukai keremangan. Seru rasanya kalau diajak bicara, namun saat itu saya hanya ingin merasakan cinta. Ah.

Di hadapan saya, penjual lokum memotong-motong permen delima dengan pisau tajam, menaburkan gula halus di atasnya seperti salju. Tadi saya memberi kode untuk mengajaknya bicara dalam bahasa Inggris agar saya bisa bertanya satu-dua hal tentang Konya, namun malah menawarkan Persia atau Turki sebagai alat komunikasi. Tentu saja giliran saya yang tertawa dan menggeleng. Seolah merayakan kegagalan kami menemukan titik temu, ia menawarkan sekotak permen pada saya. Saya paham bagaimana seorang pedagang menyebut harga sehingga saya sangat terharu ketika ia memberikannya cuma-cuma buat saya. Saya hanya mengamil satu, tersenyum, dan mengucapkan teşekkür ederim dengan dialek yang membuat laki-laki jelang 60 tahunan itu tertawa gembira.

Ah, seandainya cinta semanis lokum, apakah manusia tetap mencari Tuhan?

Kini saya sadar, Konya bukanlah kota yang menawarkan keajaiban dengan segera. Ibarat mesin, ia lambat panas. Ibarat pemandu perjalanan, ia menyiapkan labirin sebelum membuka pintu lanskap andalan. Ya, Konya tidak seperti Makkah yang menampar nurani dengan keagungan Ka’bah atau seperti Yerusalem yang menjerat hati dengan sejarah tiga agama besar dalam satu tarikan napas. Konya menunggu. Ia duduk diam seperti seorang sufi tua berselendang wol, menatap dari kejauhan dengan tatapan yang tak pernah selesai diartikan: antara kasihan, iba, atau terpukau.

Rumi lahir di Balkh, sekarang bagian dari Afghanistan, sebelum bermigrasi ke Konya pada abad ke-13. Ia adalah imigran, pengungsi intelektual, pencari tempat teduh di masa Mongol menjarah tanah-tanah Islam Timur. Mungkin itu sebabnya puisinya tak pernah mengenal kata ‘rumah’ secara definitif. Baginya, rumah adalah tempat di mana cinta menunggu. Dan cinta, sebagaimana Konya nyatakan lewat aroma dan udara kota, jarang menunggu di tempat nyaman.

Saya menelusuri gang-gang di dekat Museum Mevlana, menyaksikan pedagang menjual syal tebal bergambar darwis berputar. Turis Iran, Pakistan, dan Indonesia berfoto dengan latar tulisan besar “RUMI”. Seakan nama itu sendiri telah berubah menjadi merek dagang yang laris, mirip Starbucks. Saya tertawa kecil, geli, lalu menyesali tawa itu. Karena bukankah saya juga datang dengan motif serupa: mengonsumsi Rumi sebagai merek dagang spiritual untuk menenangkan kegelisahan saya sendiri? 

***

Di era Rumi, Konya adalah pusat kesultanan Rum Seljuk, kota paling beradab di Anatolia. Ilmu falak, fiqih, sastra, dan seni rupa bertumbuh bersama-sama. Tetapi laki-laki saleh itu malah memilih menulis syair.

“Ia tidak menulis untuk mengatur, melainkan untuk membebaskan.” Saya senang bertemu tukang kebun Hich Hotel tempat saya menginap yang fasih berbahasa Inggris. “Dalam salah satu puisinya ia menulis …” laki-laki sebaya saya itu menatap saya seperti Konya yang mengulum senyum kepada sesiapa yang buru-buru mau menemukan cinta di setiap sudut kota.

“Di balik segala pemahaman tentang benar dan salah,
terbentang sebuah padang abadi.
Di sanalah kita akan berjumpa.”

Puisinya, sebagaimana Rumi itu sendiri, selalu indah.

“Banyak muslim masa kini hari ini mengutip bait itu untuk membenarkan ketidakpatuhan mereka pada syariat. Namun mereka lupa, sang penulis bait itu tidak pernah meninggalkan salat berjamaah, tidak pernah menolak puasa, tidak pernah menolak menjadi mufti ketika diminta. Ia hanya tahu: kebenaran formal harus dipayungi cinta, agar tak membusuk menjadi arogansi.”

Saya gembira sekali. Saya ingin menyimak lebih lama.

“Di musim dingin, tukang kebun seperti saya lebih banyak nganggurnya. Siang ini saya harus bertolak ke Amasya.”

“Masya Allah,” refleks saya. “Syekh Hamza al-Kashgari?” suara saya meninggi.

Laki-laki itu tersenyum. “Aku senang kamu mengenalnya.”

“Tidak sejauh itu. Saya cuma membaca Rumi. Lalu segalanya menuntunku ke mana-mana, termasuk ‘pertemuanku’ dengan tarekat Naqshbandi.”

“Aku mengajar Masnawi di sana. Kalau kamu punya waktu, aku tunggu. Naik kereta memakan waktu kurang dari 6 jam. Transit di Kirikkale. O ya, namaku Hasan.”

Setelah mengenalkan diri dan bertukar kontak, Hasan masuk ke ruangan khusus karyawan di bawah tangga darurat, sementara saya berkali-kali mengingatkan diri untuk mengkhidmati perjalanan dengan menikmati, bukan berburu tempat-tempat baru. Tapi, apa iya, saya bisa mengabaikan Amasya?

***

Di hari keenam, pelan-pelan kota ini terbuka, menyambut saya, dan memberi tahu hal-hal yang menjadi modal saya membuat simpulan. Seperti puisi Rumi, Konya adalah kota yang menolak garis lurus. Trotoarnya dibangun tak rata. Toko-toko menjorok ke badan jalan. Bahkan Museum Mevlana itu sendiri dulunya madrasah, zawiyah, masjid, dan kuburan, bercampur menjadi satu kompleks yang menolak kategori. Saya menyadari sesuatu: mungkin cinta pun demikian. Tidak ada cinta murni tanpa campuran kesedihan, kegetiran, keraguan, dan kebodohan.

Orang Turki modern mengenal Rumi sebagai Mevlana—Guru Kami. Tapi nama aslinya Muhammad Jalaluddin. Bagi dunia Barat, ia hanya Rumi: sang penyair mistik. Bagi para darwis Mevlevi, ia adalah samudra makna yang tak pernah selesai diukur dalam bait dalam bahasa Turki yang tertulis di atas pintu masuk sebuah toko kue:

Jual kecerdasanmu,
dan belilah kebingungan.

Saya kira, Google Lens saya akan memberi tahu bahwa dua baris itu berbunyi, “Datang dan nikmati kue kami. Ada surga dakam setiap gigitan.” Namun saya salah. Saya lupa ini Konya. Bukan Paris, bukan Lubuklinggau.

Bayangkan, saking puisinya, toko kue di Konya menyambut pelanggan dengan puisi bingung, bukan puisi tentang kuliner. “Kata bingung di sini bukan sekadar kebingungan intelektual, melainkan kepasrahan total. Sebuah keikhlasan untuk menjadi bodoh di hadapan Tuhan yang tak mungkin dinalar. Namun banyak pengikut dan penggemar Rumi hari ini justru mendekatinya dengan keinginan memahami, menaklukkannya menjadi teori tasawuf. Padahal mungkin kita hanya perlu menari di sekitarnya, sebagaimana darwis berputar mengitari kosongnya ruang,” terang laki-laki 30 tahunan yang mendapati saya termenung di depan tokonya.

“Lalu, apa hubungan puisi bingung itu dengan bisnis Anda?”

“Sebagaimana puisi, kue yang nikmat seharusnya membuatmu bingung.”

Saya tentu saja makin bingung.

“Bingung bagaimana mendeskripsikan rasa saking lezatnya. Bingung bagaimana mengurai bahan-bahannya saking nikmatnya. Bingung bagaimana memilih istilah yang tepat untuk menggambarkan keajaiban. Mereka atau kalian  …”

Ia sangat berapi-api.

“ … sejatinya tidak membeli kue, tapi menikmati puisi.”

Saya mengangguk. Terpukau dengan betapa puisi dan bisnis gastronomi menjelma sepasang sejoli. Azan Asar berkumandang. Saya menoleh ke utara.

Masjid Alaaddin dibangun pada abad ke-12 berdiri megah di sana. Menara-menaranya menatap waktu tanpa gentar, lantainya terbuat dari batu kapur dingin yang menahan nyeri lutut para tua yang bersujud. Tetapi hari ini, masjid itu lebih sering dikunjungi turis daripada jamaah salat. Di terasnya, remaja-remaja lokal bercengkerama sambil menatap layar ponsel, menertawakan video TikTok dengan wajah Rumi di latar belakang mereka. Ironis, ya? Namun bukankah jemaah umrah dan haji dari Tanah Air  banyak yang berswafoto di Ka’bah tanpa menangkap keagungan di hadapan mereka?

Ada kegelisahan di hati saya selama di Konya: mengapa cinta dalam Islam modern seolah terputus dari syariatnya? Rumi menulis ratusan bait tentang anggur, tentang mabuk, tentang kekasih, tentang keterlenaan. Namun ia tidak pernah minum anggur, tidak pernah berselingkuh, tidak pernah mabuk selain oleh zikir. Ia menulis tentang cinta sebagai jalan menuju fana’, bukan sebagai dalih melarikan diri dari ibadah yang membosankan. Atau … saya saja yang belum masuk terlalu dalam.

Kemarin, saya duduk berjam-jam di samping makam Rumi, mengamati turis Eropa meneteskan air mata. “Do you believe in Rumi?” tanya saya. Ia menggeleng. “I believe in his poems,” jawabnya, tanpa menyeka wajahnya yang basah oleh air hangat dari ekor matanya. Ah, saya pun pernah seperti turis Eropa itu: mengagumi kata-kata religius tanpa mau tunduk pada Sang Pemilik kata. Apakah itu salah? Saya tak tahu. Tapi saya kira, jika agama hanya berhenti pada keindahan, kita akan menjadikan iman sebagai estetika, bukan ketundukan. Duh,  ngomong apa saya ini …

Di hari lain, ketika salju turun seperti jubah darwis putih yang dibentangkan angin, saya berjalan ke makam Shams Tabrizi. Ini adalah tokoh, yang dalam semestra Rumi, membuat saya geleng-geleng kepala. Ia bukan hanya sebuah misteri, tapi keagungan tanpa cahaya. Paling tidak, namanya kalah mentereng dibanding Mevlevi. Tidak ada yang benar-benar tahu bagaimana kematian Tabrizi: dibunuh murid Rumi karena cemburu, atau ia menghilang sendiri ke lorong gaib para wali. Tapi satu hal pasti: tanpa Shams, tidak ada Rumi yang kita kenal hari ini. Ia adalah percikan api pada kayu kering jiwa Rumi. Api itu membakar semua keangkuhan intelektualnya, meninggalkan arang hitam bernama kerendahan hati.

Saya duduk di samping nisannya, membaca ulang sejarah pertemuan mereka. Ketika Shams menatap Rumi di pasar lalu dialog legendaris itu pun menyala:

“Siapakah yang lebih agung, Nabi Muhammad atau Bayazid Bastami?”

Rumi menjawab diplomatis, “Nabi Muhammad tentu saja.”

Shams tersenyum dan berkata, “Betul. Karena Nabi merasa dirinya belum cukup mengenal Allah meski sudah dijamin surga, sedangkan Bayazid berseru ‘Aku adalah Tuhan.’”

Kita tahu, berikurnya, pertanyaan itu menampar ego keulamaan Rumi. Dan sejak hari itu, hidupnya tidak pernah sama.

Jika kita datang ke Konya hanya untuk menyaksikan darwis berputar, mungkin kita akan pulang dengan video ponsel. Jika kita datang untuk mempelajari sejarah Mevlevi, kita pulang dengan catatan kaki. Tapi jika kita datang untuk duduk diam dan membiarkan salju turun di atas kepala tanpa mencoba menghalanginya, kita mungkin pulang dengan sedikit kebingungan suci. Kebingungan yang membuat kita rindu pada rumah hakiki: Tuhan.

Konya dengan terang-benderang mengajarkan bahwa cinta tanpa sujud adalah kesepian. Dan sujud tanpa cinta adalah kebekuan. Keduanya harus saling memeluk, seperti dua sayap burung: tanpa salah satunya, burung itu hanya akan menunggu mati di tanah.

Saya ingat, saat itu saya pulang dengan perasaan “cukup”.

Tapi … ketika dua tahun kemudian sponsor saya mengatakan bahwa dana perjalanan saya masih berlebih, saya lupa kalau saya ingin ke Peru dan Korea Utara. Alam bawah sadar saya menyulut bibir saya bilang, “Turki.”

“Are you sure? It will be your fourth visit, Benn?”

Tapi saya bergeming.

Kali ini, saya tak ingin menangkap yang mungkin luput dari kamera dan mata turis. Saya meninggalkan ponsel berkamera bagus di hotel dan hanya membawa ponsel biasa yang menyediakan kebutuhan saya: kartu debit elektronik dan peta digital yang menyala.

Benar saja. Segalanya berbeda. Ketika Ashar jatuh di kota cinta itu, telinga menjadi anggota tubuh pertama yang memberi tahu saya bahwa pendengaran adalah karunia tiada tara. Ya, ada yang ganjil dari suara azan di Konya. Ah, bagaimana saya baru menyadarinya! Alunannya tidak mendesak. Tidak juga melantun seperti nyanyian nostalgia dari masa kecil. Ia hanya hadir. Seperti embun di pagi hari atau bayang-bayang yang menempel pada tubuh. Saya tidak tahu siapa muazin itu, tapi saya merasa ia tidak sedang memanggil siapa-siapa. Ia sekadar melapor: waktu telah bergeser. Jika kau ingin salat, lakukan. Jika tidak, langit tetap akan berubah warna.

Ada kenikmatan aneh dalam tidak ditagih. Dalam Islam yang tidak berteriak. Tapi juga kegelisahan yang pelan-pelan tumbuh seperti jamur dalam kamar lembap: apakah agama yang tidak lagi menuntut itu justru kehilangan denyut hidupnya?

Dua tahun lalu di Museum Atatürk, saya bertemu dengan seorang profesor Turki—yang namanya saya lupa karena terlalu panjang—yang bercerita bahwa sejak reformasi Atatürk, Turki hidup dalam paradoks spiritual. Masjid tetap ramai, tapi identitas agama dikurung dalam ranah privat. Tarekat dilarang secara hukum sejak 1925, tapi setiap malam ada ratusan darwis yang tetap menari, diam-diam. Mereka tidak ditangkap. Negara menutup mata. Semua orang tahu dan pura-pura tidak tahu. Sebuah sistem sekularisme setengah hati yang justru membuat sufi bertahan. Oleh karena itu, kini saya tak lagi aneh, ketika kerap kali bertemu dengan muslim Turki yang tidak bisa baca Alfatiha.

Di Konya, sekalipun.

Kota yang mengajarkan saya sesuatu yang tidak ditemukan dalam 32 buku saya: bahwa kebenaran kadang perlu berpakaian samar agar bisa menyelinap masuk ke hati manusia. Rumi tahu itu. Karena itu ia memilih puisi.

Ia tahu, tidak semua orang tahan mendengar “haram”, tapi semua orang membuka diri ketika diberi kisah cinta.

Di Indonesia, saya terbiasa mendengar khobah Jumat yang penuh ajakan menegakkan syariat. Di Konya, saya tidak pernah tahu di mana tempat khobah itu berlangsung. Tapi saya mendengar puluhan anak muda membacakan Masnawi di taman-taman kota. Mereka tidak sedang belajar agama. Mereka sedang jatuh cinta pada bahasa.

Ironisnya, bahasa yang mereka baca bukan bahasa ibu mereka. Masnawi ditulis dalam bahasa Persia, bukan Turki. Bahasa itu telah lama ditinggalkan dari pendidikan publik. Tapi syairnya tetap hidup. Bahkan lebih hidup daripada ceramah-ceramah di kanal YouTube yang tiap hari menyalahkan, menyalahkan, dan menyalahkan.

Saya mulai memahami kenapa Rumi tidak menyebut kata “Islam” terlalu sering dalam puisinya. Ia tidak ingin menamakan sesuatu yang hanya bisa dirasakan. Ia tidak menolak Islam. Ia hanya membiarkan Islam tumbuh seperti pohon: akarnya tak terlihat, tapi buahnya dapat dinikmati siapa saja.

Apakah itu berarti kita harus meninggalkan hukum dan cukup dengan rasa? Tentu tidak. Tapi mungkin hukum yang tidak ditanam dalam tanah cinta hanya akan tumbuh menjadi pagar berduri, bukan pohon rindang.

Saya membaca kembali surat-surat yang ditulis Rumi kepada muridnya. Salah satu surat berbunyi:

Tak perlu banyak bicara tentang Tuhan. Jadilah seseorang yang, saat hadir, orang lain merasa Tuhan juga sedang hadir.

Kalimat itu menghantui saya. Karena saya terlalu sering bicara tentang Tuhan, tapi tak yakin apakah kehadiran saya membuat orang merasa dekat kepada-Nya atau justru menjauh.

Saya pernah bertanya pada diri sendiri: mengapa saya masih beragama? Karena takut neraka? Karena ingin surga? Karena ingin damai? Atau karena tanpa agama, saya hanyalah pecahan diri yang tak tahu cara berdiri?

Dan di Konya, Rumi mengelus kepala saya dan berbisik tenang:

Beragamalah seperti orang jatuh cinta:

tak tahu kenapa,

tapi terus datang meski tak kunjung mendapat jawaban

***

Di sela hari-hari Konya yang dingin, saya kerap memasuki toko buku kecil yang menjual edisi-edisi tua Masnawi dan Fihi Ma Fihi. Sebagian halaman menguning, berbau seperti perpustakaan tua. Tapi saya merasa buku-buku itu seperti ruang rawat luka, bukan tempat mencari ilmu. Mungkin karena ilmu tidak selalu menyembuhkan. Tapi cinta—meskipun tidak masuk akal—sering menyatukan bagian-bagian kita yang tercecer.

Tentu, tidak semua yang jatuh cinta kepada Rumi benar-benar mengerti Allah. Saya bertemu turis Belanda yang mencium batu nisan Rumi sambil berkata, “Saya tak percaya pada Tuhan, tapi saya percaya pada cinta.” Saya tidak mencibir. Saya hanya terdiam. Karena saya tahu: banyak pula yang percaya pada Tuhan, tapi tidak bisa mencintai siapa-siapa. Lalu, siapa yang lebih dekat pada kebenaran?

Tuhan, dalam sejarah Islam, tidak pernah hanya hadir dalam kitab. Ia hadir dalam kecintaan Bilal kepada Muhammad, dalam tangisan Umar di malam hari, dalam kerinduan Rabiah pada suara azan yang tak terdengar. Dalam setiap fragmen hidup yang tampaknya biasa, tapi diwarnai kerinduan luar biasa.

Konya memberi saya jarak. Jarak dari diri saya sendiri. Jarak dari negara. Dari dakwah. Dari suara ramai yang meminta saya menjelaskan Tuhan dengan teratur. Di kota ini, saya bisa diam. Dan dalam diam itu, saya tidak menemukan jawaban. Tapi saya mulai merasa: pertanyaan-pertanyaan saya tidak seharusnya dijawab, melainkan dihayati. Ah.

Cinta yang tidak bersujud, barangkali, bukan karena ia menolak sujud. Tapi karena ia sedang berjalan terlalu jauh di dalam hati, dan belum menemukan tempat di mana sujud itu bisa kembali menjadi perjumpaan, bukan sekadar kewajiban.

Malam-malam di Konya, saya menulis kalimat-kalimat yang tak selesai. Saya menuliskan kata “Allah” berulang-ulang, lalu saya hapus. Saya takut memanggil-Nya, karena saya tidak tahu apakah saya memanggil karena cinta atau karena sunyi, sampai kemudian saya mendengar Rumi berbisik:

Luka adalah tempat cahaya masuk ke dalam dirimu

Maka mungkin cinta yang tidak bersujud adalah luka. Dan dari luka itulah, cahaya mulai tumbuh. Pelan. Tak terdengar. Tapi basah. Tapi merah. Tapi nyata.

Ya, Turki modern tidak lahir dari cinta. Ia lahir dari luka, perang, kesepakatan, kompromi, dan kemarahan pada masa lalu. Kita tahu, dalam berbagai catatan sejarah, Atatürk, sang Bapak Bangsa, menanggalkan jubah Ottoman dengan tergesa, seperti lelaki yang mencopot baju perang dan tak ingin mengingatnya lagi. Ia menutup tarekat, melarang kaligrafi Arab, dan memaksa rakyatnya membaca Quran dalam aksara Latin. Sekularisme dijadikan agama baru, dan agama dijadikan masa lalu yang sebaiknya hanya dikenang, bukan dihidupi. 

Namun sejarah selalu menolak diselesaikan. Tarekat Mevlevi dilarang, tapi setiap Desember ratusan ribu orang memadati Konya untuk mengenang haul Rumi. Ritual darwis berputar diubah menjadi pertunjukan budaya, dengan tiket, kursi penonton, dan suara pengumuman seperti konser pop. Tarekat dijinakkan menjadi tontonan, seperti harimau yang dikurung dalam sirkus: tetap menakutkan, tapi tak lagi membahayakan.

Saya duduk di tribun stadion malam itu, menonton darwis berputar di bawah lampu sorot kuning lembut. Musik ney menembus dada saya seperti doa yang lama terlupakan. Para darwis itu menutup mata, menengadahkan telapak tangan kanan ke langit dan telapak tangan kiri ke bumi. Tubuh mereka berputar, kepala miring, jubah putih mereka mekar seperti mawar kertas yang dibuka pelan.

Di kursi depan saya, sepasang turis Jepang merekam dengan kamera profesional. Di sebelahnya, seorang wanita tua Turki meneteskan air mata. Saya tak tahu siapa yang lebih mengerti tarian itu. Mungkin tidak ada yang benar-benar mengerti. Karena darwis menari bukan untuk dipahami, melainkan untuk melupakan siapa yang menonton dan siapa yang ditonton.

Di tengah putaran darwis, saya teringat pada Jalaluddin Rumi yang menulis:

Mengapa aku harus tetap berada di dasar sumur,
padahal ada tali yang kuat di tanganku?

Rumi

Tapi hari ini, kita semua memilih tetap di dasar sumur. Kita lebih nyaman mengagumi tali ketimbang memanjatnya.

Saya berjalan pulang melewati jalan-jalan beku Konya. Angin musim dingin menampar wajah seperti cambuk kuda perang. Di kanan-kiri jalan, toko suvenir memajang replika darwis mini dengan harga mahal. Semua ingin membawa pulang Rumi dalam bentuk patung, tapi tak ada yang ingin membawa pulang keheningan yang ia wariskan.

Keheningan. Itulah yang hilang dari umat beragama hari ini. Kita fasih berbicara tentang tauhid, syariat, politik Islam, dan peradaban Islam. Kita menulis buku, membuka kanal YouTube, menuduh, membela, menegakkan, menjatuhkan. Tapi kita kehilangan ruang untuk duduk diam tanpa pretensi: ruang di mana Tuhan menegur tanpa suara, menatap tanpa wajah, dan menjawab tanpa kata.

Di masjid-masjid Indonesia, keheningan nyaris punah. Mikrofon dihidupkan sejak sebelum subuh, ceramah saling bersahutan, kadang tanpa memedulikan malam yang masih menempel pada mata orang-orang yang lelah bekerja. Sebagai mantan aktivis dakwah kampus dan tiap Ramadan mengomandoi para remaja di kampung saya untuk merayakan Nuzul Quran, saya tentu saja tidak anti dakwah. Tapi saya pikir,  menghadirkan Islam yang harus didengar terus-menerus, bukanlah situasi beragama yang saya rindikan. Banyak orang merindukan Tuhan yang menenangkan, bukan yang berteriak memanggil dengan ancaman.

Mungkin itulah alasan kenapa, meskipun hidup di masa ketika kekhalifahan Abbasiyah sedang diguncang Mongol, ketika ilmu kalam berkembang, fikih diformulasikan, filsafat Yunani diterjemahkan ke Arab-Persia, Rumi tetap saja tidak menulis hukum. Ia malah menulis kerinduan. Ia menulis cinta sebagai penawar trauma kolektif dunia Islam saat itu. Dan hari ini, trauma itu masih ada, hanya berganti nama menjadi radikalisme, populisme Islam, atau kebanggaan kosong pada masa lalu.

Saya membaca ulang sejarah tarekat Mevlevi. Setelah Rumi wafat, putranya Sultan Walad menginstitusikan ajarannya menjadi tarekat formal. Mereka membangun zawiyah, madrasah, dan menetapkan struktur kepemimpinan. Darwis Mevlevi bukan hanya penari. Mereka belajar musik, matematika, kaligrafi, tafsir Quran, dan ilmu falak. Mereka bukan pelarian dunia. Mereka mendalami dunia agar bisa menari di atasnya dengan ringan.

Ah, namun hari ini, banyak yang menjadikan sufisme sebagai pelarian dari tanggung jawab sosial. Seolah cukup dengan menari, berdzikir, dan membaca Rumi, kita sudah menjadi Muslim yang lebih baik. Padahal Rumi sendiri adalah mufti, pemimpin madrasah, dan penafsir Quran yang diakui zamannya.

Cinta tidak pernah membebaskan kita dari kewajiban. Cinta justru mengikat kita lebih kuat pada apa yang dicintai. Jika kita mencintai Allah, maka kita terikat pada perintah-Nya. Jika kita mencintai manusia, maka kita terikat pada tanggung jawab kepada mereka. Rumi menulis:

Aku telah melihat bahwa duri lebih aman daripada mawar,
karena duri melindungi dirinya sendiri,
sementara mawar tidak.

Saya mulai memahami: cinta yang tidak bersujud bukan karena cinta itu menolak sujud, melainkan karena ia terlalu mabuk pada keindahan hingga lupa menegakkan diri di hadapan Sang Maha Indah.

***

Pagi itu, salju turun di Konya seperti pengampunan. Putih, diam, menutupi semua noda di trotoar kota tua ini. Tidak ada yang menanyakan asalnya. Kapas dingin itu hanya datang. Seperti cinta yang tak pernah bisa diminta penjelasan.

Hari itu saya berjalan menyusuri reruntuhan benteng Seljuk. Hanya tembok-tembok batu tinggi yang tersisa, penuh lumut dan retakan, berdiri setengah runtuh di tengah taman kota. Di sekelilingnya, burung gagak menclok pada pucuk pagar besi, menatap kosong ke tanah.

Orang-orang Turki berjalan cepat melewati reruntuhan itu. Bagi mereka, benteng itu hanya artefak tua. Bagi saya, ia adalah monumen dari sebuah pertanyaan: apakah kejayaan selalu berakhir dalam kesunyian?

Kesultanan Rum Seljuk berdiri pada abad ke-11, memisahkan diri dari Dinasti Seljuk besar di Iran. Di masa puncaknya, Konya adalah ibu kota keilmuan, seni, dan perdagangan. Para pedagang dari Persia, Armenia, Yunani, dan Arab memenuhi pasar-pasar di bawah menara masjid. Di madrasah-madrasah Konya, ilmu falak, filsafat, dan tafsir Quran diajarkan bersamaan tanpa merasa saling menodai. Di jalanan, para darwis menari sambil bersyair, pedagang roti menepuk adonan dengan tangan penuh tepung, sementara tentara kesultanan berbaris di alun-alun dengan pedang baja Damaskus berkilau menantang matahari musim panas.

Tetapi sejarah memiliki kebiasaan buruk: menghancurkan semua yang dibanggakan manusia. Ketika Mongol datang menaklukkan Anatolia, Konya takluk, Seljuk pecah, dan Ottoman bangkit dari reruntuhan itu. Kekuasaan berganti. Masjid tetap berdiri. Madrasah tetap menyalakan lampu minyak di malam hari. Dan Rumi menulis syairnya dengan pena bulu angsa di tengah reruntuhan politik bangsanya.

Rumi tidak menulis untuk melawan Mongol. Ia menulis untuk menundukkan kebencian bangsanya kepada Mongol. Di mata Rumi, musuh bukan untuk dibinasakan, melainkan untuk disadarkan.

Bila engkau terusik oleh setiap sentuhan,
bagaimana cermin jiwamu akan terpoles hingga memantulkan cahaya-Nya?

Oh, Rumi lupa, dunia Islam modern kesulitan mencerna puisinya. Dunia kadung menganggap kelembutan sebagai kelemahan. Dunia menuduh sufi sebagai pelarian. Kita mengutuk cinta karena dianggap menunda perjuangan. Padahal, seperti kata Ibn Arabi, “Perang yang paling berat adalah perang melawan nafsu amarah.”

Saya mengamati benteng Seljuk itu lama, sambil menulis catatan kecil:

“Di mana sekarang para penakluk itu? Mereka hilang ditelan sejarah. Yang tersisa hanya syair-syair Rumi, menari pelan di antara reruntuhan.”

Salju turun semakin lebat. Langit Konya kelabu seperti abu dupa yang lama padam. Angin membawa suara azan Ashar dari menara masjid Alaaddin, menembus kabut salju tanpa kekuatan menaklukkan udara dingin.

Saya menatap langit, berpikir:

Jika semua kekuasaan akan hilang, semua kerajaan akan rubuh, semua bendera akan sobek, mengapa manusia tetap membunuh atas nama Tuhan?

Pikiran saya terbang ke Bosnia, Checnya, dan tentu saja Palestina. Rumi menolak semua bentuk fanatisme. Karena itu pula,  dalam Masnawi, Rumi menulis:

Agama cinta tak terikat pada agama mana pun.
Bagi mereka yang mencinta, hanya Tuhan yang menjadi iman dan jalan.

Tentu, di zaman kita, kata-kata ini mudah disalahartikan. Kita menggunakannya untuk membenarkan kebebasan absolut tanpa tanggung jawab kepada syariat.

Tapi bagi Rumi, cinta tidak pernah memisahkan diri dari sujud. Justru sujud adalah puncak cinta. Hanya saja, ia tahu: tak semua manusia bisa memulai dari sujud. Banyak yang harus diajak dengan puisi sebelum tunduk dalam salat.

Di Indonesia, orang menuduh para penulis puisi cinta tasawuf sebagai liberal. Di Konya, Rumi dijadikan ikon wisata spiritual tanpa pernah benar-benar dipelajari kedalaman ilmunya. Dan di seluruh dunia, kata “Rumi” lebih sering diasosiasikan dengan kutipan Instagram tentang cinta patah hati ketimbang syair-syair panjangnya tentang tauhid.

Jika ia masih hidup, mungkin Rumi akan tersenyum kecil sebab baginya, setiap manusia adalah kitab terbuka. Dan Tuhan membaca kita dengan sabar, meski kita terus menuliskan kesalahan di setiap halamannya.

Saya berjalan pulang ke Hich Hotel di antara salju. Suara langkah saya teredam putihnya trotoar. Dalam perjalanan, saya melewati toko buku yang menjual Masnawi terjemahan bahasa Inggris dengan sampul hitam bergambar darwis putih berputar. Saya berhenti di depan etalase kaca, menatap pantulan wajah sendiri yang mulai memutih karena embun beku.

Di benak saya, kalimat ini menari pelan:

“Barangkali hidup hanyalah tarian. Dan mati adalah saat musiknya berhenti. Tapi cinta… cinta tidak pernah kehabisan musik.”

***

Ya, kini saya menatap Turki dengan rasa letih. Bukan letih karena perjalanan, melainkan letih karena bayangan-bayangan saya sendiri tentang negeri ini mulai retak pelan-pelan. Saya kira saya akan menemukan sufisme di setiap sudutnya—dalam doa para pedagang pasar, dalam langkah kaki jamaah masjid, dalam sapaan sopir bus antarkota. Namun yang saya temukan hanyalah negara modern yang terlalu sibuk menegosiasikan sejarah dan masa depannya.

Tentu, ada masjid di setiap tikungan jalan. Ada nama Allah ditulis kaligrafi di dinding toko roti. Ada azan lima waktu yang berkumandang tanpa pernah terlambat. Tapi semua itu terasa administratif, bukan mistik. Islam di sini adalah simbol kebanggaan nasional, seperti bendera atau lagu kebangsaan. Saya jarang merasakan kelembutan yang menetes ke dada. Saya jarang mendengar nama Tuhan dipanggil dengan suara nyaris berbisik, seperti zikir malam yang menolak tidur.

Saya kira akan menemukan darwis di setiap taman, membaca Masnawi dengan suara lirih sambil menatap matahari terbenam. Namun yang saya lihat justru para turis antre membeli patung darwis plastik dan magnet kulkas bergambar Rumi. Mereka membeli cinta seperti membeli cendera mata.

Saya kira akan menemukan masyarakat yang menari dalam diam, menulis doa dalam dagang, menanam cinta dalam salat. Namun yang saya temui adalah toko suvenir sufistik, museum tarekat, dan pertunjukan sema yang dijual tiket. Mungkin tidak ada yang salah dengan itu. Tapi di sanalah pergolakan batin saya tumbuh: barangkali sufisme bukan lagi napas sehari-hari mereka. Ia telah dijadikan panggung, seperti fosil harimau di museum, dipajang dengan lampu sorot agar orang mengagumi, tapi tak lagi menakuti siapa pun.

Saya bergumul dengan kecewa yang tak ingin saya akui. Karena saya pun tahu, barangkali yang keliru adalah ekspektasi saya sendiri. Saya datang dengan bayangan Rumi, bukan kenyataan Turki. Saya datang membawa haus mistik yang terlalu utopis, seolah setiap orang Turki adalah murid darwis, seolah setiap sajadah di sini pasti menumbuhkan mawar.

Namun Turki hari ini adalah republik yang menua dalam tarik-menarik antara sekularisme dan populisme Islam. Sufisme menjadi label wisata spiritual. Islam menjadi proyek politik kebanggaan. Semua berjalan beriringan, tanpa pernah benar-benar menengok ke dalam dada masing-masing.

Dan di sinilah, pada akhirnya, pelajaran itu tiba:

Bahwa sufisme tidak pernah menempel pada tanah atau negara mana pun. Ia menempel pada hati yang membiarkannya tumbuh.

Turki tidak kurang sufistik. Sayalah yang menuntut sufisme hadir di setiap langkah, padahal ia hanya tumbuh di dada yang tak pernah berhenti rindu.

Saya memejamkan mata, mendengar angin menabrak kaca jendela. Salju turun pelan di luar sana. Dan entah mengapa, malam itu, untuk pertama kalinya sejak tiba, saya merasa damai.

***

Ada satu sore di Konya yang tidak akan pernah saya lupakan. Salju turun tipis, hanya seperti debu putih yang mengambang malas di udara. Saya berdiri di halaman Masjid Alaaddin, menatap reruntuhan benteng Seljuk yang tertutup separuh oleh es. Angin dingin menampar wajah saya dengan kesunyian yang tidak pernah saya temukan di kampung halaman.

Dan tiba-tiba, pikiran saya melompat ribuan kilometer ke barat daya, ke Lubuklinggau.

Lubuklinggau tidak pernah mengenal salju. Musim di sana hanya dua: panas atau panas dengan hujan tanpa aba-aba. Jika Konya berwarna putih keabu-abuan di musim dingin, Lubuklinggau selalu hijau tua, dipenuhi pohon karet, pepohonan durian tua, dan sungai yang selalu membuat palum hanya dengan memandanginya. Udara Konya kering menusuk tulang, sementara Lubuklinggau menempel di kulit seperti kelembaban yang menolak dijemur matahari.

Tapi kesunyian mereka sama.

Di Lubuklinggau, saya sering berjalan kaki pulang dari masjid ba’da Maghrib, melewati gang-gang kecil tempat suara ngaji anak-anak bersahut di kediaman Wak Fendi si guru mengaji. Bau asap kayu bakar bercampur aroma kari ikan salai menembus malam. Dari kejauhan terdengar suara motor trail anak-anak muda yang mengebut di jalan aspal berlobang. Dan di sela semua itu, ada sunyi yang menetes pelan dalam hati saya: Sunyi tentang cinta yang tidak pernah diajarkan kitab-kitab agama.

Saya teringat betapa banyak guru agama di kampung saya mengajarkan fikih, akidah, bahkan tasawuf, tapi jarang yang mengajarkan bagaimana mencintai tanpa memiliki. Bagaimana mencintai seseorang yang menolak kita, tanpa menjadikan cinta itu kutukan. Bagaimana mencintai Tuhan tanpa merasa memiliki hak atas-Nya. Bagaimana menulis cinta seperti Rumi: sebagai kerinduan yang menyejukkan, bukan sebagai nafsu yang menuntut balasan.

Di Konya, saya belajar bahwa cinta bukanlah milik manusia kepada manusia saja. Cinta adalah cara Rumi menulis Tuhan. Ia menulis-Nya sebagai Kekasih, bukan sebagai Raja. Sebagai Anggur, bukan sebagai Api. Sebagai Tarian, bukan sebagai Tuntutan. Tapi ia tidak pernah meninggalkan salat, tidak pernah meninggalkan Qur’an, tidak pernah meninggalkan posisinya sebagai ulama yang fatwanya menjadi rujukan kota.

Sementara di Lubuklinggau, kata “cinta” sering dicurigai. Jika bukan cinta syariat, ia dianggap cinta dunia. Padahal kita lupa: syariat tanpa cinta adalah hukum kering, dan cinta dunia tanpa syariat adalah air kotor. Tapi cinta kepada Tuhan tanpa rasa takut, tanpa rasa hormat, tanpa tunduk sujud, hanya akan menjadi puisi kosong, seperti daun yang jatuh dari pohon mati.

Saya berdiri di depan makam Rumi hari itu, menatap kaligrafi Persia di atas nisannya, dan membayangkan nisan-nisan di Lubuklinggau: nisan semen yang dicat putih, dengan tulisan nama almarhum yang mulai pudar dimakan hujan. Saya membayangkan, jika Rumi lahir di Lubuklinggau, mungkin ia akan menulis tentang hujan deras sore hari, tentang jendela seng yang bocor, tentang anak-anak mengaji di surau dengan suara terbata, tentang bau getah karet di tangan bapaknya, tentang cinta yang sederhana tapi tidak pernah selesai dijelaskan.

Karena cinta, seperti hujan Lubuklinggau, tidak pernah menanyakan siapa yang siap basah. Ia hanya turun, kadang menimbulkan banjir, kadang menumbuhkan padi. Ia tidak peduli apakah kita marah atau berterima kasih.

Konya mengajarkan saya bahwa Islam tidak akan pernah menjadi lembut hanya karena kita menulis puisi. Tapi ia juga tidak akan pernah menjadi damai jika kita hanya menulis hukum. Ia menjadi indah ketika keduanya bersatu: syariat yang menuntun langkah, cinta yang melembutkan kaki kita menapak.

Ketika kuliah di Padang dulu saya pernah membaca puisi Rumi di masjid kampus. Mahasiswa menatap dengan mata bingung. Bagi mereka, Rumi terlalu jauh. Terlalu Persia. Terlalu sufi. Terlalu rumit untuk hidup yang sudah cukup rumit oleh tugas kuliah, biaya kos, dan sinyal internet yang hilang muncul tanpa kejelasan. Kalau saja saat itu saya sudah bepergian, mungkin saya akan bilang, “Membaca Rumi adalah seperti doa, yang akan selalu menemukan jalannya sendiri untuk menetap.” Meski, setelah saya pikir, hal itu potensial membuat mereka makin bingung.

Kini, saya semakin sadar bahwa yang saya bawa ke Konya bukanlah keinginan untuk menemukan, melainkan kegelisahan yang ingin disahkan. Saya tidak benar-benar mencari jawaban. Saya hanya ingin tahu bahwa kebingungan saya tidak salah alamat.

Di malam-malam saya termenung di jendela hotel yang membeku, saya sering berpikir: bukankah semua sufi besar hidup dalam kebingungan? Kita menyebut mereka auliya, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang hidup dalam ketenangan administratif. Mereka tersingkir, dicurigai, bahkan dibunuh oleh umatnya sendiri.

Al-Hallaj, misalnya. Ia tidak menyatakan “Ana al-Haqq” karena merasa setara dengan Tuhan, tapi karena ia hilang dalam cinta. Ia larut, bukan menyombong. Tapi ia disalib karena umat tidak punya kosa kata untuk memahami kebingungan itu. Di tengah pasar Baghdad, ia digantung. Tubuhnya dikoyak. Tapi dari darahnya, dunia belajar bahwa kebingungan bisa lebih jujur dari doktrin.

Saya membaca kembali kisah Rabia al-Adawiyah. Seorang perempuan miskin yang melemparkan seember air dan obor ke udara sambil berkata, “Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut akan neraka, bakarlah aku di dalamnya. Jika karena mengharap surga, haramkanlah surga untukku.” Apa yang tersisa dari iman bila surga dan neraka dihapus? Cinta. Cinta yang tidak bersujud.

Dan Rumi? Ia tidak pernah mendirikan sekolah sufi, meski ia ahli dalam itu. Ia memilih kehilangan dirinya dalam cinta kepada Shams. Sampai-sampai orang-orang menganggapnya sesat. Tapi Rumi menulis:

Dalam kebingungan dan keterasingan, aku mendekati-Mu.
Pikiranku adalah gurun tandus,
sedangkan hatiku adalah samudra luas.

Di Konya, saya merasa berada di tengah-tengah itu: padang kering akal dan lautan dalam dada. Tapi dunia modern menuntut kejelasan. Semua harus diberi nama, kategori, label: liberal atau fundamentalis, tradisional atau reformis, sufi atau salafi. Dan saya, di usia empat puluh satu, hanya ingin menjadi manusia. Tidak lebih.

Saya mulai merasa bahwa sufisme bukan jawaban. Ia bahkan bukan pertanyaan. Ia adalah izin untuk tidak menjawab. Ia adalah jalan yang sunyinya panjang, yang meditasinya adalah kebingungan itu sendiri.

Dan saya, dalam malam-malam gelap tanpa angin, akhirnya mengerti satu hal:

Mungkin cinta tidak butuh tempat untuk bersujud. Tapi ia butuh ruang untuk bingung. Ia butuh dada yang rela tidak tahu, yang rela berdiri di antara tiang masjid dan lorong pasar, tanpa perlu memilih, tanpa perlu lari.

Barangkali itulah mengapa saya sampai di Konya. Berkali-kali. Dan nyaris tanpa unggahan foto atau video di Instagram saya yang riuh. Bukan untuk menuntaskan perjalanan. Tapi untuk mencicipi bahwa kebingungan adalah bagian dari iman. Bahwa dalam labirin cinta, yang penting bukan menemukan jalan keluar, melainkan menyadari bahwa Anda sedang berjalan.

Dan pada akhirnya, saya pulang tanpa membawa apa-apa.

Tidak ada rahasia darwis yang sempat saya curi. Tidak ada bait Masnawi yang berubah menjadi kunci semua pertanyaan hidup saya. Tidak ada tarian sema yang benar-benar menenangkan. Saya pulang hanya dengan kesadaran bahwa semua perjalanan ini, semua nama besar seperti Rumi, semua menara masjid dan kubah makam yang dibangun untuk menantang waktu, pada akhirnya hanya menunjuk pada satu ruang sunyi: diri sendiri.

Turki, pada akhirnya, bukan negeri para sufi dalam pengertian yang saya bayangkan. Ia adalah negeri para perunding sejarah. Negeri yang mencoba mendamaikan sekularisme Eropa dan mistisisme Asia, sains Barat dan nostalgia Ottoman, Erdogan dan Atatürk, Hagia Sophia dan Masjid Biru, Mevlana dan kartu kredit.

Dan di atas semuanya, ia adalah negeri yang mengajarkan saya bahwa Tuhan tidak pernah menunggu di tempat mana pun. Ia menunggu di dada manusia yang rela menemuinya. Dalam sujud, dalam tangis, dalam cinta yang tak pernah menuntut balasan. Dalam kesepian bandara dini hari yang terlalu dingin untuk menangis, terlalu sunyi untuk bersyair, dan terlalu terang untuk tidur.

Saat pesawat lepas landas, kota Konya terlihat dari jendela seperti rangkaian lampu kuning kecil yang ditabur di atas karpet putih salju. Saya menutup mata, menahan desakan air mata yang entah karena sedih atau karena kelelahan rohani. Dan di dalam kegelapan kelopak mata saya, terdengar satu kalimat yang menenangkan, seperti variasi dari suara Ibnu Batutah.

Perjalanan akan membuatmu terdiam, beku, dan kehilangan peristiwa, sebelum pulang akan membuat kepalamu tumpah oleh kata-kata.

Dan ketika pesawat menembus awan gelap menuju langit fajar, saya tahu: saya tidak akan pernah menemukan sufisme di Konya, di Lubuklinggau, atau di Amasya yang mulanya ingin saya sambangi demi Hasan si pengajar Masnawi, atau … di bagian negeri mana pun. Karena ia, ternyata, hanyalah nama lain dari perjalanan kembali kepada-Nya. Perjalanan yang tidak mengenal peta. Perjalanan yang tidak butuh visa. Perjalanan yang tak pernah benar-benar berakhir—bahkan ketika hidup telah selesai ditulis.

Konya, 2024

Benny Arnas

https://bennyarnas.com

Penulis & Pegiat Literasi

1 Comment

  • Sejarah telah membuktikan bahwa maksud dari sebuah doktrin yang kini disebut aliran hanyalah sebuah pengetahuan yang tak tau arah, tak paham makna, melainkan hanya penerjemah dari suatu kesimpulan yang sangat cepat dikumpulkan tanpa mengetahui asal usulnya… Terima kasih bang Ben telah membuka hati untuk terus menjadi samudra yang diindahkan oleh cinta kepada-Nya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *