Neraka di Ruang Obrolan

 Neraka di Ruang Obrolan

Sumber: https://studiojakemedia.com/2022/07/19/cyber-hell-exposing-an-internet-horror-documentary-review/

Oleh Benny Arnas

asyikasyik.com, 6 November 2022

Saya tak sabar menyongsong pagi usai menonton Cyber Hell: Exposing an Internet Horror (CH: EaIH) pada pekan ketiga Mei 2022, beberapa hari setelah perilisan film dokumenter bergenre kriminal tersebut di Netflix.

Beberapa kali saya melongok ke kamar tengah, tempat kedua putri kami yang masih berusia 10 dan 9 tahun sedang terlelap. Kalau mereka terjaga, ingin sekali saya mengutarakan kekhawatiran terhadap bahayanya dunia maya sekaligus mewanti-wanti mereka memperhatikan rambu-rambu dalam bermedia sosial. Saya tak bisa membayangkan kalau keluguan anak-anak bertemu dengan sosok seperti Baksa atau Godgod, akun-akun pelaku pelecehan seksual terhadap anak-anak dan remaja perempuan di Korea Selatan di ruang-ruang obrolan (grup) yang mereka kelola di Telegram.

Karya dokumenter besutan Jin-seong Choi berdurasi 1 jam 45 menit itu membongkar keberadaan grup-grup Telegram yang menyebarkan foto dan video para budak, begitu mereka menyebut para korban, kepada para pelanggan yang ternyata berada di ruang obrolan yang sama!

Grup-grup itu ternyata tidak terlalu sulit diakses. Begitu calon pelanggan menunjukkan ketertarikan pada konten-konten pornografi dan—penyimpangan—seksualitas, pintu anggota terbuka lebar.

Calon pelanggan tinggal membayar iuran dalam mata uang kripto dengan nilai 200.000 won untuk anggota biasa, 500.000 won anggota VIP, dan 1.000.000 won untuk premium. Di ruang obrolan yang jumlahnya puluhan itu, Baksa dan Godgod menunjukkan kedigdayaannya dengan menyebarkan foto dan atau video para budak yang menolak melakukan permintaan mereka. Tak jarang, bersama Baksa/ atau Godgod dan para pelanggan merundung para budak—dengan memintanya melakukan ini-itu atau mengeluarkan kata-kata yang mengarah pada kekerasan dan penyimpangan seksual yang susah dinalar—di waktu yang sama.

Baksa dan Godgod menjerat para korban dengan menghubungi para gadis—yang biasanya berstatus pelajar—lewat akun media sosial mereka. Berkedok sebagai agen model atau bintang iklan atau pekerjaan yang hanya membutuhkan foto diri sebagai syarat awal, pelan-pelan kedua bandit itu menyeret calon budak ke dalam permainan. Pendek kata, calon budak mudah tergoda oleh iming-iming mendapatkan uang dengan cara instan!

“Kamu sepertinya cocok jadi model?” Ketika foto seluruh atau separuh badan calon budak mendapatkan respons demikian, perangkap itu sedang berjalan mendekat. Begitu gadis-gadis  itu menunjukkan antusiasme, permintaan-permintaan foto yang lebih vulgar pun dilayangkan.

Tak menunggu lama setelah korban mengirimkan foto-foto “berani” mereka, bandit-bandit itu akan menyeret mereka ke dalam lingkaran setan tanpa jalan keluar. Ketika Baksa atau Godgod menunjukkan kepada para budak tentang kecanggihan hasil penelusuran mereka terhadap kontak, foto, dan alamat orang-orang terdekat mereka, korban pun tak punya pilihan selain diisap oleh permainan mengerikan.

Anda akan terkejut melihat koleksi foto dan video para budak yang Baksa atau Godgod bagikan di grup-grup Telegram itu. Mulai dari foto para gadis yang sengaja memamerkan bagian-bagian tubuh yang semestinya tertutup; para gadis yang berpose erotik, nakal, dan liar; para gadis yang, tentu saja atas perintah, menggunakan jarum, gunting, cutter, atau pisau, untuk membentuk tulisan Budak dalam bahasa Korea di anggota tubuh mereka; para gadis yang memasukkkan kemaluan mereka dengan segenggam pena; para gadis yang sengaja melukai leher mereka dengan tali yang dikaitkan ke gagang pintu; dan lain-lain, dan lain-lain.

Lebih jauh lagi, Baksa atau Godgod bisa memaksa para budak untuk bunuh diri (terjun dari gedung tinggi, misalnya) demi memuaskan para pelanggan sekaligus menggertak pihak-pihak, termasuk jurnalis dan kru televisi, yang ingin membongkar aktivitas mereka atau mengusut siapa sebenarnya sosok di balik akun Baksa dan Godgod dengan menyusup ke dalam ruang obrolan tersebut.

Sebenarnya kengerian-kengerian serupa-tapi-tak sama bisa kita saksikan dalam film-film lain yang dirilis sebelum CH: EaIH, seperti, yang masih hangat dalam perbincangan, adalah kisah para gadis lintas negara yang menjadi korban penipuan seorang laki-laki tampan berlagak pemilik perusahaan berlian bernama Simon Leviev dalam Tinder Swindler besutan Fellicity Morris (2022) atau hilangnya putri seorang single father yang justru membabar rahasia sosiologis putrinya yang aktif di media sosial, tapi tak memiliki satu  teman pun di dunia nyata, termasuk di sekolahnya sendiri, dalam film Searching yang disutradarai Aneesh Caganty (2018)—sekadar menyebut beberapa judul.

Sebagian dari kita mungkin tidak menyangka bahwa Cho Ju Bin alias Baksa dan Moon Hyung Wook alias Godgod Baksa–yang muncul di muka publik di akhir film–ternyata “hanyalah” dua remaja SMA bertampang menggemaskan dengan pipi chuby mereka.  Tak sepatah kata maaf pun mereka layangkan kepada para korban dan orangtua mereka. Dingin dan kejam.

Kalau pengakuan Baksa dan Godgod bahwa mereka tak saling mengenal adalah benar, dapat kita bayangkan, apa jadinya masa depan anak-anak perempuan di Korea Selatan (baca: di belahan dunia mana pun) kalau kedua kekuatan iblis ini bersatu?

Merelevansikan film dokumenter berdurasi 1 jam 45 menit itu dengan kehidupan anak-anak (perempuan) hari ini yang nyaris tak bisa lepas dari gawai, semestinyalah mengantar kita ke hadapan layar mahabesar yang menayangkan gambar-gambar masa depan yang mengerikan. ***

Benny Arnas

https://bennyarnas.com

Penulis & Pegiat Literasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *