Blaichah: Pengakuan tanpa Upacara

Pemandangan dari kereta (Munich–Blaichah) (dok. pribadi)
Di Blaichah, angka bercerita lebih jujur daripada manusia.
Greta
Kereta regional dari Munich tiba-tiba berhenti di tengah lembah. Tidak ada pengumuman, hanya derit besi dan embun yang menempel di kaca. Aku menyingkap jendela, melihat salju turun pelan di atas rel yang memutih. Seorang kondektur berjalan cepat sambil berteriak sesuatu dalam bahasa Jerman yang tak kumengerti. Penumpang lain mulai berdiri, beberapa membuka pintu darurat.
Aku ikut turun ke peron kecil tanpa nama. Angin menusuk, membuat mataku berair. Di kejauhan, samar-samar tampak papan kayu: Blaichach (Allgäu). Huruf-hurufnya setengah tertutup salju. Tak ada taksi, tak ada suara kendaraan, hanya lonceng gereja berdentang pelan dari balik kabut.
Aku melangkah mengikuti jalan setapak yang menurun ke arah desa. Bau kayu basah dan asap roti menggantung di udara. Dari sebuah rumah di pinggir hutan, terdengar suara gergaji berpadu dengan bunyi biola yang nyaris tak terdengar—halus, ragu-ragu, seperti seseorang yang memainkan kenangan.
Aku berhenti di depan jendela rumah itu. Di balik tirai renda, kulihat bayangan tubuh yang menunduk, tangannya bergerak pelan, menebas udara dingin bersama nada. Salju turun lebih deras, menghapus jejak kakiku di tanah.
Aku menahan napas. Entah mengapa, aku tahu: suara itu sedang memanggilku, dan sesuatu di balik dinding itu akan mengubah arah perjalananku sepenuhnya. Mari kita mundur sejenak.
Di Antara Bahasa yang Membeku
Kereta TGV Est-Européen meninggalkan Paris Gare de l’Est pada pagi yang seharusnya membawa hangat musim semi. Namun, di luar jendela, ranting-ranting masih pucat, dan udara meneteskan warna kelabu yang membuatku ragu: apakah musim benar-benar memahami kalender? Aku duduk di kursi nomor 18A, di antara dua perempuan berambut pirang yang sibuk berbicara cepat dalam bahasa yang aku duga Jerman, tetapi tak satu pun kata mereka terdengar seperti “Blaichach.” Aku mencoba bertanya, sekadar memastikan bahwa kereta ini memang menuju Munich sebelum aku berganti ke jalur lokal. Namun, senyum mereka berhenti di bibir, lalu meluncur menjadi isyarat sopan yang dingin.
“Blaichach?” tanyaku lagi, pelan.
Salah satu mengerutkan dahi. “Blaihah?” katanya, logat Bavariannya menelan bunyi akhir.
“Ya, itu,” jawabku cepat, separuh lega, separuh bingung.
Aku baru tahu kemudian bahwa di Jerman Selatan, nama itu memang dilafalkan tanpa konsonan akhir, seperti napas yang tertahan. Bahasa, rupanya, bisa mencairkan atau membekukan seseorang. Dan pagi itu, di kereta yang meluncur melewati perbatasan Prancis–Jerman, aku merasakan bagaimana kata yang salah bisa membuat seseorang serasa hilang di peta.
Aku membawa satu tujuan sederhana: menemui seorang violis Jerman yang dulu tampil di Festival Musik Kamar Aix-en-Provence tahun 2018 dengan nama panggung samaran. Namanya Klara Hegel, cucu dari seorang penyintas kamp konsentrasi Dachau. Ia pernah surel padaku, sebuah korespondensi singkat setelah aku menulis esai tentang cerpen berlatar Gelsenkirchen. Klara menulis: “Datanglah suatu hari ke Blaichach. Di sana biola tak sekadar suara.”
Empat tahun berlalu, dan aku akhirnya datang. Tapi hari itu, lebih dari suara biola, aku justru mendapati lanskap kebisuan yang luas.
***
Kereta berhenti di Ulm, kemudian berganti ke jalur regional Bayern, menembus kota-kota kecil dengan menara gereja dan bendera biru-putih bergaris. Salju tipis mulai turun ketika kami mendekati Immenstadt, satu pemberhentian sebelum Blaichach. Di dalam gerbong, seorang pria tua membaca Süddeutsche Zeitung dengan halaman depan yang menampilkan berita: “Alpen Masih Bersalju di Bulan April – Anomali Iklim atau Berkah?”
Aku menatap jendela, memandangi pegunungan jauh yang seperti ditaburi tepung dingin. Salju di bulan April 2022 memang aneh; para klimatolog memperingatkan perubahan pola cuaca akibat pemanasan global. Namun bagiku, salju itu bukan anomali, melainkan perpanjangan dari kesunyian Eropa yang tak pernah benar-benar mencair.
Menghirup aroma tanah Jerman, entah bagaimana, aku mendadak sentimental.
Aku tumbuh dengan cerita-cerita tentang Holocaust, membaca Night karya Elie Wiesel, dan menonton film The Pianist saat kuliah dengan mata berkaca. Namun, ketika akhirnya aku benar-benar berada di negara ini, aku tak melihat monster; yang kulihat justru ketertiban, kesunyian, dan sisa rasa bersalah yang terpelihara dalam ketenangan. Jerman modern, bagiku, adalah negeri yang terus berdialog dengan dosanya sendiri. Anggapan itu makin kuat ketika aku mengunjungi Leipzig dan menyaksikan Johann Sebastian Bach menjadi sama populer dengan sosis bratwurst. Mungkin setiap bangsa punya cara sendiri menebus luka: sebagian dengan doa, sebagian dengan simfoni.
***
Saat kereta berhenti di Blaichach Bahnhof, aku hampir melewatkan stasiunnya. Tidak ada pengumuman dalam bahasa Inggris. Hanya papan kecil bertuliskan Blaichach (Allgäu) dan suara lonceng gereja yang menggema dari kejauhan. Salju turun pelan, seperti debu putih yang malas menyentuh bumi. Di peron, hanya ada tiga orang—seorang ibu tua dengan anjing kecil, seorang petani muda dengan topi wol, dan aku, yang berdiri seperti huruf asing di antara alfabet yang sudah lama disepakati.
Aku menatap sekeliling. Rumah-rumah di Blaichach tampak seperti lukisan pastoral Bavaria: atap runcing, jendela kayu dengan pot bunga, dan cerobong yang masih mengeluarkan asap tipis. Udara membawa aroma kayu bakar dan susu hangat. Di kejauhan, lembah Iller terhampar dengan kabut rendah yang membuat segalanya seperti mimpi yang enggan selesai.
Taksi kecil berhenti di depanku, sopirnya tersenyum tipis.
“Frau Müller Gasthaus?” tanyaku.
Ia mengangguk. “Ja, ja. Sehr kalt heute, nicht wahr?”
“Ya,” jawabku dalam bahasa Jerman terbata, “sangat dingin.”
Dia tertawa kecil, mungkin karena logatku. “April kann noch Winter sein,” katanya—April masih bisa jadi musim dingin.
***
Penginapan Frau Müller terletak di ujung jalan kecil yang mengarah ke gereja tua St. Nikolaus, bangunan batu berusia lebih dari dua abad. Di dalam rumah, aroma sup kentang dan roti hitam menyambutku. Foto-foto keluarga tergantung di dinding: laki-laki berseragam kayu, perempuan dengan rok panjang dan salib di leher. Frau Müller, perempuan berusia sekitar tujuh puluh, menatapku dengan mata biru pucat yang cerdas.
“Anda dari Paris?” tanyanya dalam bahasa Inggris, aksennya berat tapi lembut.
“Ya. Saya datang untuk bertemu seorang pemain biola, Klara Hegel.”
“Ah,” katanya pelan, “Hegel… dia jarang di sini sekarang. Tapi kau bisa tanya pada Hans, tukang kayu di sebelah gereja. Dulu dia sering membantu Klara memperbaiki kotak biolanya.”
Aku mengangguk, sedikit kecewa tapi juga penasaran. Di luar, salju belum berhenti. Aku duduk di dekat tungku, memanaskan tangan, dan mendengarkan bunyi lonceng gereja berdentang—tiga kali, lambat, teratur.
Frau Müller kemudian duduk di depanku dan bercerita pelan, seperti sedang menyingkap tirai masa lalu. Ia menyebut bahwa ayahnya dulu menyembunyikan dua anak Yahudi di lumbung keluarga mereka pada musim dingin 1944, saat pasukan Nazi merapat dari utara. “Mereka datang dengan pakaian tipis dan mata yang ketakutan,” katanya. “Ayah memberinya roti, lalu berkata: ‘Tuhan yang sama akan menjaga kalian.’”
Ia menatapku lama, lalu menambahkan, “Di Blaichach, kami tidak banyak bicara tentang itu. Tapi kami tahu siapa yang berani, dan siapa yang tidak.”
Kata-katanya menggema lama setelah ia pergi. Aku menatap ke luar jendela, ke salju yang terus jatuh di bawah cahaya lampu jalan. Di luar, dunia tampak beku, tapi di dalam rumah kecil itu, kehangatan terasa seperti ingatan yang diselamatkan. Mereka bilang orang Blaichach ramah tapi tertutup. Mungkin benar—tapi yang tertutup bukan karena curiga, melainkan karena sejarah terlalu berat untuk diceritakan setiap hari. Ah, aku pun bahkan meragukan asumsiku sendiri.
Malam itu, sebelum tidur, aku membuka ponsel dan memutar Violin Sonata No. 1 in G minor karya Bach. Musik itu mengalir pelan, seperti doa yang mencari bentuk. Di sela nada-nada, aku teringat kata-kata Mahmoud Darwish yang pernah kubaca di perpustakaan:
“We travel because we need to return to ourselves.”
Aku terbaring, mendengarkan biola yang seakan berdialog dengan salju di luar. Dalam diam, aku tahu perjalanan ini baru dimulai—dan bahwa mungkin, Blaichach bukan tempat untuk menemukan seseorang, tapi untuk menemukan cara baru memahami manusia.
Rumah di Antara Kabut
Pagi di Blaichach tidak pernah datang sepenuhnya. Cahaya matahari hanya menetes pelan dari balik kabut, seperti seseorang yang ragu-ragu mengetuk pintu. Dari jendela kamarku di penginapan Frau Müller, aku melihat atap rumah tetangga masih tertutup salju tipis, padahal sudah pertengahan April. Di udara yang setenang itu, suara lonceng gereja St. Nikolaus berdentang enam kali—tanda pagi telah matang, dan desa mulai bergerak dalam ritme yang diwariskan turun-temurun.
Di dapur, Frau Müller menyiapkan sarapan: roti hitam, selai stroberi, dan secangkir kopi yang mengepul.
“Kau akan bertemu Hans hari ini,” katanya. “Dia sedang memperbaiki tiang gereja yang patah. Pekerja keras, tapi sedikit kaku kalau belum kenal.”
Aku tersenyum. “Saya sudah terbiasa dengan keheningan,” kataku, yang ia sambut dengan tawa kecil. “Tapi dia juga berbicara dalam bahasa Inggris, ‘kan?”
Laki-laki itu hanya tersenyum sebelum menyeruput kopinya. “Sepertinya.” Lalu tawanya keras sekali.
Keluar rumah, aku melangkah melewati jalan berbatu menuju gereja. Salju yang meleleh semalam kini menjadi genangan es tipis, memantulkan bayangan langit abu-abu. Di kiri jalan, tampak papan bertuliskan Willkommen in Blaichach – Herz im Allgäu—“Selamat datang di Blaichach, hati dari Allgäu.” Kata “hati” itu membuatku berhenti sejenak. Mungkin benar, tempat ini adalah jantung kecil dari Bavaria: berdetak pelan, tapi setia menjaga ritmenya sendiri.
***
Di halaman gereja, aku menemukan Hans—lelaki sekitar lima puluh tahun, tubuhnya besar, tangannya penuh serbuk kayu, dan wajahnya memancarkan semacam ketelitian yang tak butuh kata. Ia sedang mengampelas papan panjang yang akan dijadikan alas salib.
“Guten Morgen,” sapaku pelan.
Ia menoleh sebentar, mengangguk, lalu menjawab pendek, “Morgen.”
Butuh beberapa menit sebelum ia menambahkan kalimat lain dalam bahasa Inggris. “Kau tamunya Frau Müller?” tanyanya. “Bahasa Jermanmu buruk.”
“Ya.” Saya menyeringai. “Saya dengar Anda mengenal Klara Hegel, pemain biola?”
Ia berhenti bekerja, lalu menatapku cukup lama. “Klara … ya. Ia jarang ke sini lagi. Tapi dulu ia sering memainkan biolanya di gereja ini, saat Paskah.”
Aku menatap tiang-tiang kayu di sekeliling kami—semuanya tampak tua tapi terawat, seakan tangan-tangan seperti Hans-lah yang membuat gereja ini tetap berdiri. “Apakah Anda tukang kayu di sini?”
“Ya, seperti ayahku dulu. Di Blaichach, pekerjaan bukan sekadar cara hidup, tapi warisan. Kami menjaga rumah, menjaga hutan, dan menjaga nama keluarga.”
Suara gergajinya kembali mengisi udara. Aku teringat kalimat Rumi:
“The wound is the place where the light enters you.”
Mungkin bagi Hans, kayu adalah luka yang terus diperbaiki agar cahaya bisa masuk—baik ke rumah, maupun ke hati manusia.
Ia kemudian berkata pelan, hampir seperti gumaman: “Setiap pohon yang kutebang, aku tanam satu lagi di musim semi. Karena kelak anakku yang akan menebangnya untuk rumah anaknya.”
Kalimat itu sederhana, tapi terasa seperti doa.
Menjelang siang, aku duduk di kafe kecil dekat pasar desa. Di meja sebelah, dua perempuan paruh baya berbicara dalam dialek yang cepat. Aku hanya menangkap beberapa kata: Kirche, Familie, Sonntag. Gereja, keluarga, hari Minggu—tiga kata yang mungkin menjadi poros kehidupan Blaichach.
Kafe itu didekorasi dengan foto hitam putih: perayaan Maibaumfest pada 1980-an, iring-iringan Almabtrieb dengan sapi-sapi berhias bunga, dan potret keluarga dengan pakaian tradisional Trachten. Dari gambar-gambar itu, aku tahu bahwa tradisi di Blaichach bukan sekadar simbol masa lalu, tapi bagian dari napas sehari-hari.
Di meja kasir, seorang perempuan muda menyapaku dalam bahasa Inggris patah. “Kau bukan orang sini, ya? Jarang ada yang datang di musim seperti ini.”
Aku tersenyum. “Saya sedang menulis tentang kehidupan di sini.” Lalu saya menyebutkan nama.
“Saya Greta,” katanya. “Saya akuntan, juga bendahara gereja. Kalau kau mau tahu tentang Blaichach, datanglah ke kantor kecilku besok pagi.”
“O ya?”
“Kamu akan tahu bahwa, semua angka bercerita lebih jujur daripada manusia.”
Aku tertawa kecil. “Angka pun bisa bicara?”
“Kalau kau sabar mendengarnya,” jawabnya sambil mengedip.
***
Sore harinya, Frau Müller mengajakku berjalan ke arah lembah. Kami melewati ladang luas yang sebagian tertutup salju, sebagian sudah menampakkan hijau muda rumput musim semi. Di kejauhan, tampak seorang lelaki muda menggiring sapi—lonceng di leher hewan-hewan itu berdenting pelan, menciptakan harmoni pastoral yang tak mungkin dijumpai di kota.
“Itu Lukas,” kata Frau Müller. “Dia pengurus peternakan keluarga di bawah kaki gunung. Anak baik, rajin ke gereja, dan suka membantu siapa pun yang butuh tenaga.”
Ketika kami lewat, Lukas melambaikan tangan. Wajahnya cerah, pipinya memerah karena dingin.
“Selamat sore!” sapanya dalam bahasa Inggris yang lebih lancar dari perkiraanku.
“Hai,” balasku.“Saya baru tiba kemarin.”
“Aku tahu. Di sini, kalau ada orang asing datang, semua orang tahu.”
Nada suaranya bersahabat tapi tak berlebihan—seperti sebagian besar orang Blaichach yang baru kukenal. Ramah, tapi tetap menyisakan jarak. Dari kata-katanya juga aku baru sadar bahwa Blaichah bukanlah kota, melainkan semacam kecamatan.
Kami berbicara sebentar. Lukas bercerita bahwa musim ini sapi-sapinya masih belum bisa naik ke gunung karena suhu belum cukup hangat. Ia menatap langit yang mulai berubah merah muda. “Setiap tahun kami menurunkan sapi di bulan September. Namanya Almabtrieb. Itu saat seluruh desa berkumpul, berdoa, dan bersyukur karena tidak ada hewan yang mati di gunung.”
Aku terdiam, membayangkan iring-iringan itu: bunyi lonceng, bunga di tanduk sapi, anak-anak berlarian. “Seperti upacara,” kataku.
“Ya,” jawabnya. “Menurutmu ada beda kerja dan ibadah? Bagi kami, tidak.”
Kalimat itu menembusku lebih dalam daripada udara dingin pegunungan. Ia melanjutkan, “Kami tidak kaya, tapi kami tahu bagaimana hidup bersama alam. Itu cukup.”
Malamnya, aku berjalan sendirian ke gereja St. Nikolaus. Dari luar, lampu-lampu kuningnya menembus kabut seperti lentera di antara salju. Aku masuk pelan; di dalam, suasananya hangat oleh aroma kayu dan dupa. Di deretan bangku depan, seorang biarawati muda sedang berdoa. Aku duduk di belakang, menatap salib kayu yang mungkin dibuat oleh tangan Hans.
Di dinding gereja tergantung sebuah plakat kecil bertuliskan nama-nama warga Blaichach yang gugur dalam Perang Dunia Kedua—lebih dari tiga puluh nama. Aku membaca satu per satu, lalu berhenti di satu nama: Josef Müller. Aku bertanya-tanya apakah itu ayah dari Frau Müller. Sejarah di desa kecil ini rupanya bukan milik buku-buku besar, tapi nama-nama yang terukir di dinding gereja, dan kenangan yang dijaga dengan diam.
Aku teringat peristiwa Olimpiade Munich 1972—tragedi penyanderaan yang membuat dunia menatap Jerman dengan campuran simpati dan trauma lama. Dari Munich ke Blaichach hanya butuh dua jam perjalanan, tapi antara keduanya terbentang jarak emosional yang sulit dijembatani. Munich adalah Jerman yang terus berlari menuju modernitas; Blaichach adalah Jerman yang berhenti agar tidak melupakan masa lalunya.
Aku menutup mataku dan berdoa, bukan dengan doa yang terucap, melainkan dengan rasa.
Aku memohon agar perjalanan ini tidak sekadar mencatat tempat, tapi juga memahami makna kesetiaan manusia terhadap akar dan keheningan.
Sebelum keluar gereja, aku menatap sekali lagi kayu salib yang sudah diperbaiki. Di permukaannya, masih terlihat bekas amplasan baru—muda, halus, tapi menyatu dengan yang lama. Seperti Blaichach sendiri: masa lalu dan masa kini yang tidak pernah benar-benar terpisah.
Aku pulang sambil menggumamkan ayat yang tiba-tiba terlintas:
“Dan Kami jadikan di antara kalian rasa kasih dan sayang.”
QS. Ar-Rum: 21
Mungkin ayat itu juga tertulis diam-diam di hati setiap warga Blaichach. Mereka tidak mengucapkannya, tapi mereka menjalankannya. Tentu dengan cara mereka sendiri di antara kerja, keluarga, dan salju yang tetap turun di musim semi.
Kayu yang Menyimpan Doa
Hari itu kabut turun lebih cepat dari biasanya. Gunung di utara Blaichach seolah menelan matahari pagi, dan hanya menyisakan cahaya kelabu yang lembut. Aku berjalan menuju bengkel kayu di tepi desa, tempat Hans bekerja. Jalannya licin, tapi langkahku terasa ringan. Ada semacam rasa ingin tahu yang tak bisa kutunda — seperti rasa haus yang hanya bisa dipuaskan oleh bunyi gergaji dan aroma getah segar.
Dari kejauhan, bengkel itu tampak sederhana: dinding kayu tua, cerobong kecil yang mengepulkan asap tipis. Tapi saat kudorong pintunya, dunia di dalam terasa berbeda — hangat, harum, dan penuh ritme.
Hans berdiri di dekat jendela, tubuhnya kokoh, kepalanya sedikit menunduk, fokus pada sebatang kayu ek yang sedang ia haluskan. Tak ada musik, tak ada radio. Hanya bunyi gesek kayu pada amplas, lembut tapi pasti.
“Masuklah,” katanya tanpa menoleh. “Panasnya belum banyak, tapi cukup untuk dua orang.”
Aku duduk di bangku dekat tungku. Api menari pelan di balik kaca, seperti sedang berlatih menyalakan semangat yang nyaris padam. Di dinding, tergantung beberapa alat tua — palu, pahat, penggaris besi — semuanya tampak seperti peninggalan generasi sebelumnya.
“Kau membuat semua ini sendiri?” tanyaku.
“Tidak semua,” jawabnya singkat. “Beberapa milik ayahku. Aku tak pernah punya hati untuk membuangnya.”
Ia mengangkat salah satu pahat, mengusap gagangnya dengan jari-jari yang kasar tapi lembut. “Ayahku membuat salib pertama di gereja sini. Tahun 1954. Ia bilang, kalau tangan manusia bisa membentuk kayu menjadi doa, maka kayu itu akan bertahan lebih lama dari manusia.”
Aku menatap wajahnya. Tidak ada kesedihan yang jelas di sana, tapi juga tidak ada ketenangan. Hanya kesetiaan, sesuatu yang lebih dalam dari keduanya.
Di sudut meja kerjanya, aku melihat selembar kertas yang mulai menguning. Di atasnya tertulis tangan:
“Für meine Söhne: Das Holz erinnert sich.” (Untuk anak-anakku: Kayu selalu mengingat.)
Tulisan itu, katanya, adalah surat terakhir ayahnya sebelum meninggal. Tak panjang, hanya dua baris. Tapi Hans menempelnya di dinding selama tiga puluh tahun.
“Kayu mengingat?” tanyaku perlahan.
“Ya. Ia mengingat setiap dingin yang menahannya, setiap panas yang membakarnya, setiap tangan yang menyentuhnya.” Ia berhenti sebentar. “Mungkin seperti manusia juga.”
Aku ingin bertanya lebih jauh, tapi Hans sudah kembali bekerja. Matanya fokus, napasnya teratur. Sesekali, ketika pahatnya menyentuh permukaan kayu terlalu dalam, ia tersenyum kecil. Aku yakin itu bukan karena puas, tapi karena menemukan “kesalahan yang jujur”.
Sementara ia bekerja, pikiranku melayang pada sejarah yang menempel di setiap serat kayu itu.
Di masa Perang Dunia, banyak desa di Bavaria membakar gudang kayunya untuk bertahan dari dingin. Tapi catatan arsip kecil yang kutemukan di Rathaus (balai desa) kemarin menyebut bahwa Blaichach tidak melakukannya. Mereka memilih menebang pohon hanya setengah dari hutan, sisanya disisakan untuk musim berikutnya. Keputusan sederhana itu, katakanlah, membuat desa ini tetap hijau ketika banyak wilayah lain berubah jadi lapangan kosong pascaperang.
Aku memikirkan itu sambil melihat tangan Hans bergerak perlahan di atas kayu. Di luar, salju mulai turun lagi.
Ah, setiap kepingan jatuh seperti huruf yang menulis pesan yang tak sempat dikirimkan manusia.
“Ayahmu pernah ke medan perang?” tanyaku.
Hans berhenti bekerja, lalu duduk di bangku panjang. “Ya, di Polandia. Ia jarang bicara tentang itu. Tapi satu kali, saat aku kecil, ia bilang sesuatu yang tak pernah kulupakan.”
Ia menatap ke luar jendela. “Ia bilang: ‘Ada dua suara di dunia ini yang paling jujur: suara salju yang jatuh, dan suara kayu yang retak.’”
Keheningan di ruangan itu terasa tebal.
Aku tak tahu harus membalas apa, jadi hanya berkata pelan, “Mungkin karena keduanya tidak pernah berbohong.”
Ia menatapku lama, lalu mengangguk. “Benar. Dan karena itu, aku memilih hidup di antara keduanya.”
***
Menjelang siang, Greta datang membawa termos kopi dan sepotong kue apel. Ia menaruhnya di meja tanpa banyak bicara. “Kau seperti sedang mengunjungi biara,” katanya padaku.
“Biara?”
“Ya. Hans ini, biarawannya adalah kayu.”
Kami bertiga duduk diam beberapa saat. Aku dan Hans minum kopi tanpa gula, Greta mencicipi kue. Aku memperhatikan wajah mereka dalam cahaya yang datang dari jendela. Tidak ada yang mendominasi percakapan. Semuanya berjalan pelan seperti langkah sapi di padang rumput saat Almabtrieb.
Greta akhirnya berkata, “Orang kota selalu ingin bicara tentang masa depan. Kami di sini lebih sibuk menjaga masa lalu agar tidak hilang.”
Hans menimpali tanpa menatap, “Bukan menjaga, tapi mendengarkan.”
Aku mencatat kalimat itu. Di dalam kepalaku.
***
Sore itu, sebelum aku pergi, Hans memberikan potongan kayu kecil berbentuk segitiga. “Sisa dari salib gereja,” katanya. “Bawa saja. Katanya, setiap kayu punya ingatan sendiri. Mungkin ia akan mengingatmu juga.”
Aku menatap benda itu lama. Di permukaannya masih ada aroma damar dan bekas luka gergaji, seperti kulit manusia yang sembuh tapi menyimpan kisah.
“Apa yang kau pikirkan saat memahat?” tanyaku sebelum pamit.
“Aku tidak berpikir,” katanya datar. “Aku hanya mendengarkan kayu itu. Kadang ia ingin tetap kayu, kadang ingin jadi rumah, kadang ingin jadi doa.”
Ia menatapku, dan untuk pertama kalinya sejak aku tiba di Blaichach, ia tersenyum dengan mata.
“Dan kadang,” katanya pelan, “ia hanya ingin didengar.”
Aku meninggalkan bengkel itu dengan langkah pelan. Di luar, salju turun deras. Aku menutup jaketku rapat-rapat, menggenggam potongan kayu pemberiannya.
Entah mengapa, benda kecil itu terasa hangat — seperti ada kehidupan yang berdenyut di dalamnya.
Di jalan menuju penginapan, aku menatap gereja dari kejauhan. Di menaranya, salib baru yang dibuat Hans berkilau pucat diterpa senja. Dan di bawahnya, suara lonceng berdentang tujuh kali.
Aku tak tahu apa yang lebih kuat di saat itu: suara logam yang menggema di udara, atau gema kayu kecil di tanganku yang mengingat sesuatu yang bahkan tak kuketahui.
Aku berhenti, menatap langit yang semakin kabur oleh salju.
Nada yang Tak Terucap
Udara dingin menahan langkah siapa pun untuk terburu-buru. Di kejauhan, suara lonceng gereja St. Mauritius menggema lembut, lebih mirip tanda waktu yang meluruh, bukan panggilan untuk apa pun.
Aku menemukan rumah violis itu di tepi jalan sempit, tak jauh dari sungai kecil yang mengalir pelan di bawah jembatan batu. Tidak ada papan nama. Hanya sebatang cemara yang tumbuh miring dan jendela dengan tirai renda yang digambar tangan. Konon, di ruang itulah seorang musisi tua tinggal dan bermain setiap pagi: tanpa penonton, tanpa pertunjukan, hanya untuk dirinya sendiri.
Ketika aku tiba, pintu tidak terkunci. Di dalam, aroma kayu basah bercampur serbuk damar menyergap. Ruangan itu sunyi, kecuali denting biola yang seperti datang dari dinding itu sendiri. Nada-nada rendah bergetar di udara: bukan lagu yang kukenal, melainkan sesuatu yang terdengar seperti percakapan antara instrumen dan udara dingin yang enggan pergi.
Violis itu duduk membelakangi jendela. Rambutnya keperakan, wajahnya tenang, tubuhnya kurus tapi tegak. Ia tidak menoleh ketika aku masuk; seolah kehadiranku hanyalah tambahan kecil dalam ruang yang sudah cukup penuh oleh suaranya sendiri. Permainannya tidak untuk memukau, tetapi untuk mengingat. Setiap nada terasa seperti lembar kenangan yang dibuka perlahan: tentang kota yang dulu hancur dan dibangun kembali, tentang generasi yang menanam dan menebang di musim yang silih berganti.
Tidak ada percakapan, hanya jarak yang diisi bunyi. Di luar, pegunungan Allgäu membentuk garis kelabu di langit. Sekilas, aku merasa sedang berada di dalam ruang waktu yang tidak bergerak. Di tempat ini, sejarah tidak diajarkan lewat buku, tapi lewat ketekunan: seorang tukang kayu memperbaiki kursi tua di bengkel, seorang akuntan menghitung dengan sabar di kantor desa, seorang pengurus peternakan mengikat lonceng di leher sapi-sapi yang akan turun dari padang. Setiap orang memainkan perannya dengan disiplin yang hampir religius, seperti bagian dari orkestra yang tak butuh konduktor.
Musik berhenti. Dalam diamnya, aku mendengar desah napas yang berat. Bukan karena usia, tapi karena beban yang hanya diketahui oleh mereka yang menyaksikan sejarah terlalu dekat. Aku teringat foto-foto lama: gedung-gedung di Munich yang hancur, anak-anak yang memegang potongan roti di reruntuhan. Mungkin violis ini lahir dari generasi itu, generasi yang tumbuh dengan rasa bersalah kolektif, tapi juga dengan tekad untuk menebusnya lewat seni, kerja, dan keheningan.
Aku tidak menanyakan apa-apa. Ia pun tidak mengatakan siapa dirinya. Namun, saat ia meletakkan biola di pangkuan, aku tahu ia telah menceritakan segalanya: tentang kekalahan yang berubah menjadi keindahan, tentang nada-nada yang menampung luka dan harapan sekaligus.
Hari itu aku belajar sesuatu yang sederhana tapi tak bisa dijelaskan dengan kata-kata: bahwa kesunyian di Blaichach bukan tanda ketertutupan, melainkan bentuk penghormatan terhadap apa yang pernah hancur. Orang-orang di sini tidak menumpahkan cerita dengan cepat karena mereka tahu setiap kata punya bobot. Mereka menunggu sampai seseorang benar-benar siap mendengarkan, seperti biola yang menunggu udara cukup tenang sebelum suaranya bisa terdengar utuh.
Sore itu, aku berjalan keluar tanpa pamit. Salju turun lagi, tapi tipis seperti abu yang lembut. Jalanan desa basah dan berkilau. Di sepanjang trotoar, bunga crocus, lambang kecil dari keberanian yang tak diumumkan, mulai merekah. Blaichach kembali ke rutinitasnya: seorang anak menuntun anjing, dua perempuan membawa roti dari toko, lonceng sapi berdenting di kejauhan. Dan di antara semua itu, aku merasa telah menyentuh sesuatu yang tak kasatmata, bahwa sebuah kesetiaan lama pada hidup yang sederhana tapi penuh makna.
Beberapa minggu kemudian, ketika aku sudah kembali ke Munich untuk menunggu kereta ke Paris, aku mendengar bahwa rumah violis tua itu kosong lagi. Tak ada yang tahu ke mana ia pergi. Beberapa bilang ia pindah ke Salzburg, yang lain bilang ia hanya bepergian sebentar. Tapi aku yakin, musiknya masih tinggal di sana—di udara, di kayu, di dinding yang bergetar setiap kali angin dari pegunungan melewati lembah.
Dan mungkin, itulah yang selalu dilakukan orang-orang Blaichach: mereka tidak meninggalkan warisan berupa kata atau dokumen, tapi dalam bentuk ketekunan yang diam. Setiap pekerjaan, setiap nada, setiap roti yang dipanggang dan dibagi, adalah cara mereka menolak lupa.
Jalan Pulang dan Bayang Sejarah
Kereta dari Blaichach menuju Munich bergerak pelan, menuruni lembah yang pagi itu diselimuti kabut. Dari jendela, aku melihat gunung-gunung Allgäu mulai kehilangan putih saljunya, digantikan oleh semburat hijau muda padang rumput yang baru bangkit. Sapi-sapi terlihat seperti titik-titik hitam yang berpindah malas di antara pagar kayu. Desa demi desa berlalu: Immenstadt, Kempten, dan kemudian lahan-lahan industri kecil yang menandai perbatasan kota besar Bavaria.
Blaichach telah tertinggal di belakang, tapi entah mengapa, keheningannya masih terasa di antara bunyi roda besi. Mungkin karena desa itu, seperti banyak tempat lain di Jerman Selatan, tidak hanya menyimpan keindahan lanskap, tetapi juga lapisan ingatan yang sulit dibersihkan. Di sanalah, di antara kerja tangan tukang kayu dan nada biola yang tak selesai, aku menemukan Jerman yang lebih jujur: yang tidak bersembunyi di balik museum dan monumen, tetapi hidup dalam keseharian yang sederhana dan tahan lama.
Munich menyambut dengan hiruk-pikuk yang berbeda. Di Hauptbahnhof, suara pengumuman bercampur dengan bahasa yang beragam: Arab, Turki, Ukraina, bahkan sedikit Prancis. Kota ini, yang pernah menjadi pusat luka sejarah, kini berdiri sebagai ruang pertemuan. Sulit membayangkan bahwa hanya setengah abad lalu, pada tahun 1972, dunia dikejutkan oleh tragedi Olimpiade Munich: sebelas atlet Israel tewas disandera, dan sejak itu kata “keamanan” tak lagi terdengar netral di telinga orang Eropa.
Aku berdiri lama di peron itu, mencoba menghubungkan peristiwa-peristiwa besar dengan wajah-wajah yang kulihat sehari-hari: pekerja yang tergesa membawa koper, seorang ibu yang menenangkan anaknya, seorang pemuda Turki yang menatap layar ponsel. Dalam setiap langkah mereka, seolah tersimpan jejak dari sejarah yang berulang—tentang perpindahan, kehilangan, dan usaha untuk membangun kembali.
Di salah satu dinding stasiun, ada poster pameran tentang Erinnerungskultur--“budaya mengingat”—tema yang selalu menjadi denyut nadi masyarakat Jerman pasca-Holocaust. Negeri ini menolak melupakan, tapi juga menolak tenggelam dalam rasa bersalah. Mereka menata ulang hidupnya lewat kerja, musik, dan pengakuan. Di Blaichach, aku melihat bentuk paling kecil dari sikap itu: pengakuan dan penghormatan tanpa seremoni terhadap masa lalu.
Kereta berikutnya membawaku ke arah barat, menuju Strasbourg sebelum kembali ke Paris. Di tengah perjalanan, aku membuka buku kecil berisi catatan dan nama-nama orang yang kutemui di Blaichach: Lukas, sang tukang kayu yang tangannya penuh luka tapi suaranya lembut; Elise, akuntan paruh baya yang menghitung sambil mendengarkan radio klasik; dan si violis tua yang mungkin kini entah di mana. Semua nama itu kini menjadi seperti baris-baris dalam sebuah partitur perjalanan yang tak akan pernah dimainkan dua kali.
Ah, Jerman adalah nada rendah yang bertahan lama setelah lagu berhenti.
Di luar, matahari siang menembus kabut. Jalur kereta membelah ladang rapeseed kuning yang terbentang sejauh mata memandang. Pemandangan itu mengingatkanku pada kalimat seorang pemikir Afrika, Ali Mazrui, yang pernah berkata bahwa “peradaban besar bertahan bukan karena kekuatannya, tetapi karena kemampuannya untuk mengingat dan memaafkan.” Jerman, dalam diamnya, sedang mempraktikkan hal itu: mengingat yang pahit, lalu menanam kembali kehidupan di atasnya.
Saat kereta melintas di dekat Ulm, menara katedral tertinggi di dunia tampak menjulang, sebuah lambang iman dan ambisi manusia yang tak pernah padam. Dari sana aku membayangkan para biarawan dan buruh batu yang membangunnya berabad-abad lalu, mungkin dengan keyakinan yang sama seperti tukang kayu Blaichach yang memperbaiki kursi rusak tanpa berpikir tentang siapa yang akan duduk di atasnya. Nilai yang bertahan bukanlah kemegahan, melainkan ketekunan.
Menjelang sore, ketika kereta mendekati perbatasan Prancis, berita di layar kecil di gerbong menampilkan laporan tentang krisis energi yang melanda Eropa sejak perang di Ukraina pecah. Gas alam dibatasi, harga listrik naik, dan banyak pabrik kecil di Jerman Selatan terancam tutup. Dunia terus berubah, tapi semangat ketertiban dan kerja masih menjadi sandaran. Aku teringat percakapan dengan seorang peternak di Blaichach yang berkata—dalam bahasa Jerman yang kaku—bahwa mereka “tidak takut pada musim dingin, hanya pada hari di mana manusia lupa cara menyalakan api.”
Kata-kata itu kini terasa seperti metafora: manusia modern terlalu cepat melupakan sumber hangatnya sendiri: tradisi, kebersamaan, kesabaran. Di Blaichach, aku melihat bagaimana nilai-nilai itu tetap hidup dalam bentuk paling sederhana: makan malam keluarga, doa singkat di gereja desa, perayaan Maibaumfest yang setiap tahun kembali membawa harapan musim baru.
Dalam ingatan, semua itu menyatu: lonceng sapi di lembah, biola tua yang menua bersama musim, tawa pelan di kafe kayu yang dindingnya dipenuhi salib kecil dan foto keluarga. Mereka mungkin bukan tokoh besar dalam sejarah, tapi justru karena itulah mereka penting, karena merekalah sejarah bisa bertahan dalam bentuk yang manusiawi.
Paris menyambutku kembali dengan hujan. Jalanan licin, dan aroma kopi bercampur roti dari toko-toko kecil di St. Lazare terasa terlalu ramai setelah minggu-minggu sunyi di Bavaria. Namun dalam hati, ada sesuatu yang tak sama lagi. Aku membawa pulang bukan hanya catatan perjalanan, tetapi juga kesadaran baru bahwa manusia, di mana pun, hidup dalam irama yang mirip: mencoba menebus masa lalu, merawat sekarang, dan menunggu masa depan dengan sabar. Pelan-pelan, diam-diam, aku mengarang sebuah ungkapan:
Setiap kota, mungkin, menyimpan Blaichach-nya sendiri: tempat di mana kesunyian menjadi guru, kerja menjadi ibadah, dan kenangan menjadi bentuk kasih yang paling lama bertahan. Mungkin.(*)
2 Comments
Sedikit terpental, meringis–malu dan tertunduk, “Orang kota selalu ingin berbicara tentang masa depan. Kami di sini lebih sibuk menjaga masa lalu agar tidak hilang.”
Selalu sedap tulisan-tulisan Benny Arnas.