Kebusukan

 Kebusukan

oleh Benny Arnas

Suara Merdeka, circa 2011

Kepalanya lengkung pisang tanduk, kedua bola matanya berwarna magenta, telinganya adalah daun sirih yang sudah tua, mulutnya yang berlumur darah akan menampakkan taring yang menyerupai belalai gajah yang baru tumbuh. Anak itu melihat hantu.

Katanya, jumlah hantunya banyak sekali. Herannya ia melihat hantu-hantu itu justru bukan di rumah kosong, gedung yang tak terawat, atau di pemakaman umum. Ia melihatnya di Hotel Permata, hotel bintang lima di kota kami. Akulah yang mengajaknya ke sana. Aku pun tak tahu kalau sebenarnya anak itu memiliki kelebihan.

“Dia bukan anak indigo. Dia hanya diberi Tuhan untuk mengungkapkan kebusukan,” ujar Maliki, ayahnya ketika mendengar simpulanku tentang kemampuan anaknya. “Dia bahkan tidak bisa melihat hantu!” lanjutnya.

Ah, jawab laki-laki yang sehari-harinya berprofesi sebagai kontraktor itu terdengar ngawur, menurutku.

Aku mendatangi rumah Maliki untuk sama-sama pergi ke pertemuan para anggota DPRD kota kami. Kami sendiri bukan anggota DPRD. Tapi kami tertarik untuk mencoba mencalonkan diri karena beberapa teman yang sudah menduduki jabatan itu mengalami perubahan hidup, khususnya di bidang ekonomi, yang grafiknya meningkat tajam. Andre yang dulunya seorang aktivis LSM yang masih numpang dengan mertua, kini sudah punya sebuah rumah mewah dengan Alphard dan Grand Livina yang menghuni garasinya; Maria, anak pengusaha sawit di kabupaten yang sering kami juluki otak udang ketika SMA dulu, justru kerap diundang ke sana-sini menjadi narasumber dalam seminar tentang perempuan—tentu karena ia adalah satu dari segelintir perempuan yang jadi anggota DPRD; Agung yang dulunya hanya pelukis yang sempat membuka penyewaan tenda, kini selalu wara-wiri dengan beberapa ajudan yang selalu mengawal—ia benar-benar tidak lagi tampak sebagai seorang pelukis pinggiran; lalu Nui, Aliakib, dan Arwin….

Mengapa orang-orang yang sangat kukenal -beberapa bahkan teman SMA- justru yang menjadi orang berhasil. Wakil rakyat. Ah, sungguh jabatan yang bersahaja dengan konsekuensi yang mewah. Adakah yang lebih membanggakan sekaligus membahagiakan selain menjadi wakil rakyat?

Ah, aku dan Maliki tentu punya tujuan yang berbeda. Maklum dia termasuk orang berada, sementara aku hanya pengajar honorer di beberapa sekolah swasta sambil sesekali nulis di koran lokal.

O ya, aku kembali lagi pada ceritaku tadi.
Ketika aku baru saja hendak memencet bel rumah Maliki, anaknya yang kutaksir berusia tujuh tahun merengek-rengek kepadaku. Ia minta diajak ke Hotel Permata. Ternyata Maliki telah pergi ke hotel itu tanpa menungguku (atau aku yang telat datang?) dengan meninggalkan putra semata wayangnya yang sangat ingin ikut. Anaknya menangis, benar-benar menangis. Sesekali histeris. Sesekali sesenggukan. Aku tak tega. Meskipun dilarang pembantu, aku berkeras membawa anak itu masuk ke mobilku. Tentu saja pembantunya tidak perlu curiga karena tentu dia mengenalku sebagai kolumnis di surat kabar lokal. Lagi pula aku pernah dua kali bertandang ke rumah Maliki ketika anaknya sedang tidak ada.

“Nanti dia malah membuat gaduh, Pak,” ujar pembantunya dengan nada khawatir.

Insya Allah kalau sudah ketemu papanya, dia akan tenang,” ujarku sok tahu.

*****
Sang anak masih belum sadarkan diri ketika dibawa ke rumahnya. Tapi syukurlah ia sudah sempat meneguk setengah gelas air putih ketika sempat siuman sebentar dalam perjalanan tadi.

“Aku minta maaf sudah lancang mengajak anakmu ke hotel tadi, Lik,” ujarku sembari memijit-mijit kaki kanan putranya. “Aku memang tidak tegaan melihat anak-anak menangis. Apalagi nangisnya keras banget. Maaf, istrimu ke mana ya, Lik?”

“Kebetulan akhir-akhir ini istriku sibuk penyuluhan antinarkoba ke beberapa pusat rehabilitasi di luar kota. Dia dikontrak sebuah perusahaan produk kesehatan untuk tugas itu. Sudah ku-BBM. Kebetulan dia baru landing tadi. Dia langsung ke sini. Mungkin sebentar lagi tiba,” jawab Maliki. Aku tidak melihat ada raut ketegangan di wajahnya karena peristiwa memalukan di hotel siang tadi: putranya menceracau karena melihat banyak hantu dalam ruangan hotel, sebelum kemudian pingsan.

“Sekali lagi anakku bukan indigo,” ujarnya.

Memangnya indigo itu sebagai keburukan, pikirku.

“Dia paling takut kalau ke tempat ibadah. Aku kan Islam dan istriku Kristen. Katanya di masjid dan gereja banyak orang nyunggi.”

“Maksudnya?” aku penasaran.

Banyak imam masjid, pendeta, dan para jamaah yang membawa macam-macam makhluk dan benda di atas kepala mereka. Istilahnya nyunggi. Ada yang nyunggi artis perempuan tel*njang, uang segepok, mobil mewah, bahkan dua ekor ayam yang tengah disabung.

Aku terenyak. “Jadi, jangan-jangan tadi…?”

“Ayooo, kamu mulai berprasangka buruk sama kawan-kawan kita di hotel tadi,” potong Maliki sembari tersenyum ganjil.

“Ya, jangan-jangan tadi dia melihat hal serupa di kepala teman-teman kita yang anggota DPRD itu, Lik.” Entah mengapa, aku mengutarakan hal itu dengan sedikit gembira.

“Tidak, tampaknya tidak seperti itu,” kilah Maliki. “Tidakkah kaudengar kalau dia melihat banyak hantu tadi?”

Aku manggut-manggut sambil berpikir.

“Anakku tadi menceracau kalau banyak hantu berkepala kayak pisang, bermata merah, telinga kayak daun, dan mulut bertaring dan penuh darah.”

Aku bergidik. “Menyeramkan ya, Lik? Apa mungkin teman-teman kita yang berhasil itu sebejat itu, ya? Penglihatan anak-anak kan masih bersih.”

Seorang wanita memasuki kamar dengan langkah tergesa. Aku kenal wanita cantik dengan stilettoblazer, dan rok selutut itu. Walau lupa namanya—sebagaimana aku yang juga lupa nama anaknya, tapi aku masih ingat kalau dia adalah istri Maliki. Dia mencium berkali-kali kening putranya yang masih terbaring.

“Besok-besok Bibi harus bener-bener dibilangin. Anak kita harus benar-benar dijaga,’’ ujarnya tanpa menoleh.
Maliki melirikku yang merasa tak enak hati. “Tadi memang salah Papa. Papa yang minta teman Papa jemput dia. Papa kasihan saja setelah dapat telepon dari Bibi kalau dia nangisnya keras banget.” Ah, Maliki rela pasang badan untuk temannya.

Alhamdulillah!” seru perempuan itu—seolah tak memedulikan penjelasan suaminya—begitu mendapati putranya perlahan-lahan membuka matanya.

Setelah minum air hangat, wajah anak itu kembali seperti tidak terjadi apa-apa.

“Apa yang kamu lihat tadi hanya perasaanmu, Sayang,” ujar perempuan itu seperti sudah hapal tabiat anaknya yang memiliki kemampuan lebih.

“Tidak, Ma. Aku kan sering melihat hantu-hantu seperti yang ada di hotel tadi.”

“O ya?” seru wanita itu sembari memandang Maliki. “Di mana itu, Nak?” Ia kembali memutar leher ke arah anaknya.

“Di rumah.”

“Jadi, di rumah kita banyak hantunya?” tanya mamanya.

“Di sini juga ada, Ma,” jawab putranya. “Kepala Mama kayak pisang, gigi Mama bertaring, telinga Mama lebar, mata Mama ungu, hidung Mama tajam, Mama abis ngisap darah ya? Papa juga. Sama kayak Mama. Aneh-aneh sekali….”

Maliki dan istrinya bersipandang. Ada raut kecemasan yang mengerubungi wajah mereka.

Tiba-tiba putranya menoleh ke arahku.

Aku ingin berlari keluar tapi kedua kakiku seperti dipaku. Kini anak itu mengangkat sebelah tangannya, menunjuk ke arahku. Aku serta merta merasa menjadi manusia penuh dosa. (*)

Benny Arnas

https://bennyarnas.com

Penulis & Pegiat Literasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *