Istri, Istri Ribut & Puisi-puisi Lainnya
Oleh Benny Arnas
Istri, Istri Ribut
Biji anggur. Biji-biji anggur. Berserakan dari mulutku. Malam masih sangat muda. Serumpun anggur yang ranum, berembun, dan bulat kelengkeng. Kumakan seakan melumat manisan India. Tapi biji-bijinya yang kecil mengganggu lidahku yang masih awas. Kukeluarkan, maksudku mulutku. Atau lidahku. Atau gabungan keduanya. Diserakkan di lantai. Tidak sengaja, sebenarnya. Istriku melihatnya. Ia ribut. Lidah dan mulutnya mengeluarkan daun. Daun-daun. Daun-daun anggur bermiang, putih seperti ada abu tipis yang menyelimutinya. Berserakan. Di wajahku. Bibirku. Bibirku dan bibirmu. Biji-biji itu. Biji-biji yang ribut. Sapu kauambil. Kuangkat. Kaukibas. Kuentak. Jatuh. Patah. Ribut. Biji-biji anggur. Patahan gagang sapu. Bibir yang lepas. Empat bibir (karena sepasang bibir pun sudah lepas dari mulutku, mulutmu). Istri, ah semua karena istri yang ribut.
Kapan kita akan berciuman lagi, katamu, kata mulutmu,
kata bibirmu. Biji-biji berhamburan. Berserakan. Ribut, ribut sekali.
Barusan, jawabku sambil memetik buah anggur pertamaku dan kau
mengambil sapu dari belakang untuk menyapu rumah
di sore yang hening itu
(Lubuklinggau, 2011)
Hijau Pagi
Pertama-tama aku mendatangkan sebatang timun yang merambat di dekat jendela kamarmu dan tiba-tiba pada hari itu juga ia berbunga. Bunga kuning dan berambut—berbulu, mungkin. Kau geli. Kukelitik kau. Pinggangmu. Ketiakmu. Lehermu. Telingamu. Aku bukan mentimun, katamu sambil menggeliat di dekat rimbun alang-alang, rumput kanji, dan semak karimunting.
Lalu aku lamat-lamat membuka pintu yang tak kaukunci, lalu mengelitik beberapa bagian tubuhmu. Aku tak ingin dianggap mentimun, katamu sambil berlari kecil di atas kasur yang dirambati mentimun. Bunga-bunga mentimun. Daun-daun mentimun. Daun-daun mentimun yang sepertinya cukup gatal.
Kau terus mengeluarkan suara. Tidak keras. Tidak pula pelan. Agak manja. Tidak lirih. Batang-batang mentimun merambat ke tiang-tiang jendela. Kau bangkit sembari meliuk-liuk. Kau adalah ikan di atas ranjang. Kupotong mentimun. Tipis-tipis. Bundar-bundar, jadinya. Menghiasi wajahmu. Menghiasi ranjangmu.
Kau masih menggelinjang. Hanya karena sebatang timun yang kukirim pada pagi itu. Ah, tunggu. Tunggulah, istriku. aku tahu betapa kau sangat
setia
merinduiku
(Lubuklinggau, 2011)
Bayam Merah
Sebatang bayam merah. Merah marun yang pucat. Bulan pucat. Bulan yang telat datang. Lewat lima hari dari tengah bulan. Seharusnya pada hari yang ketujuh belas. Tanggal pernikahan kita. Atau usia ketika kaupinang
aku sangat menyukai sayur bening bayam merah, katamu dulu. Sungguh, sebuah alasan yang takpantas untuk memesan pelaminan di bulan yang gerimis. Maka, aku ingin kau membuat alasan yang lain. Aku tak suka mengarang-ngarang, jawabmu seakan merasa tersinggung dengan permintaan bidadari berpipi merah. Pipi bayam merah, kata ibuku. Mungkin inilah sebab kau menyuntingku. Pipiku. Pipiku yang merah. Merah bayam merah!
Seikat bayam merah. Merah marun yang cerlang. Bulan merah. Semerah darah. Semerah kuah sayur yang tengah kumasak dengan abai dan sesal tanpa kau
tahu bahwa pada ulangtahun
pernikahan
kita,
bayam merah kali
ini kupetik
dari jantungmu!
(Lubuklinggau, 2011)
Jalan Tuhan yang Kecil
Anak-anak kecil, kaki-kaki yang kecil, mata-mata
yang berbinar merah buah merah. Mereka menujuku,
menunjuk-nunjukku. Seakan-akan aku yang menyihir
mereka jadi kecil,
kecil, kerdil
kecil-kecil
Anak-anak kecil, jari-jari
jari-jari mungil
menggengam kerikil
Aku berlari, mereka
berlari, menyudutkanku
ke sudut yang kecil
tubuhku mengecil
seperti warna merah
jatuh,
di jalan
jalan Tuhan yang kecil—mungkin begitu,
mungkin
(Lubuklinggau, 2011)