Harari, Israelisme, & Kutukan Sapiens
oleh Benny Arnas
——
Bagaimana mungkin sejarawan ketakutan berhadapan dengan masa lalu?
***
Harari meletup bak nuklir yang pecah di tengah kehausan manusia akan ilmu pengetahuan tentang sejarah dirinya sendiri ketika edisi bahasa Inggris Sapiens dirilis tahun 2014 di Inggris. Tak menunggu lama, buku tersebut menjadi trilogi dengan kelahiran Homodeus (2018) dan 21 Lessons (2018).
Hingga hari ini, trilogi tersebut telah diterjemahkan ke dalam 65 bahasa dan terjual lebih dari 35 juta kopi di seluruh dunia.
Kemampuan sejarawan Israel kelahiran 24 Februari 47 tahun yang lalu itu dalam meramu narasi membuat pemaparannya tentang sejarah manusia yang berangkat dari sekadar satu spesies hewan untuk kemudian menjadi makhluk berperadaban, melalui Evolusi Kognitif, Pertanian, dan Sains, berterima di banyak kalangan, tak terkecuali pembaca muslim yang justru banyak mengutip dan menjadikan perspektifnya tentang imajinasi sebagai pijakan.
21 Lessons bahkan seperti “berhasil” membocorkan realitas era Infotek ketika Open AI besutan Sam Altman dan Elon Musk merilis Chat GPT kepada publik empat tahun setelah perilisannya.
Tapi, Harari rupanya gagap berhadapan dengan realitas kemanusiaan.
Mustahil intelektualitasnya tidak mampu melihat konflik Israel-Palestina sebagai genosida terang-terangan. Ia, yang berdiri dengan kaki kanan sebagai warga Israel Yahudi dan kaki kiri sebagai ilmuan dunia, seperti dihadapkan jalan kompleksitas dengan tipografi yang mungkin saja tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Ia memilih berjalan dengan kaki kanan dengan menyeret kaki kirinya. Tidak mungkin, rasanya. Tapi Harari melakukannya. Tapi tidak dengan daya narasi kaya sejarah seperti pada karya-karyanya, melainkan dengan retorika. Dalam urusan ini, dia tahu, menyeret sejarah adalah bunuh diri.
Melalui Instagram dan media sosialnya yang lain, sebagaimana Ben Shapiro yang mendayagunakan jahitan visual sebagai kampanye pro Yahudinya, Harari mengandalkan kemampuannya membangun struktur naratif yang logik.
Pagi ini, ketika tulisan ini ditulis, di Instagramnya, Harari mengunggah poster dengan tulisan, “This is the curse of the story: people try to save the past instead of saving the future”.
Kemarin, Harari membuat blunder dengan menyebut Hamas bertindak ceroboh atas penyanderaan dan pembunuhan yang mereka lakukan kepada bukan hanya Yahudi Israel, melainkan juga Muslim Israel.
Tentu saja narasi-narasinya dibangun di atas kerangka logika yang, berdasarkan unggahan terakhirnya”, menganggap Palestina hari ini adalah sekumpulan orang-orang yang gagal move on dari masa lalu, itu mendapat banyak kecaman.
Harari bergeming.
Permintaan agar ia melampirkan narasinya dengan bukti yang akuntabel, tak ia indahkan.
Lucu sekali, bagaimana sejarawan justru keukeuh menyebut masa lalu tak boleh dibela, dan mengajak dunia membangun masa depan. Dengan alas dan dasar apa sejarawan membangun masa depan, Harari?
Betapa garing dan mengerikannya, bukan?
Harari lupa atau sengaja abai, bahwa salah satu kekuatan karya-karyanya sehingga diminati punlik adalah kecakapannya membangun empati. Dan itu bersembunyi di lapisan-lapisan informasi dan riset tentang masa lalu yang ia “se(la)matkan” ke dalam moral-story atau story-argument-nya.
Ia menyelamatkan masa lalu. Ia memformulasikan “pelajaran dari terdahulu”. Dan hari ini, ia seolah-olah meminta publik melihatnya sebagai Harari sebagai pemikir Yahudi yang fokus pada:
a) menyelamatkan diri dari realitas sejarah;
b) melihat Israel sebagai negara yang membela kedaulatannya
Bahasa dan imajinasi, yang dalam Sapiens dinyatakan sebagai kekuatan utama umat manusia, dikhianati oleh tuannya sendiri yang berputar-putar dengan retorika dan berkhayal tentang kesetaraan dengan menjadikan negaranya sebagai contohnya.
Shame on You, Harari.***
———
Sumber gambar: New York Times