Siasat Cinta

oleh Benny Arnas

Karena ada satu barang yang harus saya cari, pagi menjelang siang ini saya minta ditemani Istri ke pasar. “Kira-kira ke toko mana kita, Bun?” tanya saya ketika mobil kami memasuki pusat kota. “Ke sana saja,” katanya santai. “Di Hipermart-nya,” ia menunjuk pusat perbelanjaan yang bangunannya sudah tertangkap pandang.

Tak menunggu lama, kami langsung menemukan apa saya cari. “Ayok!” kata saya seraya melangkah menuju kasir.  

Alih-alih mengikuti, ia menuju ke arah yang berseberangan. “Sudah ke sini, masa pulangnya cepat? Kita lihat-lihat dulu,” katanya sembari mencangking keranjang belanjaan saya yang hanya berisi sebuah barang keperluan saya. 

Kini sayalah yang membuntutinya. Mulanya saya ingin protes ketika ia mengisi satu demi satu barang dalam keranjang belanjaan. Tak sampai 20 menit, keranjang itu sudah penuh. 

Di antrean kasir, Istri keluar barisan karena sepertinya ada barang yang perlu ia tukar. Tiba giliran saya, Istri belum juga kembali.

Kini, tinggallah saya sendiri di hadapan mesin penghitung belanjaan dan petugasnya. “Cash atau Qris?” Pertanyaan itu membuat saya tahu bahwa saya alpa mengantisipasi sesuatu. Di daftar belanjaan, saya baru sadar, bahwa istri saya, selain baik hati dan relijiyes, juga cerdas luar biasa. Ketika menerima struk, saya tersenyum sendiri mendapati keperluan saya menyempil di antara 23 barang hasil cuci-matanya. 

Belum lima langkah saya meninggalkan kasir, entah bagaimana jantung hati itu sudah nongol begitu saja, seperti tukang parkir misterius yang menyalakan peluit ketika kendaraan akan meninggalkan lokasi. Luar biasa. Ia tersenyum lebar menggamit lengan saya agar kami berjalan mesra. Di lift, ia menggelayut manja di bahu saya. “Ayo kita selfie,” kata saya. “Untuk merayakan kemenanganmu yang kesekian kalinya hari ini.” Ia tertawa. Saya tertawa. Kami tertawa. Cekrek!

Lubuklinggau, 21-3-2025