Kebahagiaan, Surga, dan Formula Antikematian

 Kebahagiaan, Surga, dan Formula Antikematian

Oleh Benny Arnas

Batam Pos, 21 Oktober 2023

Sebelum masuk ke dalam contoh-contoh yang, selain variatif, juga sangat subjektif, mari kita kunjungi titik tolaknya, sejatinya kerja hormon-hormon yang membuat kita berada dalam “kenikmatan, kenyamanan, kegembiraan, dan kelegaan” atau sejenisnyalah yang membuat (ke)bahagia(an) lahir dan diukur.

Dalam perspektif kimia(wi), tingkat serotonin, dopamin, oksitosin dalam tubuh manusia berbeda-beda secara genetik, meskipun—katakanlah—pada umumnya kebahagiaan itu akan stabil pada angka 8 setelah perlahan-lahan naik dari bawah (bisa 0 atau lebih) menuju 10 (meskipun juga bisa berhenti sebelum 10). Apabila seorang bocah miskin di Tegucigalpa sejak lahir dikaruniai serotonin, dopamin, oksitosin yang bisa mencapai 8-10, sedangkan anak seorang legislator Bremen hanya bisa mendapatkan hormon-hormon itu dalam kadar 6, maka ketika bocah Tegucigalpa itu berhasil mencicipi es krim vanila yang ia impi-impikan sejak lama dan bocah Bremen itu mampu memiliki Play Station 4 lebih awal daripada teman-teman sekolahnya, bocah Honduras itu jauh lebih bahagia daripada si Jerman. 

Dalam perkara di atas, maka masuk akal ketika Harari dalam dua bab terakhir Sapiens-nya mengatakan bahwa orang-orang Zaman Pertengahan yang sibuk dengan sihir dan paganisme bisa saja lebih bahagia dari mereka yang bebas berpendapat di bawah lindungan HAM. Itu pula yang memicu orang-orang Mesir yang hidup jauh lebih nyaman di bawah bendera demokrasi pemerintahan Husni Mubarak justru sibuk berdemonstrasi menuntut pemerintahan itu mangkat, padahal belum pernah bangsa itu berada di alam kebebasan sebagaimana Era Mubarak—apalagi jika hendak dibandingkan dengan Era Ramses dan Heraklius yang penuh pengultusan, kediktatoran, dan dogma-dogma langit yang tidak masuk akal.

Tapi, apa benar kebahagiaan itu tentang (kadar) hormon-hormon itu? 

Selintas lalu, kebahagiaan yang sangat kimiawi itu selaras dengan semangat Era New Age (Kebahagiaan itu berasal dari dalam!) yang mau tidak mau sepaket dengan semangat Liberalisme (Jadilah dirimu apa adanya!) dan ruh Kapitalisme (Just do it!) yang ujung-ujungnya mengantar penganutnya ke nganga jurang yang bernama Individualisme.

Kebahagiaan yang menolak konvensi adalah cikal-bakal lahirnya sinkretisme atau bahkan ateisme dan tentu saja “anak-anaknya” yang bernama feminisme dan sepakbolaisme dan jandabolongisme. Subjektivisme tanpa batas didewa-dewakan. Kemeriahan era disruptif yang melahirkan sekaligus memungkinkan segala hal menjadi profesi dan segala profesi menjadi duit dan segala yang menjadi duit disembah-sembah menyempurnai segala. 

Lalu, apakah benar kebahagiaan sepersonal itu? Bisa iya. Tapi, apakah benar kebahagiaan itu tentang mengkhidmati yang ada “di dalam” sebagaimana hormon-hormon yang bersemayam secara biologis dan menafikan yang berasal “dari luar”? Bahwa, seorang kaya yang baru mendapatkan hadiah mobil BMW bisa saja kalah bahagia dari seorang jelata yang sangat percaya bahwa calon anggota dewan akan mengubah nasibnya? Bisa saja begitu. Bahkan, dalam kekacauan informasi dan malstandar, kebahagiaan itu sungguh oportunistik: menerima apa saja yang cocok dan menolak apa saja yang menyusahkan.

Kalau memang benar itu, takaran kebahagiaan di atas haruslah sering-sering dikampanyekan kepada orang miskin atau kepada mereka yang jomlo sebab menikah bukan jaminan hidupnya lebih bahagia. Tapi … manusia makan kentang dan minum susu, bukan kebahagiaan!

Mungkin, saat ini, para ahli biokimia sedang meramu cara atau meracik formula terbaik untuk memastikan serotonin, dopamin, oksitosin selalu berada dalam kadar terbaiknya. Sebenarnya sudah ada, obat-obatan yang disebut terlarang dan penenang sebenarnya sudah mampu membereskannya, tapi … kesementaraan efeknya membuat manusia merasa ia bukanlah temuan yang memuaskan. 

Tapi, katakanlah, semangat New Age tentang kebahagiaan yang berasal dari dalam itu bisa diterima, apakah segala “sesuatu dari dalam” adalah baik—untuk kebahagiaan itu sendiri? 

Mungkin ada yang terlupa bahwa tidak semua yang berasal dari dalam baik—untuk kebahagiaan itu sendiri? 

Oleh karena itulah, dalam Agama Abrahamik, salah satu sumber kekuatan manusia adalah ketika ia bisa mengendalikan sesuatu yang bergeliat dari dalam yang dinamakan Hawa Nafsu. Pemahaman kebahagiaan secara biologis rentan membuat kita menuhankan kenikmatan dan sensasi-sensasinya secara membabi-buta. Kalau sudah begitu, sangat mungkin bahwa seorang pecandu narkoba mendefinisikan kebahagiaan ketika sedang fly di bawah pengaruh obat-obatan terlarang yang sangat delusional itu? Haruskah periset yang mendapati jawaban itu di angketnya merilis esai bahwa mengonsumsi narkoba adalah salah satu cara meraih kebahagiaan?

Kebahagiaan-kebahagiaan yang dirasai hari ini, dalam perspektif psikologi dan biologi, kental sekali dengan pengaruh (atau intervensi) materialisme dan individualisme. Hawa nafsu yang diganti dengan “renjana” atau “kegembiraan personal” atau “kepuasan subjektif” adalah pisau tajam yang membunuh sesiapa untuk segera tiba di surga fatamorganik.

Tapi sebentar, apa yang tidak fatamorganik di dunia ini? Atau apa yang sebenarnya penting di dunia ini, termasuk kebahagiaan yang dalam berbagai kacamata tadi? Misalnya tiba-tiba besok meteor sebesar Pluto jatuh ke Bumi sehingga yang ada hanya kelengangan? Siapa peduli idealisme atau kebahagiaan atau karya-karya besar yang mengatasnamakan kemanusiaan dan kebudayaan? Tidak ada. Matahari masih dikitari planet-planet dan kita hanya kelengangan yang tak dicatat (si)apa-(si)apa?

Kematian, hari ini, adalah hiburan paling manjur bagi kebahagiaan yang selalu gagal menafkahi orang-orang yang kurang beruntung secara ekonomi, fisik, dan nasib baik. Tah, pada akhirnya orang kaya atau artis cantik atau Youtuber superkaya akan mati juga. Hal paling luar biasa yang turun ke Bumi yang kian renta ini adalah tetap tidak ditemukannya formula antikematian!

Tiba-tiba saya teringat dialog dalam sebuah film yang saya lupa judulnya:

“Eh, kamu percaya surga itu indah?”

“Nggak tahu, belum pernah ke sana.”(*)

https://www.bennyinstitute.com/darurat-cerita-rakyat-ramah-anak/

Benny Arnas

https://bennyarnas.com

Penulis & Pegiat Literasi

1 Comment

  • Bermakna. Aliran yg mengalir bening…

    Bagaimana dg celestial manajemen Benny? Ar Raad 28. Hanya dgn menginggal Allah hati (org beriman) akan tenang….?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *