Karakoram: Meneroka Batas Keindahan dan Kengerian

Truk yang indah meintas di Jalur Karakoram
Karakoram adalah tempat buas untuk lelaki buas. Tapi siapa pun yang memasukinya, akan pulang dengan hati yang diukir oleh sunyi pegunungannya.
Eric Shipton
Oleh Benny Arnas
Saya selalu percaya bahwa kota pertama di sebuah perjalanan akan menanamkan semacam benih di dada kita – entah itu benih ketakutan, kekaguman, atau keterasingan yang lama-lama tumbuh menjadi kerinduan. Dan malam itu, ketika Pakistan menyambut saya dengan udara hangat yang menampar pelan di landasan Bandara Islamabad, saya tahu, benih itu akan tumbuh menjadi pohon rindang yang menjulur jauh ke punggung Karakoram.
Jam digital di dinding bandara menunjukkan pukul 23.49 ketika saya menuruni tangga pesawat. Di ruang kedatangan, aroma kapulaga dan karpet tua menyesaki paru-paru saya. Barisan pria berjenggot menunggu sanak famili, beberapa mengenakan shalwar kameez putih bersih, yang lain berjas hitam rapi dengan sepatu mengilap. Mata saya mencari-cari, hingga tertumbuk pada satu sosok: lelaki berperawakan sedang dengan senyum lebar yang membuat tulang pipinya menonjol.
“Benny?” tanyanya dengan aksen Urdu yang menelan bunyi konsonan akhir.
“Ya, Saif Malik?” jawab saya, menyalami tangannya yang hangat.
Ia mengangguk pelan, sambil menggelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri dengan ritme lembut. Saya menahan tawa kecil. Gelengan kepala khas India itu – atau khas Asia Selatan pada umumnya – selalu membingungkan saya pertama kali. Di tanah kelahiran saya, gelengan berarti penolakan, tapi di matanya yang jernih saya menangkap makna persetujuan. Seakan ia sedang mengatakan: “Benar. Saya Saif. Saya akan mengantarmu menaklukkan Hunza.”
Kami keluar menembus malam Islamabad. Di tepi jalan tol, lampu-lampu sodium menyorot bangunan beton dengan papan reklame berhuruf Arab-Urdu yang lebih mirip grafiti ketimbang petunjuk. Namun di balik itu semua, ada ketertiban. Sesekali tampak kedai chai yang masih buka di persimpangan jalan, asapnya melambai menembus malam yang mulai menua.
“First time in Pakistan?” tanya Saif, sambil menggeleng lembut, ketika ia mengangkat ransel saya ke bagasi minibus tua berwarna putih.
Saya mengangguk. Perjalanan ini bukan sekadar jalan-jalan eksotis untuk menambah materi kuliah penulisan kreatif yang akan saya ampu kelak. Perjalanan ini, saya tahu, akan menjadi semacam penaklukan batin – menaklukkan ketakutan pada bayang-bayang Taliban, pada bom bunuh diri, pada berita-berita buruk yang selama puluhan tahun menempel di citra Pakistan. Namun di atas segalanya, saya datang untuk satu hal yang sejak lama memanggil saya: Karakoram.
Banyak orang mengenal Karakoram sebagai pegunungan tempat K2 berdiri, puncak kedua tertinggi dunia setelah Everest. Namun bagi saya, Karakoram adalah nama jalan raya yang menembus Himalaya menuju Hunza, dan konon, inilah jalan raya paling berbahaya di dunia. Saya pernah membaca bagaimana pada musim hujan, tebing batu longsor tanpa aba-aba, menimpa truk-truk yang melintas dan menewaskan puluhan orang dalam sekejap. Tahun 2010, banjir besar menutup lebih dari 25% ruas jalannya, meninggalkan ribuan peziarah dan pedagang terdampar di kota-kota kecil tanpa pasokan makanan berhari-hari. Bahkan di tahun-tahun normal, Karakoram tetap menjadi ujian bagi supir bus dan truk yang mengantar barang dari Cina ke Pakistan. Ia semacam garis tipis di antara hidup dan maut, di antara harapan dan keruntuhan. Namun bukan itu yang membuat saya terobsesi.
Di balik reputasi ‘jalan neraka’-nya, Karakoram pernah menjadi saksi sejarah besar peradaban manusia. Di masa kejayaan Mongol, wilayah Karakoram dijadikan ibu kota Kekaisaran Mongol oleh Möngke Khan – cucu Genghis Khan dan saudara Kublai Khan – pada pertengahan abad ke-13. Möngke Khan memindahkan pusat pemerintahannya ke Karakorum (nama asli dalam bahasa Mongolia), menandai era konsolidasi kekuasaan Mongol di Asia Tengah sebelum Kublai Khan menaklukkan Cina dan mendirikan Dinasti Yuan.
Saya selalu membayangkan Möngke Khan menatap pegunungan itu dari singgasananya, melihat pasukan kavaleri Mongol menembus salju dan debu, membawa nama Genghis Khan ke seluruh pelosok bumi. Di mata saya, Karakoram bukan hanya jalur ekstrem menuju Hunza, melainkan tapal batas peradaban: di sanalah jalur sutra menyeberang, di sanalah agama-agama dunia bertemu, di sanalah kematian dan kehidupan menandatangani perjanjian damai.
Mobil sedan putih yang kami tumpangi menepi di depan hotel kecil di kawasan F7. Saif menaruh ransel saya di lobi, menepuk bahu saya pelan. “Rest well. Tomorrow… Rawalpindi, then Karakoram Highway, then Hunza.” Gelengan kepalanya menegaskan kata-katanya, seolah menambahkan: “Dan semoga Tuhan menjaga kita sepanjang jalan.”
Di kamar hotel, saya menaruh ransel di samping ranjang dan menatap keluar jendela. Malam Islamabad senyap, hanya lampu jalan dan suara anjing liar menyalak di kejauhan. Saya menutup tirai pelan, menyiapkan hati untuk esok hari: hari ketika saya akan menapaki Karakoram, bukan dengan keberanian kosong, melainkan dengan rasa lapar pada makna – pada sejarah, pada kematian, pada kebesaran, dan pada diri saya sendiri.
Malam itu, sebelum tidur, saya menulis satu kalimat di jurnal perjalanan saya:
“Hunza, tunggulah. Aku datang bukan untuk menaklukkanmu, tapi untuk menaklukkan prasangkaku sendiri.”
Truk, Bajaj, & (Nyaris) Kecelakaan di Haripur
Setelah subuh yang dingin dan teh manis Rawalpindi yang menenangkan, kami menepi di Harvent Restaurant. Di piring saya, prata mengepulkan aroma gandum hangat yang direndam kuah kari kentang. Saif menatap saya, mengangguk kecil sambil geleng-geleng kepalanya yang khas, tanda “ya” yang terasa seperti sedang menolak, padahal itu persetujuan paling lembut.
“Eat well,” katanya, “because today is a long day.”
Di luar, matahari menetes pelan di antara pepohonan kering Rawalpindi. Saya menatap jalan yang akan kami lintasi. Belum Karakoram, tapi Saif bilang, justru bagian inilah yang penting untuk seorang penulis.
“Kau bisa melihat Pakistan yang asli di sini,” ujarnya pelan, meneguk chai panasnya. “Pasar-pasar kecil, kios teh di tepi jalan, supir truk dan pedagang roti … Semua denyut nadi rakyat sebelum gunung-gunung batu menelanmu.”
Kami naik ke minibus. Di kursi pengemudi, duduk Abdul Malik – lelaki 72 tahun berjubah Pakistan putih bersih, berjenggot putih, dan berwajah damai. Ia menoleh padaku dan tersenyum, matanya teduh di balik keriput.
“Morning, young man,” sapanya dengan Bahasa Inggris fasih. Tangannya menepuk kemudi pelan. “You sit here, next to me. Safer.”
Saya duduk di sampingnya. Dari dekat, aroma minyak rambut khas lelaki tua memenuhi udara. Kami mulai melaju. Malik bercerita pelan, suaranya berat tapi menenangkan.
“I’ve been driving for 50 years. Karakoram is dangerous, yes. But Allah is the protector.”
Saya menatap tangannya yang menua, menekan pedal gas dengan kecepatan stabil. Ia tak pernah terburu-buru. “Kita hanya akan berhenti hanya di dua tempat,” katanya, menatap saya sejenak sebelum kembali menatap jalan. “Untuk makan, dan untuk salat.”
Di luar jendela, Pakistan Selatan menampilkan dirinya dengan cara paling jujur. Jalanan berdebu, kios-kios roti tandoor mengepulkan asap, dan laki-laki berjubah duduk di kursi kayu sambil menyeruput teh susu. Tapi yang paling memikat pandangan saya adalah truk dan bajaj mereka.
Truk-truk besar itu seperti museum berjalan. Tubuhnya dilukis penuh warna, sisi kiri dan kanan dipasangi rangka kayu berukir, rumbai-rumbai kain menjuntai dari spion dan bamper, berayun setiap kali jalan berlubang dilintasi. Tak jarang, motif bunga dan burung merak memenuhi bagian pintunya, berpadu dengan aksara Urdu yang sekilas mirip huruf Arab, meski bunyinya sepenuhnya lain.
Di Indonesia, bagian belakang truk dilukis kalimat-kalimat nakal dan humor receh. Di Pakistan, truk-truk ini justru bertransformasi menjadi karya seni jalanan, entah membawa semen, sapi, karung gandum, atau manusia. Keindahannya tak pernah surut. Saya teringat kutipan Faiz Ahmed Faiz:
“Do not ask of me, my love, that love I once had for you.”
Puisi itu melintas di benak saya ketika melihat bajaj Pakistan. Tak ada bajaj lusuh di sini. Terpal atapnya dihiasi manik-manik berwarna, kadang bagian belakangnya dipenuhi juntaian renda dan ornamen kaca. Setiap bajaj dan truk seperti menolak menjadi sekadar kendaraan. Mereka menolak jadi biasa, menolak cinta biasa.
Perjalanan dari Rawalpindi ke Haripur memakan waktu tiga jam. Malik melantunkan doa pelan setiap kali menyalip truk besar. Di Haripur, kami berhenti di sebuah toko provider. Saya membeli simcard Zong (ya, itu namanya!) dengan paspor yang masih berlaku. Namun, sebagaimana banyak kisah di Asia Selatan, hal-hal tak selalu berjalan sesuai harapan. Penjualnya mengatakan, kemungkinan paket data saya akan aktif di hari ketiga atau keempat sejak pembelian. What? Ah, saya lupa, saya benar-benar membeli Zonk!
Di belakang, Saif menatap saya, menahan tawa. “Kadang-kadang, di Pakistan, internet menyamar sebagai pengantin wanita yang pemalu,” katanya. “Memang butuh sedikit kesabaran untuk menyingkap kerudungnya.”
Ach, maut juga laki-laki Pakistan ini. Saya benci situasi ini, tapi saya suka cara Saif memainkan metafora. “Kamu membaca Muhammad Iqbal, Saif?”
Saif menggeleng-tapi-mengangguk. “Saya sangat suka Bang e-Dra?”
“Bang e-Dra?”
Saif tersenyum lebar. “Coba tebak apa judul bahasa Inggrisnya?”
“Saya hanya tahu dan pernah baca The Call of the Marching Bell,” jawab saya malas.
“Itu dia Bang e-Dra!” seru laki-laki yang sebagian rambutnya sudah memutih itu.
Aha! Mata kami sama-sama berbinar.
“Dia bukan hanya penyair, Benn. Dia adalah Bapak Spiritual Pakistan.”
Saya setuju, tentu saja.
“Daripada merutuki Zonk, kenapa kita tidak berpuisi saja?” Saif nyengir.
Saya mendengus, bermaksud menyeberang jalan menuju minibus sambil merapikan paspor di tas selempang. Baru saja satu kaki saya menapak trotoar, sebuah truk mundur mendadak dengan kecepatan tinggi, remnya mencicit ketika orang-orang berteriak dan menunjuk-nunjuk ke bagian belakangnya (ya, ada saya di sana!). Ups! Ekor truk itu berhenti hanya beberapa sentimeter dari tempat saya yang menjelma manusia yang baru saja ditotok aliran darahnya: kaku dan gagu. Asap knalpotnya menguar panas di wajah saya.
Sopirnya menatap dari balik kaca. Mata kami bertemu. Saya menghela napas. Antara syukur dan marah. Saigf berlari ke arah saya dan memanggil-manggil nama saya dengan nada cemas. Sopir itu, laki-laki sebaya saya, turun, tampak panik, seperti hendak menyiapkan kata maaf. Tapi entah setan atau malaikat mana yang menuntunnya, ia berlari ke arah saya dan merangkul tubuh saya erat, hingga saya sesak napas.
“Assalamualaikum,” kata saya pelan, menepuk punggungnya.
Laki-laki itu merenggangkan pelukan dan menjawab salam saya. “Masya Allah. Muslim.”
Lalu saya mengatakan sesuatu kepada Saif yang sudah berada di dekat saya. “Katakan padanya. Saya mau berfoto dengan truknya.”
Tak lama kemudian, sopir itu tertawa keras. Suaranya membelah riuh Haripur pagi itu. Kami berfoto di samping truknya yang bergambar burung merak biru dan tulisan Urdu di pintunya. Malik menatap kami dari jendela, geleng-geleng pelan sambil tersenyum. Kali ini, saya tahu, geleng-geleng kepalanya benar-benar karena tak habis pikir dengan tingkah saya barusan.
Dan di titik itu, saya sadar: bahwa sebelum Karakoram yang meliuk di punggung Himalaya itu menelan saya, Pakistan sedang mengajari satu pelajaran kecil – bahwa di jalan paling berbahaya di dunia pun, manusia tetap menghias truknya dengan bunga dan burung merak, seolah ingin berkata kepada maut: jika kau datang menjemputku, temuilah aku dalam keadaan paling indah.
Jalan yang Menaklukkan Manusia
Perut kami masih hangat oleh chai dan ayam kari ketika Abdul Malik menyalakan mesin minibus. Lelaki tua berusia tujuh puluh dua itu menoleh pada saya sambil tersenyum pelan. Matanya teduh, wajahnya berkerut, dan tangannya bergetar tipis ketika menggenggam setir.
“Bismillah, Benn,” katanya lirih, sebelum menekan pedal gas, menuntun kami meninggalkan Rawalpindi menuju Haripur.
Karakoram belum menyambut kami, namun Saif berkata, “Bagian inilah yang paling kau butuhkan sebagai penulis. Kau bisa melihat denyut nadi Pakistan sebelum jalur ini diserap oleh kesunyian batu dan salju.” Ia menatap saya di kursi depan, tepat di samping Abdul Malik, sambil menambahkan, “Dan jangan tidur, Benn. Kau akan menyesal.”
Udara mulai dingin, menembus kaca minibus yang agak buram. Di jalan menanjak sempit, diapit tebing batu rapuh di kiri dan jurang Sungai Indus di kanan, Saif berkisah panjang lebar tentang apa saja. Tentang betapa bajaj di Pakistan lebih cantik daripada di India, tentang seorang penyanyi Pakistan yang menurutnya lebih baik daripada Arijit Singh, tentang mengapa sopir-sopir truk di sini suka memasang rumbai-rumbai, dan tentang cuaca yang membuat rambutnya cepat ubanan.
“Karena dingin, Benn. Lihat rambutku ini. Sudah putih semua,” katanya sambil menepuk pelan kepalanya yang nyaris botak. Saya hanya tersenyum. Pembicaraannya kerap terdengar konyol dan tak penting, tapi entah mengapa, menenangkan. Mengusir tegang yang mengintip di balik pemandangan Karakoram. Ia pasti sangat berpengalaman. Paling tidak, bahasa Inggrisnya yang lancar dan kemampuannya menghangatkan suasana tanpa harus kelihatan sok asik, membuktikan itu.
Tiba-tiba, di tikungan kedua setelah Haripur, Abdul Malik mengerem mendadak. Ban menjerit, tubuh saya terdorong maju sebelum sabuk pengaman menahan. Di hadapan kami, sebuah batu seukuran mobil meluncur menuruni tebing, menghantam jalanan, memercikkan kerikil ke kaca depan minibus. Saya menahan napas. Debu membumbung pelan, seolah waktu sengaja melambat, memberi kami jeda untuk menatap maut yang menari begitu dekat.
Abdul Malik hanya mendesah pelan. Ia menoleh pada saya, matanya tak gentar, meski dari sakunya ia mengeluarkan kotak kecil berisi obat, meneguk satu tablet dengan air mineral yang selalu ia bawa di rak dashboard. Ketika saya menatap heran, Saif menepuk pundak saya dari belakang.
“Tiga kali sehari, Benn. Abdul minum obat tiga kali sehari.”
“Dia sakit apa?” bisik saya.
“Entahlah. Jantung, atau asam urat. Atau dua-duanya,” jawab Saif enteng.
Ya Allah. Apa-apaan ini? Saya refleks beristighfar.
“Tapi jangan khawatir. Dia sopir terbaik. Saleh. Hafiz. Dan yang paling penting, dia orang Utara.”
Saya menoleh menatap wajah Abdul Malik yang kembali menatap jalan. Ia seperti sedang membaca ayat-ayat Tuhan yang tertulis di tebing batu. Sunyi, tenang, dan pasrah. Sesekali bibirnya berkomat-kamit, entah doa keselamatan atau sekadar mengingat jadwal minum obat berikutnya.
Setengah jam kemudian, di tikungan menurun, mobil melambat, saya melihat seekor ibex coklat tua dengan tanduk melingkar raksasa, berjalan perlahan di lereng bebatuan curam. “Liar dan megah,” kata Saif seperti tahu apa yang informasi yang dikirim pandangan saya ke otak. “Kau tak akan melihatnya di Islamabad, kecuali di kebun binatang.”
Ternnyata kami berpapasan dengan sebuah truk sehingga Abdul memutuskan menepi, memberi jalan pada kendaraan yang membawa tumpukan delima dan daun ganja itu. Saya menatap ibex itu lama-lama, sepuasnya, seolah tak mau berpisah. Matanya tenang, seolah tak peduli angin kencang yang menampar bulu-bulunya. Ia menoleh sebentar, lalu kembali berjalan menapaki tebing batu hitam, seolah hendak menertawakan manusia-manusia yang melintas dengan deru mesin, padahal ia hanya butuh empat kakinya untuk menaklukkan Karakoram.
Tak lama, ketika minibus baru melaju pelan, kami dikejutkan pemandangan lain: sekelompok lelaki lokal menuruni tebing batu setinggi sepuluh lantai dengan cara berlari kecil. Tanpa tali, tanpa helm. Sandal jepit tipis menampar bebatuan tajam saat mereka melompat turun. Saif terkekeh pelan. “Mereka anak gunung. Kita ini apa. Duduk diam saja sudah gemetar.”
Saya menahan napas saat jalanan menikung tajam di tepi jurang. Sungai Indus berkilau jauh di bawah, bagai ular perak menggeliat di antara batu-batu raksasa. Di dasar tebing, saya melihat sedan hitam tergeletak miring, ringsek menabrak batu. Tak jauh, dua mobil truk terbalik di sungai. Air sungai mengalir pelan melewati bangkai besi mereka, seolah menunggu waktu untuk melarutkannya ke Laut Arab.
Saya menutup mata sesaat, mendengar gema sejarah berdesir di dalam kepala. Bukankah di jalur inilah ratusan tahun silam tentara Mongolia menjejakkan kudanya, menaklukkan Asia Tengah, Tiongkok, hingga Eropa Timur? Kubilai Khan—cucu Genghis Khan—pernah menatap puncak-puncak Karakoram sebelum meneruskan perjalanan panjang menaklukkan dunia. Mungkin, di tikungan inilah, para prajurit Mongolia menahan napas, menatap tebing batu kelabu sambil menahan beban pedang dan dendam.
Mobil menanjak terus, meniti kelok-kelok sempit seolah menapaki punggung naga raksasa yang sedang tidur. Batu-batu hitam kelabu bertumpuk seperti kitab purba, menuliskan sejarah peradaban yang silih berganti: Arya, Persia, Pashtun, hingga pasukan Khan yang menancapkan panji di pegunungan ini. Di sela deru mesin, bait Faiz Ahmed Faiz berbisik di telinga saya:
“Begitulah adanya, cara hati bekerja. Berangkat saat fajar, untuk tahu apa yang mesti diketahui.”
Saya menoleh pada Abdul Malik. Ia menatap jalan dengan tenang. Jarum jam di dashboard menunjuk pukul tiga sore. Saya tahu, tak lama lagi ia akan menepi untuk minum obat kedua hari ini. Saya menoleh ke belakang. Saif menatap saya sambil tersenyum, matanya berkilat penuh canda.
“Hei Penulis, apa perasaanmu setelah semua ini?”
Saya tidak mau menjawab. Saya menatap ke luar jendela. Kabut tipis mulai turun. Jalanan terus menanjak, menembus punggung gunung yang menua bersama waktu. Dan saya tahu, Karakoram belum selesai …
Jalan Para Penakluk dan Peziarah
Kabut turun perlahan, menutupi kelokan jalan berikutnya. Dari jendela minibus, saya menatap bebatuan hitam dan kelabu yang menjulang rapuh di tebing kanan jalan. Di kiri, Sungai Indus melata seperti naga tua, menabrak batu-batu besar yang runtuh dari atas, menciptakan buih putih bagai racun yang siap menelan apa saja. Angin mendesis, menembus celah kaca, membekukan ujung-ujung jari saya.
Abdul Malik tetap diam di samping saya. Jemarinya menempel kaku pada setir, menahan getar yang menular dari mesin. Sesekali ia menatap spion, memastikan bagian belakang minibus aman. Lalu, dengan pelan, ia meraih kotak obat dari saku bajunya, meneguk satu pil putih, menahannya sejenak di lidah sebelum menelannya bersama seteguk air mineral. Saya menatapnya sambil menahan napas.
“Dia tidak apa-apa, Benn,” bisik Saif dari bangku belakang. “Abdul sudah puluhan tahun menaklukkan Karakoram. Dia tahu kapan harus meminum obat dan kapan harus berdoa.”
Saya menoleh pada Saif. Ia sedang memakan kacang pistachio sambil menatap ke luar jendela dengan mata berkilat. Lalu ia terkekeh kecil dan melanjutkan omongannya yang tak pernah putus sejak Rawalpindi.
“Kau tahu, Benn, Karakoram ini bukan cuma jalur. Ini sejarah. Ini nadi Himalaya yang mengular ke Pakistan Utara, tempat Genghis Khan mengirim tentaranya, menaklukkan pamir, menyeberangi Amu Darya, hingga menjejak ke India.”
Saya diam mendengarkan. Saya sebenarnya tidak suka dengan gaya Saif, seakan-akan saya tidak tahu apa pun tentang tempat yang saya datangi. Tapi, karena saya yakin dia orang baik, menoleransinya seharusnya tidak merepotkan. Di luar jendela, jalanan berkelok tajam, menanjak lalu menurun, sebelum menanjak lagi seperti gelombang beku. Di sebuah tikungan sempit, kami berhenti mendadak. Di hadapan, batu besar baru saja runtuh menutup separuh jalan. Abdul Malik menepikan mobil perlahan, menunggu batu-batu kecil lain meluncur menepi.
“Bayangkan,” lanjut Saif, seolah tak ada bahaya di hadapan kami, “tahun 1250-an, Kubilai Khan pernah menjadikan lembah di kaki Karakoram sebagai ibukota kekaisarannya di Asia Tengah sebelum ia menaklukkan Dinasti Song di Cina Selatan. Batu-batu ini, mungkin, pernah diinjak kudanya.”
Saya menatap batu hitam legam itu. Ada retakan panjang di sisinya, menandakan ia belum selesai tumbang. Angin menampar tebing, menimbulkan dengung menakutkan seperti suara seruling tua yang dimainkan di makam-makam sufi.
Tak sampai lima menit kemudian, di tikungan berikutnya, kami melihat seekor yak coklat berambut panjang berjalan pelan mendaki bebatuan. Ia sendirian, tanduknya menunduk, matanya menatap lurus ke atas seolah menantang langit. Saya bergidik. Saya sedang melihat langsung hewan yang lebih tua dari sejarah manusia di sini. “Mereka tidak pernah tersesat di Karakoram,” gumam saya.
Sebagaimana kepada ibex tadi, saya menatap yak itu lamat-lamat. Angin dingin membuat bulunya berkibar pelan. Di kejauhan, puncak Rakaposhi berselimut salju muncul menembus awan. Rakaposhi—gunung setinggi 7.788 meter itu—dianggap gunung paling indah di Karakoram. Tapi keindahan di sini selalu bersanding dengan maut. Gunung itu, kata Saif, telah merenggut lebih dari 25 nyawa pendaki sejak pertama kali ditaklukkan pada 1958.
Saif melanjutkan ceritanya dengan gaya dramatis, seolah sedang berceramah di atas mimbar. “Karakoram ini bagian dari jalur sutra. Dari Kashgar di Xinjiang Cina sana, kau bisa masuk ke Gilgit dan Hunza. Pedagang Persia, ulama Turkestan, tentara Mongol, dan peziarah India semua pernah menapakinya. Kau tahu kenapa disebut Karakoram? Dalam bahasa Turki-Mongol, artinya ‘batu hitam’. Karena inilah jalur berbatu hitam yang menjadi saksi pertemuan peradaban.”
Saya mendengarkan dalam diam. Angin melolong menuruni tebing. Di bawah sana, Sungai Indus berkelok-kelok menabrak batu, menimbulkan suara gemuruh yang menakutkan. Dalam satu kelokan, kami melihat sedan putih tersangkut di antara bebatuan, separuh badannya sudah terendam air sungai. Saif menatap ke bawah dan menggeleng pelan.
“Itu mobil orang Selatan,” katanya pendek, lalu tertawa getir. “Orang Selatan tidak pernah paham gunung.”
Abdul Malik hanya mendesah kecil. Saya menoleh ke arahnya. Bibirnya bergetar, membaca doa dalam hati. Matanya menatap lurus ke depan, pada jalan sempit yang mengular, menanjak, lalu lenyap di balik kabut.
Kami melanjutkan perjalanan dalam diam. Hanya suara mesin, deru angin, dan sesekali celoteh Saif yang memecah ketegangan. Ketika matahari mulai turun di balik gunung, sinarnya menyelinap di celah kabut, menimbulkan gurat keemasan di puncak Karakoram yang menghitam. Indah. Megah. Dan menakutkan.
Saya menatap pegunungan itu lama-lama. Batu-batu hitam kelabu menjulang bagai benteng raksasa yang tak akan pernah bisa diruntuhkan. Dan di hadapannya, saya merasa sekecil biji sawi yang diterbangkan angin. Di sini, Karakoram bukan sekadar jalan. Ia adalah kitab tua yang menulis nama-nama penakluk, peziarah, dan manusia biasa yang hanya ingin pulang dengan selamat.
Saif menepuk pundak saya pelan dari bangku belakang. “Benn, jangan lupa menulis bagian ini nanti.”
Saya menoleh padanya dan tersenyum kecil. “Bagaimana mungkin saya melupakannya, Saif. Di sinilah, maut dan keindahan saling berbisik, menertawakan kita semua.”
Dan perjalanan kami masih panjang.
Di Balik Titik Beku dan Bayang Maut
Kami belum benar-benar keluar dari wilayah Karakoram ketika matahari hampir tenggelam. Kabut turun lebih tebal. Udara menipis, membuat napas Abdul Malik terdengar lebih berat. Ia menepikan minibus di tepi jurang, mematikan mesin, lalu meneguk obat ketiganya hari itu. Pil putih kecil yang seperti malaikat penjaga hidupnya di rute paling berbahaya sedunia.
Saif menatap ke luar jendela, menahan isengnya sejenak, sebelum kemudian berbisik, “Istirahat dulu, Abdul. Kami juga ingin meregangkan kaki.”
“Kita memang akan rehat, Saif,” sahutnya. “Untuk salat Magrib,” lanjutnya.
Saya turun pelan. Angin memukul wajah saya keras-keras. Di depan, bebatuan hitam Karakoram menanjak vertikal menembus kabut. Di bawah sana, jauh sekali, Sungai Indus berkelok bagai ular perak yang menunggu siapa saja yang jatuh dari tebing ini. Suara arusnya terdengar pelan, tapi menakutkan.
Saya menoleh ke kanan. Di sana, jalur Karakoram menanjak begitu tajam, seperti tangga batu menuju neraka. Tepat di sisi jalan, beberapa pria lokal dengan sandal tipis meniti batu-batu besar, menanjak tebing dengan santai. Mereka menapaki jalur setinggi 30 meter tanpa tali pengaman apa pun, hanya membawa goni besar berisi bawang dan tepung di punggung mereka.
Saif mendekat. “Orang Utara ini, Benn, dilahirkan oleh batu dan salju. Kau lihat itu?” Ia menunjuk seorang bocah laki-laki berumur sekitar 10 tahun, berjalan di belakang pamannya, menyeimbangkan tubuh kecilnya dengan tongkat kayu. “Tak ada yang bisa menaklukkan mereka, kecuali Tuhan.”
Saya hanya mengangguk, menahan napas saat melihat serpihan batu di atas tebing berjatuhan pelan. “o ya, mana Abdul?” kata saya seperti baru menyadari sesuatu.
Saif menunjuk ke lempengan batu datar di tepi jurang. Saif sedang rukuk di sana. Allah.
“Di sana ada pancuran air gunung,” Saif menunjuk ke seberang kami. “Hati-hati menyeberang.”
Baru saja saya menyelesaikan salam terakhir, suara gemuruh membuat saya refleks mendongak ke gunung batu di kanan jalan.
“Ayo, naik!” seru Abdul. Suaranya terdengar panik.
Minibus melaju. Mata saya mencari sumber suara, dan di tikungan berikutnya, dua batu sebesar kambing runtuh, menabrak badan jalan dan menghancurkan pagar besi penahan sebuah plank nama daerah di tepi jurang. Abdul Malik tetap tenang, hanya mematikan mesin, sebelum kembali menyalakannya dan membawa kami perlahan menjauh.
Saif menertawakan wajah panik saya. “Jangan takut, Benn. Batu di sini tidak memilih menimpa siapa. Kalau kau tertimpa, itu berarti sudah ditulis sejak kau lahir.”
Saya menatapnya tajam. “Itu tidak menenangkan sama sekali, Saif.”
Ia tertawa lebih keras. “Tapi itu benar.”
Jalan terus menanjak. Sesekali, kami melewati reruntuhan kendaraan yang tak pernah diangkat. Rangka mobil terjepit di bebatuan. Sedan tua berwarna krem teronggok di dasar tebing, setengah tubuhnya terendam Sungai Indus. Ban dan spionnya entah di mana. Saif menunjuknya dengan santai. “Pasti orang Selatan. Orang Utara tak pernah jatuh di sini.”
Saya menatap Saif, menunggu kalimat berikutnya yang konyol. Dan betul saja. Ia menambahkan, “Tapi kalau jatuh pun, ya artinya mereka sedang beruntung—beruntung sudah selesai urusan dunia.”
Saya menertawakan kekonyolannya, sambil menahan ngilu yang menanjak ke tengkuk. Di depan, jalan menukik tajam. Abdul Malik menurunkan gigi, menahan rem perlahan. Saya melihat tangannya bergetar kecil. Lalu, entah hanya imajinasi saya, atau kenyataan yang tak terbantahkan, di kejauhan, di antara tebing batu hitam dan salju yang menetes perlahan, saya seperti melihat bayangan para penakluk tua—para penunggang kuda Mongol yang menatap lembah Indus dengan ambisi yang menakutkan.
Di puncak Karakoram itulah, pada abad ke-13, Kublai Khan menatap ke selatan dan timur, mengukir rencana menaklukkan Dinasti Song di Tiongkok, menembus Tibet dan Himalaya dengan membawa ribuan pasukan yang terbiasa hidup dalam dingin dan kelaparan. Karakoram tak pernah menjadi ibu kota permanennya, tetapi jalur-jalur inilah yang digunakan untuk memindahkan pasukan dan harta rampasan.
Saya teringat kalimat Mustansar Hussain Tarar, penulis Pakistan yang menuliskan ratusan halaman tentang jalur pegunungan ini:
“The Karakoram is not a mountain range; it is a long, hard question asked by nature to test the courage of men.”
Karakoram bukanlah pegunungan, melainkan soal besar untuk menguji keberanian manusia.
Saya menatap tebing-tebing hitam yang menukik, Sungai Indus yang menganga seperti naga lapar, dan Abdul Malik yang kembali meneguk air putih sebelum menghidupkan mesin. Di jalur Karakoram yang menakutkan ini, satu hal saya pelajari: rasa takut tak akan pernah hilang, tapi manusia selalu punya cara untuk melanjutkan perjalanan.
Dan kami pun kembali melaju, menapaki jalur hitam yang menukik dan menanjak seperti urat-urat naga tua, menuju Hunza yang masih menunggu di ujung gelap malam.
Baru saja mimpi hendak bertandang dalam lelap saya, mobil bergoyang hebat. Saya terjaga. Mesin mobil mati. “Tenang,” kata Saif di belakang. “Hanya badai salju. Bukan gelindingan batu.”
Tapi … saya sudagh sukar percaya kepadanya. Sepuluh menit kemudian, saya menarik prasangka saya. Badai mereda.
Jalan Pulang yang Selalu Menunggu
Sebenarnya, badai salju itu belum sepenuhnya reda ketika subuh menjemput di Madyna Inn. Listrik padam sejak malam. Lilin yang diberikan pelayan hotel tinggal separuh, menciptakan siluet wajah di dinding kayu kamar kami. Saya menatapnya lama, menimbang apa yang sesungguhnya kami cari di sini, di jalur maut yang menyeberangi benua dan menembus langit.
Di luar, Abdul Malik telah menyalakan mesin minibus. Ia meneguk obat paginya tanpa suara. Lelaki tua itu menatap salju yang menutupi kaca depan dengan sorot yang sulit saya pahami—antara takut, kagum, atau hanya pasrah pada hidup yang telah berkawan lama dengan maut. Saif, seperti biasa, menyeimbangkan semua ketegangan. Ia bersiul kecil sambil membantuku mengemasi ransel dan botol air kami.
“Hari ini, kita akan tiba di Gilgit,” katanya seraya menepuk bahu saya. “Dan esok, Hunza menunggu. Kau siap, Benn?”
Saya menatap wajahnya yang selalu tersenyum, menutupi segala cemasnya. Di matanya, saya melihat Karakoram tak ubahnya panggung besar tempat manusia belajar menertawakan hidup, meskipun detik berikutnya mereka bisa saja jatuh ke dasar sungai Indus.
Minibus mulai menuruni jalan licin. Badai semalam meninggalkan lapisan es tipis di aspal, membuat roda-rodanya selip kecil beberapa kali. Abdul Malik tak mengucapkan apa pun. Hanya bibirnya yang bergerak pelan, melafazkan doa, ayat-ayat pendek yang menenangkan, bahkan ketika kami berpapasan dengan truk gandeng yang tergelincir dan hampir menimpa kami. Saif, yang duduk di belakang sopir, menimpali dengan suara ringan, “Don’t worry, Benn. Kalau kita mati, setidaknya kita mati di tempat yang paling indah di bumi.”
Saya menoleh ke arah laki-laki Pakistan yang berwajah dan berperangai sangat India itu, separuh marah, separuh ingin tertawa. Saif hanya menggeleng pelan sambil menahan senyum.
Di depan, Karakoram menampakkan seluruh kegagahannya. Tebing-tebing batu hitam menjulang tak bersahabat. Kabut yang tertahan di dinding-dinding tebing membentuk tirai putih setengah transparan. Di sela-sela itu, bongkahan salju menempel seperti cat tebal di kanvas raksasa. Di lembah paling dalam, Sungai Indus berkelok, sesekali menampakkan pusaran arusnya yang menghitam. Saya menatapnya lama, membayangkan ribuan tahun lalu, para penakluk Mongolia menjejakkan kuda mereka di jalur ini—di bawah kepemimpinan Kublai Khan yang memerintah dari Khanbaliq, Beijing hari ini, menyiapkan strategi menaklukkan Tibet dan India, menembus Karakoram untuk menjemput dunia yang lebih luas.
Saya teringat catatan penjelajah Inggris Eric Shipton saat menaklukkan pegunungan Karakoram di dekade 1930-an:
“The Karakoram is a savage place for savage men. But the savage who enters it will leave with a heart carved out of its silence.”
Karakoram adalah tempat buas untuk lelaki buas, tulisnya. Tapi siapa pun yang memasukinya, akan pulang dengan hati yang diukir oleh sunyi pegunungannya.
Eric Shipton
Saya menarik napas dalam-dalam. Bau gas yang sedikit bocor dari pemanas portabel di bawah kursi membuat kepala saya pening. Tapi Karakoram memanggil. Pegunungan ini bukan sekadar bentang geografi. Ia adalah ujian batin, tempat manusia menepikan egonya, menanggalkan kesombongan. Tempat di mana setiap tikungan bisa menjadi pintu surga, atau mulut neraka.
Di kejauhan, cahaya pagi menyibak kabut tipis. Gunung Rakaposhi menampakkan puncaknya yang berselimut salju abadi. Saya menatapnya Mother of Mist itu lama, khidmat, dan nikmat. Mata saya basah. Di bawah sana, lembah Hunza menunggu.
Saya menoleh ke Saif, lalu ke Abdul Malik yang menatap jalan tanpa berkedip, menahan gemetar.
Saya tahu, perjalanan ini belum selesai. Karakoram masih menyimpan rahasia, dan Hunza, di ujung sana, akan mengajari saya satu pelajaran penting tentang hidup:
Bahwa setiap perjalanan, betapa pun jauh dan berbahaya, pada akhirnya hanya mengantar kita pulang. Pulang ke diri sendiri. Pulang ke sunyi. Pulang ke Sang Pemilik Segala Jalan.
Melepaskan Karakoram
Setelah sebelas jam menempuh Jalur Karakoram, Abdul Malik menepikan minibus kami di Desa Naran. Saya menoleh ke kanan dan kiri, menatap barisan toko yang masih buka meski senja menjemput, lampu neon berkedip tak seirama, dan aroma kari kentang menampar hidung saya yang lapar sejak dua jam terakhir.
Saif Malik, lelaki berusia empat puluh tahun itu, menurunkan ranselnya pelan, seperti meletakkan beban masa lalu. “Benn, kita di Naran. Tapi danau itu …” Ia menunjuk ke puncak gunung di kejauhan, di balik kabut tipis senja. “Saiful Muluk ada di sana. Jauh di atas.”
Saya menatapnya lekat-lekat, menahan rasa tak sabar. “Bisa kita ke sana sekarang?”
Saif tersenyum kecil. “Ini Asar, Benn. Tidakkah kamu lapar? Kita belum makan siang.”
Baru saya sadari. Perut saya memang keroncongan, bernyanyi keras-keras di bawah sweter tebal yang sejak Gilgit menahan dingin pegunungan Karakoram. Kami pun masuk ke kedai besar yang didesain terbuka. Angin dingin menampar-nampar pipi saya, mengingatkan bahwa saya benar-benar berada di tanah para Khan. Di meja panjang beralas plastik bunga-bunga itu, saya meminta nasi putih, ayam kari, dan salad Pakistan dengan tumpahan yogurt di atasnya. Saya masih sulit beradaptasi dengan dal yang asam getir atau samosa ganja yang meninggalkan jejak getir di lidah kampung saya.
Setelah meneguk dua cangkir chai panas, saya lekas bangkit menuju minibus. Abdul Malik sudah duduk di balik kemudi, tangannya menepuk setir pelan. Saat saya masuk, ia menoleh sambil tersenyum, janggut putihnya bergetar. “Sudah kenyang, Benn?”
“Alhamdulillah,” jawab saya sambil mengencangkan sabuk pengaman.
Tak lama Saif menyusul dengan langkah tergesa. “Wah, cepat sekali!” serunya, menenggak chai-nya dalam sekali teguk.
Saya tersenyum lebar. “Saiful Muluk menunggu, Saif.”
Tapi ternyata bukan minibus kami yang akan naik. Saif menepuk bahu saya, menunjuk jip terbuka yang terparkir tak jauh. “Kita harus naik ini ke Saiful Muluk. Jalanan ke sana akan membuatmu makin sering beristighfar.”
Saya menatap jalan menanjak yang berkelok menembus bebatuan raksasa. Angin turun seperti cambuk musim dingin, menusuk tulang, membuat saya merapatkan jaket tebal. Saif tertawa melihat raut tegang saya.
“Sesampainya di danau, kau akan makin saleh karena akan terus mengucap Masya Allah.”
Saya tertawa, meski agak getir.
Sopir jip kami, Omar Khatab, lelaki jangkung berkulit coklat tua, menatap saya sambil tersenyum. Ketika kami melewati tanjakan sempit dengan jurang menganga di sisi kanan, ia menoleh, menatap saya lama-lama. “Please, don’t talk too much, Omar. Just focus. I pray and you just drive for safety!”
Omar malah tertawa lebar. “Jangan berdoa terlalu keras, kau meremehkanku, Indonesia!”
Saif tergelak dari kursi belakang.
Jip menabrak batu besar. Tubuh saya terhempas ke depan, hampir menubruk dashboard. Omar hanya mengerling. “Benn, kalau kita tak bercerita, aku tak akan melanjutkan perjalanan.”
Saya menatapnya tajam. “Apa yang ingin kau dengar?”
“Ceritakan mengapa kau ke Karakoram.”
Saya menarik napas. Bagaimana menjelaskan bahwa saya ke sini bukan untuk sekadar menulis catatan perjalanan. Bahwa di Karakoram, saya sedang mengejar jejak raksasa sejarah yang pernah menapakkan kekuasaannya di puncak tertinggi bumi ini. Bahwa saya ingin tahu, seperti apa jalur-jalur bebatuan yang dulu dilewati tentara Mongolia sebelum membangun Dinasti Yuan di Tiongkok. Bahwa mungkin, di tanah ini, para Khan menengadah ke langit, sama seperti saya sekarang, dan menggumamkan doa yang sama: “Ya Tuhan, jauhkan kami dari jatuh ke jurang ini.”
Omar menatap saya melalui spion tengah. “Karakoram tidak akan pernah menyepelekan orang yang menyepelekannya,” katanya pelan. “Jangan terlalu percaya diri di sini.”
Lagi-lagi saya teringat Faiz Ahmed Faiz. Penyair Pakistan yang pernah dipenjara karena sajak protesnya pada rezim militer itu menulis, “Speak, for your lips are free; speak, for your tongue is still yours.”
Maka saya diam, menahan setiap kata agar tak lepas sia-sia. Karena di Karakoram, selain benda, bahkan kata-kata pun bisa jatuh tanpa pernah kembali.
Masya Allah. Saif benar. Di tepi ceruk air tawar di ketinggian 3.224 meter itu, cermin surga bernama Saiful Muluk menganga. Puncak-puncak bersalju memantulkan wajah mereka di air hijau zamrud. Saya berdiri terpaku, menatap kabut tipis yang menari di atasnya. Saif memang benar. Tidak ada kata selain Masya Allah yang mampu saya ucapkan.
Di tepian danau, perahu-perahu kayu dihias warna-warni. Rumbai-rumbai kecil di haluannya menari diterpa angin. Saya menaiki salah satunya. Si pemilik perahu, lelaki tua berkopiah putih, mendorong pelan perahu kami ke tengah danau. Tak ada percakapan. Tak ada doa keras. Hanya air mata yang diam-diam menetes ketika saya menatap pegunungan Karakoram di kejauhan, membisu, menatap kami kecil dan fana di hadapannya.
Di sini, di Saiful Muluk, saya merasa menjadi liyan yang berusaha menaklukkan ketakutan di Karokoram, menertawakan kesombongan di sepanjang perjalanan, dan menunduk dalam sujud panjang di dalam hati. Entah bisakah keliyanan ini mengaliri darah saya begitu saya kembali ke pangkuan keluarga.
Satu jam kemudian, di lereng gunung, ketika Abdul Malik menurunkan gigi untuk menahan lajunya di turunan tajam berikutnya, saya menutup mata, menahan napas, dan dalam hati berbisik: “Ya Rabb, biarkan aku sampai di Hunza. Tapi jika tidak, cukupkanlah hatiku dengan keindahan Karakoram-Mu ini.”
Kini saya percaya, perjalanan bukan soal tempat yang kita tuju, melainkan tentang siapa kita setelah pulang.(*)
Naran, 2019