Memahami Hidup Lewat Cerita

Dokumentasi Jawa Pos (12-7-2025)
Kemiripan karakter, alur, dan akhir dari karya naratif yang ada di sekitar kita dengan pengalaman dan kisah hidup manusia kebanyakan, termasuk kisah kita sendiri, bukanlah kebetulan yang mengejutkan!
Oleh Benny Arnas
Pernahkah, ketika menonton film, membaca novel, atau menyaksikan iklan di teve atau Youtube, kita merasa seperti sedang berhadapan dengan kisah hidup kita sendiri?
Lebih dari 300 tahun Sebelum Masehi, Aristoteles sudah mengatakan bahwa sastra adalah mimesis alias tiruan kehidupan. Membaca novel dan menonton film atau iklan–yang diproduksi karena hadirnya teks naratif (baca: skrip) adalah aktivitas memahami kehidupan, termasuk yang berada di luar dari dunia kreator dan audiensnya.
Ketika bergaul dengan karya naratif, otak kita dituntut terus aktif. Terus bekerja. Terus merespons. Mempelajari bagaimana karakter bergerak. Dari rutinitas yang diganggu, terbitnya keinginan, konflik pecah ketika hambatan mengadang, kejutan sebagai buah kerja keras, hingga pelajaran yang dipetik dari perjalanan hidup yang berliku. Mengkhidmati karya naratif membuat kita tahu bahwa karya cerita, apa pun jenis dan genre-nya, sejatinya mengandung tiga babak
perkenalan;
konflik;
koda.
Misalnya, dalam Jumbo (2025), paruh pertama film terlaris di Tanah Air itu, memberi tahu kita bahwa Don, bocah bertubuh besar yang dijuluki “Jumbo”, ingin diakui dan membuat neneknya bangga. Bagian keduanya bercerita tentang buku dongeng kesayangannya yang dicuri memicu pecahnya konflik. Pada koda, Don sadar bahwa keberanian sejati bukan hanya memenangkan buku atau lomba, tapi menolong tanpa pamrih dan memiliki hati yang besar.
Atau novel Laskar Pelangi (2008) yang membentangkan petualangan Ikal dan teman-temannya untuk membuktikan bahwa mereka tidak kalah dengan anak-anak dari sekolah elite. Bagian keduanya, cerita menampilkan keseruan mereka mempersiapkan diri untuk aneka lomba. Insecuritas dan optimisme menjadi konflik tersendiri di sini. Namun, kemenangan mereka tidak berarti apa-apa ketika babak koda memberitahu kita bahwa Lintang, rekan mereka yang genius tak bisa melanjutkan sekolah karena harus menggantikan (peran) ayahnya yang baru meninggal dunia.
Bisa saja ada pembawaan karakter, caranya merespons masalah, hingga skena tertentu dalam Jumbo atau Laskar Pelangi yang mirip sekali dengan kehidupan kita. Dan sangat mungkin hal itu adalah kebetulan. Namun, harus diingat bahwa film, novel, atau iklan tidak berangkat dari ruang kosong. Tidak tiba-tiba ada. Karya-karya naratif itu diproduksi oleh dan untuk manusia. Artinya, kehadiran pengalaman, visi, impian, dan moral manusia dalam diri kreatornya adalah keniscayaan atau sesuatu yang tak bisa dinafikan.
Karena kreator adalah status spesifik dari manusia, ia pun merilis cerita (yang cocok) untuk pasarnya: manusia itu sendiri. Berangkat dari hal tersebut, maka kemiripan karakter, alur, dan akhir dari karya naratif yang ada di sekitar kita dengan pengalaman dan kisah hidup manusia kebanyakan, termasuk kisah kita sendiri, bukanlah kebetulan yang mengejutkan.
Sampai titik ini, apa iya, kita rela membaca atau menonton cerita untuk hiburan semata?(*)