Kenapa Kita Gemar Belajar dalam Kecemasan?

 Kenapa Kita Gemar Belajar dalam Kecemasan?

Saya, di antara mahasiswa di ruang kuliah Universitas Al Azhar (Kairo, 2024)

Ilmu hanya datang pada rumah yang sabar menunggu

Al-Tayeb Salih

OLEH BENNY ARNAS

Jelang Iduladha 2021, seorang murid kelas menulis datang membawa parsel. "Berapa lama agar saya bisa sepertimu, Bang?” tanyanya. 
Saya paham konteksnya. Dua hari sebelumnya, empat cerpen saya dimuat Kompas, Media Indonesia, Jawa Pos, dan Republika di akhir pekan yang sama.
“Anggaplah saya mengalokasikan sebagian besar hidup saya untuk belajar. Berapa saya bisa jadi penulis bagus?” Dia mulai terdengar mendesak.
“Seratus tahun!” jawab saya.
Mungkin dia menunggu saya cengengesan. Tapi saya mempertahankan wajah serius. 
Ia pamit tanpa menghabiskan tehnya. "Baru ingat ada urusan lain," katanya sambil berdiri. 
Sejak itu, dia tak pernah kelihatan lagi.

***

Murid itu selalu masuk kelas dengan wajah tegang, seperti seseorang yang baru saja berlari mengejar kereta yang hampir berangkat. Ia ingin “sampai” sebelum terlambat, bukan “menempuh” dengan sabar.

Ada keheningan yang panjang setiap kali saya mengingat pertemuan terakhir kami itu. Dia mungkin kecewa, mungkin menganggap saya menyembunyikan rahasia. Padahal yang saya sembunyikan bukanlah ilmu, melainkan kesadaran: bahwa menulis, dan mungkin juga hidup, tak bisa disingkat dengan ketekunan yang matematis. 

Rupanya, ia bukan satu-satunya. Rupanya saya punya banyak murid dengan perangai serupa. Dan saya yakin, saya pernah berada di fase itu. 

Ah, kita memang gemar belajar dalam kecemasan. Kita ingin pandai secepat mungkin, seperti orang yang menyalakan tungku dengan bensin. Kita membaca bukan untuk memahami, melainkan untuk memastikan tak tertinggal. 

Dalam kelas menulis, saya kerap mendengar kalimat yang sama: “Bagaimana supaya cepat menemukan gaya?” atau “Berapa lama sampai bisa diterbitkan?” Pertanyaan-pertanyaan itu, betapapun tampaknya ringan, menyiratkan kegelisahan kolektif kita terhadap waktu.

Dalam Journal of Progressive Counseling (2023), Rohiyati Berutu dan Mutiawati menulis bahwa mahasiswa di tahun akhir menunjukkan gejala learning anxiety yang berkelindan dengan insomnia dan sesak napas. Mereka takut lamban memahami, takut gagal menjawab ekspektasi. Di tingkat yang lebih muda, riset oleh Fitri Rayani Siregar dan Winda Siska Perwana (UIN Syahada, 2023) mengungkap bahwa siswa kelas VIII tergolong dalam kategori very anxious learners. Mereka belajar bukan karena ingin tahu, melainkan karena takut tidak bisa. Betapa ironis: belajar yang seharusnya membebaskan justru menjadi beban yang menekan dada.

Barangkali sebabnya sederhana: kita hidup di zaman yang menagih hasil cepat. Ada penghargaan bagi yang selesai duluan, bukan yang memahami lebih dalam. Akibatnya, belajar berubah dari petualangan menjadi lomba lari. 

Saya teringat pada kisah kuno klasik Tiongkok The Foolish Old Man Removes the Mountains. Di usia sembilan puluh, lelaki tua itu mulai menggali gunung dengan keranjang, hendak memindahkannya agar jalan ke rumahnya tidak terhalang. Orang-orang menertawakan kebodohannya, tapi ia hanya menjawab, “Jika aku mati, anak-anak akan melanjutkan, dan cucu-cucu mereka pun demikian. Gunung besar itu pada akhirnya akan hilang.” 

Ketekunan yang dianggap tolol itulah yang menumbuhkan perubahan sejati. Ia tak cemas dengan waktu karena percaya pada kesinambungan: proses adalah warisan, bukan sekadar pencapaian.

Dalam bahasa Arab ada pepatah, utlub al-‘ilm min al-mahd ila al-lahd—carilah ilmu dari buaian hingga liang lahat. Bukan dari semester satu hingga skripsi, bukan dari kursus pertama hingga publikasi. Pengetahuan tak ubahnya perjalanan spiritual yang tak berhenti. Seorang sufi Sudan bernama Al-Tayeb Salih, dalam surat-surat pribadinya, pernah menulis, “Ilmu adalah tamu yang hanya datang kepada rumah yang sabar.” Ia tahu bahwa belajar dengan gelisah hanya membuat pintu tertutup bagi kedalaman.

Namun kini, kita menyambut tamu itu dengan detak jantung berpacu. Kita menyiapkan kursus kilat, modul instan, sertifikat digital—semua yang bisa mempercepat pertemuan dengan “hasil.” Kecemasan menjadi semacam doping. Dalam riset A Quantitative Study of Undergraduate Students’ Anxiety (Liqin Tang et al., 2022), ditemukan bahwa sebagian besar mahasiswa hidup dalam tingkat kecemasan sedang hingga tinggi karena tekanan akademik dan kompetisi sosial. Mereka bekerja keras, namun tidak lagi menikmati kerja keras itu. Belajar berubah menjadi strategi bertahan, bukan proses memahami.

Saya pernah mengenal seorang penulis muda yang luar biasa rajin. Ia mencatat setiap saran, membeli setiap buku panduan menulis, dan menulis setiap hari. Tapi setiap kali tulisannya tidak dimuat, wajahnya muram berhari-hari. Ia belajar menulis dalam kecemasan. Lima tahun kemudian, ia berhenti total. Di sebuah pesan singkat, ia menulis: “Menulis sudah tidak membuatku bahagia.” Saya teringat murid yang tak pernah datang lagi ke kelas. Mungkin mereka berdua berdiri di tepi jurang yang sama: kelelahan karena berusaha cepat sampai ke tujuan yang tak pasti.

Berbeda dengan seorang kawan lain yang menulis diam-diam selama enam tahun tanpa berani mengirimkan karyanya ke mana pun. Ia membaca puisi, menyalin kalimat yang ia suka, memperbaiki satu paragraf sebulan, menunggu satu kata bertahun-tahun. Hingga suatu hari, tiba-tiba naskahnya diterima oleh penerbit mayor. Ia sendiri tak merasa telah “sampai”; ia hanya tersenyum kecil dan berkata, “Ternyata belajar itu seperti bernapas, Bang.” 

Ah, dia benar. Bernapas tak bisa terburu-buru. Tapi kalau berhent, kita akan mati.

Saya teringat pepatah dari Afrika Timur yang dibacakan Zaliqa, seorang Tanzania, sesama peneliti di Leiden Library: Haraka haraka haina baraka. “Tergesa-gesa tidak membawa berkah.”

Dalam sebuah perbincangan daring rekan saya dengan seorang guru menulis di Kairo, Ahmed Al-Nimr, menulis bahwa murid-murid sekarang “belajar seolah sedang dikejar utang waktu.” Ia mengutip peribahasa lama: as-sabr miftah al-faraj. Kesabaran adalah kunci kemudahan. “Tapi hari ini, banyak yang menukar kunci itu dengan kunci pintasan,” keluhnya. Kata-kata itu sederhana, tapi menohok. Bukankah kita sering melakukan hal yang sama? Kita ingin hasil instan bahkan untuk hal yang secara kodrat menuntut waktu: kedewasaan, penguasaan, pemahaman.

Riset lain yang dilakukan oleh tim The Reading Agency di Inggris (2024) menunjukkan bahwa semakin banyak orang dewasa kehilangan kemampuan untuk fokus membaca lebih dari beberapa menit; hampir sepertiga responden mengaku tak lagi sanggup menikmati bacaan panjang. Dunia modern, kata laporan itu, seolah merusak otot kesabaran kita. Jika membaca saja sudah memicu kegelisahan, bagaimana kita akan belajar dengan tenang? Tak heran jika proses kreatif sering terasa menakutkan: kita duduk di meja belajar seperti di ruang operasi: tegang, takut salah, berharap hasil cepat.

Saya pernah membaca kisah tentang seorang penulis di Nigeria, Abubakar Imam, yang baru menulis novel besar Magana Jari Ce setelah puluhan tahun menjadi pengajar bahasa. “Aku menulis bukan karena sudah siap, tapi karena sudah terlalu lama belajar.,” tulisnya. Mungkin begitulah: ketika kita berhenti menghitung waktu, ilmu justru datang dengan sendirinya.

Belajar dalam kecemasan hanya akan membuat kita menjadi pengamat waktu. Kita menghitung, menunggu, membandingkan, tetapi lupa menikmati. Sedangkan belajar dalam ketenangan membuat kita berani kehilangan waktu, karena tahu bahwa waktu itu sendiri adalah guru.

Jadi, jika pertanyaan–tentang berapa lama waktu yang harus kamu habiskan agar bisa menjadi seperti sang guru–itu bergeliat di kepala, sebaiknya kita simpan saja. Selain jawaban “Seumur hidupmu, dan itu pun belum tentu cukup” belum tentu bisa kita terima. Paling tidak, esai ini membuat kita sama-sama memberi stabilo pada pernyataan: 

dalam belajar, yang penting bukanlah kapan kita sampai,

melainkan bagaimana kita berjalan.(*)

Lubuklinggau, 4 November 2025

Daftar Pustaka

Berutu, R., & Mutiawati, M. (2023). Learning Anxiety among Final-Year Students and Its Impact on Mental Health. Journal of Progressive Counseling, Universitas Negeri Yogyakarta.

Fitri Rayani Siregar, F. R., & Winda Siska Perwana, W. S. (2023). The Level of Learning Anxiety in Junior High School Students. English Education Journal, UIN Syahada.

Tang, L., Li, Y., & Zhang, W. (2022). A Quantitative Study of Undergraduate Students’ Anxiety. English Language Teaching, 15(5). ERIC Institute of Education Sciences.

The Reading Agency. (2024). Reading Habits and Focus Retention Survey: The Changing Landscape of Adult Reading in the UK. The Reading Agency, London.

Arnaz, B. (2015). “Belajar Seratus Tahun”. Dalam Cinta Paling Setia. Bandung: Mizan.

Al-Nimr, A. (2021). On the Modern Anxiety of Learning: Notes from Cairo Teachers’ Forum. Kairo: Dar Al-Hikmah.

Salih, A. T. (1978). Letters and Reflections on Learning. Khartoum: Sudan Writers Union Archives.

Imam, A. (1940). Magana Jari Ce [That’s the Talk]. Kaduna: Northern Nigerian Literature Bureau.

Anonymous. (n.d.). The Foolish Old Man Removes the Mountains (愚公移山). Chinese Folk Tale, transmitted in Liezi (列子).

Qalam Quest. (2022). Arabic Proverbs and Their Meanings. Retrieved from https://qalamquest.com/vocabulary/arabic-proverbs-and-their-meanings

Benny Arnas

https://bennyarnas.com

Penulis & Pegiat Literasi

1 Comment

  • Cara kita belajar sering kali berubah jadi perlombaan, bukan perjalanan. Pengingat bahwa yang penting bukan seberapa cepat kita sampai, tapi bagaimana kita melangkah, terasa sangat relevan di zaman serba cepat ini..

    keren bang ben 👍🏻👍🏻👍🏻

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *