Ada Saatnya Engkau Harus Meninggalkan Buku-buku untuk Mengembara
Iustrasi: dreamstime.com
Aku berjalan jauh agar aku tahu halaman mana dari diriku yang belum kubuka.”
Muhammad al-Fayturi
Oleh Benny Arnas
Selalu ada masa ketika seseorang merasa dunia di kepalanya penuh, seperti rak buku yang mulai merunduk oleh beban pengetahuan. Pada titik itu, engkau akan mendengar bisikan lama yang diwariskan para pengelana: “Ada saatnya engkau harus meninggalkan buku-buku, bukan untuk melupakannya, melainkan untuk membuktikannya.”
Kalimat ini sering disalahpahami oleh sebagian orang yang gemar mengembara dengan dalih bahwa teks terbaik adalah bumi dan manusia yang menampungnya. Mereka berkata: “Yang kubaca bukan buku, tapi perangai orang-orang, jalanan, laut, dan gunung. Bukankah semua itu juga ayat-ayat Tuhan?” Mereka mengutip ayat tentang perjalanan, tetapi lupa bahwa perjalanan itu dianjurkan setelah bekal pengetahuan tertanam, bukan sebagai pelarian dari kedalaman berpikir.
Di tengah suara-suara itu, aku selalu teringat pada perkataan seorang sufi Afrika Barat, Ahmad Baba al-Timbukti, seorang ilmuwan besar dari Timbuktu yang jarang disinggung dalam esai populer. Ia pernah menulis kalimat yang luput dari sorotan:
“Perjalanan tanpa ilmu adalah debu; ilmu tanpa perjalanan adalah bayangan.”
Kutipan ini tak banyak muncul dalam buku-buku sekolah, tapi ia menjelaskan posisi paling adil atas debat ini: perjalanan bukan pengganti bacaan, melainkan lanjutan logis dari bacaan.
***
Sebelum bumi ini dibaca, buku-buku harus lebih dulu memperluas mata kita. Bahkan Ibnu Battuta, ikon pengembara dunia Arab, tidak tiba-tiba bangkit suatu pagi dan berkata, “Aku akan menjelajah dunia.” Ia tumbuh dalam tradisi keilmuan Maghribi, dikelilingi karya fiqih dan catatan ilmuwan Afrika Utara yang telah menempuh jalan serupa. Ia pergi bukan untuk mencari tahu dari nol, tetapi untuk mengkonfirmasi dunia yang telah lama ia kenal melalui tulisan.
Orang sering mengutip nama Ibnu Battuta untuk melegitimasi hasrat liburan spontan. Padahal ia tidak “pelesiran”. Ia menempuh perjalanan berbahaya sebagai ibadah, tetapi juga sebagai proses verifikasiatas pengetahuannya. Sebab itu, kita layak mengoreksi mereka yang menjadikan perjalanan sebagai alasan untuk meniadakan buku.
Begitu pula Ibn Khaldun, yang lahir di Tunisia. Ia tidak tiba kepada teori besar tentang peradaban hanya dengan “mengamati manusia”. Ia adalah pembaca berat karya-karya sejarah dan filsafat, lalu safarnya menguji apakah yang dibaca sesuai dengan hukum sosial yang ia temukan. Tanpa buku terlebih dahulu, perjalanan hanya serpihan peristiwa tanpa jalinan.
***
Tentu saja ada yang berkata: “Bukankah alam semesta penuh teks? Bukankah perangai manusia adalah kitab terbuka?”
Benar. Tetapi seseorang yang membaca alam tanpa fondasi buku akan seperti anak kecil yang memandang rasi bintang dan mengira ia menemukan galaksi baru. Ia melihat, tetapi tak memahami. Ia mengamati, tetapi tak mengerti konteks.
Itu sebabnya dalam riset modern tentang literasi, para antropolog menekankan perbedaan antara exposure dan interpretation. Banyak orang “terpapar” pada dunia luas, tetapi tidak mampu menafsirkannya. Dalam salah satu laporan UNESCO tentang literasi budaya, ada kalimat kecil yang sering terlewatkan, namun sangat penting:
“Travel enriches only minds already furnished.”
Perjalanan hanya memperkaya pikiran yang telah dipenuhi perabot. Pikiran kosong tak memberi rumah bagi pengalaman.
Ini yang sering dilupakan para pengembara dadakan yang mengira bahwa memandangi laut selama tiga hari dapat menggantikan membaca sejarah navigasi, atau bahwa menyaksikan interaksi manusia dapat menggantikan memahami etnografi. Mereka tidak salah dalam menikmati keindahan, tetapi keliru ketika menyamakan menikmati dengan memahami.
***
Kita juga kerap mendengar dalih religius:
“Allah memerintahkan agar manusia berjalan di muka bumi untuk melihat tanda-tanda-Nya.”
Benar. Tetapi ayat itu tidak pernah berdiri sendirian. Sebelum menyuruh manusia berjalan, Al-Qur’an berkali-kali mendorong manusia membaca, merenungkan, dan menggunakan akal. Para ulama besar dunia Arab dan Afrika tidak membaca ayat itu sebagai ajakan kepada “pelesiran”, melainkan sebagai ajakan kepada tadabbur—perenungan yang terjadi setelah pengetahuan dasar dimantapkan.
Begitu pula halnya dengan Al-Muqaddasi (Al-Maqdisi), geografer Palestina abad ke-10. Karya monumentalnya, Aḥsan al-Taqāsim fī Maʿrifat al-Aqālim, sering disebut sebagai salah satu pencapaian paling rapi dalam pemetaan dunia Islam. Tetapi ia sendiri menegaskan bahwa pengetahuannya tidak murni datang dari pengalaman perjalanan. Ia menulis berdasarkan tiga sumber: apa yang ia saksikan langsung; apa yang ia dengar dari orang terpercaya; dan apa yang ia baca dari kitab-kitab ahli sebelumnya. Tanpa bacaan, perjalanannya hanya menjadi catatan harian. Dengan bacaan, perjalanan itu menjelma sains.
Demikian pula Ibn Tufayl dari Andalusia-Afrika Utara, yang dalam novel filosofisnya Hayy ibn Yaqzanmenggambarkan seorang anak yang memahami dunia bukan semata melalui pengalaman hidup, tetapi melalui penalaran yang dibentuk oleh pengetahuan bawaan. Bahkan alegori ini membawa pesan: pengalaman tanpa kerangka berpikir tetap memerlukan otak yang telah dibentuk oleh “bacaan” sebelumnya, apa pun bentuk bacaan itu.
***
Ada saatnya engkau harus meninggalkan buku-buku—tetapi bukan saat engkau belum selesai membacanya. Perjalanan bukan jalan pintas. Ia adalah tahap lanjutan yang relevan ketika seseorang telah mencapai kondisi tertentu: ketika kepala terasa penuh oleh konsep, teori, dan kisah; ketika jiwa menuntut konfirmasi apakah dunia luar semirip yang digambarkan para penulis.
Tetapi safar juga menuntut etika. Ia tidak boleh dilakukan dengan menzalimi keluarga yang masih membutuhkan kehadiranmu, mengabaikan pekerjaan yang menuntut tanggung jawab, atau menghabiskan penghasilan yang belum memenuhi kebutuhan dasar. Para ilmuwan besar Arab dan Afrika mengajarkan bahwa perjalanan adalah tindakan berbiaya, dan karenanya harus diambil ketika kehidupan memberikan izin. Jika tidak, perjalanan menjadi egoisme spiritual.
Pada masa modern, para psikolog menegaskan hal serupa: bahwa perjalanan hanya memberi manfaat psikologis ketika seseorang berada dalam kondisi ekonomi dan emosional stabil. Jika tidak, perjalanan justru menimbulkan stres baru yang menyamar sebagai “pengalaman berharga”.
***
Aku pernah berjumpa seseorang yang beranggapan bahwa membaca dunia langsung lebih murni daripada membaca buku. Katanya, buku hanyalah kata-kata mati, sementara dunia adalah teks yang terus bernapas. Aku tidak membantah. Tetapi aku bertanya: Bagaimana engkau tahu teks itu bernapas jika engkau tidak tahu bagaimana teks bekerja?
Ia terdiam. Sebab ia pun menyadari bahwa tanpa teori, tanpa pengetahuan dasar, tanpa bacaan yang melatih kemampuan melihat, dunia hanyalah kumpulan kejadian.
Perjalanan memerlukan mata yang terlatih untuk membaca, bukan mata yang sekadar memandang.
***
Pada akhirnya, meninggalkan buku berarti mengajak diri untuk memeriksa kembali apa yang engkau percaya. Dunia menyediakan medan konfirmasi: apakah teori tentang keramahan suatu bangsa benar adanya, apakah gagasan tentang ekologi dan keberlanjutan dapat terlihat di hutan yang rapuh, apakah cerita tentang pasar-pasar Afrika benar jika engkau hirup aromanya sendiri.
Tetapi kembali ke buku adalah keharusan, sebab buku adalah rumah asal. Engkau pergi untuk mengoreksi, lalu kembali untuk menuliskannya dengan lebih jernih.
Dalam catatan harian seorang penyair Sudan, Muhammad al-Fayturi, kutipan langka yang jarang dikutip, terdapat kalimat yang membenarkan seluruh perjalanan gagasan ini:
“Aku berjalan jauh agar aku tahu halaman mana dari diriku yang belum kubuka.”
Dan begitulah hakikatnya.
Buku-buku membuka dirimu; perjalanan membuktikan apakah halaman-halaman itu benar.
Keduanya saling menggenapi, bukan saling menggantikan. Karena ada saatnya engkau memang harus meninggalkan buku-buku setelah buku-buku itu terlebih dahulu tinggal di dalam dirimu.(*)
Aleksandria, 1 Desember 2025
______
Daftar Pustaka
Al-Kunti, S. al-M. (t.t.). Biographical accounts and writings of Sidi al-Mukhtar al-Kunti. Dalam: L. Al-Zakari (ed.) Poised on the Higher Horizon: Seeing God, Science, and the Self. Traditional Hikma Publications.
Al-Muqaddasi, A. (1906). The Best Divisions for Knowledge of the Regions (Aḥsan al-Taqāsim fī Maʿrifat al-Aqālim). Diterjemahkan oleh G. S. A. Ranking. London: Palestine Pilgrims’ Text Society.
Al-Muqaddasi, A. (1994). Aḥsan al-Taqāsim fī Maʿrifat al-Aqālim. Ed. M.J. de Goeje. Leiden: Brill.
Ibn Battuta, M. (1958). The Travels of Ibn Battuta, A.D. 1325–1354, vol. 1–4. Diterjemahkan oleh H.A.R. Gibb. Cambridge: Cambridge University Press.
Ibn Khaldun, A. (1967). The Muqaddimah: An Introduction to History. Diterjemahkan oleh F. Rosenthal. Princeton: Princeton University Press.
Ibn Tufayl, A. (2009). Hayy ibn Yaqzan. Diterjemahkan oleh L.E. Goodman. Chicago: University of Chicago Press.