On, Perpisahan Itu

 On, Perpisahan Itu

sumber: https://basabasi.co/on-perpisahan-itu/

Oleh Benny Arnas

basabasi.co., 23 September 2022

1.

Hari itu, ujung September yang basah, telah ditetapkan Lian, Ulip, dan Pir untuk menuntaskan tekad mereka mengubah hidup: berdikari ke ibu kota.

“Kalau ingin mengubah nasib, bukan Ulak Kungkung tempatnya. Jawa sana. Jakarta kalau perlu!” 

Kampung yang harus ditempuh dalam tiga belas jam perjalanan darat dari Palembang itu bagai menjadi pohon rimbun bagi kabar burung untuk membuat sarang. Ya, doktrin dangkal para pemotong (begitu orang-orang Ulak Kungkung menyebut penyadap karet) yang tak pernah lulus sekolah itu, meresap ke dalam hati dan kepala mereka bertiga.

Tentu saja, mereka tiada mengajak Si On, sulung yang tiada jelas bertutur, tiada terang berpenglihatan, dan tiada awas berpendengaran. Ya, tiada yang bisa diharapkan dari seorang anak hewa, anak babi. Demikian orang-orang

Kampung Ulakkungkung—yang mengetahui perihal kelahirannya—menjulukinya.

Ya, dulu, menjelang Si On mengoek anyir. Hujan berderai hebat. Bak jarum-jarum bening saja ia menjelma-menusuk rimba dua puluh satu tahun yang lalu. Laki-laki penyadap karet yang bersusah payah istrinya mencapai pondok Mak Rom, dukun beranak di selatan dusun, akhirnya berhasil mendudukkannya di sebuah kandang beratap bilah-bilah ilalang yang mencokelat. Maksud hati hendak berteduh dari derasnya hujan petang yang menua itu, tapi … istrinya malah mengerang sangar—akibat kesakitan yang sangat—di pondok kecil yang tepat berdiri di samping sebatang rambai yang lebih mirip beringin itu. 

Setelah Si On terlahir—entah bagaimana itu berlaku, barulah mereka tercekat, menyadari bahwa anak pertama menapak bumi di tanah najis, kandang hewa. Di antara anak-anak babi yang lain.

Seakan tiada perlu ditanyakan saja bahwa kelahiran itu berbau aib nasab. Maka, tumbuhlah anak—yang hingga orang tuanya lupa siapa nama aslinya—dengan beragam kekurangan itu. Segenap warga akan sangat mudah menebak siapa yang tengah dibincangkan ketika salah satu dari mereka menirukan bagaimana orang bisu berwicara atau orang buta meraba-raba atau atau orang tuli meminta pengulangan kata. Ya, segala lubang itu lengkap padanya!

“Si On!” Bergelak giranglah mereka akan menyebut nama itu.

“Kependekan dari Onnn…”

“… nyol!”

“Ha-ha-ha-ha…!”

“Ya. Kata nenekku, anak hewa!”

Tumpahlah tawa-tawa yang berebutan menyeruak itu.

2.

Akhir-akhir ini, ketiga remaja tamatan SMA itu, turut jua memerudukkan Si On pada ketiadaberdayaan yang sangat. Tiada segan-segan ketiga adiknya itu bercampur dengan muda-mudi penggunjing. Menderai gelak tak alang kepalang. Kedua orangtuanya pun sudah tak terbilang memperingatkan mereka untuk beradab kepada kakak tertua.

“Ah Bak, apa yang perlu diributkan?” Lian balik bertanya.

“Ya. Mendengar, tidak!” timpal Ulip.

“Melihat, juga tidak, Mak!” sambung Pir.

Sang istri memandang suaminya, berharap laki-laki itu segera membela Si On. Tapi, tak sepatah kata pun keluar dari bibir legamnya. Laki-laki itu tiada berdaya jua menghadapi ketiga anaknya yang sudah bujang-bujang itu. Apalagi,  hampir lima tahun ia tak motong.

Dulu, ketika tengah melukai kambium-kambium batang bergetah itu dengan pisau lengkungnya, serombongan pemburu mengejar beberapa ekor rusa hingga ke kebunnya. Ia ingat sekali. Binatang-binatang itu setinggi bahunya. Tua. Bak bersunting Minang tanduk-tanduknya bersilih-silang. Saat itulah, di senja-raya yang hampir buram, kedua kakinya diseruduk kijang. Dan hingga kini, tiada upaya ia mengais nasi lagi dari menyadap karet. Maka, Lian, Ulip, dan Pir, yang masih belasan tahun kala itu, mengambil-alih perannya mengumpan keluarga.

3.

Babi. Itulah hewan kesukaan Si On. Sudah berbusa-busa sesiapa mengingatkannya agar tiada menyukainya. 

“Agamamu Islam, On!”

“Haram, On!”

“Najis, On!”

Nggak terima Bumi , On!”

“Bagaimana kau solat dan puasa, On?”

Kayak kristen saja kau ni, On, mainan kok hewa!”

On bergeming. Ia menceracau a-i-u-e-o saja bila tanpa sadar orang-orang sekitarnya (entah siapa itu?!) keras-keras membincangkan keberhasilan Mang Mitan, tukang buru tersohor itu, yang baru saja menombak hewan bergelang hidung itu atau hebatnya anjing-anjing Tauke Migan menangkap babi-babi yang kerap berkeliaran di Hutan Kungkung.

Lama kelamaan, keluarga dan orang-orang yang mengenalnya terbiasa juga dengan kebiasaan aneh Si On. Untungnya Si On, tampaknya, menenggang keluarga dan orang sekitar yang muslim. Dengan bahasa-bahasa sumirnya, tiada pernah ia memaksa keluarga dan orang-orang sekitar untuk membawakannya hewa, untuk sekadar dielus atau didengar endusannya.

Entah bagaimana Si On bisa bertepa-selira, ia akhirnya menumpahkan kegilaannya akan hewa dengan mengumpulkan porselen, boneka, celengan, sepatu, dan baju-baju yang berbentuk atau memiliki unsur babi. Si On memiliki masing-masing benda tersebut hingga lebih dari satu buah. Sesiapa pun tak tahu, insting dari mana, Si On beroleh kecakapan mengenali bahwa benda-benda tersebut memiliki unsur hewa. Tiada yang tahu. Tiada yang mencari tahu. 

“Seperti tak ada pekerjaan saja memikirkan laki-laki sinting itu!” Begitu yang ada di benak orang-orang, termasuk ketiga adiknya, terkecuali kedua orangtuanya. Ya ya ya, tak perlu dikoar-koar lagi, bukan, bahwa kelahiran di kandang babi adalah musabab yang paling kokoh untuk menurunkan semua kebiasaan aneh Si On dalam alasan yang berkait-kaitan? Oh.

4.

Sore itu, orang-orang telah bernapas di ujung bulan ember pertama tahun ini. Si On, seperti biasa, tekun membersihkan benda-benda kesayangannya. Lian, Ulip, dan Pir sudah bersiap dengan tas punggung masing-masing yang bermacam-macam saja isinya. Ya, ketiga bujang itu telah memesan tiket bus yang akan membawa mereka ke Jakarta.

“Maaf, Mak,” kata Ulip. “Bukan memaksa Mak menggantikan kami menyadap karet, tapi kami semua bertekad akan berkabar baik untuk keluarga ini di rantau nanti,” ia kemudian mencium punggung tangan keriput ibunya.

“Iya, Mak, Bak. Kami merantau untuk meninggikan nasib,” sambung Lian meyakinkan. “Kami pasti balik.”

Ulip mengangguk-angguk dalam, seakan-akan apa yang disampaikan dua saudaranya sudah mewakili kata hatinya: merantau untuk masa depan yang bahagia-raya.

“Tak bercium-tangan kalian dengan kakak kalian?” tanya sang ayah usai ketiga putranya mencium tangannya.

Ketiga remaja itu saling pandang. Ada enggan di mata mereka. Tetapi tak urung, pergi jua mereka ke bilik belakang, tempat kamar Si On dipetakkan.

Di sana, Si On meneleng-nelengkan kepala. Ada semringah yang mendalam, menyemburat dari tarikan bibirnya: senyum tak berseni sedikit pun.

Ketika ketiga adiknya mendekat, Si On masih sibuk dengan benda-benda hewa-nya. Tapi, tetap, ada senyum miring di wajahnya. Si On ber a-i-u-e-o lagi. Gigau-gagu. Ya, Si On tampak senang sekali.

Seakan-akan melihat mayat hidup, seolah menyentuh segerombolan belatung bergeliatan, serasa melihat pemandangan yang diharamkan saja, ketiga adiknya ragu-ragu menjangkau tangan sang kakak. Beberapa kali mereka mencoba, beberapa kali juga Si On menarik-narik tangannya, seakan mengajak ketiga adiknya bermain-main dengen celengan-celengan hewa-nya.

Ulip melepas lenguh. Disusul Lian yang menggaruk-masai kepalanya. Di muka pintu kamar Si On, ayah-ibu mereka memperhatikan dengan perasaan cemas.

“Sudahlah, Mak. Kami pergi saja. Lagi pula, tak pula ditangkapnya apa-apa yang kami maksud,” ujar Pir.

“Kami ada atau tak ada pun tak berpengaruh. Mungkin selama ini Kakak pun tak tahu kalau ia hidup dengan kita,” Lian mulai kesal.

“Ya sudah, Bak. Kami berlalu saja.” Ulip mengajak kedua saudaranya berlalu.

Pasangan paruh baya itu mengangguk lemah. 

5.

Maka, pergilah mereka. Meninggalkan sang ibu yang menggenang air mata. Meninggalkan ayah dengan tatap yang berkabut. Meninggalkan Si On yang mengepit rapat-rapat keempat celengan hewa-nya, celengan yang sekian tahun saban hari ia isi dengan jumlah rupiah yang sama. Tiga di antaranya, samar-samar terukir abjad L, U, dan P di bagian bawah tabungan yang terbuat dari semen itu. Siapa pula yang menggoreskannya di situ? Kepada siapa diperuntukkan? Tiada yang tahu. Tiada yang mencari tahu. Tidak ada yang peduli. Walaupun waktu telah bernama baru.

Benny Arnas

https://bennyarnas.com

Penulis & Pegiat Literasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *