Kanjuhuruan dan Manajemen Olahraga
Oleh Benny Arnas
Sebagai olahraga dengan peminat paling banyak di muka bumi, sepak bola bukan lagi sekadar olahraga. Sepak bola adalah tentang gelimang popularitas dan kekayaan; pertaruhan dan judi; hingga permusuhan abadi yang, mengenaskannya adalah, antitesis atas sportivitas.
Tapi, semua hal di atas, tidak berkeliaran sebagai fenomena yang berdiri sendiri-sendiri. Ia menjelma menjadi kekuatan kapitalisme atas nama rating dan share untuk pertelevisian dan jumlah views untuk konten di Youtube. Ini belum termasuk pergerakan (atau lesatan?) dan sebaran konten di berbagai media sosial dan platform dunia maya.
Dengan statusnya yang tak tergoyahkan sebagai olahraga paling populer, membiarkan sepak bola menjadi olahraga semata, tentu kabar buruk bagi konsumerisme. Dengan durasi tayang yang hampir dua jam, puluhan ribu penonton yang bersorai, dan dua puluh dua pemain dengan basis penggemar yang masif dan militan, merawat potensi dan nilai ekonomis sepak bola adalah keniscayaan.
Sponsor, iklan, atau bahkan investasi dan donor dari berbagai pihak sudah tentu menyasar olahraga dengan daya serap perhatian publik seperti sepak bola. Berdasarkan laporan Tempo.co (4-5-2021), per 31 Maret 2021, SCTV mendapatkan pemasukan Rp 1,52 triliun dari iklan. Karena imbas siaran BRI Liga 1 yang disiarkannya, stasiun televisi tersebut membukukan pendapatan Rp3,16 triliun di tahun yang sama. (Bisnis.com, 16-8-2022). Angka ini tidak akan terbaca fantastis apabila kita tahu tarif iklan di teve nasional yang berkisar antara 14 juta (daytime) hingga 100 juta (prime time) per 30 detik. (vocasia.id, 7-10-2021).
Prime Time dan Rating
Satu Oktober 2022, peristiwa kelam dalam sejarah sepak bola (atau bahkan olahraga!) Indonesia mengguncang dunia. Seratus tiga puluh satu orang meninggal dunia oleh semprotan gas air mata oleh polisi yang sejatinya bertugas mengamankan pertandingan. Di balik kecaman penggunaan gas air mata yang sejatinya dilarang FIFA untuk digunakan dalam pengamanan pertandingan-pertandingan sepak bola, ada permasalahan substansial yang menjadi akar masalahnya: waktu pertandingan.
Salah satu hal yang mendapat sorotan tajam publik dalam laga derby awal bulan ini adalah bersikukuhnya PSSI dan LIB untuk menggelar pertandingan pada malam hari. Permintaan polisi untuk memajukan waktu pertandingan di sore hari tidak diindahkan pihak penyelenggara.
Apalagi yang menjadi pertimbangan pihak penyelenggara, selain mengejar nilai komersial pertandingan tersebut. Bagaimanapun tayangan di malam hari, baik di televisi maupun di kanal Youtube atau media sosial, lebih banyak menggaet penonton karena waktu tersebut adalah prime time.
Menurut Stefana Suryani Ginting (Wajah Tayangan Prime TIME Televisi Indonesia: Dimana Kepentingan Publik Ditempatkan?, neliti.com, 2015), prime time merupakan waktu paling sering digunakan penonton untuk menonton televisi. Prime time di Indonesia adalah pukul 18.00–23.00 WIB.
Ternyata, menyiarkan pertandingan atau perhelatan sepak bola secara langsung pada prime time tidak semudah menayangkan sinetron atau produk hiburan layar kaca lainnya. Infrastruktur stadion dan kesiapan aparat keamanan harus mendapatkan perhatian serius. Apalagi apabila skenario antisipatif terhadap kericuhan karena bentrokan kedua kubu tak disiapkan dengan baik, gegap gempita di lapangan potensial menjadi tragedi. Mirisnya, PSSI dan LIB yang seharusnya menjamin terselenggaranya pertandingan dengan aman dan nyaman, justru mengabaikannya.
Tragedi dan Pelajaran
Apa yang terjadi dalam laga Arema vs. Persebaya adalah pelajaran penting bagi PSSI dan LIB. Menuhankan respons pasar (rating, share, atah bahkan views), apalagi tanpa perhitungan dan persiapan memadai, ternyata bukan hanya membawa kerugian ekonomi. Lebih dari itu: kematian massal dalam dunia olahraga pun terjadi.
Peristiwa yang belakangan popular dengan sebutan Tragedi Kanjuruhan itu telah menjadi duka bangsa. Pencinta sepak bola ataupun bukan, tak pernah menyangka aparat keamanan menyalahi SOP pengamanan pertandingan. Penolakan PSSI dan LIB terhadap saran pihak kepolisian untuk mengubah jadwal pertandingan ke bukan prime time adalah akar utama (untuk tidak menyebutnya “satu-satunya”) tragedi. Isu sportivitas dan pelanggaran SOP lahir dan mengemuka kemudian, sebagai akibat tak terelakkan dari kurangnya antisipasi dalam menyelenggarakan sekaligus menyiarkan secara langsung pertandingan sepakbola dengan dua basis masa penggemar yang militan.
Jangan sampai, isu baru yang kontraproduktif terkait rating dan share ini terus lahir dan beranak-pinak. Bahwa bad news is good news. Bahwa kericuhan atau keributan atau bahkan kematian adalah ladang subur bagi konsumerisme berita di media massa. Bahwa tragedi ini memang segaja “diledakkan” untuk memperpanjang durasi nilai komersial sebuah tayangan olahraga.
Tidak. Kita semua tidak mengharapkan itu terjadi. Kita menghindari prasangka yang begitu kejam dan sadis itu, meskipun kematian, terutama wanita dan anak-anak, dalam tragedi itu sungguh memilukan.
Menuju Manajemen Profesional?
Sampai Jumat (7/10) siang, tepatnya 12.55 WIB, CNN Indonesia mencatat 20.107 orang menandatangani petisi agar Mohammad Irawan alias Irwan Bule mengundurkan diri dari jabatannya sebagai ketua PSSI. Rangkaian subperistiwa dan drama baru yang mengelilingi tragedi ini adalah bahan bakar potensial bagi kapitalisme tayangan di ruang publik.
Ratusan nyawa melayang, rating yang jadi tuhan, dan tuntutan masyarakat pada organisasi yang memayungi persepakbolaan di negeri ini sudah seharusnya mengerucut pada perbaikan menyeluruh. Ia bukan sentimen masyarakat. Ia afalah konsekuensi keputusan dan jabatan untuk manajemen olahraga yang bukan hanya lebih rapi, baik, dan profesional, tapi juga bertanggung jawab. Sepenting dan sebesar apa pun sebuah laga, tidak akan mampu menggantikan nyawa, satu orang sekalipun.