Merayakan Kritisisme Bulgakov di Hadapan Stalin
Oleh Benny Arnas
Jawa Pos, 2 Desember 2023
Judul : The Master and Margarita
Genre : Novel
Penulis : Mikhail Bulgakov
Penerjemah : Lutfi Mardiansyah
Penerbit : Mizan
Tebal : 578 hlm.
ISBN : 9786024413279
Bagaimana meneroka satirisme Soviet lewat karya sastra? Tak lain tak bukan, The Master and Margarita adalah jawabannya.
****
Diterbitkan Mizan edisi bahasa Indonesianya Oktober tahun ini, novel setebal 578 halaman ini menampilkan Master atawa sang Guru, seorang pasien sebuah rumah sakit yang frustrasi karena karyanya yang bercerita tentang Yesus dikritik habis-habisan sebagai kisah utamanya, sebagai pusara cerita.
Dalam keputusasaan yang akut, seorang perempuan bersuami insinyur militer, Margarita, hadir. Ia bukan hanya menawarkan cinta, tapi juga pengakuan yang, bagi penulis dan dokter seperti sang Guru, adalah sebuah keniscayaan yang jarang ditangkap publik.
Margarita menganggap sang Guru sebagai seorang genius.
Mereka pun terlibat hubungan serius. Margarita bahkan rela meninggalkan suaminya dan hidup miskin dengan sang Guru.
Namun, perempuan itu lupa, sang Guru adalah seniman yang tak bisa dikurung, oleh cinta dan kekaguman seorang perempuan sekalipun.
Sang Guru memilih raib dari Moskow yang seperti tak henti bergejolak.
Kisah menjadi makin kompleks ketika Margarita kembali kepada suaminya dengan hati yang memendam rasa cinta yang tak pernah padam kepada sang Guru.
Dua Kisah, Sepasang Kritik
Mengombinasikan neo-imajinasi, surealisme magis, dan kecaman-kecaman pada situasi politik, The Master and Margarita adalah dua kisah yang berkelindan di waktu yang beririsan, di momentum yang tumpang-tindih.
Cerita pertama adalah tentang sang Guru dan Margarita yang mengambil bulan Mei di Moskow di bawah pemerintahan komunis sebagai latarnya. Kisah itu, membingkai–atau dalam beberapa situasi justru dibingkai oleh–cerita kedua: sebuah novel karya sang Guru yang bercerita tentang Pontius Pilatus, gubernur Romawi Yudea, yang diamanahkan untuk mengadili Yesus, di Yerusalem berlatar dua ribu tahun sebelumnya.
Dibuka dengan skena turunnya seorang Iblis yang menyamar sebagai profesor ilmu hitam di Moskow pada sebuah musim semi tahun 1930-an, kita dibuat terenyak dengan hadirnya dua orang penulis–yang tak percaya Tuhan dan segala jenis kegaiban–yang menjadi manusia-manusia pertama yang Iblis temui di Bumi.
Perkenalan yang kurang mengesankan itu membawa kabar buruk: kedua ateis itu memiliki nasib yang mengenaskan. Yang satu meregang nyawa oleh trem, yang satu lagi menjadi penghuni rumah sakit jiwa!
Kengerian-kengerian pun beranak pinak. Pemerintah? Mereka tahu, namun pihak berwenang hanya bertaji atas nama hukum. Di hadapan sihir, mereka adalah manekin berjalan.
Banyak kalangan menganggap ini sebagai ejekan atas pemerintahan Stalin yang masa itu gencar melakukan opresi terhadap gereja ortodoks dan organisasi-organisasi agama. “Iblis mungkin satu-satunya yang bisa meruntuhkan kedigdayaan kekuasaan masa itu,” tulis BBC ketika memasukkan novel ini dalam 100 Novel Terbaik Sepanjang Masa.
Analisis ini makin meyakinkan ketika tokoh Margarita membuat perjanjian dengan Iblis untuk menyelamatkan sang Guru yang genius.
Bagian cerita di atas, ketika berkelindan dengan kisah dalam novel yang ditulis sang Guru, makin menguar aroma misteri yang tak bisa disebut kebetulan belaka.
Rasa Bersalah PemerintahPilatus
Plot dan dinamika yang rimbun dan bersemak dalam novel ini, membuat Russia Beyond menyebut The Master dan Margarita sebagai sebuah contoh sempurna dari tradisi kecerdasan, imajinasi, dan sindiran Rusia yang luar biasa.
Dalam novelnya, sang Guru menulis bahwa Pilatus sebenarnya bersimpati kepada Yesus sehingga sedikitpun ia tidak memiliki keinginan untuk mengeksekusinya. Baginya, Yesus hanyalah pengembara yang tak berdaya, bukan sosok yang berbahaya. Namun, ia tak bisa berbuat apa-apa ketika sebuah persidangan, yang disusupi pengkhianatan dari dalam, justru memutuskan sebaliknya.
Menariknya, setelah eksekusi, Pilatus tak bisa hidup tenang. Pertanyaan “apakah Yesus memaafkanku?” terus memukul-mukul jiwa dan ingatannya.
Kisah itu bukan hanya representasi perasaan sang Guru yang berutang budi kepada Margarita–atau sebaliknya. Melainkan pernyataan politik kepada pemerintahan saat itu. Bulgakov mengajak Stalin berkaca dan melakukan percakapan dengan diri sendiri tentang dosa-dosanya.
Pesona Bulgakov
Dalam novel ini, kita akan melihat bagaimana kisah Era Stalin lalu-lalang dan kerap bersinggungan dengan mozaik-mozaik dari Al Kitab. Ganjil, tapi seru. Tak lazim, tapi Bulgakov membuatnya berterima.
Memadukan “kritik atas Stalin” dan “Al Kitab” adalah upaya agar novel ini lolos dari penyensoran masa itu. Juga ada spekulasi bahwa banyaknya tokoh dan tumpukan plot potensial membuat kisah dalam novel ini menjadi lepas kendali sehingga menjauh dari sumbu realisme. Realitas literer ini, bagi Soviet kala itu, tidak cukup gagah dan digdaya untuk menggerakkan pembaca melakukan sesuatu yang revolusioner.
Sang Guru kerap yang kerap kalah dan frustrasi, sepertinya bukan protagonik yang perlu dicemaskan bagi komunisme kala itu.
Namun, sindiran-sindiran politis yang fantastis, lucu, dan, dalam beberapa bagian, menembak pemerintahan Rusia tanpa tedeng aling-aling ini, ini sebenarnya bisa hadir ke hadapan kita, juga dengan sebuah alasan yang sangat personal bagi seorang Stalin.
Reazon Magazine menulis, “Stalin tertangkap basah telah menonton The Days of the Turbins lebih dari selusin kali.”
Oleh karena itu, gaya kepenulisan Bulgakov yang kadung digemari pemerintahan (baca: Stalin) sedikit banyak membuat novel ini menjauh dari ungkapan “literatur sarat misteri” sebagai pujian yang dialamatkan kepadanya.
Jadi, ketika hari ini kita dapat menikmati salah satu karya sastra terbaik Abad 20 ini sambil minum teh atau leyeh-leyeh di sofa sembari menunggu senja, semua tak lepas dari faktor nonnovel yang terlibat di dalamnya:
Bulgakov terlalu memesona di hadapan oligarki.****
Catatan: Ini adalah versi yang lebih lengkap dari yang dimuat Jawa Pos