Dinda dan Es Balonnya
Oleh Benny Arnas
Catatan Facebook, 17 Januari 2022
Di tengah seruan para pakar agar bersikap lemah lembut kepada anak, kami justru mendidik anak-anak ala orangtua kami mendidik kami (kami hanya memodifikasinya sedikit: menghilangkan kekerasan fisik!). Karena itu pula kami sempat berpikir, apakah anak-anak kami akan tumbuh seperti kebanyakan anak zaman now atau tidak.
***
Mungkin sudah setahun Dinda, putri pertama kami, berjualan es balon di sekolahnya.
Saya menyarankan istri memberi pengertian kepada guru-gurunya, bahwa Dinda melakukannya untuk kesenangan semata. Jadi, kalau sekolah melarang para murid berjualan, Dinda tidak harus ditegur. Saya menyerahkan urusan itu kepada istri karena dialah yang paling bertanggung jawab atas apa yang Dinda lakukan.
Istrilah yang konsisten merepeti Dinda tiap kali ia minta uang jajan lebih atau merengek dibelikan mainan baru. “Kalau bisa cari uang sendiri, baru boleh!” Intinya begitu. Walaupun aslinya, kata-kata yang jumpalitan ketika istri merepet jumlahnya bisa ratusan atau ribuan.
“Anak punya insting, Yah,” kata Istri ketika saya memintanya tidak terlalu ngegas tiap kali anak-anak mengutarakan permintaan mereka. “Apakah Maknya merepet karena benci atau sayang. Tar kalau sudah besar mereka akan tahu manfaat repetan ini!” lanjutnya, masih dengan ngegas, kali ini kepada saya.
Tentu saja saya membenarkannya.
Kami sama-sama hidup di tengah repetan Mak dan sabetan ikat pinggang Bapak kalau pulang malam, ketahuan mandi di sungai seharian, berkelahi, atau membuat kesalahan di sekolah sehingga mereka harus masuk ruang guru.
Di tengah seruan para pakar agar bersikap lemah lembut kepada anak, kami justru mendidik anak-anak ala orangtua kami mendidik kami (kami hanya memodifikasinya sedikit: menghilangkan kekerasan fisik!). Karena itu pula kami sempat berpikir, apakah anak-anak kami akan tumbuh seperti kebanyakan anak zaman now atau tidak.
Ketika Dinda mengutarakan niatnya untuk mendapat uang sendiri dengan cara berjualan, kami pastikan ia melakukannya dengan gembira. Hal itu juga yang membuat Dkayla, adiknya, mengikuti jejaknya walau hanya bertahan satu pekan karena ia lebih banyak membagi-bagikan es balonnya kepada teman-teman. “Biar esnya juga habis kayak Ayuk Dinda,” jawabnya santai ketika Dinda melaporkan “kecurangannya”. Sebenarnya “kecurangan” itu tak perlu dilaporkan sebab Dinda yang masih membawa beberapa es balon di dalam bosnya mendapat uang jauh lebih banyak daripada Dkayla yang bosnya tak lagi berisi.
Kenapa es balon? Kenapa Dinda tidak menjual yang lain?
Tidak. Es balon tidak serta-merta menjadi pilihan pertamanya. Dinda (dan seperti biasa, juga diikuti Dkayla) sudah memulainya dengan menjual print-out sketsa hitam-putih. Saat itu kami tak terlalu mengkhawatirkan respons sekolah sebab kedua putri kami tidak membawa bos es atau wadah jajanan dalam ukuran yang mencolok. Namanya juga anak-anak sedang bersenang-senang!
Kala itu, dengan memanfaatkan printer di ruang kerja saya, mereka memilih sendiri sketsanya yang banyak tersedia di Google. Kata mereka, teman-teman di kelas yang suka mewarnai pasti akan membelinya. Dan benar! Mereka membawa uang hasil “keringat” sendiri.
Tapi … aktivitas menjual sketsa itu hanya bertahan tiga bulan. Lalu mereka berhenti. Kami tak menanyakannya. Mungkin saja mereka bosan. Mungkin saja minat-membeli teman-temannya sudah berkurang.
Meskipun begitu, semangat mengumpulkan uang kakak-beradik itu, terlebih Dinda, tak pernah padam.
“Makan es krim tiap hari bikin bosan,” kata Dinda suatu hari. “Lagi pula, harganya, ‘kan, mahal dibandingkan es balon,” tegasnya.
“Sekolah Alam sangat senang kalau murid-muridnya memiliki jiwa mandiri sejak dini, Yah,” kata istri. “Jadi memberi pengertian ke sekolah tentang aktivitas berjualan Dinda yaaa nggak ada guna. Wong mereka juga mendukungnya.”
Syukurlah. Saya lega.
Ketika istri menurunkan bos nasi dari atas kitchen set, saya nyolot, “Emang bisa jualan es pake itu?” sangsi dan sok tahu.
Tapi dalam urusan ini, Dinda lebih tahu siapa yang bisa ia percaya dan dengarkan.
Seisi rumah pun repot. Bundanya memasak bahan sampai mendidih, saya menggunting tali, si bibi menuang bahan yang sudah dimasak ke dalam bungkusnya. Mereka berdua yang mendapat jatah mengikat bakal es balon, malah lebih banyak gagalnya. Bagian yang paling mereka sukai adalah menyusun bakal es balon dalam freezer.
Tapi, kerepotan itu menjadi tidak penting ketika pulangnya kakak-beradik itu membawa bos dengan isi yang sudah berkurang. Belakangan, karena sudah paham polanya, Dinda sudah bisa membuat dan menanak sendiri bahannya. Paling ia membutuhkan si Bibi atau Dkayla untuk membantunya mengikat es balon kencang-kencang.
Hari ini, setahun sudah Dinda menjadi pelajar penjual es balon di sekolahnya. Dkayla memutuskan membantu sang kakak menghabiskan jualanan kakaknya kalau bos es itu masih berisi hingga bel pulang berbunyi. Bayar nggak bayar, bebas, katanya. Kadang Dinda meributkannya, tapi ia lebih sering membiarkan.
Bulan lalu Dinda melapor bahwa tabungannya sudah tiga ratus ribuan, jumlah terbesar yang bisa ia kumpulkan dari menjual es balon selama ini.
Biasanya, belum sampai seratus ribu tabungannya sudah habis. Terakhir ia kecewa, karena jam tangan antiair yang ia beli di lapak daring ternyata palsu. Tidak apa. Ia jadi tahu apa itu arti “dont judge the book but its cover”. Ia akan belajar dan menjadi sensitif dan antisipatif terhadap kemungkinan-kemungkinan serupa-tapi-tak sama di kehidupannya kelak.
“Dinda ingin mendapatkan lebih banyak duit,” katanya seraya menyebut salah satu negara yang sangat ingin ia kunjungi. “Jadi kalau bisa, pas pulang sekolah, bosnya benar-benar kosong.”
Dan Dinda punya usaha untuk itu.
Kalau selama ini ia menjual teh manis atau jus jambu yang diesbalonkan, hari itu ia membuat banyak variasi, di antaranya mencampurkan remahan Oreo ke dalam bahan esnya.
Siang itu, wajahnya lebih seri dari biasa.
Es balonnya habis.
Kami percaya, apa yang dilakukan anak sulung memiliki pengaruh ke adik-adiknya, sebagaimana saya yang memutuskan tidak menjadi PNS seperti Papa sehingga ketiga adik saya pun memilih jalan yang sama.
Ya, kami percaya, teladan terbaik adalah tindakan, bukan kata-kata. Repetan sang ibu takkan ngefek sedikit pun kalau Dinda dan Dkayla tak pernah melihat betapa lelahnya ibu mereka dulu berjualan sayur masak (karena “terbakar” omongan saya: hanya orang gila yang nggak suka masakanmu!”) sebelum saya memintanya berhenti karena kami kesulitan memiliki family time. Kebiasaan Dinda sebelum tidur, yang mulanya membuat kami singkuh sekaligus terharu, adalah meminta maaf kepada orangtuanya atas semua kesalahan yang ia lakukan hari itu, mencium punggung tangan kami, memeluk kami, dan mengucapkan salam sebelum masuk kamar. Dkayla juga melakukannya, meski tidak konsisten. Dan hanya tentang waktu, si bungsu Maura yang baru berusia 4,5 tahun akan mengikuti jejaknya. Jejak-jejak kebaikan sang kakak yang bulan depan genap 10 tahun.
Sehat selalu, Nak. Sejauh tidak merugikanmu dan orang lain, lakukan saja, lakukan apa saja. Mumpung kau masih bisa melakukannya untuk alasan kegembiraan semata.***