Mau Belajar Nulis Cerita? Jatuh Cinta Seperti di Film-film Dulu Dong!
Oleh Benny Arnas
Susah move on setelah kehilangan orang tercinta bukan suatu kesalahan. Yang salah justru pihak yang memaksa seseorang untuk cepat move on agar menyisakan ruang bagi cintanya untuk tumbuh di sana. Itu bukan peduli, tapi egois.
***
Ketika mengajar menulis (cerita) dengan formula Story by 5 di kelas-kelas yang saya rilis sejak 2020, film adalah contoh pembuka yang sering saya gunakan ketika meminta para peserta membedah cerita (tentu saja sebelum kemudian para peserta berhadapan dengan karya sastra atau cerita tertulis lainnya).
Pengalaman membuktikan, pendekatan ini relatif lebih disukai mereka. Mungkin karena tiap peristiwa dalam film sudah menyediakan–untuk tidak menyebutnya “mengungkung”–adegan, suara, dan warna, sehingga audiens tinggal menikmati, sehingga tidak ada desakan bagi audiens untuk mendayagunakan imajinasi di pertemuan-pertemuan awal.
Peserta biasanya akan sangat antusias menceritakan kondisi awal protagonik, keadaan yang mengusiknya, keinginan yang menguasai jiwanya, hambatan yang kemudian mengadang, kestabilan palsu yang muncul setelah klimaks pertama, hambatan kedua yang membuat karakter “jatuh ke titik nadir”, twist yang membuat karakter bangkit, sebelum kemudian koda memberikan resolusi. Delapan peristiwa mayor!
Plot terbangun utuh!
Oleh karena itu, ketika pekan lalu saya dihadapkan pada kisah tentang Bagus (Agus Ringgo) yang ingin mengungkapkan perasaan cintanya kepada Hana (Nirina Zubir) teman lamanya yang baru menjanda, dengan cara memproduksi film yang ia yakin dapat membuat Hana move on dari duka yang berkepanjangan di bawah judul Jatuh Cinta Seperti di Film-Film (JCSdFF), sepanjang 1 jam 58 menit film diputar, saya bersorak dalam hati, “Ini cocok banget bagi yang ingin belajar nulis …”
Bagus (Agus Ringgo) yang ingin mengungkapkan perasaan cintanya kepada Hana (Nirina Zubir) teman lamanya yang baru menjanda, dengan cara memproduksi film yang ia yakin dapat membuat Hana move on dari duka yang berkepanjangan
Jatuh Cinta Seperti di Film-Film
“Menulis skrip film?” serobot istri saya ketika akhirnya saya tak tahan lagi memuji film yang barusan kami tonton 5 menit sebelumnya.
Saya menggeleng.
***
Film produksi Imajinary yang tayang pengujung 2023 ini membongkar anatomi ceritanya sendiri.
Tiap sekuens memiliki nama dan tanda.
Siapa pun akhirnya tahu, peristiwa-peristiwa mayor apa saja yang merangkai plot cerita.
Sebagai sutradara dan penulis cerita, apa yang Yandy Laurens lakukan sebenarnya berpotensi menjadikan kisah Agus dan Hana tersaji kaku. Alasannnya, selain 90% cerita hadir dalam warna hitam-putih, memaparkan struktur cerita bukanlah pendekatan yang populer untuk film komersial.
“Ini lho yang namanya cute-meet,” terang film ini lewat suara Bagus yang menjelaskan kepada Hana bagaimana umumnya genre romance-comedy (Rom-com) dibuka.
Atau bagaimana pengenalan karakter harus memuat false belief yang, dalam penjelasan Bagus ketika mereka menyantap makan siang di rumah makan padang all you can eat, akan menghasilkan klimaks pertama atau mid point.
Gila! Yandy ngasih tahu istilah struktur cerita tanpa membuat audiensnya mengerutkan kening karena, selain Bagus juga menjelaskannya dengan sangat baik dengan menggunakan gelas, teh botol, dan minuman soda kaleng di antara hamparan hidangan di atas meja, Bagus dan Hana sendiri justru sedang berada di bagian mid point film itu!
“Menurutmu, kalau aku yang jadi tokoh utamanya, false-belief-ku apa?”
Duar!
Jarak antardegup jantung saya merapat ketika Hana mengutarakan pertanyaan tersebut.
Itu jebakan, Gus, teriak saya dalam hati. Jebakan!
Bukan, bukan karena Hana perempuan, huahhahhaa. Melainkan, karena apa pun jawaban Bagus pasti menyinggung Hanna.
Membongkar false-belief di hadapan orangnya langsung sama dengan menunjukkan kekeliruannya dalam menjalani hidup.
“Kamu itu keliru, Hana,” begitu statement draf 1 skenario film yang Bagus tulis –yang dibaca Hana di ujung sekuen 5. Tentu saja, Hana, baik sebagai tokoh dalam film atau perempuan kebanyakan, akan tersinggung karena Bagus, selain menulis ceritanya tanpa izin, juga dianggap sok tahu tentang kehidupannya!
“Kamu tidak tahu apa-apa, Gus” teriak Hanna seraya menunjukkan jempol dan telunjuknya yang bersigesek ke hadapan Bagus. “Kecuali dunia filmmu yang sempit itu! Romansa itu hanya ada di dalam kepalamu!” Lagi, kita tahu kestabilan palsu itu berakhir juga, romansa itu ambyar juga!
Wah, filmnya seteknis itu?
Ya, inilah mengapa saya bilang kalau JCSdFF sebenarnya berisiko menjelma jadi cerita yang “kaku”.
Tapi … risiko itu ternyata ditaklukan dengan apik sehingga yang tersisa adalah Romcom yang membuat kita mengkonfirmasi banyak hal:
“Oh iya, ya, perasaan berduka itu nggak harus menghentikan segalanya kayak di film-film, kan, ya?”, termasuk moral cerita yang memukul saya di ujung cerita:
Susah move on setelah kehilangan orang tercinta bukan suatu kesalahan. Yang salah justru pihak yang memaksa seseorang untuk cepat move on agar menyisakan ruang bagi cintanya untuk tumbuh di sana. Itu bukan peduli, tapi egois.
JCSdFF adalah juga contoh nyata bagaimana karakter menggerakkan cerita.
Ya, sekompleks apa pun premis yang dihadirkan, selama dijalankan oleh karakter(isasi) yang matang, cerita akan tetap mengalir, menarik, dan menguar nilai kemanusiaan tanpa mengajarkan.
Ya, apabila Agus Ringgo dan Nirina Zubir (dan tentu saja aplaus panjang buat Sheila Dara!) gagal memainkan peran dengan prima, JCSdFF takkan membuat audiens (baca: saya dan istri) merinding dan bermata kaca pada bagian-bagian puncak (golden scene) cerita ini:
Ketika Hanna dalam versi film-dalam-film tahu bahwa kisah hidupnya dijadikan Bagus sebagai komoditas, atau ketika Celine (Sheila Dara) dengan agresif dan impresif menyarankan berbagai tipe shot kepada Bagus yang akan menyutradarai film perdananya. Dan bagian-bagian lain, yang kalau saya buka tentu akan menyiksa mereka yang belum menonton film hitam-putih nan memukau ini.
Bagian menarik lainnya, adalah tentang penulisan cerita yang merupakan bagian yang sudah lama membuat penulis cerita seperti saya gelisah.
Saya percaya, tidak selamanya konsep “show, dont tell” itu bisa dipakai, penulisan cerita film pun begitu. Skenario film ini “ternyata” tidak melulu berisi aksi, sebagaimana beberapa bagian skrip film ini yang dibocorkan lewat layar laptop Bagus, seperti:
Sore itu, di samping kemudi, Hana yang kelelahan terlelap dalam duka yang diam-diam menyamar sebagai cinta. (Bukan sore itu, di samping kemudi, Hanna lelap dengan wajah yang lelah dan sedikit pucat, misalnya).
Kalau memang benar demikian, bahagia sekali rasanya melihat narasi skenario yang tidak membatasi kreativitas dan imajinasi pelakonnya, melainkan memberikan mereka ruang untuk tumbuh dan menemukan interpretasi. Tentu ini debatable karena pertama, belum tentu itu adalah skenario asli film ini dan kedua, kualitas aktor-aktor yang terlibat dalam film ini memang jempolan.
***
Yak! Kembali konsep yang berisiko menjadikan film ini kaku, hasilnya malah sebaliknya.
Film dengan cantiknya bergumul dengan struktur cerita sehingga menjadi sajian yang baru (tanpa tanda kutip) dalam film Indonesia.
“Kok menggeleng?” tagih istri saya ketika saya mencipta jeda. “Jadi film ini cocok buat yang mau nulis apa? Nulis skenario dong? Masa nulis komik atau naskah pidato?” Saya, kalau jadi dia, juga pasti senewen.
“Film ini cocok bagi yang ingin belajar nulis cerita,” jawab saya, yakin.
“Iyaaaa, tapi cerita apa?”
“Cerita apa saja!” jawab saya, makin yakin.(*)
Lubuklinggau, 16 Desember 2023