SORE: Cinta Adalah Mesin Waktu Paling Sederhana

Sore: Istri Masa Depan (Cerita Films, 2025) adalah salah satu karya naratif yang menyeret kita ke dalam realitas rekannya. Kita tahu itu fiksi, tapi kita malah rela menunggu. Film ini bukan hanya bicara tentang mesin waktu. Lebih dari itu, Sore membuat saya berpikir ulang tentang reinkarnasi, prakognisi, dan déjà vu – tiga konsep lintas spiritualitas, psikologi, dan fiksi yang selalu menimbulkan hasrat untuk menelusurinya lebih dalam.
Oleh Benny Arnas
____
Disutradarai Yandy Laurens dan dibintangi Dion Wiyoko serta Sheila Dara, film ini seolah menyisipkan pertanyaan esensial ke dalam adegan-adegan kecil yang tampak biasa. Misalnya, ketika Jonathan (Dion Wiyoko) pertama kali bertemu dengan Sore (Sheila Dara). Sore muncul di kamar apartemennya, seakan-akan menemani sang fotografer merenangi mimpi, dengan wajah tenang dan suara yang menyebutkan satu kebenaran mustahil. “Aku Sore. Istri kamu dari masa depan.”
Adegan itu menyisakan rasa aneh seperti déjà vu. Ya, seperti. Hanya seperti. Bukankah kita pernah merasakan sensasi saat seseorang yang baru kita temui, tempat yang baru kita injak, atau dialog yang baru kita ucapkan tiba-tiba terasa sangat akrab, seolah sudah terjadi sebelumnya? Sore menumbuhkan perasaan itu sejak menit awal, meski Jonathan–yang sedang stres menjelang pertemuannya dengan investor pamerannya–tidak dalam kondisi yang fit untuk menerima lintasan perasaan itu. Tapi, bagaimanapun, tatapan Sore pada Jonathan menimbulkan getar halus di bawah kesadaran penonton: bahwa mungkin hidup memang sudah pernah kita jalani berkali-kali, atau justru bahwa hidup menyimpan retakan waktu yang membiarkan kita mengintip masa depan.
Dalam psikologi kognitif, déjà vu dijelaskan sebagai “kesalahan memori”, ketika otak keliru memproses peristiwa baru sebagai peristiwa lama. Namun, di film ini, déjà vu dipresentasikan seperti pintu menuju takdir. Kita seakan diajak percaya bahwa masa depan bukan hanya sesuatu yang kita tuju, melainkan sesuatu yang mungkin sudah terjadi di dimensi lain.
Lihat misalnya, skena ketika Jonathan ingin turun meninggalkan kamarnya, Sore tahu persis bahwa Jonathan lupa membawa dompet dan ponselnya. Padahal Jonathan merasa itu pertemuan pertama mereka. Adegan itu sederhana, namun menegaskan kekuatan prakognisi dalam diri Sore. Prakognisi, sebagai kemampuan untuk mengetahui masa depan sebelum terjadi, sering dipandang fiksi. Tetapi film ini menolak membahasnya dengan gaya fiksi ilmiah kompleks. Sore justru menampilkan prakognisi dengan cara sehari-hari: Sore membuang rokok dan alkohol, Sore memaksa Jonathan lari pagi agar tetap bugar, atau Sore buah potong ketika pemuda itu sedang memeriksa hasil jepretannya di laptop. Prakognisi seolah menjadi wujud paling alami dari cinta: tahu kebutuhan orang yang dicintai sebelum ia sendiri menyadarinya.
Namun, prakognisi juga menakutkan. Ketika kita tahu masa depan, bagaimana mungkin kita menjalani hidup dengan spontan? Bukankah mengetahui masa depan justru membunuh rahasia hidup? Film ini menampilkan pertanyaan itu ketika Sore berkali-kali berusaha menutupi fakta tragis tentang takdir Jonathan. Dalam satu adegan, ketika Jonathan dengan kesal menanyakan apa yang sebenarnya Sore inginkan. “Untuk buat hidupmu lebih baik,” kata Sore.
Kalimat Sore itu mengiris. Karena sejak awal film, Sore sudah menanamkan benih kengerian: bahwa hidup Jonathan tidak akan panjang. “Delapan tahun dari sekarang kamu akan meninggal,” katanya, tidak dalam nada tinggi, namun getarannya mengerikan. Prakognisi, di titik ini, menjelma kutukan. Mengetahui masa depan artinya menanggung kepastian kehilangan. Bagaimana mungkin kita menjalani hari dengan ringan, jika kita tahu bahwa orang di hadapan kita akan mati secepat itu?
Menjelang tengah film, ketika Jonathan mulai menerima kehadiran Sore dan jatuh cinta padanya, konflik utama pelan-pelan lahir. Bahwa Jonathan sejatinya tidak bisa Sore ubah begitu saja. Bagaimana mungkin fotografer yang tinggal di Kroasia pada musim semi harus menanggalkan kebiasaan yang memantik ide dan inspirasinya (baca: merokok, minum alkohol, dan begadang) begitu saja?!
Paruh ketiga film, ketika hubungan Jonathan dan ayahnya terbuka. Alih-alih menemukan kemudahan, justru Sore dihadapkan pada keputusasaan karena kegagalannya mengalahkan waktu tiap kali resolusi itu hampir tiba. Lalu, adegan itu berulang: terjaga di samping Jonathan. Kalau Anda lelah dengan siklus ini, fiksi in berhasil mengganggu kesadara Anda. Tapi kalau Anda bosan, berarti Sore memang tidak cocok untuk Anda (baca: untuk tidak mengatakan: mungkin Anda belum siap menonton karya sastra dalam bentuk audiovisual!). Seharusnya, di titik ini, Sore tidak perlu reaktif. Tah, dia tahu bagaimana akhirnya. Namun, Yandy seperti sengaja membangun sore sebagai karakter yang hibrida. Separuh realis, separuh surealis. Separuh prakognitif, separuh naif. Di sinilah saya mulai berpikir tentang reinkarnasi.
Reinkarnasi, bagi banyak tradisi spiritual, adalah keyakinan bahwa hidup adalah lingkaran tanpa putus, dan kematian hanyalah pintu menuju hidup berikutnya. Lalu, bagaimana jika reinkarnasi tidak melulu berarti lahir kembali setelah mati, tetapi juga lahir di masa lampau? Sore menghadirkan premis ini diam-diam. Sore hadir di masa lalu Jonathan, dan dengan cara itu ia seolah “hidup ulang” bersamanya, meskipun tubuhnya masih tubuh di masa depan.
Ada satu adegan yang menegaskan ini. Sore bercerita tentang kata-kata puitis Jonathan di masa lalu: tentang langit yang menerima senja dan cinta setia pada pasangan. Pun ketika di bagian koda. Dengan latar orkestra “Terbuang dalam waktu”-nya Barasuara yang megah dan dramatik, kita diantar ke adegan Jonathan yang terkena serangan jantung dan Sore yang berdiri seorang diri di hadapan makamnya … di masa depan. Tidakkah ini mengingatkan kita pada gagasan reinkarnasi: bahwa jiwa terus mencari rumahnya, melampaui logika waktu linear?
Sepanjang film, saya merasa seperti Jonathan: bingung, marah, takut, tapi juga perlahan jatuh cinta pada kehadiran Sore. Ada kehangatan dalam cara Sheila Dara memerankan Sore. Matanya menyimpan kesedihan masa depan, namun senyumnya meneduhkan masa kini. Narasi hubungan mereka seperti berbisik pelan tentang betapa berharganya hidup ini, bahkan jika hanya tersisa satu hari.
Saya teringat kata-kata seorang teman tentang déjà vu: “Mungkin déjà vu adalah cara Tuhan mengatakan kita sedang berada di jalan yang benar.” Namun, Sore menambahkan satu lapisan makna di atasnya: déjà vu mungkin adalah cara jiwa kita mengingat jalan hidup di kehidupan lain – entah di masa lalu atau masa depan. Dan jika prakognisi adalah kemampuan melihat masa depan, maka reinkarnasi adalah kemampuan mengulang masa lalu untuk memperbaikinya. Di film ini, Sore melakukan keduanya: ia tahu masa depan Jonathan dan ia menolak takdir itu dengan kembali ke masa lalunya.
Film ini berhasil meramu fiksi ilmiah tentang waktu dengan drama romantis tanpa perlu mesin waktu futuristik. Adegan ketika Sore menyiapkan soto lamongan di dapur kecil apartemen Jonathan, ketika mereka jalan pagi membeli buah, ketika Sore mengikat tali sepatu Jonathan yang masih lelap …. Semuanya mengingatkan saya bahwa cinta adalah mesin waktu paling sederhana. Cinta membuat kita ingin memperpanjang waktu, membekukannya, atau memutarnya kembali.
Ketika layar bioskop menampilkan para kreator yang menjadikan Sore ada, saya tertegun cukup lama. Sore bukan film tentang mesin waktu, melainkan tentang penerimaan. Bahwa hidup bukan tentang melawan waktu, tetapi tentang menari bersamanya. Bahwa misalkan kita bisa melihat masa depan, mengenang masa lampau, atau mengulang hidup, apakah kita akan mengulang kesalahan yang sama, memperbaiki takdir atau … justru belajar menerima setiap kehilangan?(*)
Lubuklinggau, 25 Juli 2025
5 Comments
Sebuah ulasan dan pemaparan terhadap SORE yang bener-bener berbeda dan sudut pandang yang belum aku temukan dari pengulas lain. Pada akhirnya, SORE memang jadi satu film yang bagus banget terlebih film ini memunculkan banyak sekali diskusi pasca menonton terlepas pro dan kontranya 🙂
Saya belum nonton, tapi ulasan ini menarik. Deja vu, prakogknisi, dan reinkarnasi. Apakah karma tidak ada dalam daftar?
Bahwa hidup bukan tentang melawan waktu, tetapi tentang menari bersamanya. Kelasss
Jadi penggen nonton
Belum nonton film ini sih bang, tp bnyk yg review film ini bagus, ditambah tulisan abang ini membuat ingin menyegerakan ke bioskop deh, sepertinya bnyk pesan2 tersirat yg abang paparkan dlm film ini,
Jika Sore adalah istri masa depan, maka Bang Benny adalah penulis SORE selanjutnya. Tulisan dengan ramuan yang pas dengan sudut pandang yang berbeda. Ini tidak hanya buah potong saat mengedit foto, tapi juga kopi robusta berteman baguette. 👍🏻