Prosa Perjalanan: Sebuah Dokumenter Naratif

Villach, suatu pagi …
Jawa Pos, 23 Agustus 2025
Prosa perjalanan yang ideal bagi saya adalah kesetiaan yang lentur: jujur pada inti pengalaman, tetapi tidak kaku pada bentuk penceritaan.
Oleh Benny Arnas
Bagi saya, prosa perjalanan adalah dokumenter naratif yang menyimpan denyut hidup di dalam kata-kata. Ia tidak sekadar memindahkan catatan dari buku harian ke halaman cetak, tetapi memilih, menata, dan menekankan detail seperti seorang sutradara yang tahu ke mana kamera harus diarahkan. Fakta adalah fondasinya, namun ia memerlukan sentuhan naratif agar pembaca tidak hanya tahu, tetapi merasa. Sebab perjalanan bukan sekadar jarak yang ditempuh, melainkan juga getaran emosi, riak ingatan, dan kejutan yang menunggu di balik tikungan waktu.
Ethile! Ethile! (Diva Press, 2021) lahir dari pandangan ini. Saya menulisnya sebagai perjalanan yang setia pada ruang dan waktu yang saya lalui, namun saya juga menyadari bahwa tidak semua peristiwa memiliki lengkungan dramatik yang memikat. Dalam teori cerita, plot adalah jembatan yang menghubungkan titik-titik pengalaman menjadi kisah yang beralur. Jika dokumentasi murni tak mampu membentuk lengkung itu, fiksi hadir—bukan untuk mengada-ada, tetapi untuk memberi napas, menyatukan fragmen agar mengalir seperti kisah yang memang ditakdirkan untuk dibaca.
Dramatisasi, bagi saya, adalah hak, bukan kewajiban. Ada kisah yang justru indah karena ia sunyi, lurus, dan nyaris tanpa ledakan emosi—seperti lorong panjang di pagi berkabut yang dibiarkan kosong dari tokoh. Namun ada pula kisah yang akan terjerembab menjadi laporan kering bila tidak diberi tegangan dramatik. Di situlah fiksi bekerja seperti pencahayaan dalam film dokumenter: tidak mengubah bentuk aslinya, tetapi membuat garis dan warnanya tampak lebih jelas. Fiksi bukan musuh fakta; ia adalah sekutu yang tahu kapan harus maju, dan kapan menepi.
Banyak karya memperlihatkan keseimbangan ini. The Old Patagonian Express karya Paul Theroux, misalnya, memadukan ketepatan pengamatan geografis dengan pengolahan dialog dan suasana yang nyaris novelistik. Jalan Raya Pos, Jalan Daendels karya Pramoedya Ananta Toer menghamparkan sejarah dan geografi dalam satu tarikan napas, sambil menyisipkan refleksi yang membuat rute yang ia tempuh terasa bernyawa. Kedua karya itu membuktikan bahwa prosa perjalanan bisa berada di titik tengah antara kesetiaan dokumenter dan kebebasan naratif—dan dari titik tengah itulah lahir karya yang memikat.
Dalam Ethile! Ethile!, saya belajar bahwa perjalanan adalah medan di mana realitas dan imajinasi saling menyusupi. Jejak langkah saya adalah fakta, namun cara saya menuturkannya adalah seni. Saya bisa membiarkan angin bertiup apa adanya, atau menambah sedikit kilau pada cahaya sore agar pembaca melihat apa yang saya lihat—bahkan merasakan apa yang saya rasakan. Di situlah peran penulis prosa perjalanan bukan hanya sebagai saksi, tetapi juga penerjemah pengalaman ke dalam bahasa yang hidup.
Maka, prosa perjalanan yang ideal bagi saya adalah kesetiaan yang lentur: jujur pada inti pengalaman, tetapi tidak kaku pada bentuk penceritaan. Ia seperti peta yang memberi arah sekaligus membiarkan kita berhenti di tempat-tempat yang tak terduga. Sebab di setiap kelokan, ada kemungkinan lahirnya cerita—dan cerita itu mungkin saja tidak tertulis dalam catatan awal, tetapi muncul dari celah fakta yang membiarkan imajinasi ikut berjalan. (*)