Ketika Penulis Beronani
Oleh Benny Arnas
Kita mulakan tulisan ini dari pertempuran laut terbesar pertama yang terekam dalam sejarah: Pertempuran Salamis. Dua kekaisaran besar—Persia dan Yunani—terlibat dalam kecamuk yang terletak di selat sempit yang memisahkan Pulau Salamis dan Pelabuhan Pireus. Perang yang berlangsung pada 28 September 480 SM itu akhirnya dimenangkan oleh Yunani melalui tipu daya, suatu kualitas yang selalu dibangga-banggakan kaum Hellenis. Komandan armada Yunani, Themistocles, mengirimkan pesan palsu kepada Xerxes, komandan armada Persia, yang berisi bahwa mereka akan mengubah haluan. Entah Xerxes sedang mabuk atau menghormati itikad Themistocles dalam mewujudkan perang yang jujur, armada pun putar haluan ke Selat Salamis yang sempit yang sudah dikepung 370 kapal Yunani dari balik batu karang yang menjulang. Tidak memakan waktu lama, kapal-kapal Persia karam karena kapal-kapal Yunani menabraknya dari arah yang sudah diperhitungkan. Dalam Days that Changed the World (2006), Hywel Williams mencatat: jumlah kapal Persia yang tenggelam mencapai tiga ratus.
Saya pernah membaca sebuah cerita peserta kelas menulis yang mengambil latar tanggal dan tahun yang sama. Ceritanya berputar-putar, padat detail, dan berusaha menampilkan realisme dengan baik.
“Tidak. Saya memang ingin menampilkan cerita yang realis,” sanggahnya ketika saya mengatakan apakah ia sengaja mengabaikan peristiwa besar di latar yang dipilihnya: Yunani, September, 480 SM?
“Tidakkah Bang Benn lihat bagaimana saya berusaha menampilkan peradaban pra-Masehi semampu yang saya bisa?”
Baik. Saya tahu, saya tidak seharusnya melayaninya.
Pada waktu yang lain saya membaca sebuah kisah berlatar Amerika Serikat tahun 1400 dan saya dan teman saya yang seorang sejarawan hampir mati tertawa membacanya.
Kami tidak tahu bagaimana seseorang yang mengaku menghabiskan waktu dua tahun untuk menulis novel 198 halamannya justru mengabaikan riset dan, ini yang paling penting, apa yang terjadi di waktu dan tempat ceritanya berlangsung.
Yang saya bayangkan mulanya ia akan menulis bahwa ada seorang pelaut berpengalaman dengan pengetahuan-tentang-angin di atas level memadai. Dengan kebanggaan akan amanah dari Ratu Isabella dari Kerajaaan Spanyol dan Castilla yang baru bersatu, penjelajah asal Genoa berusia 41 tahun itu, berlayar ke Kepulauan Bahama pada 12 Oktober 1492. Sayang, ia memiliki pemahaman keliru. Dalam benaknya, kapalnya berlayar menuju Asia! Dua bulan sebelumnya, tepatnya pada 3 Agustus, ia berangkat dari pelabuhan Palos de la Frontera du barat daya Spanyol bersama tiga buah kapal dengan tujuan menemukan rute pelayaran barat menuju pesisir timur Asia. Tapi, kita semua tahu, pada 12 Oktober sejarah arus utama mencatatkan namanya sebagai penemu daratan si Paman Sam yang luas itu.
Penulis yang menulis 198 halaman tentang Amerika sebelum Amerika bernama Amerika itu harusnya bukan hanya memperdalam risetnya, tapi memberikan perspektif menarik tentang Amerikaisme yang ia tawarkan ke pembacanya bahwa Columbus bukanlah penemu benua itu, bahkan nama Amerika sudah lama ditemukan oleh seorang sepasang pelaut asal Ulaksurung bernama Amri yang Rika yang terdampar di utara Alaska. Misalnya. Misalnya lho ya.
Dua bulan lalu, saya membaca sebuah novel seorang WNI yang mengaku sangat ingin belajar kepada saya, tapi karena ia tinggal di Capetown ia tidak bisa mengikuti kelas luring saya. Hmm, di era digital—dan kelas-kelas saya juga sudah bermigrasi ke ruang virtual—sebenarnya dalih itu terdengar mengenaskan dan tentu saja ia kelihatan konyol dengan kata-katanya itu. Setahun kemudian ia kemudian berkabar. Ia telah menyelesaikan novelnya karena tekun mengikuti kelas menulis daring saya di Youtube dan mengerjakan tugas-tugasnya dengan rajin. Nah, itu apa?
Novel tersebut berlatar Amerika dan Inggris dalam rentang 1605–1661. Saya membaca draf novelnya dan setelah tidak menemukan peristiwa pendirian Jamestown, Virginia, pada 1607 dan matrikulasi Isaac Newton di Universitas Cambridge pada 1661 dalam semesta ceritanya di lima puluh halaman pertama, saya memutuskan berhenti.
Dua bulan kemudian ia menanyakan—untuk tidak menyebutnya “menagih”—kabar saya (yang tak lain tak bukan adalah kata ganti untuk draf novelnya), saya menjawab surelnya dengan menawarkan percakapan tentang peristiwa-peristiwa yang mengubah dunia.
Ya, dunia ini memiliki waktu, tempat, dan kejadian, yang akan membuat para penulis menjadi imbisil apabila tidak peduli—atau tidak mau tahu—apa yang terjadi di negara dan hari yang dipilihnya untuk melatari kisah yang ditulis.
***
Apa yang sering diabaikan penulis ketika menulis? Banyak. Tapi salah satu yang—untuk tidak menyebutnya “paling”—kerap diabaikan adalah bahwa, sebagaimana nama tokoh, pemilihan tempat dan waktu tidak bisa sekadar mencantumkan letak geografis dan angka yang menunjukkan waktu. Penulis harus bertanggung jawab terhadap pemilihan itu, yang mungkin saja ketika menulis ia mencantumkannya begitu saja atas alasan lintasan pikiran, estetika bunyi, dan kegemaran atas suatu tempat dan angka. Penulis yang menghargai ruang dan waktu akan memperdalam pilihan—tempat dan waktu—itu dengan saksama. Menimbang-nimbang segalanya. Bagaimana mungkin anda membuat sebuah kisah cinta berlatar tahu 1940-an di Indonesia tapi sedikit pun tidak menyinggung situasi prakemerdekaan yang bisa mengubah segalanya? Atau, yang lebih gawat lagi, adalah anda menjelma self-centred writer dengan dalih macam-macam (padahal bunyinya cuma satu: malas riset dan tidak teliti menyunting!) mengatakan bahwa, bahkan semesta cerita sepenuhnya di bawah kuasa seorang penulis!
Inilah mengapa penulis cerita, katakanlah fiksi, sangat dianjurkan untuk membaca karya-karya nonfiksi agar karya-karya yang dituliskan menghargai bahwa ada miliaran orang yang tinggal di belahan Bumi lain yang kian gersang ini, bahwa peristiwa-peristiwa yang mengubah dunia dan menjadi perhatian umat manusia harusnya juga sampai ke telinganya apabila ia tidak semata berkhidmat dengan mengutak-atik kata dan perenungan dalam kegelapan di biliknya yang bau pesing, bahwa cerita yang baik adalah cerita yang lokal …
Cerita yang mampu membumikan dirinya.
Menjadi bagian semesta.
Mencubit emosi umat manusia.
Tidak ada yang mau menonton pertunjukan onaninya.
Lubuklinggau, 22 September 2021
2 Comments
Terima kasih pengingatnya, bang Benny. Saya jadi kepoo apa saja rekomendasi karya non fiksi dari Anda hehe
Lagi dan lagi, merasa tertohok oleh kata-kata bang ben.